Berikut
ini kami turunkan komentar-komentar para pegiat sastra di ruang jejaring sosial
semenjak dibukanya polemik terhadap tulisan Darman Moenir di ruang ini satu
setengah bulan lalu, tentu dengan penyuntingan. Selain itu pula—juga hangat
jadi perbincangan di Facebook—tentang “diangkatnya” sebagai
laporan khusus sastra di rubrik Rona
harian Koran Jakarta polemik ini
tanpa mencantumkan sumbernya sehingga menuai kritik pula.
Ruang
ini memang dikesankan sebagai ranah dialektis untuk kita bersama tanpa tendensi
tentunya. Setiap tulisan, dinilai sebagai respons positif untuk kemajuan
kultural. Memang, saatnya kita merawat dan merayakan berpikir dialektis dan
merdeka.
Kurang
lamak pulo mantap tampaknyo Bung..bia agak serius ambo komen pulo lah di siko
saketek-saketek. Intinyo, tak ada kritikus sastra yang serius, yang tidak
menganggap remeh terhadap semua karya dari maso dulu sampai maso kini, yang
bicara berdasarkan apresiasi yag memadai bukan emosional, tapi sori Bung ambo
ndak nulis di koran, kebetulan Bung mangirimko ka ambo, bilo Bung baliak ka
nagari awak nan rancak ko. Buek padepokkan sastra waklah di Padang..he he
Koko Sudarmoko (06 Maret 2011 pukul 19:39)
Bung
Son: Komen bung dan kawan-kawan bisa dijadikan bahan pemikiran kita bersama
untuk kelanjutan diskusi ini. Siapa yang berminat, tentu dapat memanfaatkan
untuk bahan tulisannya. Selain, kritikus sastra yang serius, kebutuhan untuk
itu, seperti bahan, data, referensi, karya-karya juga harus secara serius
dikumpulkan untuk menarik keseriusan itu. Ini harus dilakukan juga, mengingat
perpustakaan dan koleksi yang masih bolong-bolong. Mungkin bisa diisi dengan
saling berbagi info koleksi masing-masing, tentu bisa kita wujudkan padepokan
itu Bung, sedikit demi sedikit.
Dari zaman katumba sampai zaman ngenet. Iko se masalah nan dipatangkari
di Sumbar ko. Tentang karya tu sendiri jarang dibahas. Nan acok dibahas cuma
urang ka urangnyo sajo. Sadonyo
ingin manapuak dado, managak bendera surang-surang. Kok jadi sastrawan
bakaryalah! Kok jadi kritikus bahas karya!
Tak
mudah memang untuk melahirkan kritikus sastra, karena kritikus dilahirkan oleh
zaman, namun wacana ini tentulah merupakan gerbang untuk perkembangan sastra ke
arah yang lebih baik.
Mungkin
hanya Sudarmoko dan Fadlillah yang dosen Fakultas Sastra Unand yang masih setia
mengamati sastra Indoenesai, khusunya Sumbar, yang lain masih diragukan.
Sementara belum saya lihat alumni sastra yang bukan dosen yg mau menjadi
kritikus sastra profesional.
Lambek-lambek
mulailah ka objek sastra itu sendiri. Pelajarilah kecampinan almarhum Umar
Junus berdialog dengan teks. Sebuah karya sastra yang bermutu tentu akan selalu
menarik dikupas dari segi apa saja. Ibarat sumber air yang tak pernah
kering-keringnya, selalu saja ada 'dialog-dialog' baru antara teks sastra yang
bermutu itu dengan para pembacanya (baca: kritikus, peneliti). Ada banyak suara
(polisemi) di dalamnya, yang memberi peluang kepada pembaca kritisnya untuk
mengemukakan banyak interpretasi. Sebaliknya, karya-karya yang tidak bermutu
tentu akan cepat 'mengering' dalam 'hisapan' dan 'piuhan' analisa para pembaca
kritisnya (kritikus, peneliti), ibarat kambia layua kukua yang lansuang jadi
jalang santannya sasudah sakali rameh.
Koko Sudarmoko (07 Maret 2011 pukul 7:39)
Perbincangan
apapun dalam sastra, khususnya kita yang masih perlu banyak referensi dan
kajian ini, masih sangat diperlukan. Demikian juga dengan kritik(us) sastra di Sumbar
ini, atau pengarang-pengarang yang ada, adalah bagian penting dalam
kesusastraan. Karya juga tidak kalah penting. Dan sebisa mungkin diungkap dan
ditelisik lebih jauh. Berhadap-hadapan dengan teks adalah peluang yang sangat
lebar untuk kajian sastra. Banyak cara dan banyak media untuk
memublikasikannya. Ditunggu kajian-kajian cemerlang dari kita dan kawan-kawan
semua.
Menyambung
Mas Koko, membincangkan, mengkaji, menilai sastra saya kira banyak hal yang
perlu diperhatikan (sebagai tugas kritikus). Mungkin tidak hanya sebatas teks
saja, faktor-faktor lain yang menyebabkan karya sastra itu "bernilai"
(saya katakan bernilai sebab orang di luar sastra pun punya hak untuk menilai,
bukan kritikus atau kaum akademisi saja) toh bukan dari teks saja. Ada
penerbit, ada pengarang, ada pembaca, ada marketingnya juga, tukang disign covernya, ada redaktur, ada pers,
dan lain-lain. Sebab ketika kita hanya membicarakan teks saja, faktor lain itu tentu menjadi terabaikan. Padahal
mungkin persoalan di dalam teks sastra (yang katanya bermutu itu) ternyata
"jauh" dari persoalan realitas masyarakat yang sesungguhnya (teks yang
tak mengangkat derajat hidup masyarakat, tak memberikan kesadaran kritis,
melainkan hanya eksploitasi belaka). Nah, tugas kritikus dituntut untuk peka terhadap
setiap fenomena yang muncul dalam jagad sastra Indonesia kita. Dan tugas orang-orang
yang bergelut di sastra adalah menjadikan sastra sebagai medium kesadaran kritis
dan bisa mengangkat derajat hidup org lain. Jadi, dunia sastra bukan lagi
sebagai dunia wacana, yang hanya mengganti sampulnya saja.
Dan
para pekarya yang budiman, harus terus menulis karya yang menarik untuk
dikritik. Bukan hanya "kritikus formal", tetapi barangkali mengundang
ketertarikan kritikus yang lahir dari pembaca, se-awam apapun dia,
ber"akademik" ataupun tidak.... Jadi kritikus pekerjaan yang halal.
Bagi pekarya, dikritisi bukan tujuan. Ruang estetika tak sesesak itu. Pada satu
sisi, eksistensi kritik, menguatkan kalau karya sastra itu tidak mampu
mengungkai, mengurai, mempesonai dirinya sendiri.
Suryadi Sunuri (07 Maret
2011 pukul 22:03)
Percayalah
101% bahwa sastra yang bagus tidak ditentukan oleh licin atau kasarnya disain
covernya, tidak ditentukan oleh apakah ia diluncurkan di kafe mewah atau di
taman budaya. Sastra bukan seperti disain HP, rumah, dan mobil. Saya tertarik
untuk membaca sebuah teks sastra ketika sejak dari baris pertama saya mulai
diseret ke tempat yang asing di mana semua apa yang sudah saya kenal—cinta,
kematian, kesedihan, rindu-dendam,dan lain-lain—menimbulkan keraguan kembali
dan membuat diri saya menikmatinya (atau membencinya) dengan perasaan yang lain
lagi.
Tinggal
membentuk A.A. Navis Award. Banyak cara untuk menggairahkan kehidupan bersastra
di Sumatra Barat. Puak ini penuh dengan orang-orang yang berpikiran maju.
Wannofri Samry (06
Februari 2011 pukul 12:39)
Selamat
para eseis kita, mudah-mudahan ke depan lebih menukik pada isi atau karya
sastra itu sendiri. "Kita" belum tahu sejauah mana karya sastra kita
yang sedang dipolemikkan ini?
Kalau
saya berprinsip, menulislah dengan hati, bumbui dengan pikiran, hiasi dengan
pengalaman dan hidangkan di mana saja...baik di koran, majalah, blog, facebook dan
lain-lainnya. Sebagai penulis, uuntuk apa mempersoalkan media tempat karya kita
dimuat. Nama besar seorang penulis bukanlah dibangun melalui media, bukan pula
dari seberapa banyak orang yang memuji, mengkritik atau mempolemikkan karyanya,
namun dari sejauhmana karyanya menyentuh sisi2 kemanusiaan kita...
Saya
ingin memberi saluut pada Bang Darman, yang berhasil menyemangati para esais
menelisik perkembangan sastra dan kepengarangan Sumatra Barat. Salut juga untuk
para esais yng menyemarakkan halaman Haluan,
dan mempermudah MN kita tercinta memperoleh tulisan-tulisan bermutu. Dan
menambah pemahaman saya tentang sastra.
Tak
ada larangan untuk berpolemik seperti ini, tapi kalau ngak hati-hati menyikapi
bisa terpeleset, malah memecah komunitas sastra yang udah ada yang seharusnya daptt
lebih saling mengapresiasi karya sastra orang Sumatra Barat tadi. Mari
berkarya, mengapresiasi dan membangun komunitas sastra yg saling membesarkan satu
sama lain.
Sebuah
karya sastra yang lahir pada zamannya dan tetap eksis serta diapresiasi dan
mendapat tempat yang baik di hati pembacanya pada zaman berikutnya, kita klaim
sebagai karya sastra yang baik dan bermutu. Lalu apakah karya sastra yang lahir
karena motivasi kompetisi dan tujuan finansial, dapat dibandingkan dengan karya
sastra yang lahir karena dorongan semata-mata untuk mengekpresikan nilai-nilai
kritik humanis yang terjadi di sekitarnya. Perspektif dan justifikasi yang
keliru dan negatif terhadap karya anak negeri harus dieliminasi. Sudah saatnya
berpikir baik dengan cara-cara yang elegan terhadap karya anak negeri.
"Rumah bahasa" ada di otak kita masing-masing. Kalau bahasanya baik,
pemikirannya juga baik.
Suryadi Sunuri (14 Februari 2011 pukul 7:23)
Kanon
itu penting, terutama bagi orang yang mengaku sastrawan. Gunanya: supaya dia
terus punya cita-cita dalam hati untuk menulis karya sastra yang hebat. Kanon
itu ibarat hadiah nan tagantuang di ateh batang pinang bagomok: harus bausaho
mamanjek ka ateh untuak mandapek'annyo, tapi ndak mudah, dek gomok licin.
Sebaliknya, para peneliti harus membebaskan dirinya dari kanon itu. Mereka
harus meneliti apa saja, baik 'Bako'nya Darman Moenir maupun 'Oestadz A
Masjoek'nya Martha; baik karya-karya Muhammad Soebhan maupun korpus Nick
Carter; baik cerpen-cerpen yang dimuat di Kompas
maupun stensilan porno 'Yenny Arrow'; baik karya-karya berlatar Islam seumpana
novel-novel sekarang yang judulnya berujung dengan kata 'cinta' (Ayat-ayat
Cinta, dll.) maupun yang berlatarkan agama-agama minoritas seperti karya-karya
Gerson Poyk, Korry Layun Rampan, Maria Matildis Banda, Paulus Supit, M.R.
Dayoh, Julius R. Sirayanamual, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar