OLEH Nelson Alwi
Budayawan tinggal di Padang
Nelson Alwi |
TAK terbantahkan, dengan tulisan berjudul 30 Tahun Terakhir Tak Ada Novel Bermutu dari Sumatra Barat (Harian Haluan,
Minggu (23 Januari 2011) Darman Moenir berhasil menggugah gairah sejumlah intelektual
untuk penulis esai sastra sekaligus mempublikasikannya di harian kesayangan
ini. Semangat mereka semoga dapat dipelihara dan semakin menyala-nyala,
menyinari aktivitas berkesusastraan, terutama di daerah tercinta ini.
Dan kini, pada gilirannya masalah langkanya kritikus (baca: kritikus dan
peneliti) sastra di daerah ini pun ditaja menjadi tema yang seyogianya dibahas.
Sebab, menurut redaktur ”Kultur” Harian Haluan: ”... karya-karya yang
lahir dari rahim sastrawan Sumatra Barat —baik berupa cerpen, puisi maupun
novel— tak terpindai secara cermat dan hanya menghuni rak-rak buku tanpa
perbincangan yang dialektis dan dalam”.
Artinya apa? Perkembangan dan identitas keberadaan kesusastraan tak bisa
lepas dari peran serta kritikus sastra. Karenanya, legitimasi, degradasi ataupun
kelangkaan kritikus, kapan dan di manapun, selalu membuncahkan jagat sastra —menjadi
persoalan klasik yang tetap aktual, relevan dan menantang.
Dan ketika (ke)budaya(an) massa koran serta yang terakhir media maya alias
internet menjadi begitu berkuasa, tradisi romantik yang cenderung ke detail dan
melahirkan kritik sastra buku dan majalah ala Jassin dianggap sudah tidak
relevan. Persoalannya adalah, kehadiran kritik(us) sastra (di) koran semakin
(men)jauh dari yang diharapkan, sementara yang di internet —kalaulah boleh
disebut kritik(us)— tak dan atau belum “terkendali” sama sekali. Hal ini dapat
ditelusuri dari hangat dan rancunya silang pendapat yang difasilitasi sebuah
harian ibu kota antara Arif Bagus Prasetyo, Damhuri Muhammad, Wicaksono Adi,
Binhad Nurrohmat dan Budiarto Danujaya. Relatif senada dengan mereka, Muhammad
Subhan dalam Biarkan Pembaca yang Menjadi
”Hakim” (Harian Haluan, Minggu (13
Februari 2011) pun terkesan sangat bersahaja dan absurd.
Ke depan figur-figur sastra kita mungkin harus lebih berhati-hati menyitir vonis
”kritik(us) sastra sudah mati”. Atau menyangkutpautkan ”kelarismanisan”
sebutlah novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi dengan mutunya, dan sebaliknya mengklaim “kekuranglarismanisan”
taruhlah novel-novel pemenang Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarya
(DKJ) sebagai tidak dan atau kurang bermutu.
Kritikus yang juga dikenal sebagai peneliti sastra terkemuka seperti Faruk
HT, Maman S Mahayana atau Budiarto Danujaya mensinyalir bahwa kritikus sastra,
seiring zaman, terlihat mencari bentuk dan mediumnya. Dengan kata lain, kritik
sastra ternyata begitu fleksibel, bisa menyesuaikan diri dengan zaman: buku,
majalah, pengantar-buku, koran dan atau internet.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, keberhasilan atau keabsahan kritik sastra
bukan bergantung kepada siapa yang membuat atau apa dan di mana ia
dipublikasikan, melainkan oleh
kebernasan atau “sesuatu” yang ada pada kritik itu. Dengan demikian, seekstrem
apa pun kita menolak kehadiran seorang kritikus, tapi jika orang itu sanggup
memformulasikan kritiknya sebagai sebuah kritik yang qualified maka akan jadi dan di”dikritikus”kan khalayaklah dia.
Dan menurut hemat kita di sinilah pokok permasalahan yang sesungguhnya. Nyaris
senapas dengan sinyalemenen yang dilontarkan Sapardi Djoko Damono dalam
“Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia” di Denpasar, Bali, beberapa
tahun yang lalu. Guru Besar (emeritus) FSUI itu mengisyaratkan sebab-musabab
“keterpinggiran” atau stagnasi keberadaan kritik(us) sastra dengan kalimat,
bahwa untuk bisa membicarakan karya sastra secara baik kritikus harus lebih
pintar atau minimal sama cerdasnya dengan pengarang.
(Maka idealnya, seyogianyalah seorang kritikus menguasai seluk-beluk sastra
yang maksimal sembari terus mempelajari puspa-ragam informasi yang beredar di
tengah masyarakat. Bermodal pengetahuan yang memadailah seorang kritikus
leluasa mengulas karya sastra. Tapi memang, kritikus yang akan berhasil dengan
misi dan visi maupun citranya adalah kritikus yang cerdas memanfaatkan peluang
zaman lewat medium yang dimasukinya).
Suatu keniscayaan, tiap generasi harus memiliki juru bicara, karena tiap
zaman punya keunikan dan problematikanya sendiri. Sesuai sifat serta fungsinya sang
juru bicara alias kritik(us) akan berperan menjembatani pembaca dan (pengarang)
karya sastra. Kecuali itu, kritik dengan segala konsekuensinya sangat boleh
jadi diperlukan sastrawan, sebagai tolok ukur —yang ironisnya, bukan tidak
mustahil justru menyesatkan dan membunuh atau sebaliknya melambungkan karya sastra(wan).
Terkait relasi kritik dengan karya dan masyarakatnya penyair merangkap
prosais terkenal Gus tf Sakai pernah menulis, bahwa sublimitas seorang seniman
adalah kehidupan sedang sublimitas seorang kritikus adalah karya seni.
Ketimbang menyerahkan dan menghadapkan diri pada “keangkuhan” sebuah karya,
kritikus menempuh jalan tersendiri yang sebetulnya ironi: mengritik dengan
bahasa yang karena keharusannya bermain dalam gugus pengertian.
Lebih jauh dari itu, tersebab filsafat dikotomi kritik jadi lebih bersifat
konseptual. Karya sastra yang diposisikan sebagai sarana penyampaian masalah
sosial ditempatkan kritik(us) sebagai subordinat suatu kepentingan. Karya
sastra sebagai “alat” pencapaian ide-ide besar tentang seni mengambil tempat
yang sangat individualistik. Karya sastra yang cenderung memanifestasikan
tingkah-laku keseharian akan ditempatkan sebagai sesuatu yang agung, tinggi,
didaktik dan karenanya akan terbebani oleh berbagai tuntutan dan harapan. Karya
sastra (dunia simbolik) yang selalu berinteraksi dengan dunia sosial dan
material, tidak saja akan membuat karya kehilangan otonomi tetapi juga akan
direduksi kritik(us) dengan banyak aspek kepentingan yang menyertai karya
tersebut.
Kemangkusan kritik sastra berkaitan erat dengan kearifan kritikus menjaga
penetrasi porsi tulisan yang mengacu pada sifat serta fungsi kritik, di samping
kepiawaian kritikus menyiasati medium (buku, majalah, pengantar-buku, koran,
internet) yang hendak dimanfaatkannya.
Namun kearifan dan kelihaian kritikus memahami maksud, kiat, style
berikut gaya bahasa (yang pas) yang akan digunakan mengupas karya sastra jelas
tak berarti andaikata ia tidak bijak dan jeli menangkap keindahan atau
kelemahan yang terkandung dalam sebuah karya. Ini ditengarai bertali-temali
dengan keseriusan, ketekunan, kejujuran dan objektivitas kritikus sewaktu
menimbang karya yang dihadapinya. Sebagai ilustrasi, konon di sinilah
keunggulan HB Jassin. Sejarah membuktikan, Chairil Anwar yang (selamanya) ia
sanjung langsung dikecam begitu menyadari penyair besar itu “mencuri” sajak A
Song of the Sea Hsu Chih-Mo.
Tak heran, di ajang “Kongres Kesenian Indonesia I” tempo hari penyair
kondang Taufiq Ismail mengungkapkan unek-uneknya dengan mengatakan bahwa
semenjak HB Jassin “pensiun” menulis kritik dunia sastra kita merasa sangat
kehilangan. Keadaan itu diperburuk karena beberapa kritikus yang bilangannya
bisa dihitung dengan jari tangan sudah memasuki “masa persiapan pensiun” pula.
Sementara FSUI yang pada masa jayanya punya sebarisan jago seakan dilanda
degenerasi.
Sementara lewat salah satu esainya Darman Moenir secara spesifik
mempertanyakan eksistensi serta regenerasi kritikus sastra di daerah ini: ”...,
adakah atau mungkinkah lahir (lagi) kritikus sastra dan ilmuwan sastra seandal,
sekeras, sehebat dan seproduktif Umar Yunus?”. Dan sehabis mencatat beberapa
nama kritikus sastra papan atas dari ”luar” sana novelis ini pun menulis: ”Dari
Sumatra Barat? Ada Mursal Esten, dulu. Sekarang? Sayup-sayup pernah terdengar
nama Hasanuddin W.S., Ivan Adilla, Adriyetti Amir, M. Yusuf, Atmazaki, Wannofri
Samry, Fadlillah Malin Sutan, Nelson Alwi, Dasril Ahmad, Hermawan”.
Pendek kata, sekian banyak pembicaraan, perdebatan atau kajian menyangkut
keberadaan kritik(us) selama ini selalu menyiratkan keresahan, kekecewaan serta
keprihatinan para pencinta sastra. Mengapa kelahiran maupun kehidupan pengarang
dan karyanya seolah-olah tak terikuti sedikit juga oleh kritik(us) sastra.
Sangat mungkin karena, bak kata orang, pengarang mencipta berdasarkan kekuatan
imajinasinya sedangkan kritikus bicara dengan keluasan (ilmu) pengetahuannya.
Harian Haluan, Minggu, 20
Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar