OLEH Heru Joni Putra
Mahasiswa
Sastra Inggris FIB Unand
Heru Joni Putra dan Agus Hernawan |
Setiap ada tulisan perihal kritik sastra,
tak jarang muncul polemik, baik itu yang mempermasalahkan langkanya kritikus
sastra, karya kritik yang tidak layak,
ataupun yang mempertanyakan peran akademisi sastra sebagai kritikus
sastra.
Setidaknya hal tersebut selalu menjadi bahan
pembicaraan yang tak dapat dihindarkan. Tetapi tetap saja tak ada muncul
kritikus yang diharapkan—(sebenarnya penggunaan kata “diharapkan” di sini pun
agak meragukan bagi saya, karena harapan sastrawan sebagai produsen karya
sering tak sesuai dengan harapan kritikus), sehingga polemik-polemik mengenai
kritik sastra terus berlanjut sampai sekarang dan bahkan merembes ke masalah
lain.
Saya sebagai mahasiswa sastra, tentu saja
secara tidak langsung ikut disebut dalam polemik itu. Ditambah lagi dengan
komentar asal-asalan yang disebutkan oleh seorang teman saya mengenai mengapa
di Fakultas Sastra Universitas Andalas lebih banyak melahirkan penyair atau
cerpenis. Menurut
teman saya itu,
sejatinya Fakultas Sastra melahirkan kritikus sastra. Sejenak saya setuju
dengan komentar teman saya itu, karena memang begitu sejatinya. Tetapi bagi
saya alangkah baiknya bila komentar itu ia tujukan kepada dosen-dosen sastra,
yang mana mereka lebih banyak ilmu dan pengetahuan sastra dibanding mahasiswa. Sementara mahasiswanya belum apa-apa dibanding
dosennya. Meskipun pada beberapa kasus, yang terjadi malah sebaliknya, tetapi
hal ini hanya sebagian kecil. Hanya sebagian kecil.
Dengan tampang prihatin yang dibuat-dibuat,
teman saya itu mengakhiri komentarnya dengan senyuman sinis, sambil menatap
tajam ke mata saya. Saya berani mengatakan bahwa komentar teman saya itu sangat
asal-asalan karena, pertama, ia sepertinya menganggap bahwa yang pantas menjadi
kritikus sastra itu harus berasal dari Fakultas Sastra. Kedua, ia menitikberatkan
komentarnya itu pada mahasiswa sastra, yang mana tidak semua mahasiswa sastra
mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas mengenai kesastraan. Ketiga, ia
sendiri hanya sanggup bicara saja.
Maka, oleh karena itu, bagi saya sebaiknya
lepaskan saja ikatan antara Fakultas Sastra dan kritikus sastra, karena ikatan
ini setidaknya akan memunculkan dua anggapan—yang sering menimbulkan masalah. Pertama,
akademisi sastra adalah kritikus sastra, dan kedua, yang bisa menulis kritik sastra itu cuma yang berasal dari
Fakultas Sastra. Oleh karena itu, di tengah iklim kesastraan yang tidak
kondusif ini, yang paling pantas menjadi kritikus sastra adalah siapapun yang memiliki
kepedulian yang berkelanjutan terhadap kritik sastra! Tak peduli apakah dia
seorang mahasiswa/dosen sastra, sastrawan, tukang fotokopi di Fakultas Sastra, guru
matematika, filsuf, ataupun pacar sastrawan sekalipun.
Meskipun demikian, bukan berarti yang tidak
menulis kritik berarti tidak peduli pada kesastraan, tetapi di sini lebih
ditekankan pada kritik sastra—baik kritik sebagai jembatan antara pengarang dan
pembaca, kritik sebagai karya baru setelah karya asli (criticism as a secondary art), atau pencampuran keduanya.
Dengan melepaskan ikatan ini, barangkali
bisa membuat kita tak perlu lagi mempertanyakan kehadiran Fakultas Sastra di
dunia sastra kita ini, karena belum tentu mahasiswa/dosen sastra punya
perhatian terhadap kritik sastra, manatahu keberadaan mereka di Fakultas Sastra
di luar kepentingan sastra. Kita pun harus mengakui bahwa tidak semua benih
yang ditaburkan yang akan tumbuh jadi kecambah. Barangkali ada yang ditakdirkan
sebegai pelengkap, bahkan perusak. Dan bila kehadiran Fakultas Sastra mana pun
tetap tak mampu memberikan apa-apa terhadap kritik sastra yang memadai—meski
kata “memadai” sering bergeser-geser kepentingan, pun tak ada masalahnya,
karena memang belum ada jaminan yang berani untuk itu.
Dan satu hal lagi, bila kita kembali lagi
pada salah satu masalah yang sering dipolemikkan tadi, kelangkaan kritikus
sastra. Saya merasa satu hal yang
menjadi penyebabnya adalah masih banyak penulis muda yang mengkritik karya
sastra kemampuan lisannya lebih fasih daripada kemampuan tulisannya. Akibatnya,
kritik yang dihasilkan hanya bisa didengar orang-orang yang dekat dengannya.
Alangkah baiknya bila ia menuliskannya dan dibaca bagi semua orang, sehingga
bisa dibicarakan dalam konteks yang lebih luas. Tetapi biarpun begitu, dalam
hal mengkritik, mengomentari, harus ada alasan yang mendukung, bukan sekadar
argumen-argumen yang tak bertanggung jawab atau puji-pujian yang tak
berkeruncingan seperti yang sering terlihat di jejaring sosial, facebook.
Belajar dari Darman Moenir
Untuk hal ini, kita—terutama saya dan teman
saya para penulis muda—harus belajar dari tulisan seorang penulis novel, Darman
Moenir (Harian Haluan, Minggu 23
Januari 2011).
Satu hal yang harus dicontoh dari tulisan
Darman itu adalah kehebatannya menangkap dan memuncul isu-isu yang sangat
berguna bagi perkembangan kesastraan, khususnya di Sumatra Barat. Darman berani
mengatakan bahwa dalam 30 tahun belakangan ini tak ada novel bermutu dari
Sumatra Barat. Bagi saya, isu ini sangat menggairahkan. Tetapi sayang sekali,
isu tersebut tidak dibarengi dengan alasan-alasan yang kuat dan jelas. Ia hanya
bilang sampai di situ saja. Dalam hal ini, tentu saja, sangat tidak baik bagi
kelangsungan kritik sastra kita. Darman tak berani (atau tak mampu?) mempertanggungjawabkan
komentar yang dibuatnya itu.
Tetapi lagi-lagi, tulisan ke-dua Darman
Moenir (Harian Haluan, Minggu 27
Maret 2011) yang berjudul Menulis Novel
adalah “Kerja” Kreatif! tidak
memuncul pemikiran Darman sedikitpun. Dalam tulisannya itu, ia hanya sibuk
menyebutkan daftar nama karya dan pengarang terkenal, baik dari Indonesia
ataupun luar negeri, yang untuk zaman kini, sangat mudah ditemukan di internet.
Di paragraf akhir tulisannya, Darman mengucapkan terimakasih atas banyaknya
tanggapan atas tulisannya yang pertama. Lagi-lagi harapan saya agar Darman menuliskan pemikirannya tentang
mengapa 30 tahun terakhir tak ada novel bermutu di Sumatra Barat dan bagaimana
kehebatan novel Persiden tersebut
tidak saya temukan. Tetapi tentu saja saya masih berharap ia akan melakukan itu
dengan baik.
Sepertinya menjadi orang-orang yang memiliki
kepedulian yang berkelanjutan terhadap telaah sastra yang saya sebut tadi
sebagai pihak yang pantas menjadi kritikus sastra, memang tidak semudah
membalik telapak tangan. Sejenak kita lepaskan tanggung jawab tersebut kepada
generasi yang lebih dulu bergelimang di dunia sastra. Kita coba bergerak ke
generasi yang lebih muda, yang rata-rata seumuran dengan saya.
Di tengah tingginya minat menjadi penulis
saat ini—terutama di Sumbar, hampir seluruhnya memilih menjadi penulis cerpen
atau puisi. Meski tak salah, tetapi sayangnya, pada beberapa orang yang kerap
saya perhatikan, kemampuan menulis mereka bercampur dengan niat untuk
gagah-gagahan. Tak ada usaha untuk memperlebar diri setidaknya untuk menulis esai
sastra, agar pikiran-pikiran mereka pun bisa dibaca orang banyak dan bukan sekadar
celotehan ataupun status fesbuk belaka.
Meski hanya beberapa orang saja yang saya
perhatikan, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi pada penulis (muda)
lainnya. Kalau hanya untuk menulis puisi, atau cerpen saja, saya rasa banyak
orang yang hebat. Betapa indahnya bila penyair dan cerpenis tak hanya menulis
puisi. Bilamana pun ada yang berniat meniru Socrates, filsuf yang tak menulis
sepatah kata pun itu, tetapi saya pikir sudah kedaluwarsa, karena toh Socrates lebih dahulu, lagi pula dia
punya murid cerdas yang mencatat pemikirannya, Plato.
Tantangan
Dari tulisan saya di atas tadi saya
simpulkan sendiri, ternyata menulis kritik sastra itu sangat sulit.
Masalah-masalah yang menjadi beban berat bagi kritik(us) sastra, setidaknya
bisa kita lihat bersama, terutama pada kasus-kasus yang saya sebutkan di atas.
Untuk menulis kritik sastra ternyata pertama kali harus mempunyai kepedulian
yang berkelanjutan terhadap sastra dan kritik sastra, mesti mempunyai keluasan
ilmu pengetahuan, harus berani memunculkan gagasan baru, harus mampu
mempertanggungjawabkan argumen, harus ini harus itu, dan masih banyak
lagi. Tetapi tentu saja tidak harus dari
Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya). Dan pertanyaan yang paling
penting, siapa yang berani seperti itu? Apakah ada yang berani membalas tulisan
saya ini dengan tidak memperumit masalah, melainkan langsung menulis ulasan
sastra? Kita lihat saja minggu depan.
Harian Haluan, Minggu, 13 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar