OLEH Muhammad Subhan
Penikmat
Sastra, Bergiat di Komunitas Sastra Rumah
Kabut Padang
Panjang
TULISAN Darman Moenir berjudul “30 Tahun Terakhir Tak Ada
Novel Bermutu dari Sumatra Barat” (Harian Haluan,
Minggu, 23 Januari 2011) memicu polemik di koran ini. Respons pertama muncul
dari Devy Kurnia Alamsyah yang mengaku bukan sastrawan di dalam tulisannya
berjudul “Arogansi Sastra Kanon” (Haluan,
Minggu, 30 Januari 2011). Disusul tulisan Sudarmoko pekan lalu berjudul
“Sedikit Gambaran Sastra Indonesia di Sumatra Barat, Tanggapan Terhadap Tulisan
Darman Moenir dan Devy Kurnia Alamsyah” (Haluan,
Minggu, 6 Februari 2011), serta tulisan Elly Delfia, Dosen Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang di hari yang sama berjudul “Bahasa Cermin
Kebermutuan Karya Sastra dan Pengarang”.
Tulisan-tulisan itu sangat menarik, menurut hemat saya.
Dan, koran Haluan membuka ruang
selebar-lebarnya bagi polemik itu yang seolah membangunkan “harimau tidur” kritikus
sastra Sumatra Barat yang beberapa dekade terakhir nyaris hilang dari
koran-koran terbitan Padang. Ruang-ruang sastra di koran-koran terbitan Padang tahun-tahun
sebelumnya terasa “hambar” tanpa perdebatan (polemik). Karya sastra yang muncul
pekan esoknya seolah hilang begitu saja tanpa diperbincangkan sehingga
pengarangnya tidak memperhatikan lagi soal bermutu tidaknya karya itu, asal
terbit saja di koran, sudah baiklah itu menurut mereka.
Sebagai penikmat sastra saya memberikan apresiasi kepada
koran Haluan yang membuka ruang
polemik sehingga setiap pekannya para penikmat sastra dapat mengikuti
perbincangan yang menarik terkait suatu topik. Polemik dalam artian sehat
tentunya, berbicara substansi persoalan bukan menyudutkan individu pengarang
tertentu, karena itu tidak mencerminkan kedewasaan berpikir. Polemik itu pun
dapat menjadi bahan pembelajaran bagi calon-calon sastrawan muda asal Sumatra
Barat yang saya kira setiap tahunnya bermunculan dan produktif berkarya.
Menimbang tulisan Darman Moenir soal tidak adanya novel
bermutu yang lahir 30 tahun terakhir di Sumatra Barat sangat menarik
didiskusikan dengan pertanyaan penting apa ukuran bermutu tidaknya suatu karya
sastra (novel)—pertanyaan yang sama juga diajukan Sudarmoko dalam tulisan
sebelumnya. Dan, apakah alasan Darman Moenir menyebut demikian lantaran novel Persiden karya Wisran Hadi menang Sayembara
Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang digelar tahun 2010, lalu ditarik
waktu ke belakang (30 tahun silam) novel berjudul Bako karya Darman Moenir juga menang dalam sayembara yang sama?
Sementara di tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi pengarang novel asal Sumatra
Barat yang menang Sayembara Menulis Novel DKJ?
Bila itu ukurannya sangatlah tidak arif saya kira. Bukankah
novel-novel yang menang sayembara itu “hanya bermutu” di mata 3-4 orang juri
saja? Apa pula pendapat masyarakat yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan terhadap
novel-novel yang menang itu bila dilempar ke pasar? Cukup lakukah dibeli, booming, diperbincangkan di kelas-kelas
sastra di sekolah dan ruang kuliah, dibedah di forum-forum diskusi dan seminar,
atau hanya cukup menjadi pajangan di rak-rak toko buku sementara si pemilik
toko mengeluh bahwa novel-novel itu belum disentuh pembeli?
Darman Moenir juga menutup mata akan eksistensi pengarang-pengarang
asal Sumatra Barat lainnya yang bergelut di dunia kepengarangan dan mendapat
tempat di tengah masyarakat pembaca sastra Indonesia. Sebutlah di antaranya
sastrawan muda asal Maninjau Agam, Ahmad Fuadi yang melambung namanya berkat novel
Negeri Lima Menara yang dicetak
puluhan ribu copy bahkan novel itu akan dilayarlebarkan. Beberapa nama
pengarang lainnya asal Sumatra Barat juga sudah disinggung oleh penulis-penulis
sebelumnya yang karya mereka juga mendapat tempat di tengah masyarakat, serta
memberi warna baru. Sayangnya mereka enggan mengikuti sayembara, atau saja juri
luput memilih karya mereka sebagai karya yang digolongkan sebagai karya bermutu.
Soal kebermutuan karya sastra saya cenderung sepakat seperti
apa yang diungkap Elly Delfia bahwa yang paling pantas memberi penilaian
terhadap karya sastra bermutu hanyalah masyarakat pembaca, bukan individu (persona) penulis sendiri, atau bukan
pula juri suatu sayembara. Ketika novel Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata booming
di pasaran banyak muncul polemik di media massa tentang bermutu tidaknya novel
itu. Tapi pembaca tetap memburu Laskar
Pelangi, menjadi rujukan di ruang-ruang kelas bahasa dan sastra di SMA,
bahkan menjadi bahan skripsi oleh banyak mahasiswa jurusan sastra di perguruan-perguruan
tinggi. Padahal Andera Hirata adalah pengarang muda yang baru muncul di pentas
sastra Indonesia. Bukankah ini membuktikan bahwa masyarakat pembaca adalah raja
yang menentukan bermutu tidaknya karya sastra yang menjadi bacaan mereka?
Saya kira, di dunia kepengarangan tidaklah ada unsur senioritas.
Selama si pengarang berkarya dan karyanya itu mendapat apresiasi pembaca, selama
itu pula mutu karyanya ditentukan. Di dunia jurnalis wartawan senior Rosihan
Anwar pernah berujar, “Sekali wartawan tidak menulis dia akan dilupakan orang”.
Ungkapan ini saya kira berlaku pula dalam dunia karang mengarang (sastra).
Eksistensi, kreativitas, dan berkarya secara terus menerus akan membuktikan mutu
karya seorang pengarang. Apalagi setelah masyarakat pembaca menyambut karya itu
dan selalu merindukan karya-karya baru lahir dari tangan si pengarang.
Jadi, biarkanlah pembaca yang menjadi hakim. Kalimat ini
saya kutip dari ucapan Buya Hamka di dalam Buku “Kenang-Kenangan Hidup” (Bulan
Bintang, Jakarta, 1951) ketika sejumlah orang menyebut syair-syair yang ditulis
Hamka telah kolot dan ketinggalan jaman: “…syair-syair tuan ini telah kolot,
telah ditinggalkan zaman. Sekarang orang menghendaki syair yang realist, jangan
terlalu ngelamun dan harus membayangkan hidup baru…” Dengan senyum Hamka
menjawab, “…Syair adalah rasa. Saya merasa lalu saya tulis dan saya syiarkan.
Biarlah pembaca yang jadi hakim. Yang disebut angkatan baru atau angkatan 45
atau angkatan 50 atau yang tua dari itu, yang muda dari itu, belumlah ketetapan
yang pasti. Semua berkembang…”
Dijawab Hamka lagi, “…Kesusasteraan asli, bukanlah yang
ditonjol-tonjolkan oleh propaganda! Adapun katamu bahwa sekarang mesti realist,
maka saya berpendapat bahwasanya selama dunia berkembang, orang tidak jadi
realist saja, atau idealist saja. Keduanya mesti ada. Biarkan orang tumbuh
menurut alamnya…”
Demikianlah Hamka, sebuah jawaban yang bijak saya kira. Pembacalah
hakim dari apa yang mereka baca. Bila karya itu bagus menurut pembaca, maka
karya itu akan mengalami cetak ulang berkali-kali, terus diperbincangkan
sepanjang masa, meski pengarangnya sendiri telah tiada. Dan, novel-novel
pemenang sayembara, menurut hemat saya adalah novel-novel yang menang oleh “propaganda”
para juri di dalam lembaga-lembaga kesenian yang menggelar sayembara itu. Sudah
menjadi rahasia umum di dunia perlombaan, bahwa suatu naskah lomba yang
diunggulkan juri adalah menurut apa yang “dimau” juri. Sebab disitulah letak
bermutu tidaknya suatu karya di mata juri. Bukan menurut pembaca, karena
pembaca tidak diikutkan dalam penjurian itu.
Bila dugaan saya ini salah, marilah kita uji karya-karya
sastra yang telah diunggulkan para juri suatu sayembara dan memperoleh sejumlah
hadiah atas kemenangannya itu. Kita lihat nanti, setelah novel-novel tersebut terbit
dan beredar luas di pasar, cukupkah mendapat tempat di hati masyarakat pembaca
atau tidak sama sekali.
Namun, sebagai penikmat sastra yang berdomisili di Sumatra
Barat, saya tetap angkat topi kepada pengarang-pengarang asal Ranah Minang yang
sangat produktif berkarya, selalu mendapat tempat terbaik dalam setiap kegiatan
lomba dan sayembara mengarang, baik tingkat lokal dan nasional. Ini membuktikan
bahwa pengarang-pengarang Sumatra Barat tetap diunggulkan, namun bukanlah sebab
individu si pengarang tapi memang karyanya itulah yang bermutu. Mudah-mudahan
tetap bermutu di mata pembaca nantinya, bukan semata bermutu di mata juri yang
3-4 orang saja.
Harian Haluan,
Minggu, 13 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar