OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Deddy Arsya |
Tujuh gelombang rombongan (semuanya
laki-laki) secara bergantian telah naik dan turun dari rumah tempat perhelatan
dilangsungkan. Sebentar tadi, masih tinggal dalam pandangan, sebelum rombongan-rombongan
undangan dapat menyantap hidangan, mereka harus ‘melayani’ tuan rumah berbalas
pantun. Mulanya masing-masing pihak memberi penghormatan dengan kalimat-kalimat
berkias yang panjang, menyampaikan maksud kedatangan dan maksud undangan, dan
seterusnya. Setelah makan, untuk dapat turun dari rumah itu, rombongan undangan
pun mesti minta izin kepada tuan rumah, dengan kalimat-kalimat yang metaforik
pula tentu saja. Berbalas pantun yang bisa lama bisa sebentar, tergantung
kemahiran kedua belah pihak ber-retorika. Dan kini acara pantun-memantun itu
telah usai setelah rombangan ketujuh.
“Masih ada yang akan datang?”
“Habis, Ngku!” suara janang setelah menyumbulkan
kepalanya keluar.
Angku Datuk menghela napas, terlihat lelah,
di atas sehelai tikar pandan yang memang disediakan dan dikhususkan untuknya. Dan
malam itu, tugasnya sebagai penghulu kaum telah selesai ia laksanakan, dari
awal peminangan sampai ke puncak perhelatan alek adat. Besok, yang tersisa hanya
pesta orang kota, pesta gaya Eropa, yang tidak perlu sembah-menyembah, pantun-memantun,
sehingga tak perlu pengerahan datuk. Tidak perlu pula pengerahan para semenda
untuk menjadi janang, sebagai tukang hidang. Besok, para tamu atau undangan
boleh mengambil sendiri makanan yang disukainya di meja prasmanan. Mereka
bahkan boleh makan sambil berdiri.
Kini, Angku Datuk ingin pulang. Malam telah
jauh larut.
Tapi di luar, di halaman rumah itu, pesta
lain masih baru akan dimulai. Dari belakang panggung yang dibuat pemuda dusun
itu siang tadi, tiga orang perempuan dengan baju berdada rendah, bahu dan
ketiak terbuka, dan rok pendek satu jengkal di atas lutut, melangkah siap untuk
beraksi. Lalu, di atas panggung, mereka bergoyang setengah telanjang diiringi
musik yang semakin keras menghentak.Tak peduli udara malam yang dingin bisa membikin
mereka masuk angin bisa dikura.
Acara berbalas pantun baru saja selesai di
dalam sana; para undangan ‘alek
laki-laki’ itu telah pada bubar. Sementara di luar sini, organ tunggal yang menghadirkan para penyanyi perempuan—yang
tidak hanya pandai bernyanyi itu tetapi juga hebat bergoyang—mulai berdenyut
hidup. Dan pemuda dusun, sekitar tiga
atau empat orang, ikut naik ke atas panggung, ikut bergoyang, mengiringi
penyanyi organ yang telah lebih dulu meliuk-liuk. Tubuh mereka—yang mungkin
kemenakan Sang Datuk bisa juga bukan—saling bergesekan dengan perempuan
penyanyi. Betapa kontras terasa. Beberapa jam sebelumnya, di dalam rumah
gadang, para datuk masih berbicara dengan kalimat bersesamping,
metaforik, dan bersajak. Kini, beberapa menit kemudian, di luaran, giliran penyanyi
organ tunggal menyanyikan lagu Mandi Madu dengan lirik-lirik telanjang
bulat sambil meliuk-liukkan tubuhnya seperti ular, memperagakan posisi bercinta
nomor sekian. Aku diciumnya/aku dipeluknya// Tercapailah segala/hasrat di
jiwa ini//dst…. Beberapa saat kemudian pula, giliran penyanyi laki-laki
membawakan lagu yang mengutuk ibunya sendiri: Wanita racun dunia!
Jauh-jauh hari, Angku Datuk sesungguhnya pernah
mengusulkan untuk membawa Hasan Basri, perabab yang terkenal itu, dari Padang
sebagai pengisi hiburan pada malam perhelatan. Tapi para kemenakan ngotot tak
setuju. “Rabab dan dendang bikin ngantuk, Ngku!” Maka akhirnya organ tunggal
yang diundang. Angku Datuk bisa jadi akan tersinggung mendengar pernyataan kemenakannya
itu. Dan kini, ketika dia melihat pemandangan di halaman rumah gadang kaumnya,
dia bisa jadi juga akan memburangsang. Tapi malam itu saya hanya melihatnya
pulang meninggalkan rumah kemenakan. Saya melihat punggungnya membelakangi
lampu-lampu organ tunggal yang semakin menyalak merah, hijau, biru, di halaman
rumah; membelakangi pemuda-pemuda dusun yang semakin ramai berdatangan bahkan
dari dusun tetangga. Benar juga kata kemenakannya: “tak ada orgen tak ramai!”.
Mungkin sang datuk akan menerimanya sebagai kecendrunan zaman yang tak dapat
dielakkan.
Para penghulu boleh meradang. Di mimbar, para
alim boleh berang. Para pemerhati budaya boleh berkata: “betapa kehilangan akar
kultural generasi kita sekarang.” Tapi apa mau dikata, yang datang dari luar (yang
acap dianggap buruk dan membahayakan terhadap hal-hal mapan yang ada di dalam)
tak dapat ‘dibunuh’ dengan gampang. Maka, harus bagaimana mengharmonisasikan
antara: modernisasi yang sering salah kaprah namun dibutuhkan zaman ini di satu
sisi dan di sisi lain kearifan lokal yang gilang-gemilang namun tak lagi laku bagi
generasi sekarang? Persoalan klasik memang.
Mao Zedong di empat dasarwarsa awal abad
ke-20 sudah pernah mencobakan revolusi kebudayaan di China. Pemimpin besar
revolusi itu memberi cap kebudayaan ultra-kanan, kontra-revolusi, sesuatu yang
harus diganyang, kepada setiap nilai-nilai kultural dari negara asing yang
masuk ke negeri itu. Bacaan asing tidak boleh masuk, televisi yang akan
menebarkan ‘virus’ budaya asing disensor dengan ketat, kesenian ngak-ngik-nguk
dilarang (seperti juga Soekarno pernah memenjarakan Koes Bersaudara di tahun
yang berdekatan karena menyanyikan lagu-lagu beraliran asing).
“Hidupkan budaya nasional, bangun budaya rakyat
yang revolusioner!” begitu pekik kamerad-kamerad sosialis masa itu. Maka
kesenian China lama dihidupkan dengan sisispan ide-ide revolusioner. Sastra lama
Tiongkok diajarkan di sekolah dasar hingga menengah sebagai pelajaran wajib. (Apa
yang juga pernah coba dilakukan Lekra di Indonesia: wayang dipopulerkan,
ronggeng dinaikkan derajatnya setinggi mungkin, sementara piringan hitam The
Beatles dan film-film Amerika dibakar di mana-mana, yang ‘kebudayaan kita’ dibentar-benturkan
dengan ‘budaya neo-imperialis’).
Namun, pasca-Mao lihatlah apa yang terjadi di
China, justru, Negeri Tirai Bambu itu tak dapat menolak yang ‘luar’ dan ‘asing’
terus-menerus. Kini China berkembang menjadi negara yang lebih terbuka, dan
kapitalis. Di Indonesia, Lekra tampaknya juga tidak berhasil. Setelah Orde Lama
runtuh, film-film Amerika menembus pasar perfilman kita dengan hebat. Disco,
Tango, Rock ‘n Roll, dan aliran musik asing lain (yang dulu disebut musik ngak
ngik nguk itu) dinyanyikan beramai-ramai pemuda-pemuda kita setelahnya.
Jika revolusi kebudayaan tidak mungkin, apakah
barangkali kita bisa menyerahkannya pada evolusi-fungsi? Bahwa yang
berfungsilah yang akan bertahan, tetap tinggal sebagai pemenang. Dan yang tidak
berfungsi akan hilang lenyap perlahan-lahan dengan sendirinya ditelan zaman. Sebab,
yang bergunalah yang akan tetap dipertahankan. Dalam artian, mungkin seni
tradisi kita ditatap lesu dalam suatu waktu tertentu—seperti sekarang.
Namun di waktu lain barangkali orang-orang
akan mencintai talempong lagi dan mau mendengarkan rabab tanpa mengantuk;
mencintai kata-kata berkias-metaforik lagi dan bosan dengan kalimat-kalimat
telanjang. Atau muncul re-kreasi hasil ‘sintesa’ antara yang ‘di dalam’ dan
yang datang ‘dari luar’ itu, antara yang lama dan yang baru itu.
Kalau memang begitu, maka kita tampaknya
tidak perlu terlalu mengkhawatirkan seni tradisi atau nilai-nilai tradisional
lain akan hilang. Bergerak saja untuk mencipta. Pupuk saja kreativitas,
lahirkan saja sebanyak mungkin para kreator. Sebab tidakkah setiap zaman punya
kebudayaannya sendiri, hasil cipta-karsanya sendiri, yang juga tidak akan lepas
begitu saja dari akar-kulturalnya selama kreatornya hidup di dalam sebuah
masyarakat? Sebab hilang atau bertahan sesuatu, evolusi-fungsi yang akan
menentukan, zaman yang memutuskan, bukan?
Maka pertempuran dalam ruang tradisi kita sesungguhnya adalah
pertempuran memperebutkan ‘guna’, memperebutkan ‘fungsi’ dalam setiap zaman.
Tetapi tidakkah itu juga mengandung isyarat
menyerah? Sebab nilai, guna, fungsi, juga hasil bentukan, tidak terbentuk
dengan sendirinya, bukan? Entahlah. Baik kita jawab sendiri.
Padang, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar