OLEH Anas Nafis
Pengantar
Pada
tahun 1945, di Bukit Tinggi ada seorang dokter wanita pribumi. Orang
menyebutnya Dokter M. Thomas. Di jaman penjajahan Belanda dulu, selain sebagai
dokter, ia juga duduk sebagai pengurus S.K.I.S. (Serikat Kaum Ibu Sumatera).
Barangkali ia satu-satunya kaum perempuan yang mengecap pendidikan tinggi di
jaman penjajahan dulu.
Sekarang tahun 2005, jadi enam puluh tahun
kemudian, situasi sudah jauh berbeda. Entah sudah berapa ratus atau mungkin juga
ribuan kaum perempuan yang meraih gelar kesarjanaan.
Konon kabarnya yang professor dalam berbagai
disiplin ilmu hampir dua puluh orang, diantaranya Prof. DR. Zesfin BP, Prof. DR. Hayati Nizar dan lain-lain. Dekan Fakultas Sastra Unand ialah ibu Yet (Adriyeti
Amir) atau Dra. Usria Dravita (Ibu Ita) adalah Kepala Museum Adhityawarman dan
lain sebagainya. Bahkan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat dijabat pula
oleh seorang wanita asal Kapau.
Tampak kepada kita, kalau sebelum Perang Dunia II
sampai tahun 1950 dulu hanya Dr. M. Thomas yang bergelar sarjana (dokter), kini
dalam kurun waktu enam puluh tahun Kemerdekaan negeri ini, kalau tidak ratusan
barangkali sudah ribuan sarjana perempuan telah dilahirkan daerah ini (baca
Sumatera Barat).
Boleh dikatakan dalam meraih berbagai kemajuan tersebut,
hampir tidak terdengar tuntutan HAM maupun JENDER. Semua bergulir secara wajar saja. Luar biasa !
Mosi S.M Latif Cs
Demikian
juga di jaman penjajahan dulu seperti menjelang berkecamuk Perang Dunia Kedua,
buat pertama kali Pemerintah Belanda membentuk dewan-dewan di berbagai
keresidenan pulau Sumatera, seperti di Keresidenan Palembang, Tanah Batak
(Tapanuli), Minangkabau dan sebagainya. Untuk Residensi Sumatera Barat disebut
Dewan Minangkabau atau Minangkabauraad. Dewan ini didirikan berdasarkan
Staatsblad No. 132 – 1938 dan ditetapkan berfungsinya terhitung tanggal 1 Juli
1938.
Anggota Dewan Minangkabau ini berjumlah 49 orang yang
terdiri dari 9 orang Eropah, 2 orang Cina dan 38 orang dari kalangan Bumi Putra.
Dari 38 orang Bumi Putra itu sebagian besar (26 orang) berasal dari kalangan
atau pegawai Gubernemen. Voorzitter (Ketua) Dewan ialah Residen Sumatera Barat,
ketika itu dijabat oleh Tuan G.A. Bosselaar, sedangkan Sekretaris Dewan ialah
M. Rusad gelar Datuk Perpatih Baringek.
Pada awal
tahun 1939 anggota Dewan Minangkabau S.M. Latif, Tjoa Sin Soe dan Datuk Sakoto mengajukan mosi, agar dalam Dewan Minangkabau
yang baru dibentuk itu duduk pula wakil kaum perempuan. Tegasnya, kepada mereka
diberikan pula passief kiesrecht (hak dipilih).
Melihat
gelagat sebagian besar anggota dewan saat itu bakal menyetujui mosi tersebut,
Presiden Majelis tidak menyerahkan nasib mosi tersebut kepada dewan, akan
tetapi mengirimnya ke stedelijke (kota) dan onderafdeelings-commissies
(komisi-komisi di onderafdeeling – distrik / setingkat kecamatan) untuk
dipertimbangkan atau diselidiki lebih jauh.
Tindakan
Residen tersebut dapat diartikan, jika mosi tersebut langsung dibicarakan
Dewan, dipastikan hari itu juga akan diterima baik oleh sebagian besar anggota
dewan. Dampaknya bukan hanya untuk kepentingan Sumatra’s Westkust (Sumatera
Barat) semata, akan tetapi akan diikuti pula oleh dewan-dewan lain di seluruh
Sumatera, seperti Palembang, Batak dsb. Demikian juga jika undang-undang untuk
Minangkabau dirubah, sudah barang tentu perubahan tersebut akan membuka peluang
pula untuk hal yang sama bagi kawasan lain.
Jadi mosi
yang diajukan S.M. Latif dapat dianggap sebagai perintis jalan kepada
majelis-majelis di daerah lain.
Masa itu
sebagian besar masyarakat berpendapat, orang perempuan itu tempatnya di dapur,
memelihara anak-anak, menyenangkan kaum bapak. Kalau perempuan dijadikan lid
(anggota) dewan, otak mereka tidak sama dengan laki-laki yang lebih pintar.
Lagipula seorang perempuan berkumpul-kumpul dengan banyak laki-laki seperti
dalam dewan, dilarang oleh adat dan agama. Konon pula sampai berhari-hari
meninggalkan rumah. Demikian juga jika seorang perempuan disekolahkan
tinggi-tinggi, nantinya akan dijadikan nyai oleh Belanda dsb.
Jaman itu suara
kaum perempuan tidak pernah didengar secara langsung di Kerapatan Nagari,
karena telah diwakili ninik mamak mereka sendiri.
Masa itu orang
perempuan hanya didengar dalam rapat kaum belaka, yakni di Rumah Gadang di
bawah pimpinan penghulu, mamak kepala waris atau tungganainya.
Dari sini
kita dapat menarik kesimpulan bahwa, sudah sejak lama “Demokrasi Minangkabau” merupakan
“Demokrasi Minus Kaum Perempuan”.
Sebenarnya
mosi tersebut cukup kuat dan jelas, tidak akan banyak mendapat halangan dari anggota
dewan yang berseberangan. Lagi pula perkumpulan-perkumpulan kaum perempuan
sudah sejak lama menyuarakan
secara nyaring agar golongan mereka diwakili pula dalam
dewan seperti Volksraad di Batavia.
Misalnya
S.K.I.S (Serikat Kaum Ibu Sumatera) yang telah memperoleh Rechtspersoon (badan
hukum) dari Pemerintah Belanda.pada tahun 1931, tiada henti-hentinya berjuang
untuk mendapatkan hak dipilih dan memilih bagi kaum perempuan dalam dewan-dewan
yang telah ada masa itu.
Ironisnya S.K.I.S yang getol memperjuangkan nasib kaum perempuan, ketika
diundang oleh organisasi perempuan negara-negara timur untuk hadir dalam
konperensi yang diselenggarakan di India, S.K.I.S tidak dapat mengirimkan
wakilnya, karena tidak bakal ada ibu, bapak maupun suami yang mau mengizinkan
putri atau isterinya bepergian sejauh itu, karena hal seperti itu amat janggal
menurut adat dan agama.
Sebetulnya mosi itu tidak bertentangan dengan undang-undang
pemerintah. Lagi pula di Surabaya, Bandung dan Semarang sudah ada seorang
perempuan Indonesia duduk sebagai anggota dewan. Demikian juga di Volksraad
Batavia, kaum perempuan diwakili oleh dua orang perempuan Belanda.
Lalu mengapa Ketua Dewan (baca juga Residen)
melemparkan masalah ini ketingkat yang lebih rendah yaitu kepada komisi-komisi
di Onderafdeeling dan kota.
Sebagai Residen, G.A. Bosselaar tahu persis bahwa
pada tingkat ini anggota yang duduk dalam komisi-komisi di berbagai daerah itu,
pasti akan menolak mosi yang disuarakan ketiga anggota Dewan di atas, sebab
seperti biasanya komisi-komisi itu terdiri dari berbagai unsur yang berkembang
dalam masyarakat seperti para ninik mamak, alim-ulama dan cerdik pandai.
Pemerintah tidak mau mengundang masalah, apalagi
situasi di Eropah masa itu sedang genting-gentingnya menghadapi serangan Jerman.
Ditolak Komisi-komisi
Berikut
disampaikan alasan penolakan para anggota komisi di tingkat onderafdeeling dan
kota mengenai usulan keikutsertaan kaum perempuan dalam Dewan Minangkabauraad
(Dewan Minangkabau).
Disalinkan seutuhnya dengan maksud agar pembaca
mengetahui bagaimana pandangan sebagian besar masyarakat masa itu mengenai kaum
perempuan.
Komisi Kota Sawahlunto, anggota 9 orang, hadir 9 orang. Tidak setuju 7 orang. Alasan, dalam Kerapatan Adat belum pernah terdengar kaum perempuan ikut
bermufakat. Buat sementara belum ada kenyataan hajat kaum perempuan boleh
dipilih menjadi anggota Dewan Minangkabau. Komisi tidak
berkeberatan jika tingkatan yang membuat undang-undang memberi kemungkinan
untuk mengangkat perempuan terkemuka menjadi anggota Dewan Minangkabau.
Komisi
Onderafdeeling Padang. Anggota 13 orang, hadir 13 orang. Tidak setuju dengan
mosi tersebut, sebab berlawanan dengan adat dan agama.
Komisi
Onderafdeeling Painan. Anggota 15 orang, hadir 14 orang. 9 orang tidak setuju,
alasan 1) Tidak ada hajat. Kalau sekiranya ada hajat, tentu
ada suara dari pihak perkumpulan kaum perempuan menyatakan persetujuannya, 2) Perempuan terpelajar masih sedikit, 3) Dewan
Minangkabau masih baru, sehingga belum patut dipikirkan menambah banyak anggota
untuk kaum perempuan, 4) Belum ada lagi
kepentingan kaum perempuan yang hanya dapat diselenggarakan oleh perempuan
semata-mata, 5) Orang kurang
senang melihat kaum perempuan bergaul dengan laki-laki. 2 orang yang setuju, alasan: Telah datang masanya
mengangkat kaum perempuan menjadi anggota Dewan Minangkabau.
Komisi
Onderafdeeling Kerinci / Indrapura. 14 anggota, hadir 14 orang. 9 orang tidak
setuju. Alasan, berlawanan dengan adat dan agama. 5 orang setuju. Alasan, zaman
telah berubah.
Komisi
Onderafdeeling M. Siberut. Anggota 4 orang, semua tidak setuju dan tidak perlu.
Komisi
Onderafdeeling Batipuh X Koto. Anggota 11 orang, semua tidak setuju. Alasan, di
Minangkabau kedudukan kaum perempuan masih sedikit. Tidak ada perkumpulan-perkumpulan kaum
perempuan yang berarti sekira-kira yang kepentingannya patut diusahakan dalam
Dewan Minangkabau oleh seorang atau dua orang anggota perempuan. Oleh sebab itu
belumlah tiba masanya membolehkan kaum perempuan dipilih menjadi anggota Dewan
Minangkabau.
Komisi Onderafdeeling Pariaman. Anggota 22 orang, semua menolak. Dengan suara
bulat dan dengan tiada batasnya berpendapat bahwa tiada sedikit juga dirasai
keperluannya mengadakan perwakilan kaum perempuan dalam Dewan Minangkabau.
Demikian juga menolak mosi itu dengan tegas secara principieel (azas).
Komisi
Onderafdeeling Batu Sangkar. Anggota 19 orang, 7 orang tidak setuju dan 12
orang setuju. Yang tidak setuju. Keberatan berhubung dengan agama.
a.
Keberatan berhubung dengan
adat.
b.
Orang kuatir kalau
pikiran-pikiran baru berlaku juga untuk perempuan, maka rusaklah
sendi-sendi pergaulan hidup di sini.
Alasan yang setuju: Zaman kemajuan sekarang menghendaki kaum laki-laki berpendirian lapang
terhadap kaum perempuan. Dengan beradanya
kaum perempuan dalam tubuh perwakilan, maka adalah harapan pembicaraan dalam
soal-soal sosial akan lebih berfaedah, apabila didengar pula buah pikiran kaum
perempuan.
Tetapi mereka
yang setuju itu menginginkan agar jumlah anggota dewan yang laki-laki
dipertahankan tetap seperti sekarang, jangan dikurangi.
Komisi Onderafdeeling Agam Tuo. Anggota 20 orang, hadir 18 orang. Tidak setuju 14 orang. Alasan, berlawanan dengan
adat, karena laki-laki tidak boleh membicarakan urusan pemerintahan dan bersoal
jawab di depan umum dengan perempuan. 4 orang yang
setuju, alasannya karena kehendak jaman.
Komisi
Onderafdeeling Maninjau. Anggota 11 orang, semuanya menolak. Baik menurut adat
maupun syarak laki-laki dan perempuan hanya boleh sama-sama duduk berapat kalau
terpaksa oleh keadaan yang nyata yang tidak dapat dihindarkan.
Keadaan yang
memaksa seperti itu menurut timbangan anggota komisi tidak dapat dikatakan ada.
Karena
itu mosi ditolak untuk masa sekarang. Tetapi penolakan itu tiadalah mengandung
ketentuan bahwa keadaan yang memaksa itu, berhubung makin bertambahnya kemajuan
masyarakat akan tak kedapatan selama-lamanya.
Komisi Onderafdeeling Lubuk Sikaping. Anggota 11 orang. Hadir 10 orang. 7 orang tidak setuju. Alasannya, tidak perlu, karena
berlawanan dengan kedudukan perempuan dalam pergaulan. Menurut adat dan syarak,
tiada layak seorang perempuan beberapa hari berturut-turut bermalam di luar
tempat kediamannya dan selama itu bergaul dengan laki-laki. 3 orang yang setuju, alasannya karena hajat itu telah umum
dirasai.
Komisi Onderafdeeling Ophir. Anggota 11 orang, hadir 11 orang. 10 orang tidak setuju. Alasannya, tidak perlu karena
berlawanan dengan Adat Minangkabau dan agama Islam. 1 orang setuju. Alasannya, Dewan Minangkabau hendaklah mengambil teladan
kepada tubuh-tubuh perwakilan yang lain.
Komisi Onderafdeeling Payakumbuh. Anggota 15 orang, hadir 15 orang. Semua enolak.
Tetapi disebalik itu kalau sekiranya di tempat-tempat lain atau di masa yang
akan datang hajat itu dirasai, maka komisi menimbang patutlah diadakan
kesempatan mengangkat seorang anggota perempuan dengan jalan menambah banyaknya
anggota Dewan Minangkabau.
Komisi Onderafdeeling Suliki. Anggota 11 orang, hadir 11 orang. 10 orang tidak setuju. Alasannya, kaum
perempuan dibawa bermufakat hanyalah dalam urusan rumah tangga. Menurut
timbangan komisi belum lagi datang masanya kaum perempuan akan menjadi anggota
Dewan Minangkabau. 1 orang setuju. Alasannya, karena dikehendaki oleh
zaman. Yang nyata kelihatan sekarang dalam pendidikan yaitu anak-anak laki-laki
dan perempuan sama-sama dididik. Tidaklah bersalahan dengan adat kalau kaum
perempuan duduk menjadi anggota Dewan Minangkabau.
Komisi Onderafdeeling Bangkinang. Anggota 11 orang, hadir 11 orang. 10 orang tidak setuju. Alasan menolak,
belum perlu lagi, dalam masyarakat Minangkabau kaum perempuan itu berpengaruh
dan turut bersuara hanya semata-mata dalam urusan dan kepentingan kaum.
Komisi Onderafdeeling Sawahlunto. Anggota 10 orang, hadir 9 orang. 7 orang tidak setuju. Alasan menolak,
berlawanan dengan adat. Sungguhpun perempuan di Minangkabau dalam soal-soal yang
penting pada galibnya didengar timbangannya, tetapi mereka itu tidak pernah
turut dalam pemufakatan umum membicarakan urusan negeri. 2 orang yang setuju. Alasannya, kehendak zaman telah
berubah.
Komisi
Onderafdeeling Solok. Anggota 13 orang, hadir 12 orang. 7 orang tidak
setuju, alasannya berlawanan dengan adat. 5 orang yang setuju. Alasannya,
karena kemajuan nyata dalam kalangan kaum perempuan. Banyaknya tempat kedudukan
yang akan diberikan kepada kaum perempuan, hanya satu atau dua orang saja atau
paling banyak tiga tempat.
Dua orang di
antara mereka yang setuju itu mengemukakan, bahwa tempat kedudukan untuk kaum
perempuan itu tidak boleh mengurangki banyaknya anggota laki-laki. Jadi
hendaklah ditambah banyaknya anggota Dewan Minangkabau untuk memberi tempat
kepada kaum perempuan.
Komisi
Onderafdeeling Alahan Panjang. Anggota 11 orang, hadir 11 orang. 8 orang tidak
setuju. Alasan, tidak perlu karena berlawanan dengan adat. 3 orang setuju.
Alasannya, supaya kaum perempuan boleh pula mengemukakan perasaannya. Wakil
penghulu-penghulu tidak boleh dikurangi banyaknya untuk wakil kaum perempuan.
Komisi Onderafdeeling Muaro Labuah. Anggota 11 orang, hadir 11 orang. 8 orang tidak
setuju. Alasan, berlawanan dengan adat. 3 orang yang setuju. Alasannya, telah
banyak kaum perempuan yang turut dalam pergerakan umum.
Komisi
Onderafdeeling Sijunjung. Anggota 11 orang, hadir 10 orang. 6 orang tidak
setuju, alasan kaum perempuan hanya dibawa bermufakat dalam urusan kaum. 4
orang setuju. Alasan, kepentingan perempuan bergaul dengan laki-laki (dari kaum perempuan
sendiri); sekarang telah tiba masanya untuk itu.
Hanya di Onderafdeeling Batu Sangkar mayoritas
anggota komisi setuju kaum perempuan duduk sebagai anggota Dewan Minangkabau
dengan perbandingan suara 12 orang setuju, 7 tidak setuju. Sedangkan
komisi-komisi di Onderafdeeling lain menolaknya.
Secara menyeluruh hasil rapat komisi-komisi di atas
menyebutkan, dari 20 daerah komisi di berbagai onderafdeeling (kepala
onderafdeeling ialah controleur) dan kota yang diminta pendapatnya
mengenai mosi S.M. Latif di atas, tercatat 41 suara tidak setuju perempuan
duduk di Dewan Minangkabau, sedangkan yang setuju berjumlah 195 orang.
Kalau dijumlah seluruh anggota komisi di berbagai
wilayah tersebut ialah 256 orang. Yang memberikan suara atau pendapat adalah
246 anggota, sedangkan 10 anggota lainnya tidak datang disebabkan berbagai
halangan. Atau dengan kata lain, sekitar 80 prosen anggota komisi tidak setuju
kaum perempuan duduk sebagai anggota Dewan Minangkabau, sedangkan yang setuju
sekitar 20 prosen saja.
Sudah barang tentu angka-angka di atas mempengaruhi
para anggota Dewan yang akan bersidang kembali pada tanggal 26 Maret 1939
membicarakan mosi S.M. Latif cs di atas. Sambil menunggu hari sidang, anggota
Dewan telah mengetahui hasil rapat di stedelijk dan onderafdeelings, yakni
menolak mosi tersebut. Karena itu dapat dipastikan
mosi S.M. Latif cs akan ditolak dewan. Dan memang seperti diduga, sidang
menolaknya.
Sebagai
perbandingan, di Inggris hak memilih baru diperoleh kaum perempuan pada tahun
1918. Setahun kemudian yaitu pada tahun 1919 mereka memperoleh pula hak
dipilih.
Tahun 1919
sudah duduk 14 orang perempuan di Balai Rendah Inggris. Sedangkan di kota
London anggota gemeenteraadnya (Dewan Kota) berjumlah 144 anggota orang,
diantaranya 25 orang perempuan.
Haji Abdul Wahab dari Siam
Di bawah ini
kita sampaikan pula seutuhnya, berita yang menyangkut kaum perempuan yang dikutip
dari majalah “BOEDI TJANIAGO” Padang Panjang Th. I, No. 2 Januari 1922. Berita tersebut
ialah mengenai ceramah Haji Abdul Wahab
tentang Islam di rumah inyiak Marah Sutan di Gang Abu Betawi.
Haji ini berasal
dari Bukit Tinggi (Fort de Kock). Ia bermukim di negeri Siam (Thailand).
Pada ceramahnya di rumah Marah Sutan (Bapak E. Moh
Sjafei) di Gang Abu Batavia itu, hadir pula tuan DR. Nieuwenhuis (pejabat tinggi
pendidikan Belanda di Batavia) serta sekitar 30 orang tokoh terkemuka asal
Sumatera.
Salinan
Pada
petang Sabtu malam Minggu tanggal 1 April 1922, tuan Haji Abdul Wahab seorang
anak Fort de Kock yang baru datang dari Siam, telah memberikan ceramah tentang
agama Islam di rumah engku Mara Soetan di Gang Abu di Betawi. Ceramah itu
dihadiri tidak kurang tiga puluh orang anak Sumatera dan juga tuan DR.
Nieuwenhuis.
Dalam ceramah itu tuan H.A. Wahab secara
gamblang mengatakan, bahwa:
·
Agama Islam sama sekali tidak
menghalangi kemajuan, melainkan menyuruh ummatnya menuntut berbagai macam ilmu.
·
Perempuan Islam disuruhkan
pula maju, asal jangan sampai melanggar batas
·
Dasi (tali leher) yang dipakai orang Islam tidak
sekali-kali haram dsb.
Ceramah tersebut berlangsung sejak pukul 7 sore
hingga pukul 2 tengah malam.
Pada petang Rebo malam Kamis tanggal 5 April
ceramah diulang pula kembali dan berlansung sejak pukul 6 sore hingga pukul 10
malam yang dihadiri kira-kira tiga puluh anak Sumatera, diantaranya beberapa
orang studen Stovia.
Pada akhir ceramah tuan Haji Abdul Wahab
menjelaskan, jikalau anak Hindia yang beragama Islam ingin maju sebagai bangsa
Barat, haruslah menjalankan agama Islam dengan sekuat-kuatnya. Kalau tidak,
jangan harap akan maju, melainkan akan jatuh.
Hal ini dibuktikan oleh tuan H.A. Wahab dengan
membandingkan pada bangsa-bangsa lain dan juga lain-lain agama.
Kabarnya
dalam waktu yang tidak lama lagi akan didirikan suatu vereeniging
(perkumpulan) yang maksudnya akan memajukan agama Islam.
Apa yang
disampaikan Haji Abdul Wahab dalam ceramahnya di Gang Abu Betawi tahun 1922
itu, cukup menarik.
Haji itu mengatakan, Agama Islam tidak menghalangi
kemajuan, malah menyuruh ummatnya menuntut berbagai macam ilmu. Demikian pula
kaum perempuan, harus maju pula, namun jangan sampai melanggar batas. Memakai
dasi (baca pantalon) tidak haram.
Untuk menuntut berbagai macam ilmu seperti yang
dianjurkan Haji Wahab itu, terlebih dahulu harus mempelajari bahasa-bahasa yang
dipakai di negeri-negeri yang telah maju tersebut, baik di bidang tehnologi
maupun ilmu pengetahuan lainnya.
Namun pada masa itu banyak penganjur agama kita
mengatakan bahwa “belajar bahasa asing (baca Belanda) sama artinya mempelajari
bahasa orang kafir”. Demikian pula jika seorang wanita belajar bahasa asing, ia
dituding akan dijadikan “nyai” oleh Belanda. Maka terbuktilah sekarang, kita tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain.
Masa itu anak nagari yang getol belajar bahasa asing
(baca Belanda) ialah Nagari Koto Gadang. Terbukti pula
anak nagari kawasan itu jauh mendahului nagari-nagari lain di Sumatera Barat.
Maklumat No 20 Tahun 1946
Sebagaimana
dikatakan di atas, S.K.I.S (Serikat Kaum Ibu Sumatera) yang telah memperoleh
Rechtspersoon (badan hukum) dari Pemerintah Belanda.pada tahun 1931, tiada
henti-hentinya berjuang untuk mendapatkan hak dipilih dan memilih bagi kaum
perempuan dalam dewan-dewan yang telah ada masa itu.
Barulah
semenjak awal kemerdekaan, yaitu setelah keluarnya Maklumat Residen Sumatera
Barat No. 20 tahun 1946, kaum perempuan Sumatera Barat naik kepermukaan. Mereka boleh duduk di dewan-dewan perwakilan, walau sebelum itu, di
bidang pendidikan, pers, organisasi keagamaan atau swasta lainnya, kaum
perempuan sudah sejak lama menampakkan warnanya.
Maklumat itu
sendiri tidak menyebutkan jenis kelamin anggota yang boleh duduk di Dewan
Perwakilan Nagari yang dipilih langsung oleh masyarakat. Jadi waktu itulah kaum
perempuan mulai mempunyai hak dipilih dan memilih untuk duduk dalam dewan-dewan,
sedangkan sebelumnya tidak.
Pasal
3 Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20/46 memuat:
1.
Menurut peraturan yang tertentu, anggota Dewan Perwakilan Negeri
dipilih oleh Warga Nagara Republik Indonesia yang diam di Negara itu dan, Telah
berumur 18 tahun, tiada dipecat dari hak memilih dan hak menjadi anggota Dewan
Perwakilan.
2.
Yang berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Negeri ialah segala Warga
Negeri Republik Indonesia yang diam dalam Negara itu dan, telah berumur 25
tahun, tiada dipecat dari hak memilih dan hak menjadi anggota Dewan Perwakilan,
pandai menulis dan membaca setidaknya dalam huruf Arab. Mencukupi syarat-sayarat kepatuhan umum
untuk menjadi wakil rakyat.
Pasal 3
Maklumat tersebut di atas tidak ada menyebut jenis kelamin yang boleh menjadi anggota Dewan Perwakilan, baik
nantinya terpilih menjadi Ketua maupun Wakil Ketua Dewan tersebut.
Jadi semenjak masa itulah kaum perempuan “boleh”
duduk ataupun “terpilih” menjadi Ketua di Dewan Perwakilan Nagari.
Disadur dari Majalah “ABAD
XX - 1938”. Majalah “BOEDI TJANIAGO” Th. I – Januari 1922. No. 1 Dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar