CERPEN Alwi
Karmena
Kalau seperti dulu, semasa dirinya dipanggil orang sebagai
Welky, tak sulit baginya menjelang daerah realestat sekelas Giriyatama itu.
Rumah mewah tempat Klara yang berpagar beton tinggi, bukanlah halangan baginya.
Berdiri saja dia di pintu pagar, satpam akan bergegas membukakan pintu. Tapi itu
dulu. Kini tak mungkin lagi, namanya sudah jatuh. Sejak tuannya Pak Dongkrat
ditangkap polisi karena korupsi, dia terbuang, seriring dengan pindahnya
keluarga Pak Dongkrat. Mereka menghilang pindah melarikan malu. Welky tak
dibawa serta mengungsi. Dia ditinggal saja dengan sia-sia. Tak ada yang
memelihara.
Kini, tak ada sebutan Welky lagi. Nama dan harga dirinya
meluncur, seiring nasib buruk yang ia pikul dalam riwayat Pak Dongkrat yang
telah buruk. Welky menjadi si Buruk, yang bentuk fisiknya memang
sudah benar-benar memburuk. Piaraan tercampaklah namanya. Kadang, dia dipanggil
orang Waw Waw, kadang Tengkak, dan yang
paling memalukan, dia dipanggil dengan
nama ejekan—si Buruk Tengkak….si Kurok Buruk.
Namun, seburuk apapun nasib, percintaannya dengan Klara
adalah percintaan yang indah dan klasik. Seekor gadis anjing, anjing gadis, yang dikenalnya dalam
pertemuan tak tercatat, memberi dia harapan. Memberi dia harga dan cinta. Itu
yang membuat dia bertahan di kota ini. Dia menganggap dirinya si Buruk pengawal
cinta abadi. Untuk itu, setiap hari dia bergulat dengan dirinya sendiri. Dia
tegakkan juga kepalanya, agar tidak terlalu tertekur, minder atau rendah diri.
Cinta adalah sayap peraih kemuliaan hidup. Dia merasa pantas untuk sekadar
memelihara cinta dan juga rindu. Biar badan ini buruk, dalam dadaku ada
panorama indah, tempat baying-bayang Klara bermain. Demikian jiwanya berlagu.
Betapa syahdunya, bila malam-malam menghunuskan sepi yang
panjang. Berjalan sendiri dengan jarum-jarum
hujan ataupun derai angin. Kalau di luar negeri, dingin begini, pastilah ada
salju. Tanpa dia sadari, dia telah menjelma menjadi anjing yang penyair. Dari
lorong gelap yang bencah, diraungkannya puisi-puisi cinta. Tak ada yang tahu. Puisi
itu hanya untuk Klara. Puisi dari lorong becek merengkuh ke pintu pagar istana.
Barangkali Klara pun tak sempat mendengar. Atau, kalaupun
terdengar, puisi itu tidak akan sampai seutuh yang ia raungkan. Jarak lorong
becek tempat dia mencingkuk dengan real estat. Jauuuh. Kalau berlari menengkak-nengkak,
hampirlah setengah jam pelarian. Tapi bagi buruk, melolongkan puisi sudah cukup
untuk sebuah pernyataan cinta. Simaklah puisi Buruk.
Wooouuuuoo.
Wuhuuuooo. Fuk fuk huuuuu. Wawhawouuung woooowuuung gong gong… Houuuwu uuwwow
waw. Huuuufuhuung hufuuuwuuhuuung Waw waw waw…. (Terjemahannya :–Dengarlah sunyi melengking dari kelam
ini- Sehelai bulu berkutu purba telah gugur ke batu. Kuziarahi juga bayangmu di benteng masa lalu
yang runtuh itu—Kucabik langit, kuremas bulan – kujentik bintang bintang, buah
cakrawala yang diam, bisu. Kita erat
berkait hati, erat juga berkait ekor bertali, sambil menggonggong, kukalungkan
sisa badai ke lehermu…”)
Hubungan cinta antara Buruk Tengkak dengan Klara tercium bukan
karena puisi. Tapi Tambiluk, kepala Satpam
penjaga rumah Om Cekeh, kakak sepupu dari besan, ipar kemenakan bekas
tetangga Gubernur. Dia terkejut melihat
Klara dicium anjing buruk di luar pagar. Tersentak, timbul bencinya. Bangkit jijiknya. Hei Husy. Lihat dirimu, siapa kau? Siapa Klara?
Kau anjing kalera!
Ya. Provinsi ini tahu siapa Klara. Anjing Australia
berbulu putih rembai, yang rantainya saja, sejuta delapan ratus lima puluh ribu
semeter. Kalung di leherya dibeli di Prancis. Sampo untuk mandinya Singapura
punya. Jangan sebut makanannya lagi, nanti jadi perkara kalau dihitung banding
di saat harga-harga sedang naik ini. Ssst. Rahasia! Daging dan susunya di
kaleng semua. Payah mengeja apa mereknya. Bahasa langit. Inggris, Prancis,
Rusia, Arab, Cina, India. Tak ada terjemahan Indonesia. Dengan dolar
membelinya.
Sore itu, sedang buruk menjilat jilat bagian belakang
Klara, dengan jijik bercampur cemburu, Tambiluk menyambit Buruk dengan batu: Bug! Tepat benar lemparan itu mengenai kaki
Buruk. Bukan kaki yang tengkak yang kena, tapi kaki yang sebelah lagi. Kalau
tadinya dia hanya tengkak, setelah terkena batu ini, dia jadi lepai. Soalnya,
kedua kaki belakangnya tak bisa lagi bergerak dengan sempurna. Sambil
terkengkeng, mengingsut-ingsut, dia mencoba juga lari. Lari melarikan hubungan
cinta yang tak sampai. Cinta indah yang terlerai.
Klara marah. Dia menyalak, memprotes habis-habisan
kejahatan Tambiluk. Dia bahkan menyumpah dan mengancam. Akan dia gonggong
majikannya untuk menyampaikan ultimatum. Terus terang dan transparan, pada Om
Cekeh ia tekankan, agar Tambiluk dipecat sebagai Satpam. Tapi, apalah artinya bahasa
anjing bagi Satpam dan Om Cekeh? Justru Klara
diseretnya ke dalam. Setelah ini tak dibiarkan main-main ke luar pagar lagi.
Anjing cantik itu kecewa. Marah dan benci. Digigitnya kuat kuat kaki Tambiluk.
Tapi karena Tambiluk memakai sepatu lars, yang tergigit hanya tumit sepatu yang
keras. Tak terasa oleh Tambiluk gigi kecil Klara menggores sepatunya,
Maka sejak itu, hari
hari menjadi panjang dan lengang bagi Buruk dan Klara. Buruk menyuruk mengidapkan
sakit di got pembuangan sampah. Sebelum sembuh, tak bisa ke mana-mana, karena
kakinya semakin sakit. Dia tak bisa lagi mencari makan. Tapi sebagai anjing
liar yang tahan banting, dia tentu bisa
pula menahan lapar. Yang tak bisa dia tahan, adalah inspirasi menelorkan puisi.
Dia telah jadi penyair anjing beneran.
Inilah puisi yang ia gumamkan sepanjang malam.
Keng Keng
Keng. Gung gung guk. Woffh wooff. Haw haauuuwaw. Waw waw waw waauf. Gong gong
goooong…Fuuuuuu Wuuu Huwaaawauuuung…huauuuung…(Terjemahannya–Rasa tak berdaya…tak dapat menghalang
cintaku…Rasa tak berkuasa, tak mampu menindas rinduku – Rasa tak setara, tak
mungkin melerai jumpa dan pelukku – Hanya, rasa tak bisa besetia. Sebagaimana
derajat manusia, memisahkan taraf keberadaan kau dan aku…)
Puisi itu agaknya belum selesai. Dan yang pasti tak akan
pernah didengar Klara. Anjing Australi yang mewah itu patah hati dan bunuh diri...
Dia mati karena mogok makan. Tak mau makan dan tak mau minum berhari hari.
Hatinya terus meratap… Mulutnya menggumam. Barangkali menggumamkan semacam
puisi juga…Atau, kata kata mutiara… Hunnnnnng.
Hunng Hukunnng. Keng keng hung…Hmmmmmhmm.(Terjemahannya:
Tak guna hidup tanpa cinta. Tak guna bulu
tanpa kutu. Kembalikan Buruk ke
pelukanku…Pertalikan ragaku dengan raganya. Bila tidak bisa di duna, kunanti
dia di surga atau di neraka…)
Begitulah kesudahannya, karena tak makan makan. Klara akhirnya sakit. Semacam “kanker
darah” pula. Sudah diupayakan Om
Cekeh membwa ke dokter hewan. Tapi tak tertolong. Klara mati sebagai. Mati Anjing yang hampa. Sejemput kesedihan terlihat
di wajah Tambiluk. Dia tak menyesali apa apa, karena dia tak terlibat kisah
cinta. Hanya merasa tertular rasa kehilangan, seperti juga halnya sang induk
semang. Tapi itu tak lama. Cerita pendeklah namanya.
Soalnya, seminggu setelah itu, terdengar kabar buruk,
Tambiluk meninggal dunia pula. Almarhum Satpam itu wafat mendadak saja.
Kabarnya, dia kena rabies, digigit anjing gila. Tak pasti, apakah si Buruk yang
menggigitnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar