Minggu, 06 Oktober 2013

Perbioskopan di Padang: “Mati” dalam Belantara Teknologi Informasi


Bioskop Raya Padang

Pihak pengelola bioskop dinilai lamban membaca perkembangan zaman. Akibatnya, satu-satu tutup dan berguguran ditelan zaman.
Keputusan Hollywood berhenti mengirimkan produksi filmnya ke Indonesia, pekan lalu, banyak mengundang reaksi. Namun sampai saat ini pemutaran film di bioskop Cinema 21 dan XXI masih normal. Kendati begitu, jangan kaitkan dengan kondisi bioskop-bioskop di Kota Padang. Distop atau pun tak distop Hollywood, untuk perkembangan film di Kota Padang tak bersentuhan betul. Hidup saja, sudah syukur.

Tiga bioskop yang masih jalan, Bisokop Raya, Karya, dan Mulia, lebih banyak memutar film lokal dan Mandarin sesekali film Hollywood. Produksi Hollywood, tunggu setahun lagi setelah beredar di seantero dunia.
Era keemasan Bioskop Raya Padang telah memudar seiring dengan perkembangan zaman. Pada era 70-80-an, bioskop ini salah satu bioskop berkelas. Penontonnya, kelompok menengah ke atas. Kini kondisinya sudah suram. Tak banyak lagi penonton dan penggemar film yang datang menikmati film.
Dwi Haryadi atau Ko Ong, Pengawas Operasional Bioskop Raya, mengakui, kondisi Bioskop Raya tak serami dulu lagi. “Jadi kalau menonton, tak perlu khawatir kehabisan tiket,” kata Ko Ong kepada Haluan Jumat (18/2).
Ruang tunggu Studio 1 dan Studio 2 yang berada di depan itu, masih banyak yang kosong. Calon penonton tak mencapai 40 orang.
“Satu kali pertunjukan itu paling banyak penontonnya 30 hingga 40 orang, malah ada yang 10 orang saja. Padahal Studio 1 dan Studio 2 memiliki kapasitas tempat duduk 256 kursi. Studio 3 lebih banyak lagi sekitar 300 kursi,” terang Ko Ong.
Meski demikian, film tetap saja diputar. Tetapi bila penonton kurang dari 10 orang, pengelola memutuskan membatalkan pemutaran film. Sebab bila dipaksakan, tak dapat menutupi biaya operasional.
Untuk tidak mengecewakan penonton, pengelola menawarkan agar penonton bersedia menunggu jadwal pemutaran film berikutnya, dengan harapan akan ada tambahan penonton. Tetapi bila mereka tak setuju, biaya tiket mereka terpaksa dikembalikan. 
Padahal harga tiket dilepas ke penonton hanya Rp15.000 satu kali putar film. Sedangkan hari libur tiket  dijual dengan harga Rp20.000. Sebelum gempa harga tiket tahun lalu sampai Rp25.000,- untuk 1 kali pertunjukan
Tak jauh berbeda kondisi Bioskop Mulia Teater yang berada tepat di tengah Pasar Raya Padang. Meski harga tiket hanya Rp10.000. Hari biasa dan Rp12.000. Pada hari libur, namun penonton tetap saja sepi.
Siang itu, akan diputar sebuah film Cina berjudul “Dangerous City”. Karcis yang sudah terjual baru 7 buah sementara 30 menit lagi film akan diputar. Padahal film itu baru kali kedua diputar. Tetapi memang begitulah kondisinya. Ini masih lumayan, kadang hanya ada 4 orang penonton.
“Kita akan tetap putar film mesti cuma  ada 4 orang penonton. Tetapi kalau penontonnya 2 orang, terpaksa kita batalkan atau kita sarankan nonton pada jam pertunjukan berikutnya,” ujar penjual tiket Susi dan operator pemutar film Del.
Setelah gempa bumi 30 September 2009, sejak Pemko Padang membangun kios darurat di depan Bioskop Raya. Ruas jalan yang tadinya cukup lapang, kini menjadi sempit. Pengunjung bioskop yang memiliki kendaraan pribadi atau datang bersama anggota keluarga, enggan masuk. Sebab ruas jalan ini sering macet dan hanya dilalui angkutan umum saja.
Bioskop Raya memiliki karyawan 15 orang sedangkan Bioskop Mulia hanya 6 orang.
Meski demikian, pemilik Bioskop Raya, keluarga Wijaya Effendi tak berniat mengalihfungsikan gedung itu. Mereka tetap bertahan dengan kondisi seperti saat ini dan berharap situasi kembali normal setelah kios darurat itu dibongkar nantinya.
“Keluarga Wijaya Effendi ingin menghidupkan terus Bioskop Raya dan menjadikannya sebagai salah satu tempat hiburan pilihan masyarakat di kota ini. Mudah-mudahan harapan itu dapat terwujud setelah kios itu dibongkar nantinya,” ujar Ko Ong.
Kepemilikan Bioskop
Bioskop Raya sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun 1950 silam. Pemiliknya adalah keluarga Taslim yang juga pemilik PT Lembah Karet. Tahun 1979, Bioskop Raya dijual kepada keluarga Wijaya Effendi yang juga menjadi pemilik Bioskop Kencana.
Bioskop Kencana sudah tak beroperasi lagi. Gedungnya dialihfungsikan dan disewakan pada pihak lain. Studio 1 disewakan untuk kegiatan karaoke dan Studio 2 digunakan sebagai tempat biliar. Tetapi Bioskop Raya tetap dipertahankan, tidak akan dialihfungsikan. Apalagi gedung itu sudah milik sendiri, tidak disewa.
“Film-film bernafaskan agama dan komedi biasanya menjadi pilihan para orang tua yang menonton dengan anggota keluarganya,” kata Ko Ong.
Namun secara keseluruhan, film Indonesia kini menjadi tontonan pilihan pengunjung Bioskop Raya. Penontonnya jauh lebih banyak dibanding film Barat. Film Indonesia justru sebaliknya. CD asli maupun bajakan baru akan keluar 6 bulan mendatang. Sehingga filmnya tidak ketinggalan.
Bila dilihat dari peralatan yang ada, Bioskop Raya termasuk salah satu bioskop yang memiliki teknologi tinggi di Sumbar. Studio 1 dan Studio 2 menggunakan dolby stereo sedangan Studio 3 sudah menggunakan format digital, suaranya jauh lebih bagus. Perawatannya secara rutin tetap dilakukan baik perawatan peralatan maupun perawatan gedung.
Bioskop Karya dan Mulia dimiliki Wirako Anggriawan. Namun Bioskop Karya paling tua usianya, didirikan kakeknya tahun 1930-an silam. Melihat perkembangannya yang cukup pesat saat itu, sang kakek mendirikan pula Bioskop Mulia tahun 1940-an.
Namun malang bagi pengacara kondang ini, sejak berada di tangannya operasional bioskop menjadi tersendat, bahkan nyaris gulung tikar. Saat ini kedua bioskop warisan keluarganya itu nasibnya di ujung tanduk.
Pihak keluarga berencana untuk mengalihfungsikannya bila memang tak bisa diharapkan lagi. Tetapi bila Pemko Padang berniat menurunkan pajak tontotan dari 25% menjadi 5% saja, maka bioskop itu akan tetap dipertahankan. Sebaliknya, bila Pemko Padang lebih mementingkan uang masuk bagi daerah, maka tak ada jalan lain selain menyewakannya ke pihak lain.
“Kita sudah merencanakan untuk menyewakan kedua bioskop itu pada pihak lain bila memang usaha bioskop tak bisa dihandalkan lagi,” terang Wirako.
Sementara itu, Yusril Katil, master perfileman, mengatakan teknologi bioskop ketinggalan dari teknologi film itu sendiri. Selain itu, bioskop berubah menjadi tempat yang angker dan menyeramkan.
“Poster poster yang di pajang di luar bioskop adalah gambaran dari suasana yang menyeramkan dan menegangkan itu. Film tidak lagi menjadi media seni dan hiburan, tapi menjadi media teror. Salah satu teror itu adalah teror moral dan susila,” kata Yusril.
Keributan Suami-Istri Pun Terjadi…
Di dinding Bioskop Karya I Padang tertulis film hari ini “Perfect Match.” Sepasang insan itu masuk ke dalam. Seorang bapak tua dengan senter menyala  mengantarkan mencari bangku kosong. Film telah berlangsung 15 menit ketika sepasang insan itu duduk di samping kiri.
Begitu mudah mencari bangku kosong. Tempat duduk bioskop yang dibagi tiga blok, terlalu banyak untuk menampung lima pasang insan. Penjaga  bioskop menyebutkan, film diputar minimal penontonnya sepuluh orang.
Perfect Math adalah film Mandarin keluaran tahun 1980-an. Diperankan oleh Shao Cung, Li Che, Wu Chi Lung, dan Yang Chai Ni.
Sejatinya, film itu berlangsung dalam durasi dua jam. Tapi tak ada yang protes karena film hanya diputar 70 menit. Ada beberapa bagian yang dipotong atau sengaja dipotong. Pun, penonton tak beriak karena kualitas gambar film itu sangat buruk. Empat kali film tiba-tiba terhenti. Ketika film berakhir, penonton keluar satu per satu. Tak ada yang sendiri, semuanya berpasangan.
Selain Perfect Match, di jam yang sama juga diputar film Setan Facebook dan Pengakuan Seorang Pelacur (PSP) di ruangan yang berbeda. Anehnya, penonton seperti tak peduli dengan film yang ditonton. Dirugikan dengan kualitas gambar karena memang tak benar-benar ingin menonton.
Heri (25) dan Yuni (20) misalnya, mengaku tak mengikuti jalan cerita film. “Tau sendirilah Da,” ujarnya sambil tersenyum kepada Haluan. Mudah menebak arah pembicaraan Heri.
Anggapan atau citra bioskop di Kota Padang  yang banyak ditonton pasangan muda-mudi barangkali begitu melekat.  Ini menyebabkan tersisihnya orang-orang yang benar-benar ingin menonton film.
Sutradara film La Maneqqin Arif Rizki menyebutkan, karena tujuannya memang untuk menonton film, ia sering ke bioskop sendirian. “Meskipun bioskop menaruh harga tinggi untuk tiket, penggemar film akan tetap membayarnya asal diganjar dengan film-film terbaru,” ujarnya.
Dari ketiga bioskop yang ada di Kota Padang, menurutnya, barangkali Raya Teater adalah satu-satunya bioskop yang berusaha mengikuti perkembangan film pusat. Ketika film Sang Pemimpi garapan Riri Reza booming, Raya Teater berhasil memutarkannya di Padang.
Penonton Stabil
Pinarti, pengawas Bioskop Karya, mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir jumlah pengunjung bioskop karya stabil, tak ada peningkatan dan tambahan. Bioskop ini memiliki tiga studio, tapi hanya dua yang difungsikan.
“Hitung-hitungan ekonomis. Pengelola memutuskan, satu dari tiga studio yang ada sekarang terpaksa ditutup atau tidak dioperasikan lagi guna menghemat biaya produksi,” kata Pinarti.
Menurutnya, 158 unit kursi yang disediakan untuk satu studio, paling yang terisi oleh pengunjung untuk satu kali menonton hanya 15 hingga 20 saja. Sisanya kosong melompong. Harga tiket sekarang Rp15.000 untuk satu orang. Harga tersebut hanya untuk hari Senin-Jumat. Sementara untuk Sabtu dan Minggu tiket dijual Rp20.000 dengan alasan hari libur.
Tiap harinya memutaran film dilakukan sebanyak empat kali. Jika dujumlahkan rata-rata tiap harinya biskop karya hanya dikunjungi oleh sekitar 80 orang penonton saja. “Rata-rata omset yang diperoleh oleh Bioskop Karya tiap harinya sekitar sejuta lima ratus ruliah. Jumlah tersebut telah meliputi dari dua studio yang disediakan itu,” katanya.
Pinarti menceritakan, kondisi sekarang jauh berbeda dengan tahun 70 dan 80-an lalu. Saat itu, penonton film cukup banyak. “Pengunjung yang datang kadang tidak terlayani,” katanya.
Sekarang apa boleh buat, meski berjalan terseok-seok, namun pemilik dan pengelola bioskop Karya Kota Padang tetap bertahan walau pun pengelola tidak memiliki rencana atau upaya baru untuk memajukan bioskop tersebut. Tapaknya pengelola bioskop hanya pasrah dengan keadaan yang ada, asalkan usahanya itu masih tetap bertahan.
"Hingga sekarang belum ada terpikir upaya apa yang akan dilakukan supaya bioskop ini bisa berjaya lagi seperti dulu. Bukan berarti hal itu tidak terpikirkan. Tapi pengelola memang belum menemukan jalan keluarnya," ujar Pinarti.
Saat disinggung soal isu bioskop telah dialih fusngsikan oleh sebagian pengunjung dari tempat menikmati film jadi tempat esek-esek, Pinarti menjawab bahwa isu itu sudah biasa ia dengar. Isu seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan ia menyikapi dengan jiwa besar saja.
Pinarti juga tidak bisa menampiknya karena sebagai pengawas, ia juga tidak mengetahui secara pasti apa saja yang dilakukan pasangan muda-mudi yang menonton dalam studio yang tidak pakai penerang itu.
Tapi kadang ada juga kejadian unik. Tidak jarang terjadi keributan antara suami-istri di luar studio ketika suaminya itu ketahuan menonton dengan wanita lain.
“Saya hanya mengawasi,” katanya. (Laporan Nasrul Azwar, Devi Diani, Andika Destika Khagen, dan Defil)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...