Bioskop Raya Padang |
Pihak pengelola
bioskop dinilai lamban membaca perkembangan zaman. Akibatnya, satu-satu tutup
dan berguguran ditelan zaman.
Keputusan Hollywood berhenti
mengirimkan produksi filmnya ke Indonesia, pekan lalu, banyak mengundang
reaksi. Namun sampai saat ini pemutaran film di bioskop Cinema 21 dan XXI masih
normal. Kendati begitu, jangan kaitkan dengan kondisi bioskop-bioskop di Kota
Padang. Distop atau pun tak distop Hollywood, untuk perkembangan film di Kota
Padang tak bersentuhan betul. Hidup saja, sudah syukur.
Tiga bioskop yang
masih jalan, Bisokop Raya, Karya, dan Mulia, lebih banyak memutar film lokal
dan Mandarin sesekali film Hollywood. Produksi Hollywood, tunggu setahun lagi
setelah beredar di seantero dunia.
Era keemasan Bioskop
Raya Padang telah memudar seiring dengan perkembangan zaman. Pada era 70-80-an,
bioskop ini salah satu bioskop berkelas. Penontonnya, kelompok menengah ke
atas. Kini kondisinya sudah suram. Tak banyak lagi penonton dan penggemar film
yang datang menikmati film.
Dwi Haryadi atau Ko
Ong, Pengawas Operasional Bioskop Raya, mengakui, kondisi Bioskop Raya tak
serami dulu lagi. “Jadi kalau menonton, tak perlu khawatir kehabisan tiket,”
kata Ko Ong kepada Haluan Jumat
(18/2).
Ruang tunggu Studio
1 dan Studio 2 yang berada di depan itu, masih banyak yang kosong. Calon
penonton tak mencapai 40 orang.
“Satu kali
pertunjukan itu paling banyak penontonnya 30 hingga 40 orang, malah ada yang 10
orang saja. Padahal Studio 1 dan Studio 2 memiliki kapasitas tempat duduk 256
kursi. Studio 3 lebih banyak lagi sekitar 300 kursi,” terang Ko Ong.
Meski demikian, film
tetap saja diputar. Tetapi bila penonton kurang dari 10 orang, pengelola
memutuskan membatalkan pemutaran film. Sebab bila dipaksakan, tak dapat
menutupi biaya operasional.
Untuk tidak mengecewakan
penonton, pengelola menawarkan agar penonton bersedia menunggu jadwal pemutaran
film berikutnya, dengan harapan akan ada tambahan penonton. Tetapi bila mereka
tak setuju, biaya tiket mereka terpaksa dikembalikan.
Padahal harga tiket dilepas
ke penonton hanya Rp15.000 satu kali putar film. Sedangkan hari libur
tiket dijual dengan harga Rp20.000. Sebelum
gempa harga tiket tahun lalu sampai Rp25.000,- untuk 1 kali pertunjukan
Tak jauh berbeda
kondisi Bioskop Mulia Teater yang berada tepat di tengah Pasar Raya Padang.
Meski harga tiket hanya Rp10.000. Hari biasa dan Rp12.000. Pada hari libur,
namun penonton tetap saja sepi.
Siang itu, akan
diputar sebuah film Cina berjudul “Dangerous City”. Karcis yang sudah terjual
baru 7 buah sementara 30 menit lagi film akan diputar. Padahal film itu baru kali
kedua diputar. Tetapi memang begitulah kondisinya. Ini masih lumayan, kadang
hanya ada 4 orang penonton.
“Kita akan tetap
putar film mesti cuma ada 4 orang
penonton. Tetapi kalau penontonnya 2 orang, terpaksa kita batalkan atau kita
sarankan nonton pada jam pertunjukan berikutnya,” ujar penjual tiket Susi dan
operator pemutar film Del.
Setelah gempa bumi
30 September 2009, sejak Pemko Padang membangun kios darurat di depan Bioskop
Raya. Ruas jalan yang tadinya cukup lapang, kini menjadi sempit. Pengunjung
bioskop yang memiliki kendaraan pribadi atau datang bersama anggota keluarga, enggan
masuk. Sebab ruas jalan ini sering macet dan hanya dilalui angkutan umum saja.
Bioskop Raya memiliki
karyawan 15 orang sedangkan Bioskop Mulia hanya 6 orang.
Meski demikian,
pemilik Bioskop Raya, keluarga Wijaya Effendi tak berniat mengalihfungsikan
gedung itu. Mereka tetap bertahan dengan kondisi seperti saat ini dan berharap
situasi kembali normal setelah kios darurat itu dibongkar nantinya.
“Keluarga Wijaya
Effendi ingin menghidupkan terus Bioskop Raya dan menjadikannya sebagai salah
satu tempat hiburan pilihan masyarakat di kota ini. Mudah-mudahan harapan itu
dapat terwujud setelah kios itu dibongkar nantinya,” ujar Ko Ong.
Kepemilikan
Bioskop
Bioskop Raya sudah
berdiri dan beroperasi sejak tahun 1950 silam. Pemiliknya adalah keluarga Taslim
yang juga pemilik PT Lembah Karet. Tahun 1979, Bioskop Raya dijual kepada keluarga
Wijaya Effendi yang juga menjadi pemilik Bioskop Kencana.
Bioskop Kencana
sudah tak beroperasi lagi. Gedungnya dialihfungsikan dan disewakan pada pihak
lain. Studio 1 disewakan untuk kegiatan karaoke dan Studio 2 digunakan sebagai
tempat biliar. Tetapi Bioskop Raya tetap dipertahankan, tidak akan
dialihfungsikan. Apalagi gedung itu sudah milik sendiri, tidak disewa.
“Film-film
bernafaskan agama dan komedi biasanya menjadi pilihan para orang tua yang
menonton dengan anggota keluarganya,” kata Ko Ong.
Namun secara
keseluruhan, film Indonesia kini menjadi tontonan pilihan pengunjung Bioskop
Raya. Penontonnya jauh lebih banyak dibanding film Barat. Film Indonesia justru
sebaliknya. CD asli maupun bajakan baru akan keluar 6 bulan mendatang. Sehingga
filmnya tidak ketinggalan.
Bila dilihat dari
peralatan yang ada, Bioskop Raya termasuk salah satu bioskop yang memiliki
teknologi tinggi di Sumbar. Studio 1 dan Studio 2 menggunakan dolby stereo
sedangan Studio 3 sudah menggunakan format digital, suaranya jauh lebih bagus.
Perawatannya secara rutin tetap dilakukan baik perawatan peralatan maupun
perawatan gedung.
Bioskop Karya dan
Mulia dimiliki Wirako Anggriawan. Namun Bioskop Karya paling tua usianya,
didirikan kakeknya tahun 1930-an silam. Melihat perkembangannya yang cukup
pesat saat itu, sang kakek mendirikan pula Bioskop Mulia tahun 1940-an.
Namun malang bagi
pengacara kondang ini, sejak berada di tangannya operasional bioskop menjadi
tersendat, bahkan nyaris gulung tikar. Saat ini kedua bioskop warisan
keluarganya itu nasibnya di ujung tanduk.
Pihak keluarga
berencana untuk mengalihfungsikannya bila memang tak bisa diharapkan lagi.
Tetapi bila Pemko Padang berniat menurunkan pajak tontotan dari 25% menjadi 5%
saja, maka bioskop itu akan tetap dipertahankan. Sebaliknya, bila Pemko Padang
lebih mementingkan uang masuk bagi daerah, maka tak ada jalan lain selain
menyewakannya ke pihak lain.
“Kita sudah
merencanakan untuk menyewakan kedua bioskop itu pada pihak lain bila memang
usaha bioskop tak bisa dihandalkan lagi,” terang Wirako.
Sementara itu,
Yusril Katil, master perfileman, mengatakan teknologi bioskop ketinggalan dari
teknologi film itu sendiri. Selain itu, bioskop berubah menjadi tempat yang
angker dan menyeramkan.
“Poster poster yang
di pajang di luar bioskop adalah gambaran dari suasana yang menyeramkan dan
menegangkan itu. Film tidak lagi menjadi media seni dan hiburan, tapi menjadi
media teror. Salah satu teror itu adalah teror moral dan susila,” kata Yusril.
Keributan Suami-Istri Pun Terjadi…
Di dinding Bioskop
Karya I Padang tertulis film hari ini “Perfect Match.” Sepasang insan itu masuk
ke dalam. Seorang bapak tua dengan senter menyala mengantarkan mencari bangku kosong. Film
telah berlangsung 15 menit ketika sepasang insan itu duduk di samping kiri.
Begitu mudah mencari
bangku kosong. Tempat duduk bioskop yang dibagi tiga blok, terlalu banyak untuk
menampung lima pasang insan. Penjaga
bioskop menyebutkan, film diputar minimal penontonnya sepuluh orang.
Perfect Math adalah film Mandarin keluaran tahun 1980-an. Diperankan
oleh Shao Cung, Li Che, Wu Chi Lung, dan Yang Chai Ni.
Sejatinya, film itu
berlangsung dalam durasi dua jam. Tapi tak ada yang protes karena film hanya
diputar 70 menit. Ada beberapa bagian yang dipotong atau sengaja dipotong. Pun,
penonton tak beriak karena kualitas gambar film itu sangat buruk. Empat kali film
tiba-tiba terhenti. Ketika film berakhir, penonton keluar satu per satu. Tak
ada yang sendiri, semuanya berpasangan.
Selain Perfect Match, di jam yang sama juga
diputar film Setan Facebook dan Pengakuan Seorang Pelacur (PSP) di
ruangan yang berbeda. Anehnya, penonton seperti tak peduli dengan film yang
ditonton. Dirugikan dengan kualitas gambar karena memang tak benar-benar ingin
menonton.
Heri (25) dan Yuni
(20) misalnya, mengaku tak mengikuti jalan cerita film. “Tau sendirilah Da,”
ujarnya sambil tersenyum kepada Haluan.
Mudah menebak arah pembicaraan Heri.
Anggapan atau citra
bioskop di Kota Padang yang banyak
ditonton pasangan muda-mudi barangkali begitu melekat. Ini menyebabkan tersisihnya orang-orang yang
benar-benar ingin menonton film.
Sutradara film La Maneqqin Arif Rizki menyebutkan,
karena tujuannya memang untuk menonton film, ia sering ke bioskop sendirian.
“Meskipun bioskop menaruh harga tinggi untuk tiket, penggemar film akan tetap
membayarnya asal diganjar dengan film-film terbaru,” ujarnya.
Dari ketiga bioskop
yang ada di Kota Padang, menurutnya, barangkali Raya Teater adalah satu-satunya
bioskop yang berusaha mengikuti perkembangan film pusat. Ketika film Sang Pemimpi garapan Riri Reza booming, Raya Teater berhasil
memutarkannya di Padang.
Penonton Stabil
Pinarti, pengawas
Bioskop Karya, mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir jumlah pengunjung
bioskop karya stabil, tak ada peningkatan dan tambahan. Bioskop ini memiliki
tiga studio, tapi hanya dua yang difungsikan.
“Hitung-hitungan ekonomis.
Pengelola memutuskan, satu dari tiga studio yang ada sekarang terpaksa ditutup
atau tidak dioperasikan lagi guna menghemat biaya produksi,” kata Pinarti.
Menurutnya, 158 unit
kursi yang disediakan untuk satu studio, paling yang terisi oleh pengunjung
untuk satu kali menonton hanya 15 hingga 20 saja. Sisanya kosong melompong.
Harga tiket sekarang Rp15.000 untuk satu orang. Harga tersebut hanya untuk hari
Senin-Jumat. Sementara untuk Sabtu dan Minggu tiket dijual Rp20.000 dengan
alasan hari libur.
Tiap harinya
memutaran film dilakukan sebanyak empat kali. Jika dujumlahkan rata-rata tiap
harinya biskop karya hanya dikunjungi oleh sekitar 80 orang penonton saja.
“Rata-rata omset yang diperoleh oleh Bioskop Karya tiap harinya sekitar sejuta
lima ratus ruliah. Jumlah tersebut telah meliputi dari dua studio yang
disediakan itu,” katanya.
Pinarti
menceritakan, kondisi sekarang jauh berbeda dengan tahun 70 dan 80-an lalu.
Saat itu, penonton film cukup banyak. “Pengunjung yang datang kadang tidak
terlayani,” katanya.
Sekarang apa boleh
buat, meski berjalan terseok-seok, namun pemilik dan pengelola bioskop Karya
Kota Padang tetap bertahan walau pun pengelola tidak memiliki rencana atau
upaya baru untuk memajukan bioskop tersebut. Tapaknya pengelola bioskop hanya pasrah
dengan keadaan yang ada, asalkan usahanya itu masih tetap bertahan.
"Hingga
sekarang belum ada terpikir upaya apa yang akan dilakukan supaya bioskop ini
bisa berjaya lagi seperti dulu. Bukan berarti hal itu tidak terpikirkan. Tapi
pengelola memang belum menemukan jalan keluarnya," ujar Pinarti.
Saat disinggung soal
isu bioskop telah dialih fusngsikan oleh sebagian pengunjung dari tempat
menikmati film jadi tempat esek-esek, Pinarti menjawab bahwa isu itu sudah
biasa ia dengar. Isu seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan ia menyikapi
dengan jiwa besar saja.
Pinarti juga tidak
bisa menampiknya karena sebagai pengawas, ia juga tidak mengetahui secara pasti
apa saja yang dilakukan pasangan muda-mudi yang menonton dalam studio yang
tidak pakai penerang itu.
Tapi kadang ada juga
kejadian unik. Tidak jarang terjadi keributan antara suami-istri di luar studio
ketika suaminya itu ketahuan menonton dengan wanita lain.
“Saya hanya
mengawasi,” katanya. (Laporan Nasrul Azwar,
Devi Diani, Andika Destika Khagen, dan Defil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar