CERPEN Yetti A.KA
Satu bulan ini, Lila sudah menata hati
pelan-pelan. Jika tubuh diibaratkan lemari pakaian, maka ia sudah menata
kembali isinya. Ia menyusun perasaan seperti menempatkan kain yang habis
disetrika sesuai tempatnya. Lila hanya tidak suka berlama-lama berantakan.
Tapi perempuan itu, bekas pengasuh yang
memilih keluar dari rumah setelah
kejadian buruk menimpa putri Lila, kini datang lagi. Ia berdiri (dengan kesan
keras kepala) di pintu pagar ketika Lila bersiap-siap ke kantor. Lila hampir
saja memintanya pergi, dan seharusnya memang itu yang dilakukan, namun Lila
luluh dan membiarkannya masuk lalu sama-sama duduk di ruang tamu.
“Ada yang ingin kukatakan,” ujar
perempuan itu.
“Aku cuma punya waktu sepuluh menit,”
kata Lila.
“Ini mengenai Kay.”
Lila memandang perempuan itu. “Kenapa
dengan Kay?”
Tamu Lila itu menarik selembar tisu
dari dalam tas. Sedikit berhati-hati ia berkata, “Aku ingin membuat pengakuan
tentang pagi itu.”
Lila mengangkat punggungnya dari
sandaran kursi, “Pengakuan?”
***
Aku bertemu Lila dan Kayril di taman
bermain dekat kantor walikota. Mereka ibu dan anak yang serasi. Apalagi mereka
juga mengenakan baju kaos kembaran dengan tulisan ‘smile’ bergambar lucu.
Mereka langsung menarik perhatianku. Aku memang senang memerhatikan hubungan
ibu dan anak di taman ini. Tiap kali melihat mereka, aku merasa tengah
memandang gambar yang indah. Suatu ketika tentu aku juga ingin menjadi seorang
ibu dan memakai baju kembaran serupa itu. Kamipun akan bermain di taman ini, dari
pagi sampai siang.
Namun sesuatu yang nyeri cepat sekali
menyerang perasaanku. Serupa umang-umang, aku menarik diri dengan cepat saat
mata orang-orang menatapku. Aku ingin segera lari dari luka yang terus
mengejarku. Hanya saja sebelum aku bergerak, tangan seorang kanak-kanak menarik
ujung bajuku. Mata anak itu demikian bulat, mirip danau yang pernah kulihat
gambarnya saat sekolah dulu.
Ibu anak itu mendekat, tertawa tipis,
dan berkata, “Maaf.” Kemudian ia menanyakan namaku setelah lebih dulu memberitahu
namanya: Lila.
“Mila,” ujarku.
“Mila? Nama kita cukup mirip,”
Perempuan itu terlihat riang. Ia tipikal perempuan ramah, tentu saja. Jarang
sekali aku bisa bertemu perempuan yang demikian di kota ini, “Putriku, Kayril.”
Ia juga mengenalkan nama anaknya.
Lila menceritakan bahwa ini untuk
pertama kalinya mereka main di taman. Ia perempuan yang agak sibuk dan nyaris
tak punya waktu untuk bermain-main. Tapi kemudian, kata Lila, ia akan memulai
memberikan hari Minggu-nya untuk Kay.
Perempuan ramah itu bertanya tentangku.
Kukatakan kalau aku pengangguran beberapa minggu ini. Lalu ia berkata, “Kau mau
menjadi pengasuh Kay?”
Aku kaget. Tentu saja aku bisa mengasuh
anak. Aku punya tiga orang adik, dan menjadi pengasuh mereka sejak bayi hingga
berumur lima tahun. Memang begitu biasanya—di
kampungku—tugas seorang anak yang paling tua dalam sebuah keluarga.
Hanya saja, sekarang ini, aku tak pernah memikirkan akan kembali berurusan
dengan anak-anak. Aku sedikit ketakutan menghadapi tawaran Lila.
“Aku single parent dan bekerja. Tiga hari lalu pengasuh lama minta
berhenti dan aku butuh pengasuh baru.”
Kami saling pandang. Sampai angin pagi
menampar pipi kami. Aku tetap saja gugup. Mungkin tawaran Lila terlalu
tiba-tiba. Mungkin juga aku tidak pernah lagi membayangkan mengasuh anak kecil.
Atau juga aku menganggap Lila gila. Bukankah orang waras tidak akan menawarkan
pekerjaan pengasuh anak pada seseorang yang baru dikenalnya di taman bermain?
“Kenapa tidak cari pengasuh di penyalur
resmi saja? Aku ingin sekali kerja kantor, tidak apa sebagai cleaning service atau di pantry,” aku mengelak.
Lila menggenggam tanganku, “Aku percaya
kata hati,” desaknya. “Pengasuh anak sebelumnya dari penyalur resmi, tapi
buktinya kami kurang cocok.”
Sebelum berpisah, Lila memberikan kartu
nama dan berharap aku segera menghubunginya. Kemudian aku memang menghubungi
perempuan ramah itu.
***
“Sudah tujuh menit dan kau belum mengakui
apa-apa,” kata Lila mulai tak sabar.
“Ya,” bibir Mila kering, mengelupas dan
gemetar.
“Kenapa dengan Kay pagi itu?” suara
Lila berat.
Mila semakin gemetar. Lila gusar
sekali. Ia hampir berdiri ketika Mila berkata, “Aku melihat dengan jelas
sewaktu Kayril mendekati unggun api.”
***
Seharian aku tergeletak di tempat tidur
dengan baju kantor yang belum diganti. Beberapa teman menghubungi dan bertanya
kenapa aku tidak jadi masuk kantor sebab mereka sudah menyiapkan sambutan
kecil. Aku bilang akan meminta perpanjangan cuti karena ternyata belum siap, belum pulih. Aku benar-benar
masih sakit.
Aku melihat dengan
jelas sewaktu Kayril mendekati unggun api.
Aku terpikir terus kalimat itu.
Betul-betul tidak menyangka. Betul-betul mengejutkan. Perempuan itu bahkan nyaris seperti saudara
sendiri bagi kami. Karena itu terlalu
sulit membayangkan kalau ia sengaja tidak mencegah Kayril mendekat ke arah unggun api dan membiarkan
putri kecilku terjatuh di sana, lalu cacat untuk selamanya. Aku tidak bisa
percaya perempuan itu tega menyaksikan kejadian itu detik demi detik hingga
Kayril menjerit pedih. Jeritan yang akan kami kenang seumur hidup.
Tadi aku memang tidak tahan mendengar
ceritanya lebih panjang lagi. Hatiku tidak kuat. Aku cuma bisa berteriak dan
menjambak rambutnya. Aku merasa belum pernah semarah itu. Tapi kemudian aku
terhempas di lantai. Hatiku dingin. Jiwaku dingin. Tubuhku dingin.
Perempuan itu segera pergi, namun aku
tahu ia pasti akan menemuiku kembali. Mungkin besok atau dua hari lagi.
***
Lila marah sekali padaku. Aku juga sangat
marah pada hidupku. Pada jalan yang membawaku menjadi seorang yang bersalah,
sejak kecil. Pada kemarahan yang menguasaiku pada waktu-waktu tertentu. Pada
rencana-rencana kecil yang berbisik culas dan jahat di telingaku. Aku marah
pada diriku sendiri.
***
Ah, Mila! Kenapa kalimat menakutkan itu
mesti keluar dari bibirmu. Kalimat yang membuatku mendadak terkapar lagi.
aku melihat dengan
jelas sewaktu Kayril mendekati unggun api.
Benarkah Mila sengaja? Aku masih
berharap jika Mila datang lagi ia akan mengaku kalau ia hanya terlambat
mencegahnya. Mila tentunya tidak menginginkan Kayril terjerembab dalam unggun
api yang berakibat fatal pada sepertiga kulit tubuhnya, termasuk bagian wajah.
Semuanya murni kecelakaan atau kecerobohanku yang terlalu asyik mengurus kebun
obat di samping rumah atau ketidaksabaranku menunggu tukang sampah mengangkut
setumpuk ranting di halaman rumah.
Setiap hari Minggu Kayril memang
sepenuhnya tanggung jawabku. Pada hari
itu Mila libur dan berhak pergi ke mana saja, dari pagi hingga sore. Biasanya
ia akan ke taman bermain, tempat kami pertama bertemu. Di sana Mila menjumpai
seorang pacar yang pernah ia kenalkan padaku pada satu kesempatan yang tidak
sengaja. Aku kurang suka pada lelaki itu. Ia menatap tidak sopan pada tubuhku
dan itu menjijikkan.
Tidak biasanya memang, jika Minggu pagi
itu Mila tidak ke mana-mana. Ia tidak bangun pukul lima. Ia juga tidak membuka
jendela hingga pukul delapan pagi. Aku mengetuk kamarnya, mengingatkan kalau
jendela mesti dibuka untuk jalan masuk udara segar. Lima menit setelah itu baru
aku mendengar ia membuka jendela kamarnya yang tepat menghadap ke halaman
depan.
Tentu saja, aku belum pernah
menempatkan pengasuh di kamar itu, kecuali Mila. Kamar itu dulunya tempat kerja
pacarku. Setelah kami putus, kamar nuansa putih itu kubiarkan kosong.
Berbulan-bulan lamanya. Jika kemudian aku membiarkan Mila menempatinya—padahal
kamar khusus pengasuh ada di belakang—karena Kayril sering tertidur bersama
Mila bila aku pulang malam.
Lagipula aku menyayangi Mila layaknya
seorang saudara. Aku merasa menyerahkan Kayril pada seseorang yang sangat tepat
tiap kali meninggalkan rumah untuk berbagai urusan. aku tidak pernah menaruh
perasaan was-was meski teman-teman kantor sering menceritakan prilaku pengasuh
anak yang buruk. Sekali lagi, aku percaya kata hati. Namun setelah pengakuan
Mila kemarin, untuk selamanya aku tak akan punya hati yang sama.
Kenapa, Mila?
***
“Aku marah,” ujar Mila tanpa menatap
mata Lila saat ia—sebagaimana dugaan Lila—datang lagi ke rumah dua hari setelah
pengakuannya. Karena Lila sudah menduga kedatangan itu, maka ia telah
menyiapkan diri dengan lebih baik. Mereka duduk berhadapan di kursi tamu. Mila
berusaha keras mengatur napas. Sementara Lila terus menghukumnya dengan tatapan
dingin. “Pagi itu aku sedang marah. Apalagi saat aku diminta membuka jendela
pada pukul delapan. Aku turuti. Akupun berdiri lama di jendela itu,
memerhatikan Kay yang bermain sendirian di halaman. Ia mengumpulkan daun-daun
rambutan yang baru jatuh. Kau pasti sangat sibuk mengurus tanaman di samping
rumah. Perlahan Kay bergerak membawa segenggam daun di tangan kanannya ke sudut
halaman, tepat di mana kau membakar setumpuk ranting dan daun rambutan kering.
Tak lama berselang, terdengar jeritan yang keras. Kay jatuh ke dalam unggun
api.”
Lila tetap menatap Mila. Tajam-tajam.
“Kenapa kaubiarkan?” ia bertanya.
Mila mengambil napas, “Sudah kukatakan,
aku sedang marah.”
“Apa hubungannya dengan Kay?” desak
Lila mencecar.
“Kadang aku tak suka melihat kalian
begitu bahagia.”
Lila tertawa, getir. “Itu tidak masuk
akal. Terlalu dibuat-buat.”
“Banyak orang membunuh karena alasan
sederhana yang bahkan tidak masuk akal bagi orang lain.”
“Apa maumu sengaja membiarkan Kayril
masuk unggun api, Mil?” Lila mulai menekan.
“Kau sungguh-sungguh ingin tahu?” Mila
menatap mata Lila sejenak. “Dari kecil aku tak disukai semua orang. Dari kecil
aku dianggap membunuh adikku yang hanyut ketika mandi di sungai bersama
teman-temannya. Aku tidak bisa menjaga adik dengan baik. Aku dipukuli dan
dihukum orang tua, bertahun-tahun. Aku lari dari rumah. Tapi aku tetap saja
dihukum perasaanku sendiri.”
Dada Lila bergetar-getar. Pipinya
panas, “Hubungannya dengan Kayril?” Lila nyaris berteriak.
“Aku ingin ada orang merasakan
bagaimana menjadi seseorang yang dianggap salah, seumur hidupnya.”
“Mila!” Lila berdiri, “Aku bisa saja
melapor polisi.”
Mila tersenyum licik, “Kau yang
mengasuh Kayril pagi itu. Aku sedang libur. Tidak ada alasan untuk
menyalahkanku.”
Lila tercengang. Matanya mulai lembab
dan hangat. Ia minta perempuan itu segera pergi, meski ia tahu perempuan itu pasti kembali; besok
atau dua hari lagi atau seminggu lagi. Ia akan terus datang pada Lila untuk
berbagi luka.
***
“Halo.”
“Halo.”
“Kau sudah menemukan waktu yang tepat
untuk menyingkirkan pacarmu itu?”
“Pukul lima pagi, sebelum ia berangkat
ke taman bermain, aku akan membekapnya di kamar mandi.”
Lila berdebar. Lila gelisah. Sekarang
baru pukul satu dinihari.
Jalan Enam Mei-Batusangkar, 2011
Yetti A.KA, buku terbarunya Satu Hari Bukan di Hari Minggu (gress publishing, 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar