Minggu, 27 Oktober 2013

PEMENTASAN KOMUNITAS SENI HITAM PUTIH: Tangga, Membangun Narasi Kultural Sendiri


OLEH Esha Tegar Putra
 
Pementasan Tangga (Foto Rivo)
Seusai pertunjukan teater berjudul Tangga yang dipentaskan Komunitas Hitam-Putih di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, Minggu (23/9/2011), sebagian permerhati teater berpandangan bahwa kekuatan masing-masing bangunan (aktor, penari, pemusik) dalam pementasan tersebut telah mengaburkan warna ‘Yusril’ selaku sutradara.
Sebagian lagi berpendapat, karena proses pencarian estetik panggung telah membuat peralihan makna dari naskah yang berawal teks naratif puisi Tangga Iyut Fitra tersebut: menghancurkan sebuah sejarah lantas membangun sejarah yang baru… (mengutip pandangan S Metron M).

Tapi pada malam petunjukan Tangga, penonton benar-benar ditantang untuk melakukan proses baca-tafsir dari teks panggung. Dan menyigi Barthes dalam Image/Musik/Teks, tentunya proses baca tafsir sangat menjunjung pelbagai macam pengetahuan, mulai dari pengetahuan praktis, nasional, kultural, estetis, dan lain-lain yang tertanam dalam imaji.
Jika penonton pada malam pementasan tersebut abai pada bagian-bagian yang dihadirkan di atas panggung, alhasil mereka akan kebingungan juga dalam proses baca tafsir. Dalam hal ini, penonton akan menerima teks verbal dari narasi-narasi aktor sebagai bagian dari narasi kultural keseharian, tapi akan kebingungan menghadapai visualisasi panggung.
Tangga dalam Eksplorasi Ketiga
Bajanjang naiak, batanggo turun/ Naiak dari janjang nan di bawah, turun dari tanggo nan di ateh/ Titiak dari langik, tabasuik dari bumi, falsafah Minangkabau ini yang menjadi dasar pertunjukan Tangga. Falsafah tersebut membangun ruangnya sendiri pada awal pertunjukan. Sebanyak delapan Tangga, masing-masing menjadi ruang sekaligus properti delapan orang aktor dalam pertunjukan.
Pada awal pertunjukan, enam Tangga bersusun di dinding sentral panggung, dua di antaranya menjadi permainan bagi dua orang penari, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Panggung didominasi citraan merah, begitu juga pakaian aktor, semuanya serba merah. Tubuh, melalui permainan aktor laki-laki dan perempuan seakan menunjukkan titik mula dari persoalan di awal pertunjukan. Bisa jadi berhubungan dengan persoalan gender yang sebenarnya hanyalah mediator bagi persoalan dualisme ‘kekuasaan’ yang hendak disampaikan.
Anggapan dualisme itu tentu bisa ditarik dari falsafah Minangkabau di atas, yakni persoalan Adat Nan Diadatkan, adat yang berada di bawah Adat Nan Sabana Adat dan dipakai oleh masyarakat Minangkabau dalam keseharian. Adat Nan Didatakan, dipercaya dirancang oleh dua orang tokoh besar Minangkabau yang pada khirnya membagi dua peran perpolitikan yang berbeda: dan Datuak Katumangguangan untuk Koto Piliang dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk Bodi Caniago.
Meski dua orang tokoh tersebut tidak dihadirkan secara pada posisi ‘nyata’ di atas panggung tapi dua rancangan sistem perpolitikan yang secara spirit diyakini dibentuk oleh dua pembesar tersebut serasa terus menjadi konflik di pertunjukan Tangga.
Pandangan kesejarahan yang dihancurkan lalu dibangun baru dalam pertunjukan Tangga bisa jadi terlihat pada dua konsep di atas yang berlawan tapi sebenarnya konsep tersebut membaur, bertemu, dan saling mengisi dan melahirkan kekasan demokrasi Minangkabau. Tapi pada pementasan Tangga, konsep tersebut dihadirkan dalam posisi chaos dan saling membentur. Yang ada di dalam pementasan tersebut, hanya orang yang saling berebut, beralih, menggelinding dari satu Tangga ke Tangga lain, dari atas Tangga ke bawah Tangga. Sebentuk gerak akrobatik terus dimunculkan dari satu bagian ke bagian lain.
Jika inti dari adat yang dirancang Datuak Parpatiah Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat, sedangkan Datuak Katumangguangan melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang, akan tetapi dalam pertunjukan Tangga dua hal tersebut seakan dipertanyakan lagi. Dua sistem kekuasaan yang berhulu pada demokrasi, kali ini diperlihatkan sebagai sebentuk otokrasi—atau dua otokrasi dalam satu ranah dua bagian kekuasaan?
Tarian-tarian aktor, sebagaimana Ali Syukri, koreografer Komunitas Seni Hitam-Putih yang turun langsung menjadi aktor dalam pertunjukan terus menyiratkan benturan kekuasan tersebut. Meski patahan-patahan dialong dari puisi Iyut Fitra dibacakan bagian frasanya oleh beberapa orang aktor, namun telah tereliminasi oleh tafsir panggung yang dihadirkan.
Begitu juga dengan permainan delapan Tangga yang menghadirkan visualisasi panggung yang memainkan peran pada masing-masing penciptaan bentuk susunan Tangga itu sendiri menghadirkan beragam pemaknaan, kehidupan, kekecewaan, kematian, sampai perebutan kekuasaan seakan disimbolkan. Kondisi chaos, tubuh yang mengkritik, tubuh yang melawan bagian dari tubuh menjadi pemaknaan penting dalam pertunjukan Tangga.
Peran musik yang ditata oleh Elizar Koto dan diisi Indra Jaya bagian terpenting yang mendominasi pertunjukan dengan kekhasannya sendiri. Begitu juga tarian dalam warna khas koreografi Ali Syukri sangat terasa di dalamnya. Dalam posisi inilah kebebasan pecarian dalam proses Tangga dipertanyakan lagi oleh beberapa pengamat teater pada sutradara Yusril. Pada malam seusai pementasan, Yusril menyatakn bahwa kebebasan ide itulah yang sejauh ini disadarinya sebagai prinsip demokrasi di dalam panggung. Dalam artian, selaku sutradara dirinya tidak menyerahkan konsep secara bulat, akan tetapi kosenp tersebut akan selalu menjadi perdebatan dari proses sampai pertunjukan.
Perbandingan warna khas ‘Yusril’ berkemungkinan diperbandingkan dengan Tangga yang pernah diproduksi Komunitas Hitam-Putih di tahun 2007 dengan sutradara yang sama. Dalam proses ekplorasi ketiga, yakni pada pementasan Tangga di tahun 2012 ada tiga hal yang menurut sutradara terus dipertajam melalui estetika pertunjukan, yakni eksplorasi properti Tangga dalam mencari kemungkinan-kemungkinan gerak-gerak akrobatik; penajaman gerak silat Minangkabau yang menjadi dasar utama dalam pertunjukan; dan mempertegas korelasi antara kekuatan bahasa (dialog) dengan bahasa tubuh aktor-aktris di atas panggung melalui gestur-gestur yang non-realistik.
Tangga belum berakhir, tentu akan ada eksplorasi dan pencapaian selanjutnya yang ingin dipertontonkan pada penikmat teater. Kita tunggu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...