OLEH Esha Tegar Putra
Pementasan Tangga (Foto Rivo) |
Seusai pertunjukan teater berjudul Tangga yang dipentaskan Komunitas Hitam-Putih
di Teater Utama Taman Budaya Sumbar, Minggu (23/9/2011), sebagian permerhati
teater berpandangan bahwa kekuatan masing-masing bangunan (aktor, penari,
pemusik) dalam pementasan tersebut telah mengaburkan warna ‘Yusril’ selaku
sutradara.
Sebagian lagi berpendapat, karena proses
pencarian estetik panggung telah membuat peralihan makna dari naskah yang
berawal teks naratif puisi Tangga
Iyut Fitra tersebut: menghancurkan sebuah sejarah lantas membangun sejarah yang
baru… (mengutip pandangan S Metron M).
Tapi pada malam petunjukan Tangga, penonton benar-benar ditantang
untuk melakukan proses baca-tafsir dari teks panggung.
Dan menyigi Barthes dalam Image/Musik/Teks,
tentunya proses baca tafsir sangat menjunjung pelbagai macam
pengetahuan,
mulai dari pengetahuan praktis,
nasional, kultural, estetis, dan
lain-lain yang tertanam dalam imaji.
Jika penonton pada malam pementasan
tersebut abai pada bagian-bagian yang dihadirkan di atas panggung, alhasil
mereka akan kebingungan juga dalam proses baca tafsir. Dalam hal ini, penonton akan
menerima teks verbal dari narasi-narasi aktor sebagai bagian dari narasi
kultural keseharian, tapi akan kebingungan menghadapai visualisasi panggung.
Tangga dalam Eksplorasi Ketiga
Bajanjang naiak,
batanggo turun/ Naiak dari janjang nan di bawah, turun dari tanggo nan di ateh/
Titiak dari langik, tabasuik dari bumi, falsafah Minangkabau
ini yang menjadi dasar pertunjukan Tangga.
Falsafah tersebut membangun ruangnya sendiri pada awal pertunjukan. Sebanyak delapan Tangga, masing-masing menjadi ruang sekaligus properti delapan
orang aktor dalam pertunjukan.
Pada awal pertunjukan, enam Tangga bersusun di dinding sentral panggung, dua di antaranya
menjadi permainan bagi dua orang penari, satu laki-laki dan satu lagi
perempuan. Panggung
didominasi citraan merah, begitu juga pakaian aktor, semuanya serba merah. Tubuh,
melalui permainan aktor laki-laki dan perempuan seakan menunjukkan titik mula
dari persoalan di awal pertunjukan. Bisa jadi berhubungan dengan persoalan gender yang sebenarnya
hanyalah mediator bagi persoalan dualisme ‘kekuasaan’ yang hendak disampaikan.
Anggapan dualisme itu tentu bisa ditarik dari falsafah
Minangkabau di atas, yakni persoalan Adat
Nan Diadatkan, adat yang berada di bawah Adat Nan Sabana Adat dan dipakai oleh masyarakat Minangkabau dalam
keseharian. Adat Nan Didatakan,
dipercaya dirancang oleh dua orang tokoh besar Minangkabau yang pada khirnya
membagi dua peran perpolitikan yang berbeda: dan Datuak Katumangguangan untuk
Koto Piliang dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang untuk Bodi Caniago.
Meski dua orang tokoh tersebut tidak dihadirkan secara pada
posisi ‘nyata’ di atas panggung tapi dua rancangan sistem perpolitikan yang
secara spirit diyakini dibentuk oleh dua pembesar tersebut serasa terus menjadi
konflik di pertunjukan Tangga.
Pandangan kesejarahan yang dihancurkan lalu dibangun baru
dalam pertunjukan Tangga bisa jadi
terlihat pada dua konsep di atas yang berlawan tapi sebenarnya konsep tersebut
membaur, bertemu, dan saling mengisi dan melahirkan kekasan demokrasi
Minangkabau. Tapi pada pementasan Tangga,
konsep tersebut dihadirkan dalam posisi chaos
dan saling membentur. Yang ada di dalam pementasan tersebut, hanya orang yang
saling berebut, beralih, menggelinding dari satu Tangga ke Tangga lain,
dari atas Tangga ke bawah Tangga. Sebentuk gerak akrobatik terus
dimunculkan dari satu bagian ke bagian lain.
Jika inti dari adat yang dirancang Datuak Parpatiah Nan
Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat dan mengutamakan musyawarah
untuk mufakat, sedangkan Datuak Katumangguangan melaksanakan pemerintahan yang
berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang, akan tetapi dalam
pertunjukan Tangga dua hal tersebut
seakan dipertanyakan lagi. Dua sistem kekuasaan yang berhulu pada demokrasi,
kali ini diperlihatkan sebagai sebentuk otokrasi—atau dua otokrasi dalam satu
ranah dua bagian kekuasaan?
Tarian-tarian aktor, sebagaimana Ali Syukri, koreografer
Komunitas Seni Hitam-Putih yang turun langsung menjadi aktor dalam pertunjukan
terus menyiratkan benturan kekuasan tersebut. Meski patahan-patahan dialong
dari puisi Iyut Fitra dibacakan bagian frasanya oleh beberapa orang aktor,
namun telah tereliminasi oleh tafsir panggung yang dihadirkan.
Begitu juga dengan permainan delapan Tangga yang menghadirkan visualisasi panggung yang memainkan peran
pada masing-masing penciptaan bentuk susunan Tangga itu sendiri menghadirkan beragam pemaknaan, kehidupan,
kekecewaan, kematian, sampai perebutan kekuasaan seakan disimbolkan. Kondisi chaos, tubuh yang mengkritik, tubuh yang
melawan bagian dari tubuh menjadi pemaknaan penting dalam pertunjukan Tangga.
Peran musik yang ditata oleh Elizar Koto dan diisi Indra Jaya
bagian terpenting yang mendominasi pertunjukan dengan kekhasannya sendiri.
Begitu juga tarian dalam warna khas koreografi Ali Syukri sangat terasa di
dalamnya. Dalam posisi inilah kebebasan pecarian dalam proses Tangga dipertanyakan lagi oleh beberapa
pengamat teater pada sutradara Yusril. Pada malam seusai pementasan, Yusril
menyatakn bahwa kebebasan ide itulah yang sejauh ini disadarinya sebagai
prinsip demokrasi di dalam panggung. Dalam artian, selaku sutradara dirinya
tidak menyerahkan konsep secara bulat, akan tetapi kosenp tersebut akan selalu
menjadi perdebatan dari proses sampai pertunjukan.
Perbandingan warna khas ‘Yusril’ berkemungkinan
diperbandingkan dengan Tangga yang
pernah diproduksi Komunitas Hitam-Putih di tahun 2007 dengan sutradara yang
sama. Dalam proses ekplorasi ketiga, yakni pada pementasan Tangga di tahun 2012 ada tiga hal yang menurut sutradara terus
dipertajam melalui estetika pertunjukan, yakni eksplorasi properti Tangga dalam mencari
kemungkinan-kemungkinan gerak-gerak akrobatik; penajaman gerak silat
Minangkabau yang menjadi dasar utama dalam pertunjukan; dan mempertegas
korelasi antara kekuatan bahasa (dialog) dengan bahasa tubuh aktor-aktris di
atas panggung melalui gestur-gestur yang non-realistik.
Tangga belum berakhir, tentu akan ada eksplorasi dan pencapaian
selanjutnya yang ingin dipertontonkan pada penikmat teater. Kita tunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar