CERPEN Delvi Yandra
Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map
yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah
membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum orang-orang
kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak
sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik
kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan
pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.
Seorang tua dengan tiba-tiba menepuk pundakku. Ketika itu
aku tengah tertidur pada sebuah bangku di salah satu tempat perhentian bis.
Mata yang memerah dan berurat-urat. Tampak garis-garis keriput di dahi dan
beberapa di pipi. Bibirku memucat dan pecah-pecah serupa lahan tandus. Seketika
itu pula aku terjaga sebab seorang tua tak kukenal membuyarkan mimpi yang
benar-benar kuharapkan akan menjadi suatu kenyataan. Setidak-tidaknya mimpi itu
dapat menghiburku setelah letih seharian melamar kerja. Ke perusahaan. Pintu-pintu
kantor yang dapat memberi cahaya terang bagi masa depanku, Sri dan si buah hati
yang masih berusia tiga bulan berdiam di dalam perut istriku. Sri.
“Maaf nak, ini bis yang terakhir. Apa anak tidak akan
naik?” Orang tua itu bertanya seolah-olah ia adalah seseorang yang akan
membunuhku dengan tatapan tajamnya. Menyelinap halimun ke dalam pori-pori dan
menikam jantungku. Tapi ia memulainya dengan cukup sopan.
“Oh, Eh iya. Bapak bilang apa tadi?” Aku terkesiap dan mempersiapkan diri untuk beranjak dan menjauh
dari orang tua itu. Tindakan yang kulakukan dengan tidak sengaja.
“Maksudku, apa anak tidak akan naik bis ini sebab tidak
ada bis lain yang akan lewat jalan ini, lagipula hari sudah senja. Sebenarnya
anak mau kemana? Dan kenapa bisa sampai tertidur di sini?” Pertanyaan orang tua
itu mulai menjurus ke hal-hal yang tak perlu ia tanyakan. Aku mulai mencurigai
orang tua yang entah dari mana datang menanyakan sesuatu yang bukan
kepentingannya.
“Saya tidak sedang mau kemana-mana, saya hanya kelelahan
saja jadi bapak silakan duluan. Saya tidak apa-apa.” Aku langsung menangkis
pertanyaan yang dilontarkan orang tua itu agar ia cepat-cepat pergi dari
hadapanku. Orang tua itu malah tersenyum simpul sambil membetulkan letak kancing
kemeja kusamnya.
“Nama bapak Rustam, bapak sedang senggang hari ini dan
bapak juga tidak akan kemana-mana jadi apa anak merasa tidak keberatan kalau
bapak temani disini? Sepertinya anak sedang kesusahan, terlihat dari air muka
anak.” Ia menerka seperti ia seorang peramal. Aku semakin menjadi-jadi dengan
kecemasanku akan kehadirannya. Kutinggalkan orang tua itu dengan mencoba
menaiki bis, tapi bis itu telah berlalu dan menjauh dari pandanganku menuju
tikungan lalu menghilang.
“Anak tidak usah takut, bapak bukan orang jahat. Bapak
hanya ingin membantu kesusahan anak saja. Tidak lebih.” Orang tua itu mulai
sedikit-sedikit memberi penjelasan sambil mengajak aku untuk duduk kembali.
Matanya itu tidak lagi tajam serupa tadi bahkan terlihat seperti sebuah
pancaran cahaya yang sejuk apabila ditatap mata lawan bicara. Kubayangkan
serupa tatapan kasih sayang orang tua terhadap anaknya yang telah lama berpisah
akhirnya bertemu kembali.
***
Senja menuju tampuknya di susul malam yang memberi pekat
cahaya pada bulan dilingkup halimun. Padahal suasana kota masih ramai seperti
biasa, baru sekitar jam tujuh dan kendaraan masih banyak yang berlalu lalang.
Tapi, entah mengapa suasana di perhentian bis ini seolah-olah mencekam. Seperti
ada kesepian yang benar-benar hampa berselimut di sini. Orang tua itu memaku
tubuhnya dilingkup bangku. Mulutnya mengeluarkan asap setelah menghisap
segulung nipah yang ia keluarkan dari balik kemeja kusamnya. Orang tua itu
mengundang misteri. Walaupun sebelumnya ia telah memberi penjelasan. Tapi belum
sedikit pun ia menjelaskan siapa ia sebenarnya.
Keluarlah kata-kata dari mulutnya yang berasap nipah.
Sebenarnya aku ingin muntah ketika ia berkata-kata. Jujur kukatakan bahwa
mulutnya itu berbau busuk. Tapi kuurungkan sebab khawatir kalau hal itu
kulakukan tentu akan menyakiti perasaannya apalagi ia hanya seorang tua. Tangannya
yang keriput dan penuh tonjolan-tonjolan, gemetar dan bergeletuk di pangkal
pahaku kemudian menatapku dari bawah sampai ke atas dengan matanya yang kuyu.
“Anak berasal dari mana? Sudah berapa lama bapak di sini
tapi belum sekali pun bapak pernah melihat anak. Hari ini baru yang pertama.”
Sebuah pertanyaan meluncur dari mulut orang tua itu.
“Ah, bukan. Saya bukan dari daerah sini. Saya hanya
kebetulan lewat dan mau pulang tapi bapak lihat sendiri tadi kalau saya sudah
ketinggalan bis.” Aku mulai membuka diri walaupun tidak akan kukatakan
semuanya. Aku hanya tidak ingin orang tua ini terlalu jauh masuk ke
kehidupanku. Lagi pula untuk apa ia mengetahui urusanku.
“Oh, jadi anak akan menginap di sini? Bagaimana kalau di
rumah bapak saja?” Penawaran yang menguntungkan bagiku. Tapi tidak. Aku tidak
akan ke rumahnya. Tidak akan masuk ke dalam kamarnya. Apalagi berbaring di
tempat tidurnya. Aku jadi curiga. Bukannya aku ingin bermaksud yang tidak-tidak
tapi ini benar-benar aneh. Baru kenal sebentar ini ia sudah begitu baik padaku.
Bahkan aku belum menyebut namaku.
“Ah, tidak usah. Saya tidak apa-apa. Di sini juga tidak
apa-apa. Lagi pula saya tidak akan lama di sini.” Ku tolak tawarannya
mentah-mentah. keningnya mulai mengerut dan bentuk matanya aneh seperti
mencurigaiku.
“Tidak baik kalau anak tetap tinggal di sini sebab sepengetahuan
bapak setiap malam di sini selalu ada kejadian aneh yang membuat orang-orang
sekitar tidak ada yang berani lewat di sini apalagi kalau sudah lewat tengah
malam.” Orang tua ini mulai tidak keruan bicaranya. Seolah-olah ia ingin
memaksa aku untuk menginap di rumahnya dengan mengarang cerita-cerita aneh.
“Ah, bapak ada-ada saja. Mana mungkin ada kejadian aneh
di tempat seperti ini.” Kucoba menghibur diri. Tapi tidak dapat kusangkal kalau
tempat ini memang terasa ganjil; pohon-pohon besar berjejer di belakang jalan
dan semerawut, sebuah gubuk kosong dan tidak terawat seperti dibiarkan saja
oleh pemerintah untuk tidak di gusur berdiri di tepi jalan. Semuanya
seolah-olah membangun kesan mistis yang rahasianya tak pernah terungkap. Ya
Tuhan! Apa yang sedang kupikirkan. Mana mungkin di zaman yang serba instan dan
modern ini ada kejadian aneh. Orang-orang tidak akan ada lagi yang percaya dengan
hal-hal yang begituan malah mereka akan menertawakannya. Orang tua ini mencoba
mengelabuiku dengan cara-cara klasiknya. Sekiranya aku ini anak kecil yang
dengan mudahnya di bujuk hanya dengan sebungkus permen. Tidak. Aku tidak akan
tertipu.
“Terserah kalau anak tidak mau percaya. Bapak juga tidak
akan memaksa. Anak tetap tinggal di sini itu juga urusan anak. Bapak tidak akan
ikut campur. Tapi jangan salahkan bapak kalau terjadi apa-apa pada anak
nantinya sebab anak sudah bapak beritahu.” Seperti sebuah ancaman keluar dari
mulut orang tua itu. Aku tidak akan bergeming. Lagi pula apa hubungannya aku
dengan orang tua itu yang tiba-tiba saja entah dari mana datang dan
mengancamku. Sekiranya aku takut. Tidak.
“Saya tidak habis pikir, kenapa bapak begitu peduli pada saya
padahal saya tidak berbuat sesuatu untuk bapak? Apa yang bapak inginkan dari
saya?” Aku mulai marah. Naik darah. Orang tua itu sengaja membuat aku kesal
sedemikian rupa agar aku ikut dengannya atau pergi dari sini.
“Nak, bukan maksud bapak untuk...”
“Ah, lebih baik bapak tidak usah ikut campur urusan saya.
Saya mau ini saya mau itu, itu urusan saya jadi tolong bapak jangan ganggu
saya.” Marahku sudah tidak tertahan lagi melihat tingkah orang tua itu. Ia
gelagapan.
“Euh anu, baik. Bapak akan pergi. Tapi jangan salahkan
bapak kalau...”
“Saya bilang pergi! Jangan ganggu saya!”
“Baik. Baik bapak pergi.” Kemudian orang tua itu berlalu
dari hadapanku. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai ia menghilang di
tikungan. Orang tua yang menjengkelkan. Kutarik napas panjang pertanda bahwa
aku lega sebab ia pergi dari hadapanku. Dari pikiranku.
***
Malam semakin menuju puncaknya di balik pucuk pohon
beringin. Mataku tak mau terpejam sebab masih teringat perkataan orang tua tadi.
Seketika itu pula bulu remangku berdiri. Hawa dingin berkelebat di tubuhku. Kusapu
pandangan ke segala penjuru. Memang benar tempat ini ganjil; gubuk usang dan
pohon-pohon besar yang semerawut. Bulan penuh memancarkan cahaya terang seperti
membentuk raut wajah seseorang di dalam lingkarannya. Aku jadi teringat kampung.
Teringat Sri. Sedang apa ia sekarang? Sudah tidurkah ia? Banyak pertanyaan yang
ingin kutanyakan padanya. Tapi aku terjebak di sini. Di perhentian bis.
Pandanganku kembali tertumbuk pada gubuk usang tadi.
Menurutku tempat itu yang paling aneh di sini. Aku jadi penasaran dengannya.
Lamat-lamat kudekati juga gubuk itu. Beratap rumbia dan lantai beranda yang
hanya terbentuk dari tanah sedikit menonjol ke atas. Sebuah kursi dari bambu yang
terletak di teras mulai kusam bentuknya. Warnanya pun mulai pudar. Jendelanya
pun dibiarkan terbuka dan laba-laba membuat sarang di situ. Gubuk itu seperti
sudah lama di tinggalkan pemiliknya. Kubuka pintu muka. Ternyata tidak
terkunci. Terdengar suara pintu itu berderik ketika di buka. Udara pengap
berseliweran dari dalam, di tambah lagi cahaya bulan yang masuk di sela-sela
atapnya menciptakan suasana yang mengerikan. Baru selangkah kakiku menginjak
isi gubuk itu terciumlah bau busuk yang menyengat. Tapi mataku tertumbuk pada
sebingkai gambar kusam yang tergantung di dinding. Kulekatkan pandangan
dalam-dalam ke gambar itu. Seekor kucing. Matanya seolah-olah terus
memperhatikan aku. Anehnya, mengapa ada gambar seekor kucing di gubuk ini? Apa
pemiliknya pecinta hewan? Trang! Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Seperti suara peralatan dapur yang saling beradu satu sama lain. Keras sekali.
Aku terkejut. Langsung kualihkan pandangan ke belakang. Dengan hati-hati aku
mulai melangkah pelan-pelan ke arah suara itu. Tapi suara itu tidak terdengar
lagi. Menjadi hening kembali. Aku harus waspada. Jangan-jangan ada seseorang di
gubuk ini. Pelan-pelan kulangkahkan kaki sambil meraba-raba ke depan dan ke
samping. Bau busuk tadi lebih menyengat dari ketika pertama aku masuk. Aku
mulai mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan di
dalam gubuk ini. Kuncinya adalah bau busuk ini. Seperti bau manusia. Ah,
barangkali hanya asumsiku saja. Tapi entah dari mana bau ini berasal. Gubuk ini
terlalu kecil untuk menyembunyikan bau busuk yang menyengat. Anehnya, ketika di
luar tidak tercium barang sebentar pun bau ini.
Rasa penasaranku mulai bergejolak. Semakin aku ingin
mencari tahu apa yang telah terjadi di gubuk ini semakin aku dihinggapi rasa
takut. Tanganku meraba sesuatu. Sesuatu yang sedikit menonjol dari balik
dinding yang terbuat dari jalinan pandan yang sudah dikeringkan. Kupastikan
bahwa ada sesuatu dari balik dinding ini dengan meraba setiap sisinya. Ternyata
memang ada sesuatu. Sesegera itu pula aku berusaha mencari sesuatu untuk
membuka dinding ini. Apa yang tersembunyi di baliknya. Aku menuju ke depan
gubuk. Ke halaman. Kutemukan linggis di bawah kursi muka. Kembali ke belakang.
Darahku bergejolak. Keringat mulai keluar dari pori-pori. Muncul rasa ingin
menyibak tabir yang selama ini tersimpan rapi di gubuk usang ini. Di gubuk yang
seharusnya sudah di gusur oleh pemerintah. Tidak lagi terpikirkan olehku Sri
yang menanti di kampung. Rasa ingin tahuku terhadap gubuk ini lebih besar dari
pada pekerjaan yang kuharapkan. Dinding kuhantam keras-keras. Pelan-pelan mulai
tampak sesuatu. Sebuah lengan jatuh ke lantai. Ya Tuhan! Aku terkejut dan
melompat. Baunya semakin sangit. Mengapa bisa ada mayat di gubuk ini. Mayat
yang sengaja dipotong-potong. Benar dugaanku bahwa ada mayat di sini. Tanggung
terbuka. Kuhantamkan linggis lebih keras lagi. Satu-satu potongan tubuh manusia
mulai berceceran di lantai. Tanpa kepala. Kemana kepalanya? Pembunuhnya sengaja
tidak meninggalkan bukti dengan memisahkan bagian tubuh mayat dan kepala.
Benar-benar cerdas dan sadis.
Badanku mulai gemetar. Aku tak tahu apa yang akan
kulakukan selanjutnya. Ah, lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini. Jangan
sampai orang mengira bahwa akulah yang telah membunuh orang ini.
Secepat kilat aku lari ke muka. Tapi ada seseorang di
pintu muka. Ah, ternyata orang tua yang tadi di perhentian bis. Mau apa dia
kemari.
“Hei nak, kan sudah kukatakan tadi agar kau pergi dari
sini. Kau telah mengacaukan semuanya.” Orang tua itu mengeluarkan sebilah
belati dari balik kemejanya dan mengarahkannya padaku.
“Oh, ternyata bapak yang telah membunuh orang itu. Jadi
ini yang bapak sembunyikan selama ini.” Kuambil posisi untuk menghindari
belatinya.
“Nak, kau harus kubunuh karena kau telah mengetahui
semuanya. Semua yang kusimpan rapi di gubuk ini. Tak ada lagi yang akan
kusisakan. Termasuk kau.”
“Kenapa bapak membunuhnya? Apa yang bapak inginkan
darinya?”
“Itu bukan urusanmu. Dia telah menghancurkan seluruh
hidupku. Minah dan dua putriku telah di bunuhnya. Padahal aku telah berjanji
akan membayar semua hutang-hutangku padanya tapi dia tak mau mendengarkannya.
Inilah balasan yang setimpal untuknya.” Sekarang mulai jelaslah semua rahasia
yang tersimpan di gubuk ini. Juga suasana yang mencekam di perhentian bis itu.
“Bapak tahu dengan apa yang telah bapak lakukan?”
“Ah, jangan sok suci anak muda. Mana ada lagi orang jujur
di dunia ini. Sekarang kau harus kubunuh!” Orang tua itu mengayunkan belatinya
ke arahku. Eits! Hampir saja. Aku harus segera menghindar dan lari dari orang
tua sinting ini. Kupacu langkah ke arah belakang. Ah, tidak! Pintu belakang
gubuk ini terkunci. Aku terperangkap. Seketika itu sebuah ayunan belati
mendarat di kepalaku. Darah mengucur dan bercak-bercaknya menempel di dinding.
Senyum puas terpancar dari orang tua itu. Pandanganku kabur. Gelap.
Maafkan aku, istriku. Aku telah mengecewakanmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku
telah berbuat sesuatu yang berarti di sini. Sesuatu yang kau tidak pernah
mengerti. Walaupun apa yang aku lakukan ini tidak seorang pun mengetahuinya. Maafkan
aku. Jaga anak-anak kita. Kelak surat kabar akan memberitakan segalanya. Dari situ
pula akan aku sampaikan salam perpisahan untukmu.
Sehari kemudian, tersiar kabar tentang dua sosok mayat
yang terpotong-potong dan seorang tua yang mati gantung diri di dalam sebuah
gubuk dekat perhentian bis jurusan Malang.
Padang, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar