CERPEN Dafriansyah Putra
Judul: Jendela di Prapatan, karya Amrianis |
Ruangan penuh dengan berkas berserakan,
buku terkembang, buram bertebaran, dokumen bertumpuk-tumpuk. Kalian senantiasa
membiarkannya. Tak ada kesempatan buat membereskan. Kalian terlampau sibuk
mengurusi suatu misi yang amat penting, misi dikejar waktu.
Kalian mengenakan baju hijau lumut yang
membuat penampilan kalian kelihatan gagah, cantik, dan berwibawa. Kemudian
kalian duduk berkumpul mengeliling, bersehadap meja kaca oval yang lebar.
Tatapan kalian tertuju pada satu arah, kepada orang yang duduk di paling ujung.
Kalian memasang muka yang begitu
serius. Seperti rapat tikus saja. Kalian bercericit ganti-ganti. Satu menanya,
satu menyanggah. Satu bersuara yang lain menginap-inapkan.
“Malam besok jalan!”
Pembicaraan kalian selesai seiring
kepalan tangan yang kalian tinju-tinjukan ke udara. Kalian bubar. Bunyi kursi
derit-berderit dibuatnya.
***
Kau kemudian menyiapkan mental
kuat-kuat. Akan tetapi hatimu terus berjibaku: apa untungnya bila melakukan
itu. Namun, jika tidak, sama saja dengan menjadi pembiar. Bukankah membiarkan
orang memiliki sesuatu yang tidak berhak dimiliki itu adalah sifat tercela, sifatnya
setan, bukan sifatnya insan. Bahkan dosanya sejajar dengan membiarkan orang mencuri.”
Tapi, kau didatangi bayangan kemudian.
Seandainya kau lakukan, maka akan muncul air mata yang beranak di mana-mana. Ratap
tak kuasa kelak membahana. Jeritan menyayat. Pilu menyebar. Duka mengembar.
Sungguh, kau tak ingin menjadi orang
paling dibenci Tuhan. Jelas-jelas Tuhan melarang manusia berbuat sesuatu yang
menyakiti manusia lain. Kau membayangkan neraka, membayangkan lidah api
mencambuk tubuhmu, membayangkan penjaga neraka menghunuskan tombak tepat di ulu
hatimu; hati yang mati rasa, hati batu.
***
Assalamualaikum.
Ibu. Maaf, lebaran
besok Karsa tidak pulang. Karsa ada kerja. Salam buat handai taulan. Sampaikan
pula pinta maaf lahir dan batin.
Pesan singkat kau kirim ke kampung
halaman, kepada ibumu.
Setelah diterima menjadi pegawai negeri
di jawatan yang mengurusi lanskap kota, kau terpaksa meninggalkan kampung dan
menetap di kota. Sungguh, pada mulanya kau teramat berat buat berpisah dengan
ibu. Ibu adalah satu-satunya harta yang kau miliki setelah
keluarga-keluargamu—adik perempuan dan ayahmu— tewas menjadi korban kebakaran.
Rumahmu terbakar ketika usiamu menginjak
sebelas tahun. Kuat dugaan akibat korsleting listrik. Kejadian itu terjadi
ketika subuh, saat adzan subuh belum lama berkumandang.
Kala itu kau dan ibumu pergi ke masjid,
melaksanakan shalat berjamaah. Di saat yang bersamaan, adik perempuanmu yang
saat itu berusia tujuh tahun mengalami demam tinggi dan sering mengigau. Maka
ayahmu memutuskan untuk sholat di rumah sembari menunggui adik. Padahal,
biasanya kalian sekeluarga selalu menunaikan sholat jamaah di masjid yang letaknya
tak jauh dari rumah itu, tak tinggal barang serakaat pun.
Barangkali waktu benar yang membisikkan
kematian. Ajal telah meminta nyawa ayah dan adikmu. Kobaran mahadasyat lahir
dengan tiba-tiba sehingga mengurung langkah. Tak tersibak sedikit pun jalan
bagi mereka. Semua ditimbun api, dirimbun asap yang pekat, menyesak. Api itu,
api yang begitu panas lagi buas, tak dapat dibendung dengan apapun. Sekalipun
dengan waktu.
Kejadian itu benar-benar membuatmu kian
menyadari hidup tak semudah bermain gundu. Tak pula sesulit mengadu panco.
Hidup lebih rumit ditebak ketimbang mengira-ngira langkah bidak catur. Bahkan kau
menyimpulan hidup itu mirip tos-tosan koin: bisa keluar gambar, bisa angka,
bisa jatuh tepat di tengah porosnya.
Handphone berdering. Lamunanmu buyar.
Waalaikumsalam.
Nak, akhir-akhir
ini ibu rindu benar padamu. Pulanglah. Ibu ingin kita sama-sama lebaran di
rumah.
Kaubaca berulangkali pesan itu.
Entahlah, kau merasa tak yakin. Jarang,
bahkan tak pernah sekalipun ibumu membantah akan kemauanmu.
Sering kau tak bisa pulang dan
mengabarkan hal itu. Biasanya ibu akan paham pada pekerjaanmu dan merelakan—sekalipun
itu adalah dusta yang kau layangkan saat kau merasa malas untuk pulang, sekalipun
itu saat akhir pekan bahkan pernah di hari ulang tahun ibumu. Akan tetapi kali
ini ibu agak memaksa.
Kau tercekat. Pikiran dan hatimu
tingkah-meningkah. Barangkali itu firasat, tapi kau tak menyadarinya.
***
Atasan menugasimu menjadi eksekutor.
Selain kau dijanjikan kenaikan jabatan, THR dan bonus besar kelak akan kau
dapati.
Dalam pikirmu, kebahagiaan tumbuh dalam
wujud bunga-bunga kuning, merah, mekar, dan wangi. Di antara taman kembang yang
luas membentang itu kau melihat ibumu menggenakan pakaian bagus bermotif. Ibumu
tertawa. Bukannya kau dulu pernah berjanji pada ibumu, akan membelikan baju
bermotif pada saat kau menerima gaji pertama? Namun, niat itu urung terlaksana.
Uang itu lebih dulu kau habiskan tanpa arah. Kau mendadak buta. Kau tiba-tiba
saja lupa (entah melupakannya). Sementara ibumu tak pernah sekalipun menuntut
janji itu. Ibumu pasti ingat akan hal itu, akan tetapi hatinya tak sanggup
bicara. Melihatmu senang, ibumu merasakan senang yang lebih dari apa yang
kaurasakan.
Kau kemudian mendapati sugesti dari
banyak orang, tertutama menyangkut apa yang akan kau lakukan malam nanti.
Lambat laun kau merasa terbebani dan ingin segera melakukannya. Doktrin yang
kau terima layaknya peluru-peluru pengisi bedil. Siap untuk dikokang. Siap
ditembakkan.
Apalagi sebagai orang baru di kantormu.
Dengan iming-iming yang dijanjikan— naik jabatan salah satunya— maka kau kelak akan
dihargai, disegani, selayaknya menjadi orang besar yang selama ini kau
impi-impikan. Dan impian itu sebentar lagi akan terwujud. Sebentar lagi.
Azan magrib berkumandang, azan magrib
di akhir Ramadhan, sekaligus menjadi pertanda akhir puasa. Orang-orang segera
melahap hidangan berbuka, begitupun denganmu. Hari ini tak ada perbukaan
istimewa seperti hari-hari sebelumnya; kau biasanya rajin membeli permbukaan
setidaknya itu sebutir kurma. Namun, di hari itu, kau hanya berbuka dengan
segelas air putih. Tanpa sambal, bahkan tanpa nasi. Bukan kau lupa untuk memasaknya
atau sedang tak punya uang untuk membelinya, akan tetapi ingatanmu semakin
membimbingmu ke dalam labirin itu. Hingga rasa yang kau alami hanya satu saja.
“Waktunya tiba,” ujarmu dalam hati.
Berulangkali kau ucapkan dalam kesendirianmu. Handphone-mu berdering, suara pesan masuk. Ternyata itu dari
kawanmu, ia katakan “Selamat bekerja, kawan. Semoga sukses!”
Kau merasa kian membara, semakin
perkasa. Ada api semangat yang tiba-tiba menyala besar di batang tubuhmu, di
akar jiwamu.
Kemudian kau ikut bersama orang-orang
mengumandangkan Takbir, Tahmid, Tahlil.
Keliling kota. Menyinggahi gang-gang sempit. Menyusuri
jalan-jalan. Semua orang bersuka cita menyambut
datangnya pergatian hari, menuju fajar keberkahan. Malam yang tak sekedar
dingin. Malam kesucian. Malam di mana seluruh insan bertaqwa bersiap merayakan
kemenangan hati, kemenangan jiwa, kemenangan diri. Setelah sebulan bertengkar
dengan debu, dengan abu yang tiba-tiba mengajak bercumbu, dengan noktah yang
mendadak tumbuh, dengan cemeti yang gemar bikin iman rubuh.
Sejenak saja kau rasakan kebahagiaan
itu, sebelum sebuah suara menggema di ruang telingamu. Memaksamu menyendiri di
suatu gang sempit. Bisikan itu semakin menggelegar. Kau mencoba memejamkan
mata, namun suara itu terus membimbingmu mengambil sesuatu benda yang sudah kau
persiapkan. Kemudian suara yang bermuara dari hatimu itu berseru: “Lakukan!”
Di areal pemukiman padat penduduk. Di
gang-gang sempit yang penuh bangunan-bangunan liar. Tak ada orang yang
mengetahui gerak-gerikmu, sebab semua penghuninya telah hilang, mereka sedang mudik
ke kampung halaman masing-masing. Bukankah ini waktu yang kau dan kawan-kawanmu
tunggu-tunggu. Bukankah ini waktu yang tepat untuk menjalankan tugas yang diembankan.
Setelah berkali-kali kau dan kawan-kawanmu menyuruh para penghuninya untuk
segera pindah dari areal yang seharusnya dijadikan lahan kosong, lahan hijau
kota, lahan resapan hujan. Namun mereka tak pedulikan. Mereka sebenarnya tahu
pada kesalahan yang mereka perbuat. Mereka mafhum menegakkan bangunan di sini
adalah pelanggaran. Akan tetapi, apa yang harus mereka lakukan. Tak ada tempat lagi
untuk mendiami ibukota. Sementara hidup harus mencari. Perut musti diisi. Hidup
mereka tak lebih baik dari cendawan bulan yang tumbuh di batang lapuk.
Di saat bersamaan, di kampung, kepada
sanak saudara, mereka sedang merasakan suka cita malam takbiran bersama orang
yang mereka sayangi, seperti halnya yang kau rasakan dulu bersama keluargamu. Mereka
sedang mempercantik rumah, menata ruang tamu, persis yang kau lakukan dulu.
Mereka tak sabar menantikan pagi, tak ayal tingkahmu dulu. Dulu: sebelum peristiwa
kebakaran menghanguskan jasad ayah dan adikmu. Tapi kenapa kau tak ingat
perasaaan duka itu. Tapi kenapa kau tak merasakan betapa perihnya jika duka itu
harus menimpa orang lain. Ah!
Cepat saja, kau serakkan jeriken yang
sudah kau persiapan tadi ke sekeliling areal perumahan padat penduduk itu.
Kemudian korek kau gesekkan. Cepat saja, api berkobar, sekobaran suara-suara Takbir,
Tahmid, dan Tahlil. Cepat saja, asap menggunung. Cepat saja, kejadian itu dikabarkan
televisi dan sampai kepada telinga penghuninya yang sedang mudik. Kejadian itu
juga ditonton ibumu. Dia menyaksikan kau ada di sela-sela lidah api. n
Batusangkar, Malam
Syawal 1433 H
Tentang Dafriansyah Putra
Dafriansyah Putra, kelahiran Batusangkar, 7 Juli 1992.
Berkuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas. Anggota UKS-UA (Unit
Kegiatan Seni-Universitas Andalas); divisi musik. Selain gemar bermusik, ia
juga menulis di koran-koran lokal dan pelbagai buku antologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar