Selasa, 29 Oktober 2013

Pekasih Cirit Anjing

CERPEN Indrian Koto

“Minyak aku situang-tuang, dituang dalam kuali. Bukan aku berminyak seorang, beserta bulan dan matahari. Asam limau purut asam lima sanding, ketiga asam limau lungga. Menurut si Mega seperti anjing, menangis tidak akan kubawa. Berkat lailah hailallah. Huallah…
Aku melafazkan kalimat itu pelan-pelan sambil meniupkan ke minyak rambut merek Lavender biru-pekat di tangan sebelum menggosokan ke rambutku.
Sisir bermerek Tancho hitam dan rapat menggaruk kepalaku yang licin. Kusisir ke samping, ke depan, ke belakang, subhanallah, rebahnya bagus. Aku menatap kaca yang selebar telapak tangan, memperhatikan betul-betul wajahku di sana. Apakah minyak Lavender ini yang telah membuat rambutku begini patuh, atau kekuatan mantera telah menggerakkan semesta tunduk kepadaku?

Aku setel rambut ke belakang. Keningku berkilat oleh bekas minyak wangi, barangkali ini cahaya yang keluar dari kekuatan mantera. Semacam efek. Kuperhatikan betul-betul diriku di depan kaca, tak ada yang berubah. Orang lainlah, lebih-lebih orang yang dituju, yang akan tahu.
Aku membayangkan Mega, gadis yang sedang kukejar itu akan tergila-gila kepadaku. Dunia sebentar lagi akan berbalik. Tidak aku yang mengejarnya, tapi dia yang memburuku. Aku sudah menahan cinta nyaris enam tahun lamanya. Kurang serius apa aku padanya?
Aku menyambar tas sekolah dan melompat keluar rumah.
***
Andi yang mengajariku mantera itu. Pekasih Cirit Anjing namanya. Satu-satunya kemampuan kawanku itu, jika boleh dikatakan kemampuan, adalah kebiasaan dia berguru pada orang-orang tua. Kami bertetangga, dan akrab. Yang menjadi lelucon banyak orang adalah ketika aku tidak naik di kelas empat, Andi tak pula naik di kelas lima sehingga akhirnya kami kembali bersama-sama: satu sekolah, satu kelas, dan satu bangku.
Aku suka menjerat burung dan menangguk ikan, sementara Andi tak menyukai yang demikian. Ia memilih berkeliling mencari orang-orang yang dianggapnya ‘pintar’. Keinginannya yang besar itu bermula ketika ia menemukan buku-buku tua kakeknya yang tersimpan rapat dalam lemari di sudut dapur rumahnya.
Soal ilmu pengasihan dan penjaga diri tidak pula tanggung-tanggung ia pelajari. “Sewaktu-waktu kita merantau, di situlah ilmu ini akan berguna.”
Aku merasa ia melebihi usianya. Aku selalu dibuat kagum dan terkesima dengan setiap ceritanya.
“Bisa saja kau diludahi perempuan, dikatai yang bukan-bukan, dihina di depan orang. Dihina perempuan? Aih, di mana pula muka bakal disimpan? Atau kau tiba-tiba dipukul orang. Jang, musuh tak dicari, tapi bersua pantang dielakkan. Kalau sudah begini, bekalmu inilah yang akan membantu banyak.”
“Bekal?”
Ai alah, yang aku maksud itu elemu. Elemu yang kau tuntut di waktu muda…”
Aku semakin terkesima saja mendengar kata-katanya. Menggeleng tidak, mengangguk tidak. Dasyat. Dasyat sekali dia.
Ia suka membacakan mantera yang sudah dia pelajari dengan sangat cepat di depanku, sekedar pamer. Sekarang, katanya ia sedang belajar Ilmu Sebilah Papan pada seseorang.
“Ini ilmu gila, Jang. Ilmu keras,,” mukanya terlihat begitu serius. “Tinggal dekati saja perempuan yang disuka. Selama kau berbatas papan yang sama, ondeh mak, kau minta hati, jantung pun bakal dikasih.”
“Untuk apa pula kau pelajari ilmu itu...”
“Ini ilmu langka,” dia mematahkan kalimatku. “Ilmu langka! Tak banyak orang yang tahu. Begitu kau jentikkan tanganmu pada papan, ha,” Ia menjentikkan jarinya, “habislah dia. Keraslah ilmu tuh.”
“Kalau tidak ada papan. Dia tidak duduk dan di sana tidak ada bangku kayu, bagaimana?”
Hai alah. Itu umpama, Buyung. Hanya umpama.”
***
Aku pertama kali bertemu Mega waktu ikut ujian Ebtanas. Di desa kami, setiap kali ujian akhir sekolah dasar, tiga sekolah akan digabung jadi satu. Kebetulan tempat ujian dilakukan di sekolah Mega. Ia tinggal di rumah dinas guru, ibunya mengajar di sana. Dia masih kelas lima, tapi telah membuat aku jatuh cinta.
Tempat tinggal kami dipisahkan dua kampung. Kampungku di selatan, kampungnya paling utara.
Mega tumbuh jadi remaja yang cantik dan mekar, aku tumbuh menjadi pemuda yang tolol dan selalu salah tingkah di depannya. Andi mulai kambuh jika kebetulan kami bertemu Mega di kedai makan waktu istirahat, atau berpapasan di koridor sekolah atau bersama-sama di pustaka (tentu pertemuan-pertemuan yang seringkali kusengaja).
“Mega, ada salam dari Kantan.” Suatu kali Andi mengatakan itu ketika kami berpapasan dengan Mega.
Mega bertanya sambil senyum-senyum, “yang mana sih orangnya?” padahal ketika itu aku berada di antaranya. Astaga, Mega ternyata masih juga belum tahu namaku. Aku semakin tidak percaya diri karenanya. Padahal kukira usahaku selama ini sudah cukup membuatnya mengenalku dan menyimpan sedikit kenangan tentang aku.
***
SMA kami berada di selatan pasar kecamatan. Kami biasanya naik mobil L 300 yang dikasih tutup di bagian belakang dan bangku panjang yang saling berhadapan. Kami menyebutnya oto tambang balai. Tujuh orang di kiri, tujuh di kanan.
Ketika aku kelas dua mega mulai masuk SMA. Ini mulai kembali menyiksa. Lebih bergelora dari sebelumnya. Tubuhnya tumbuh semakin tinggi, badannya berisi padat, pipinya penuh dengan mata begitu cerlang. Rambut lurus-panjang, lesung pipitnya semakin kelihatan, dan senyumnya kian mengganggu.
Aku sudah mati kutu dan tak berdaya. Dalam sekejap, dia menjadi gadis yang selalu dibincangkan. Matilah awak. Rasanya semakin tak ada kesempatan. Dalam masa-masa sulit itu Andi masih saja menggodai. Jika itu terjadi, ramailah seisi oto.
Aku menyerah dan akhirnya menemui Andi.
 “Nah, nah, nah. Apa awak bilang? Kau mesti ada bekal untuk jaga-jaga. Kau itu selalu suka mengejek…”
“Ajarilah aku satu ilmu saja.”
Oi ala. Kamu kira segampang itu ilmu turun? Seperti belajar di sekolah? Susah. Itu belum bicara syarat dan pantangnya.”
Aku merasa kehabisan akal. Aku membayangkan Andi menurunkan Ilmu Sebilah Papan kepadaku. Kami berangkat sekolah naik oto tambang balai dan sering berbarengan. Setiap ada kesempatan aku sudah kehilangan kata sebelum ada yang disampaikan. Nah, sebilah papan akan bisa menyelesaikan.
Aku terus memohon-mohon dengan mendramatisir perasaanku.
“Baiklah. Jangan berharap ilmu Sebilah Papan.”
Lantaran aku benar-benar ingin mendapatkan ilmu, aku mengiyakan saja kata-katanya.
“Kukasih Pekasih Cirit Anjing saja. Tak terlalu banyak amalan tapi hasilnya dasyat.”
Ilmu apa saja bagiku tak masalah yang penting bisa mendapatkan Mega.
Andi menuturkan kemudahan ilmu ini. Tinggal dibacakan pada minyak wangi, hand body atau minyak rambut yang kita pakai. Perlahan incaran kita merapatlah. Itu lebih baik dan sesuai dengan keinginan. Aku tak mau kalau tiba-tiba Mega berubah jadi gadis bodoh yang mengejar-ngejarku karena cinta. Orang akan cepat tahu kalau dia kena pekasih. Bagaimana pula kalau kami dinikahkan?
“Kalian tak akan sampai dinikahkan. Tak sampai segitu kekuatannya,” ujar Andi seperti bisa membaca perasaanku. “Hanya saja dia akan merasakan getaran yang mengalir darimu itu.”
“Kalau begitu, tak apa-apa.” Aku mengeluarkan buku dan pulpen.
Onde mak oi…” teriaknya tergelak. “Ndak semudah itu kamu berguru, Buyung. Dicatat dan dihapalkan tidak akan mempan kalau syaratnya belum dipenuhi.”
“Lalu bagaimana?”
“Kau harus berguru dulu padaku. Lengkapi pula syarat-syaratnya.”
Sejak sore itu resmilah aku menjadi muridnya.
Beberapa hari sekali kami mengadakan pertemuan di pondok pinggir sawah. Ini pembicaraan rahasia, tak boleh ada yang tahu. Sebelum masuk ke makrifat, kata Andi,  aku mesti tahu syariat, tarekat dan hakikat. Dibongkarlah soal penciptaan manusia, alam ruh dan alam kudus, apa sebenarnya makna shalat, ke mana kita setelah mati dan bla-bla lainnya. Aku cukup heran bagaimana anak kelas tiga SMA seperti dia mengerti urusan filosofi rumit begini?
Sampai akhirnya mantera dua bait itu bisa kuhapal. Dia hanya akan membacakannya sebanyak tiga kali dan aku harus bisa langsung menghapal. Bertanda ilmu mengikut.
“Kamu mesti bersikap butuh tak butuh sehingga dia tergila-gila dengan perasaan sendiri. Bersikaplah seperti tak ada perasaan apa-apa sehingga dia semakin penasaran kepadamu,” kata Andi mewanti-wanti. Katanya, ilmu baru bisa jalan kalau ada alasan-alasan yang memungkinkan.
Kurasa, kalau pun ada tindakan yang tidak pantas dilakukan Mega terhadapku, tak akan mampu membuat aku tersinggung sedikit pun.
***
Pagi itu, untuk pertama kalinya aku membacakan Pekasih Cirit Anjing, aku menunggu angkutan dengan hati berdebar. Dan aku se-oto dengan Mega. Begitu aku naik, dia langsung tersenyum dan menggeser duduknya hingga ada tempat luang untukku persis di sampingnya. Gila. Gila. Reaksi manteranya luar biasa.
Berkali-kali Mega melirikku. Sepanjang jalan aku hanya tertunduk. Rasanya, kalau pun Andi mengajarkanku rapalan Ilmu Sebilah Papan, kupikir di saat menegangkan ini, aku tak akan mampu untuk menjentikkan jari ke bangku mobil.
“Kok rambutnya rapi sekali? Wangi lagi.” Aku mendengar suara lembut muncul dari sampingku. Itu kalimat pertama Mega untukku setelah enam tahun aku menunggu kesempatan berbicara. Lihatlah, ia tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan kikuk. Keringat tumbuh sebesar biji kopi di keningku.
“Kalau rapi begini, kamu tampan sekali.” Ya Tuhan, di hari pertama aku membaca mantera Pekasih Cirit Anjing, dia memujiku. Benar-benar luar biasa. Meski tidak ada yang membuatku tersinggung, setidaknya kekuatan mantera sedang mengalir pada gadis ini.
 Semula aku masih bisa mengikuti nasehat Andi untuk bersikap acuh tak acuh. Tapi keramahan Mega dan gejolak di dada membuatku tak tahan. Setiap sore aku akan bersepeda lewat dan berputar-putar di depan rumah Mega sampai aku bisa melihat gadis itu duduk di teras rumahnya. Melihat baju yang terjemur, sandal dan sepatu di pintu masuk, membuatku sedikit lega untuk beberapa jam ke depan. Malamnya aku akan berputar-putar lagi di sana sampai ada sesuatu yang bisa mengobati rindu. Selama itu berlangsung, tentu Pekasih Cirit Anjing semakin kuat kuhapal.
Di sekolah, aku mencari-cari alasan untuk bisa lewat di depan kelasnya atau masuk dalam ruangannya. Kalau begini terus, rasanya aku yang terkena mantera.
Seperti yang bisa diduga, cintaku yang bertahun-tahun terpendam itu tidak sia-sia. Kami saling jatuh cinta dan berhubungan sewajarnya anak muda.
***
Aku akhirnya jujur pada Mega mengenai mantra penjinak hati itu, Pekasih Cirit Anjing. Aku tidak bisa menyembunyikan rahasia itu berlama-lama. Mega tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuanku.
“Jauh sebelum itu aku sebenarnya sudah suka padamu,” katanya.
“Waktu Andi menggoda kita, kamu malah bertanya ‘orangnya yang mana sih?’”
“Itukan cara perempuan memberi respon. Aku sudah tahu kamu kan sering lewat di depan rumah. Makanya, terlalu menjaga perasaan!”
“Tapi pertama kalinya kamu menyapa justru ketika kita duduk berdekatan di dalam oto. Dan itu hari pertamaku membaca mantera.”
“Ah, kau saja yang tak berani dekat-dekat. Kapan, coba, kau berani menyapaku. Hanya lirik-lirik saja kan? Tapi aku suka sikapmu. Kau tidak akan bisa selingkuh dengan gadis mana pun. Jika pun kau jatuh cinta, dunia sudah tahu sebelum kau sempat ngapa-ngapain.” Ia terkikik. “Dan di hari keberuntunganmu itu kau terlihat begitu norak. Minyak rambutmu terlalu pekat dan meleleh sampai ke kening, baunya menyebar ke mana-mana. Dan sisiranmu terlihat begitu lucu.”
Ah, lega rasanya mengetahui itu semua. Dan yang terpenting, aku tak merasa diburu rasa berdosa. Namun begitu, aku tetap merasa berhutang budi pada Andi. Dialah yang membuatku bisa bahagia seperti kini.

Poetika, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...