Kamis, 31 Oktober 2013

'PR' BESAR WALIKOTA TERPILIH: Pedagang Pasar Raya Versus Pemko Padang: Bak Api dalam Sekam


Pasar Raya Padang (Foto: Net)

Persoalan Pasar Raya memang tak pernah kunjung usai. Pemerintah Kota Padang dinilai semena-mena. Kini masalahnya seperti lingkaran setan. Siapa yang diuntungkan?
Matahari sudah agak rebah ke barat. Puluhan pedagang berkelompok-kelompok di Komplek Gubernuran Provinsi Sumatera Barat. Lorong dan langkan bangunan yang serupa ruang pertemuan itu, pedagang tampak mengelongsorkan kakinya seperti rehat. Wajah mereka juga terlihat lelah.
Siang jelang sore itu, pada Senin, 24 Januari 2011, pedagang yang selama ini berdagang di seputaran Komplek Pasar Raya Padang, berniat  menemui Irwan Prayitno, Gubernur Sumatra Barat. Mereka mengadukan nasib. Periuk nasi bakal terjungkal. Itulah yang mereka cemaskan. Berharap Gubernur mendengar kegelisahan dan kegundahan yang mereka rasakan.
Apa pasal? Beginilah ceritanya. Pada 19 Januari 2011, Pemerintah Kota Padang mengeluarkan surat No 511.2.72.I/Ps-2011 tentang Pemutusan Pelayanan Pasar di lokasi Inpres II, III, dan IV yang ditandatangani Mahyeldi Ansharullah, Wakil Walikota Padang.
Kutipan surat itu sebagai berikut: Menindaklanjuti rencana kegiatan pembangunan Inpres Tahap II, Pemerintah Kota Padang segera mengosongkan Inpres II,III, dan IV dari seluruh aktivitas perdagangan untuk selanjutnya akan dilakukan pembongkaran.
Seluruh pedagang aktif di lokasi dimaksud akan ditempatkan kios penampungan yang sudah dipersiapkan Pemerintah Kota Padang dengan cuma-cuma (tanpa membayar) sesuai dengan zoning masing-masing jenis komunitas dagangan.
Maka, Pemerintah Kota Padang segera akan memutuskan seluruh pelayanan pasar, mulai aliran listrik, penghentian pungutan retribusi, dan pelayanan bidang kebersihan. Berkaitan dengan kartu kuning hak pakai, toko, kios, los, meja batu, dan surat penunjukan statusnya dijamin Pemerintah Kota Padang.
Kerugian akibat kelalaian  karena pedagang aktif tidak menempati kios penampungan diluar tanggung jawab Pemerintah Kota Padang.
Surat itu mentah-mentah ditolak pedagang. Pasar Inpres II, III, dan IV diisi ribuan pedagang di dalamnya. Untuk pertokoan diperkirakan sebanyak 1500 pintu pedagang kreatif lapangan (PKL) jumlah mencapai lebih kurang 2500 pedagang. Belum termasuk buruh angkat, buruh kutil cabai, dan buruh becak.
Sore itu puluhan pedagang yang mewakili rekan-rekannya dan didampingi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumatera Barat yang bertindak sebagai kuasa hukum pedagang diterima Gubernur Irwan Prayitno.
“Alasan menghadap Gubernur karena keluhan pedagang tidak direspons Pemerintah Kota Padang. Kami meminta kepada Gubernur karena jabatannya bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Pedagang berharap Gubernur turun tangan,” kata Khairul Fahmi, Ketua Badan Pengurus PBHI Sumatera Barat membuka dialog dengan Gubernur yang saat itu tak satupun stafnya hadir mendampingi.

Di hadapan Gubernur saat itu, secara bergantian, para pedagang menyampaikan unek-uneknya. Musril, 50 tahun, salah seorang pedagang mengatakan, keputusan untuk mengosongkan Pasar Inpres II, III, dan IV, Pemerintah Kota tak pernah melibatkan pedagang.
“Kami tak pernah diajak berunding. Pemerintah Kota Padang enggan mendengar keluhan dan beban yang kami hadapi. Selain itu, bangunan itu tak perlu dirobohkan, cuma yang dibutuhkan rehabilitasi saja. Jika kami pindah ke tempat penampungan, jelas kami kesulitan bayar utang ke bank. Kami minta Pak Gubernur bisa mencarikan jalan keluarnya,” kata Musril dengan suara serak.
Baidar, 60 tahun, pedagang pakaian bekas dengan uraian air mata juga menyampaikan keberatannya untuk pindah ke tempat penampungan.
“Saya pedagang kecil pakaian bekas sudah marasai pindah kian kemari. Dulu ke Aie Pacah disuruh Walikota Fauzi Bahar, tapi tak jalan. Mana ada orang membeli pakaian bekas di Pasar Aie Pacah,” jelas Baidar sambil menyeka air matanya.
Menurut Khairul Fahmi, yang dibutuhkan pedagang pascagempa 30 September 2009 itu adalah Pemerintah Kota Padanf mestinya melakukan perbaikan, rehabilitasi, dan renovasi terhadap bangunan yang rusak. 
“Seharusnya Pemerintah Kota Padang melakukan pembenahan terhadap sarana dan fasilitas utama maupun pendukung yang menunjang kegiatan sehari-hari pada pedagang. Selain memberikan jaminan terhadap akses kenyamanan bagi aktivitas pedagang di Pasar Raya, serta memberikan fasilitas kredit lunak dan keringanan angsuran utang di bank,” tambah Samaratul Fuad salah seorang pengurus PHBI.
Gubernur Berjanji Membantu
Setelah semua perwakilan pedagang Pasar Raya menyampaikan keberatan pindah berdagang ke tempat penampungan, Gubernur Irwan Prayitno di depan puluhan pedagang, berjanji akan membicarakannya dengan Pemerintah Kota Padang.
“Saya akan membantu sesuai tugas dan kewenangan Gubernur dan akan menyurati untuk memanggil Wali Kota Padang. Namun secara teknis, sesuai UU Pemerintah Daerah, Gubernur tidak bisa intervensi langsung terhadap persoalan yang saat ini dihadapi pedagang di Pasar Raya Padang. Tapi akan saya coba fasilitasi dan menindaklanjuti aspirasi pedagang yang merupakan korban gempa ini,” kata Irwan Prayitno.
Pelanggaran Hukum dan HAM
Menurut penilaian PBHI, dengan keluarnya surat Pemerintah Kota Padang yang ditandatangani Wakil  Walikota Padang pada 19 Januari 2011 agar pedagang mengosongkan Pasar Raya Inpres II, III, dan IV bertentangan dengan Surat Walikoya Padang No 050.193/Bapepam/X/2009 tanggal 12 Oktober 2009 perihal pemberitahuan pembongkaran pascagempa kepada DPRD Padang, Pasar Inpres III tak masuk gedung yang akan dibongkar.
Surat itu juga tak mengindahkan rekomendasi Gapeksindo Pasar Inpres II dan III masih layak huni yang bernomor 50 dan 55.
“Berdasarkan fakta di lapangan, maka keluarnya surat No 511.2.72.I/Ps-2011 tanggal 19 Januari adalah tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan hak-hak pedagang pasar Inpres serta sebagai bentuk pengingkaran kewajiban oleh pihak Pemko Padang terhadapat ketentuan yang berlaku,” terang Khairul Fahmi.
Sengkarut Pasar Raya memang tak kunjung usai. Kini masalahnya seperti lingkaran setan. Siapa yang diuntungkan?
Bukan Mencelakakan Pedagang
Pembangunan kios-kios darurat di kawasan Pasar Raya Padang, baik tahap I dan II adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat pascagempa 30 September 2009 lalu.  Kios darurat itu akan ditempati seluruh pedagang Pasar Raya secara bertahap sesuai rencana pembangunan kembali Pasar Inpres yang rusak akibat gempa 7,9 SR, 30 September 2009.
 “Inilah tujuan imbauan dikosongkan Pasar Inpres II,  III, dan IV ini, karena pembangunan Pasar Raya tahap II langsung dilanjutkan setelah tahap I selesai,” kata Walikota Padang melalui Kabid Humas, Richardi Akbar.
Pengosongan bukan untuk mencelakakan pedagang, namun sesuai master plan pembangunan Pasar Raya, Pasar Inpres II, III dan IV dibangun sepaket yaitu Pasar Raya Tahap II. Sedangkan Pasar Inpres I dibangun dengan proyek Pasar Raya Tahap I.
“Pemko menerima dan sangat memahami berbagai aspirasi yang berkembang tentang keberadaan kios darurat. Tetapi tiada pilihan lain, kita harus membangunn kios darurat  demi percepatan pembangunan kembali Pasar Inpres I, II, III dan IV pascagempa 30 September 2009. Pembangunan kios dan pasar itu telah melalui proses yang berlaku di negara ini, dan tidak serta merta saja,” ulasnya.
Pembangunan Pasar Raya itu menggunakan dana APBD dan APBN. Dana yang dibutuhkan sampai tuntas sekitar Rp237 miliar. Sebanyak Rp187 miliar dari pusat.
Sekretaris Dinas Perindagtamben, Zalbadri menambahkan, lelang tender pelaksanaan proyek pembangunan Pasar Raya dilaksanakan,  awal 2010 lalu. “Begitu detail enginering desain (DED) pembangunan Pasar Raya ini siap, lelang langsung dilaksanakan.  Ada sekitar 11 peserta yang ikut waktu itu. Pemenangnya,  PT Duta Graha yang kini telah melaksanakan pembangunan,”  kata Zalbadri,  yang juga panitia lelang waktu itu.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Pasar, Asnel.  “Dana tahap pertama Rp45 miliar dari APBD Kota Padang telah dicairkan. Pembangunan tengah berjalan, dilaksanakan pemenang tender, PT Duta Graha dan sebentar lagi  diserah terimakan,” ujarnya.
Sementara untuk tahap dua, Rp64,5 miliar akan dicairkan dari APBN.  “Dananya bisa dicairkan,  setelah pembangunan Rp45 miliar dari APBD dinilai selesai 100 persen. Selanjutnya, dana untuk tahap tiga bisa dicairkan setelah dana tahap  dua terealisasikan 100 persen. Pengerjaan pembangunan tahap pertama dan kedua itu dinilai sesuai dengan perencanaan,”  tuturnya
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Sumbar,  M. Nurnas yang juga mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Kosntruksi (LPJK) Sumbar mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden No 54 tahun 2010, tentang pedoman pengadaan barang dan jasa, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dilarang membuat kontrak, jika anggaran belum tersedia di APBN/APBD.
Namun jika KPA sudah mengajukan program tersebut ke dalam APBD atau APBN, lelangnya dilakukan duluan tak masalah. “Yang tak boleh, program belum diusulkan, bahkan sampai tak dianggarkan, sementara kontrak dilaksanakan lebih dulu.   Ini yang tak boleh,” katanya.
Jika anggarannya belum tersedia dalam APBN/APBD, apapun program kegiatan pembangunan belum boleh dilakukan kontrak. Termasuk untuk pembangunan Pasar Raya Padang.  Meski  alasannya dalam rangka rehab dan rekon gempa 2009.
Disamping itu, jika memang ada uang dari pihak ketiga, yang membiayai pembangunan pasar. Maka dananya harus melalui persetujuan DPRD, dan masuk dalam APBD.  "Jadi tidak ada urusan dengan rehab dan rekon, berdasarkan aturannya tetap harus dimasukan dalam APBD," kata Nurnas didampingi wakil ketua Komisi III M. Tauhid.
Ia mengatakan, setiap anggaran pemerintah, pekerjaannya sudah pasti dilelangkan. Sebab dalam Keppres , pengadaan barang dan jasa dengan nilai di bawah Rp5 juta, pertanggungjawabannya cukup dengan kwitansi. Jika lebih dari Rp5 juta, dilakukan penunjukkan langsung dan pertanggungjawabannya lewat Surat Perjanjian Kerja (SPK). Lebih dari Rp100-200 juta, dilaksanakan dengan sistem Pemilihan Langsung (PML). Besar dari Rp200 juta, berdasarkan teknis pekerjaan, besaran anggaran, semuanya dilakukan dengan sistem pelelangan.  “Ada yang lelang umum dan ada yang terbatas,” ujarnya.(Laporan Nasrul Azwar, David, Defil, Rudi) 

Baca Juga Berita Terkait  Wawancara dengan Khairul Fahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...