Pasar Raya Padang (Foto: Net) |
Persoalan Pasar Raya memang tak pernah kunjung
usai. Pemerintah Kota Padang dinilai semena-mena. Kini masalahnya seperti
lingkaran setan. Siapa yang diuntungkan?
Matahari
sudah agak rebah ke barat. Puluhan pedagang berkelompok-kelompok di Komplek
Gubernuran Provinsi Sumatera Barat. Lorong dan langkan bangunan yang serupa
ruang pertemuan itu, pedagang tampak mengelongsorkan kakinya seperti rehat. Wajah
mereka juga terlihat lelah.
Siang
jelang sore itu, pada Senin, 24 Januari 2011, pedagang yang selama ini berdagang
di seputaran Komplek Pasar Raya Padang, berniat
menemui Irwan Prayitno, Gubernur Sumatra Barat. Mereka mengadukan nasib.
Periuk nasi bakal terjungkal. Itulah yang mereka cemaskan. Berharap Gubernur
mendengar kegelisahan dan kegundahan yang mereka rasakan.
Apa
pasal? Beginilah ceritanya. Pada 19 Januari 2011, Pemerintah Kota Padang
mengeluarkan surat No 511.2.72.I/Ps-2011
tentang Pemutusan Pelayanan Pasar di lokasi Inpres II, III, dan IV yang
ditandatangani Mahyeldi Ansharullah, Wakil Walikota Padang.
Kutipan surat itu sebagai berikut: Menindaklanjuti
rencana kegiatan pembangunan Inpres Tahap II, Pemerintah Kota Padang segera
mengosongkan Inpres II,III, dan IV dari seluruh aktivitas perdagangan untuk selanjutnya
akan dilakukan pembongkaran.
Seluruh pedagang aktif di lokasi dimaksud akan
ditempatkan kios penampungan yang sudah dipersiapkan Pemerintah Kota Padang
dengan cuma-cuma (tanpa membayar) sesuai dengan zoning masing-masing jenis
komunitas dagangan.
Maka, Pemerintah Kota Padang segera akan memutuskan
seluruh pelayanan pasar, mulai aliran listrik, penghentian pungutan retribusi,
dan pelayanan bidang kebersihan. Berkaitan dengan kartu kuning hak pakai, toko,
kios, los, meja batu, dan surat penunjukan statusnya dijamin Pemerintah Kota
Padang.
Kerugian akibat kelalaian karena pedagang aktif tidak menempati kios
penampungan diluar tanggung jawab Pemerintah Kota Padang.
Surat
itu mentah-mentah ditolak pedagang. Pasar Inpres II, III, dan IV diisi ribuan pedagang
di dalamnya. Untuk pertokoan diperkirakan sebanyak 1500 pintu pedagang kreatif
lapangan (PKL) jumlah mencapai lebih kurang 2500 pedagang. Belum termasuk buruh
angkat, buruh kutil cabai, dan buruh becak.
Sore
itu puluhan pedagang yang mewakili rekan-rekannya dan didampingi Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumatera Barat yang bertindak
sebagai kuasa hukum pedagang diterima Gubernur Irwan Prayitno.
“Alasan
menghadap Gubernur karena keluhan pedagang tidak direspons Pemerintah Kota
Padang. Kami meminta kepada Gubernur karena jabatannya bertindak sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. Pedagang berharap Gubernur turun tangan,” kata
Khairul Fahmi, Ketua Badan Pengurus PBHI Sumatera Barat membuka dialog dengan
Gubernur yang saat itu tak satupun stafnya hadir mendampingi.
Di
hadapan Gubernur saat itu, secara bergantian, para pedagang menyampaikan
unek-uneknya. Musril, 50 tahun, salah seorang pedagang mengatakan, keputusan
untuk mengosongkan Pasar Inpres II, III, dan IV, Pemerintah Kota tak pernah
melibatkan pedagang.
“Kami
tak pernah diajak berunding. Pemerintah Kota Padang enggan mendengar keluhan
dan beban yang kami hadapi. Selain itu, bangunan itu tak perlu dirobohkan, cuma
yang dibutuhkan rehabilitasi saja. Jika kami pindah ke tempat penampungan,
jelas kami kesulitan bayar utang ke bank. Kami minta Pak Gubernur bisa
mencarikan jalan keluarnya,” kata Musril dengan suara serak.
Baidar,
60 tahun, pedagang pakaian bekas dengan uraian air mata juga menyampaikan
keberatannya untuk pindah ke tempat penampungan.
“Saya
pedagang kecil pakaian bekas sudah marasai pindah kian kemari. Dulu ke Aie
Pacah disuruh Walikota Fauzi Bahar, tapi tak jalan. Mana ada orang membeli
pakaian bekas di Pasar Aie Pacah,” jelas Baidar sambil menyeka air matanya.
Menurut
Khairul Fahmi, yang dibutuhkan pedagang pascagempa 30 September 2009 itu adalah
Pemerintah Kota Padanf mestinya melakukan perbaikan, rehabilitasi, dan renovasi
terhadap bangunan yang rusak.
“Seharusnya
Pemerintah Kota Padang melakukan pembenahan terhadap sarana dan fasilitas utama
maupun pendukung yang menunjang kegiatan sehari-hari pada pedagang. Selain
memberikan jaminan terhadap akses kenyamanan bagi aktivitas pedagang di Pasar
Raya, serta memberikan fasilitas kredit lunak dan keringanan angsuran utang di
bank,” tambah Samaratul Fuad salah seorang pengurus PHBI.
Gubernur Berjanji Membantu
Setelah
semua perwakilan pedagang Pasar Raya menyampaikan keberatan pindah berdagang ke
tempat penampungan, Gubernur Irwan Prayitno di depan puluhan pedagang, berjanji
akan membicarakannya dengan Pemerintah Kota Padang.
“Saya
akan membantu sesuai tugas dan kewenangan Gubernur dan akan menyurati untuk
memanggil Wali Kota Padang. Namun secara teknis, sesuai UU Pemerintah Daerah,
Gubernur tidak bisa intervensi langsung terhadap persoalan yang saat ini
dihadapi pedagang di Pasar Raya Padang. Tapi akan saya coba fasilitasi dan
menindaklanjuti aspirasi pedagang yang merupakan korban gempa ini,” kata Irwan
Prayitno.
Pelanggaran Hukum dan HAM
Menurut
penilaian PBHI, dengan keluarnya surat Pemerintah Kota Padang yang
ditandatangani Wakil Walikota Padang
pada 19 Januari 2011 agar pedagang mengosongkan Pasar Raya Inpres II, III, dan
IV bertentangan dengan Surat Walikoya Padang No 050.193/Bapepam/X/2009 tanggal
12 Oktober 2009 perihal pemberitahuan pembongkaran pascagempa kepada DPRD Padang,
Pasar Inpres III tak masuk gedung yang akan dibongkar.
Surat
itu juga tak mengindahkan rekomendasi Gapeksindo Pasar Inpres II dan III masih
layak huni yang bernomor 50 dan 55.
“Berdasarkan
fakta di lapangan, maka keluarnya surat No 511.2.72.I/Ps-2011 tanggal 19 Januari adalah tindakan yang dapat
dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan hak-hak pedagang pasar
Inpres serta sebagai bentuk pengingkaran kewajiban oleh pihak Pemko Padang
terhadapat ketentuan yang berlaku,” terang Khairul Fahmi.
Sengkarut Pasar Raya memang tak kunjung usai. Kini
masalahnya seperti lingkaran setan. Siapa yang diuntungkan?
Bukan
Mencelakakan Pedagang
Pembangunan kios-kios darurat di kawasan Pasar Raya
Padang, baik tahap I dan II adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat
pascagempa 30 September 2009 lalu. Kios darurat itu akan ditempati
seluruh pedagang Pasar Raya secara bertahap sesuai rencana pembangunan kembali
Pasar Inpres yang rusak akibat gempa 7,9 SR, 30 September 2009.
“Inilah
tujuan imbauan dikosongkan Pasar Inpres II,
III, dan IV ini, karena pembangunan Pasar Raya tahap II langsung
dilanjutkan setelah tahap I selesai,” kata Walikota Padang melalui Kabid Humas,
Richardi Akbar.
Pengosongan bukan untuk mencelakakan pedagang, namun
sesuai master plan pembangunan Pasar Raya, Pasar Inpres II, III dan IV dibangun
sepaket yaitu Pasar Raya Tahap II. Sedangkan Pasar Inpres I dibangun dengan proyek
Pasar Raya Tahap I.
“Pemko menerima dan sangat memahami berbagai
aspirasi yang berkembang tentang keberadaan kios darurat. Tetapi tiada pilihan
lain, kita harus membangunn kios darurat demi percepatan pembangunan
kembali Pasar Inpres I, II, III dan IV pascagempa 30 September 2009.
Pembangunan kios dan pasar itu telah melalui proses yang berlaku di negara ini,
dan tidak serta merta saja,” ulasnya.
Pembangunan Pasar Raya itu menggunakan dana APBD dan
APBN. Dana yang dibutuhkan sampai tuntas sekitar Rp237 miliar. Sebanyak Rp187
miliar dari pusat.
Sekretaris Dinas
Perindagtamben, Zalbadri menambahkan, lelang tender pelaksanaan proyek
pembangunan Pasar Raya dilaksanakan,
awal 2010 lalu. “Begitu detail enginering
desain (DED) pembangunan Pasar Raya ini siap, lelang langsung
dilaksanakan. Ada sekitar 11 peserta
yang ikut waktu itu. Pemenangnya, PT
Duta Graha yang kini telah melaksanakan pembangunan,” kata Zalbadri, yang juga panitia lelang waktu itu.
Hal senada juga disampaikan
Kepala Dinas Pasar, Asnel. “Dana tahap
pertama Rp45 miliar dari APBD Kota Padang telah dicairkan. Pembangunan tengah
berjalan, dilaksanakan pemenang tender, PT Duta Graha dan sebentar lagi diserah terimakan,” ujarnya.
Sementara untuk tahap dua,
Rp64,5 miliar akan dicairkan dari APBN.
“Dananya bisa dicairkan, setelah
pembangunan Rp45 miliar dari APBD dinilai selesai 100 persen. Selanjutnya, dana
untuk tahap tiga bisa dicairkan setelah dana tahap dua terealisasikan 100 persen. Pengerjaan
pembangunan tahap pertama dan kedua itu dinilai sesuai dengan
perencanaan,” tuturnya
Sementara itu, Ketua Komisi
III DPRD Sumbar, M. Nurnas yang juga
mantan Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Kosntruksi (LPJK) Sumbar mengatakan,
berdasarkan Peraturan Presiden No 54 tahun 2010, tentang pedoman pengadaan
barang dan jasa, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dilarang membuat kontrak, jika
anggaran belum tersedia di APBN/APBD.
Namun jika KPA sudah
mengajukan program tersebut ke dalam APBD atau APBN, lelangnya dilakukan duluan
tak masalah. “Yang tak boleh, program belum diusulkan, bahkan sampai tak
dianggarkan, sementara kontrak dilaksanakan lebih dulu. Ini yang tak boleh,” katanya.
Jika anggarannya belum
tersedia dalam APBN/APBD, apapun program kegiatan pembangunan belum boleh
dilakukan kontrak. Termasuk untuk pembangunan Pasar Raya Padang. Meski
alasannya dalam rangka rehab dan rekon gempa 2009.
Disamping itu, jika memang
ada uang dari pihak ketiga, yang membiayai pembangunan pasar. Maka dananya
harus melalui persetujuan DPRD, dan masuk dalam APBD. "Jadi tidak ada urusan dengan rehab dan
rekon, berdasarkan aturannya tetap harus dimasukan dalam APBD," kata
Nurnas didampingi wakil ketua Komisi III M. Tauhid.
Ia mengatakan, setiap
anggaran pemerintah, pekerjaannya sudah pasti dilelangkan. Sebab dalam Keppres
, pengadaan barang dan jasa dengan nilai di bawah Rp5 juta,
pertanggungjawabannya cukup dengan kwitansi. Jika lebih dari Rp5 juta,
dilakukan penunjukkan langsung dan pertanggungjawabannya lewat Surat Perjanjian
Kerja (SPK). Lebih dari Rp100-200 juta, dilaksanakan dengan sistem Pemilihan
Langsung (PML). Besar dari Rp200 juta, berdasarkan teknis pekerjaan, besaran
anggaran, semuanya dilakukan dengan sistem pelelangan. “Ada yang lelang umum dan ada yang terbatas,”
ujarnya.(Laporan Nasrul Azwar, David, Defil, Rudi)
Baca Juga Berita Terkait Wawancara dengan Khairul Fahmi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar