Menulis Novel “Kerja”
Kreatif!
OLEH Darman
Moenir
Sastrawan
MENULIS karya sastra, dalam hal ini, novel, pada
hkreatifakikatnya adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) . Setelah Allah
SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam. Setelah Allah SWT menciptakan
kapas maka manusia menenun kain. Setelah Allah SWT menciptakan eter, maka
manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan alat
bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Indonesia), maka manusia mengadakan
bahasa tulis, penyair menciptakan puisi, novelis menciptakan novel. Mencipta
melalui pemberian yang Mahakuasa itu adalah kreativitas!
Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan sekali
internet terujud, maka kreativitas itu berubah menjadi produktivitas. Pembuat
garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang atau
melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang. Begitu
pula, menulis Salah Asuhan (1928), merupakan
pencapaian luar biasa Abdul Muis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdul Muis takkan
menghasilkan novel bermutu. Sekali lagi, bermutu,
satu kata yang saya pinjam dari Suryadi, yang sekarang berada di Negeri
Belanda.
Dalam rentang awal abad lampau bisa disimak novel-novel kerja
kreatif sastrawan (asal) Minangkabau seperti Marah Roesli, Nur Sutan Iskandar,
Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Abbas Soetan Pamoentjak, Abdul Muis,
dan Aman Datuk Madjoindo. Novel-novel mereka menandai kelahiran novel modern
Indonesia (Mahayana M.S., Sofyan O., Dian A., 2000). Beberapa karya mereka sangat
terkenal, hingga sekarang: Siti Nurbaya
Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat
Tulis Sutan Sati. Beberapa novel modern itu: Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Pertemuan
Abbas Soetan Pamoentjak, La Hami Marah
Roesli, Tak Disangka Tulis Sutan Sati.
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan
novel-novel ini, terutama Siti Nurbaya,
sebagai karya penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Secara tematik,
seperti yang disinggung baik oleh H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi,
Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar
sosial lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap adat-istiadat
dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel inilah yang pertama kali menampilkan
masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat.
Novel Baru
Dan Nur Sutan Iskandar disebut "Raja Angkatan Balai
Pustaka" sebagai akibat karya-karyanya. Lalu lahir novel-novel Hamka yang
monumental: Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Di Dalam Lembah Kehidoepan. Angkatan
1945 berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani antara lain menampilkan Tiga Manguak Takdir oleh Asrul Sani, Rivai
Apin dan Chairil Anwar. Pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma oleh Idroes dan Atheis oleh Achdiat K. Mihardja dianggap
sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Novelis angkatan 1950-60-an adalah Mochtar Lubis dengan Tak Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, Tanah
Gersang, Senja di Jakarta,
Harimau-harimau dan Ali Akbar Navis Hujan
Panas dan Kemarau (1967). Navis sendiri lebih terkenal dengan Robohnya Surau Kami (cerita pendek). Setelah
Navis, siapa novelis dari Sumatera Barat? Ada Abrar Yusra, Gus tf Sakai, Dewi
Sartika. Kemudian, masih adakah novel-novel bermutu, novel-novel penting, dan
diperhitungkan dalam kancah sastra modern Indonesia? Dengan demikian kehadiran Persiden Wisran Hadi yang meraih
anugerah Novel Unggulan Sayembara DKJ jadi sangat mengesankan. Begitu pula Memoar Alang-alang Hendri Teja yang, secara
jujur, belum saya baca.
Setuju atau tidak, novel-novel DKJ selalu punya kebaruan
dan bermutu. Bacalah Telegram, Keluarga
Permana, Upacara, Saman, dan banyak yang lain. Dan seorang yang paling
tidak setuju dengan produk sayembara adalah pelukis terkenal Nashar. Baik, kalau
tidak mau produk sayembara, bisa disimak-tekuni Ziarah, Kering, Merahnya Merah oleh Iwan Simatupang, Khotbah di Atas Bukit oleh Kuntowijoyo
atau beberapa karya Danarto. Atau, produk luar negeri, bacalah novel-novel Ernest
Hemingway, Borris Pasternak, Yukio Mishima, Jean-Marie Gustave Le Clezio, Jorge
Mario Pedro Vargas Llosa.
Kata kunci utama di sini adalah kebaruan dan bermutu. Kreativitas
menulis novel sesungguhnya menghasilkan kebaruan dan mutu dalam pelbagai aspek.
Dan bicara tentang kebaruan dan mutu ini, sudahlah, bisa panjang, menggurui,
dan membosankan. Nouveau roman
mengacu pada sebuah gerakan dalam sastra Prancis yang berkembang pada tahun 1950-an
dan 60-an, memertanyakan modus tradisional sastra realisme. Hal ini terlihat dari
komentator yang berdiri di tengah arah modernisme dan postmodernisme. Terkait
karya Marguerite Duras, Alain Robbe-Grillet, Michel Butor, Claude Simon,
Phillipe Sollers, dan Nathalie Sarraute, novel baru ditandai oleh nada narasi
keras yang sering eschews (menolak) metafora
dan simile dalam mendukung deskripsi fisik yang tepat, sebuah rasa bernilai tinggi
dari ambiguitas berkait sudut pandang, tikungan radikal waktu dan ruang, dan
komentar diri refleksif pada proses komposisi sastra.
Anatomi Novel
Robbe-Grillet (1963),
berpendapat novel tradisional, dengan ketergantungan pada narator mahatahu, dan
kepatuhan terhadap kesatuan waktu dan tempat, menciptakan ilusi ketertiban dan
signifikansi yang tidak konsisten dengan radikalisme terputus-putus dan sifat tidak
sengaja terhadap pengalaman modern. Tugas novel baru dan bermutu adalah
mendorong perubahan dengan mengeluarkan teknik yang memaksakan penafsiran khusus
pada peristiwa, atau yang menyelenggarakan acara sedemikian rupa untuk
memberkati mereka dengan arti menentukan. Ambiguitas novel baru menempatkan
pembaca sebagai situs makna dan, sebagai model dari apa disebut Barthes texs writerly, mengundang kembali
membaca dan reinterpretasi.
Robbe-Grillet's In
The Labyrinth (1957), misalnya, menggagalkan keinginan untuk, dan koheren
dengan, dunia yang lebih stabil dengan menyajikan diri sebagai mise en abyme, sebuah dunia di dalam
dunia, dan kisah-kisah dalam cerita, di mana ia menjadi semakin sulit untuk
menentukan yang "nyata" dan yang "ilusi." Karakter novel
lainnya kembali muncul di Grillet's teks Robbe, melemahkan akal yang
karya-karyanya sesuai dengan realitas, beberapa di luar teks, tetapi lebih
merupakan alam semesta fiksi dalam diri mereka sendiri, mematuhi hanya logika
asosiatif.
Jadi, dengan demikian, bisa ditarik penyederhanaan,
biarpun saya tidak ingin menyederhanakan kreativitas, bahwa novel-novel yang
merupakan pengulangan dari apa yang sudah dikerjakan pendahulu selalu takkan
mendatangkan kebaruan dan sekaligus tidak bermutu. Sebutir garam, sehelai
benang, dan sebuah piranti dunia maya yang dikerjakan sekarang tidak lagi punya
kebaruan. Begitu juga novel-novel populer yang di pasar bisa laku keras, sangat
laku keras, tidak bisa dimasukkan ke kelompok novel bermutu dan baru. (Di
Indonesia, juga di luarnegeri, novel-novel bermutu tidak laku-laku amat.
Pemasaran novel-novel bermutu di Indonesia, juga di luar negeri, sering
disubsidi pemerintah.) Betapa lagi novel-novel yang selintas baca segera
diketahui kalau sang pengarang belum menguasai bahasa, belum mengerti anatomi
novel, andai “anatomi” novel itu ada. Laporan-laporan jurnalistik (laporan
wartawan sekarang banyak yang novelty)
dan teks-teks kesejarahan biarlah menjadi karya jurnalistik atau buku “sejarah”
tanpa harus terbebani atau minta suaka sastra.
Dan, pada akhirnya, izinkan saya menyampaikan ucapan
terima kasih atas sejumlah respons yang ditujukan terhadap laporan/esai saya “Novel
Persiden Membawa Warna Baru: 30 Tahun
Terakhir tak Ada Novel Bermutu Lahir dari Sumatera Barat” (Harian
Haluan, Minggu, 23 Januari 2011). Ada
respons yang menarik, akademik, jeli, tajam dan kritikal tetapi, maaf, ada juga
yang menggelikan dan menggurui.
Harian Haluan, Minggu 27 Februari 2o11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar