Rabu, 16 Oktober 2013

Nyanyian Badai (Sepotong Puisi yang Belum Selesai)


CERPEN Alwi Karmena

Sudah lama sekali kami tak bersama. Sudah lama. Sejak pelayaran penghabisan di Tanjung Cina itu. Berpuluh tahun yang lalu, kenangan semakin berkabut dalam derai musim yang urutannya hampir pupus. Kesan tentang dia, larut dalam sebuah tragedi perpisahan tak tercatat. Perpisahan yang tajam. Setajam silet. Mencukur remang impian masa lalu. Masa-masa di kapal. Masa di mana jiwa ini masih dahaga mengembara.
Karinus Budikase namanya. Orang Sangihe. Lelaki laut. Berdarah laut. Kekar, tapi tak kasar. Kulitnya legam dengan cambang yang lebat di rahang. Adalah dia, sahabat karibku. Sahabat yang tegar berkelebat  dalam badai. Sahabat seperasaian. Bergulat bersama antara hidup dan mati di laut malam.

Kami berdua memegang papan. Berdua bertahan dalam gumulan ombak setelah  kapal kami pecah. Sama berdoa di malam-malam yang kalut. Di tengah amukan Tanjung Cina yang buncah. Sunyi luar biasa. Tak ada siapa-siapa, selain kami berdua, dan tentunya Tuhan.
Kini, di hari tua ini, rindu benar aku padanya. Rindu akan tawanya yang lepas. Bernyanyi dengan gitar tua dan segelas kopi hangat di palka kapal. Malam. Angin buritan menerpa. Mengirimkan sejuta kristal garam ke haribaan. Duh. Sudah lama. Tak ada kabar berita tentang dia. Sudah lama.
Di malam  yang  kehilangan purnama begini pula.  Aku mencoba menggumamkan perlahan-lahan, nyanyian yang ia ajarkan.
“Nyanyian badai.Demikian nama lagu yang ia buat. Pembunuh rindunya yang curam. Rindu pada Sangihe yang teduh. Rindu pada kekasih yang jauh.
Ia ceritakan padaku, betapa perihnya menampik bisik pasir pantai Sangihe. Pasir putih yang setiap hari bergumul bersama buih. Dan sisa ombak yang kecewa ketika tahu keberadaannya tak sampai menggapai daratan. Kemudian, di sepanjang bukit, gugusan nyiur begitu sabar menahan angin. Betis perawan yang tersinsing melepas nelayan melaut, tertanam pada lidah ombak.
Ada Lusiana di antaranya. Ada Lusiana mengusap rambutnya yang bergerai dikibas angin pantai. Perempuan paling setia di kehidupan Karinus Budikase. Perempuan yang akhirnya bisa terbunuh karena begitu mempercaya. “Bodohnya dia,” ujar Karinus meludahkan ke laut  serpih tembakau dari bibirnya yang pahit.
Padahal, hidup ini sepantun dengan cuaca. Kadang kala ada hujan. Ada panas.  Tambah Karinus seperti bersajak. Kadangkala, ada badai, bahkan, kadangkala, tak ada apa-apa yang bisa diberi nama. Sepi. Lusiana terlanjur percaya pada mimpi. Itulah salahnya. Sepi. Dia bermimpi lelaki yang berlayar selalu akan kembali berlabuh ke pantai. Kemudian lelaki orang laut itu akan membawa cinta abadi dengan jalannya. Sepi. Gila dia!
Alangkah seronoknya angan-angan. Padahal, semua mudah menjadi padam. Sia-sia. Ketika Karinus Budikase tersangkut di buritan kapal dagang lain,  setelah buritan terakhir di ujung kapalnya nya kandas, Sangihe pun semakin terlepas. Aku mempercayakaan diriku di papan lapuk yang ia dapat.
Pasir, biasanya tak fasih menterjemahkan perpisahan. Pasir yang pendiam tak mengabarkan apa apa. Dipaksanya Lusiana bertahan. Menanti dan menanti berhari hari. Sampai akhirnya pada kabar sahih orang pengembara, bahwa sebuah kapal telah hilang di Tanjung Cina. Karinus Budikase, lelaki yang berjanji, entah bagaimana, Lusiana menceburkan dirinya ke laut dalam. Menemui Karinus Budikase di keabadian.
Entah bagaimana. Aku bersama dia, bertahan, terapung apung di tengah gelombang. Pada sehelai papan, kami berjudi dengan nasib. Berhari-hari, menunda kematian yang sebenarnya telah mengambang. Sungguh. Aku sudah kehabisan sisa cemas. Perasaan yang tadinya pernah mencekik di hari-hari bermula. Betapa dekatnya ajal. Betapa jauhnya garis pantai. Batas yang tak tertinjau oleh harapan.
Di saat saat putus asa mendekat, Karinus  Budikase tiba tiba bernyanyi. Gila. Dia bernyanyi. Dinyanyikannya kencang-kencang.  Lagu yang ia ciptakan di kapal. Lagu tentang Sangihe dan Lusiana yang menanti.
“Bila kau tanyakan percintaan, maka lautlah pacarku – Kau tanya pula pelabuhan yang  abadi, maka maka mautlah jawabku. Bila kau dengar deru badai, itulah tanganku yang melambai. Bila kau tak sabar menant nantii, membatulah di bukit itu sampai mati.”
Suaranya membelah malam. Aku nyaris tak percaya, apakah dia masih berharap akan ada lagi kapal lain yang melintasi laut berbadai ini. Untuk siapa dia bernyanyi?
Sore tadi dia bercakap cakap dengan Tuhan. Begitu dia mengaku padaku dalam bisik yang lirih. Dia minta permisi pada keidupan ini. Dia sudah siap untuk pulang. Pesannya, beri kabar Lusiana di Sangihe. Ajak perempuan itu menemui ketiadaan. Sekali pun itu hanya tersua dalam serpihan mimpi.
Kini, tiada lagi Karinus Budikase. Tiada lagi  kawanku. Ketika kudapatkan diriku di atas geladak kapal dagang lain, aku diselamatkan. Tapi Karinus Budikase tak ikut serta. Kata pelaut  asing itu, dia menolak ketika diangkat. Dia menghambur ke laut bersama sehelai papan. Badannya ia ikatkan erat-erat ke papan itu. Dan dengan gigih dia berenang menjauh.
‘Aku ke Sangihe....’ teriaknya menjelang hilang.
Sampai kini, aku tak bisa menduga-duga: Apakah Karinus Budikase  masih ada? Apakah dia bisa berhasil menemui lusiana di Pantai Sangihe? Dan, apakah Lusiana itu benar benar ada? Atau nama itu hanya buah nyanyian pemupus kalut? “Nyanyian Badai”  yang beberapa bait dari  sajaknya kulupa. Entah bagaimana. n
Kado Tahun Baru buat Cay dan Robby di Grand Mall

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...