CERPEN Alwi Karmena
Sudah
lama sekali kami tak bersama. Sudah lama. Sejak pelayaran penghabisan di
Tanjung Cina itu. Berpuluh tahun yang lalu, kenangan semakin berkabut dalam
derai musim yang urutannya hampir pupus. Kesan tentang dia, larut dalam sebuah tragedi perpisahan tak tercatat. Perpisahan yang tajam. Setajam silet. Mencukur remang impian masa lalu. Masa-masa di kapal. Masa di mana jiwa ini masih dahaga
mengembara.
Karinus
Budikase namanya. Orang Sangihe. Lelaki
laut. Berdarah
laut. Kekar, tapi tak kasar. Kulitnya
legam dengan cambang yang lebat di rahang. Adalah dia, sahabat karibku. Sahabat
yang tegar berkelebat dalam badai.
Sahabat seperasaian. Bergulat bersama antara hidup dan mati di laut malam.
Kami
berdua memegang papan. Berdua bertahan dalam gumulan ombak setelah kapal kami pecah. Sama berdoa di malam-malam
yang kalut. Di tengah amukan Tanjung Cina yang buncah. Sunyi luar biasa. Tak
ada siapa-siapa, selain kami berdua, dan tentunya
Tuhan.
Kini,
di hari tua ini, rindu benar aku padanya. Rindu akan tawanya yang lepas. Bernyanyi
dengan gitar tua dan segelas kopi hangat di palka kapal. Malam. Angin buritan menerpa. Mengirimkan sejuta kristal garam ke haribaan. Duh. Sudah lama. Tak
ada kabar berita tentang dia.
Sudah lama.
Di
malam yang kehilangan purnama begini pula. Aku mencoba menggumamkan perlahan-lahan, nyanyian yang ia ajarkan.
“Nyanyian
badai.” Demikian nama lagu yang ia buat. Pembunuh rindunya yang curam. Rindu pada Sangihe yang teduh. Rindu pada
kekasih yang jauh.
Ia
ceritakan padaku, betapa perihnya menampik bisik pasir pantai Sangihe. Pasir
putih yang setiap hari bergumul bersama buih. Dan sisa ombak yang kecewa ketika
tahu keberadaannya tak sampai menggapai daratan. Kemudian, di sepanjang bukit,
gugusan nyiur begitu sabar menahan angin. Betis perawan yang tersinsing melepas
nelayan melaut, tertanam pada lidah ombak.
Ada
Lusiana di antaranya. Ada Lusiana mengusap rambutnya yang bergerai dikibas
angin pantai. Perempuan paling setia di kehidupan Karinus Budikase. Perempuan
yang akhirnya bisa terbunuh karena begitu mempercaya. “Bodohnya dia,” ujar
Karinus meludahkan ke laut serpih
tembakau dari bibirnya yang pahit.
Padahal,
hidup ini sepantun dengan cuaca. Kadang kala ada hujan. Ada panas. Tambah Karinus seperti
bersajak. Kadangkala, ada badai, bahkan, kadangkala, tak ada apa-apa yang bisa
diberi nama. Sepi. Lusiana terlanjur percaya pada mimpi. Itulah salahnya. Sepi.
Dia bermimpi lelaki yang berlayar selalu akan kembali berlabuh ke pantai. Kemudian
lelaki orang laut itu akan membawa cinta abadi dengan jalannya. Sepi. Gila dia!
Alangkah
seronoknya angan-angan. Padahal, semua mudah menjadi padam. Sia-sia. Ketika Karinus Budikase tersangkut di buritan
kapal dagang lain, setelah buritan
terakhir di ujung kapalnya nya kandas, Sangihe pun semakin terlepas. Aku
mempercayakaan diriku di papan lapuk yang ia dapat.
Pasir,
biasanya tak fasih menterjemahkan perpisahan. Pasir yang pendiam tak
mengabarkan apa apa. Dipaksanya Lusiana
bertahan. Menanti dan menanti berhari hari. Sampai akhirnya pada kabar sahih
orang pengembara, bahwa
sebuah kapal telah hilang di Tanjung Cina. Karinus Budikase,
lelaki yang berjanji, entah bagaimana,
Lusiana menceburkan dirinya ke laut dalam. Menemui
Karinus Budikase di keabadian.
Entah
bagaimana. Aku bersama dia, bertahan, terapung apung di tengah gelombang. Pada
sehelai papan, kami berjudi dengan nasib. Berhari-hari, menunda kematian yang
sebenarnya telah mengambang. Sungguh. Aku sudah kehabisan sisa cemas. Perasaan
yang tadinya pernah mencekik di hari-hari bermula. Betapa dekatnya ajal. Betapa
jauhnya garis pantai. Batas yang tak tertinjau oleh harapan.
Di
saat saat putus asa mendekat, Karinus Budikase tiba tiba bernyanyi. Gila. Dia
bernyanyi. Dinyanyikannya kencang-kencang.
Lagu yang ia ciptakan di kapal. Lagu tentang Sangihe dan Lusiana yang
menanti.
“Bila kau tanyakan percintaan, maka lautlah pacarku – Kau
tanya pula pelabuhan yang abadi, maka
maka mautlah jawabku. Bila kau dengar deru badai, itulah tanganku yang
melambai. Bila kau tak sabar menant nantii, membatulah di bukit itu sampai mati.”
Suaranya
membelah malam. Aku nyaris tak percaya, apakah dia masih berharap akan ada lagi
kapal lain yang melintasi laut berbadai ini. Untuk siapa dia bernyanyi?
Sore
tadi dia bercakap cakap dengan Tuhan. Begitu dia mengaku padaku dalam bisik
yang lirih. Dia minta permisi pada keidupan ini. Dia sudah siap untuk pulang.
Pesannya, beri kabar Lusiana di Sangihe. Ajak perempuan itu menemui ketiadaan.
Sekali pun itu hanya tersua dalam serpihan mimpi.
Kini,
tiada lagi Karinus Budikase. Tiada lagi
kawanku. Ketika kudapatkan diriku di atas geladak kapal dagang lain, aku
diselamatkan. Tapi Karinus Budikase tak ikut serta. Kata pelaut asing itu, dia menolak ketika diangkat. Dia
menghambur ke laut bersama sehelai papan. Badannya ia ikatkan erat-erat ke papan itu. Dan dengan gigih dia berenang menjauh.
‘Aku
ke Sangihe....’ teriaknya menjelang hilang.
Sampai
kini, aku tak bisa menduga-duga: Apakah Karinus Budikase masih ada? Apakah dia bisa berhasil menemui
lusiana di Pantai Sangihe? Dan, apakah Lusiana itu benar benar ada? Atau nama
itu hanya buah nyanyian pemupus kalut? “Nyanyian Badai” yang beberapa bait dari sajaknya kulupa. Entah bagaimana. n
Kado Tahun Baru buat Cay dan Robby di Grand Mall
Tidak ada komentar:
Posting Komentar