OLEH Fadlillah Malin Sutan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Andika Cahaya, novel Darman Moenir itu, sepertinya tidak berbicara
tentang cahaya, pada hakekat ia berkisah tentang kegelapan. Perangai manusia
yang diibarat bagai metabolisme yang sakit manahun. Pada akhirnya, yang jadi
korban, peradaban sebuah bangsa, sia-sia (Moenir,2012:146,147), sampai tiga
generasi. Pembusukan itu, mencapai klimaks dieksekusi perubahan zaman. Dari
kegelapan perangai manusia itu, tentu, ada memungkinkan terawang pembaca untuk
berpikir tentang perlunya cahaya, tentang Nur,
kebenaran.
Novel, yang terbit tahun 2012 itu, memang suatu
fiksi, tetapi tidak dapat dibantah bahwa dia berbicara tentang fakta-fakta.
Karena, tidak akan ada suatu fiksi yang murni fiksi, begitu juga tidak akan ada
suatu fakta yang murni fakta, ketika dia berada di tangan manusia. Sebagai
suatu fiksi, itu benar, tetapi bagaimana dia mengandung fakta-fakta di
dalamnya, dan bagaimana dia membungkus fakta, pada sebuah cerita, itulah novel.
Adalah fakta, Harun Zain Gubernur
Provinsi Sumatera Barat, pada waktu itu, dan Hasan Basri Durin adalah Walikota
Padang. Tersebutlah beberapa nama, yang mereka bukan fiktif, Ali Akbar Navis,
Taufik Abdullah, Anhar Gongong, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad,
Budi Darma, Sutardji Calzoum Bachri, Boestanoel Arifin, Hoerijah Adam dan Prof.
Dr. Mestika Zed, M.A., Nama-nama organisasi Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM), Bundo Kanduang,
orsospol Golongan Karya, sampai kepada
penjual obat di lantai dasar Pasar Bertingkat, Pasar Raya di kota
Padang. Nama wilayah; ranah Minang, Luhak Tanah Data, Luhak Limopuluah Koto dan
Luhak Agam. Nama kota-kota, Padang, Batu Sangkar Padang Pariaman,
Bukit Tinggi, Paya Kumbuh, Sawah Lunto,
Lubuak Basuang, nama nagari; Pariangan, Simabua, Batu Basa, Tabek, Sawah Tangah
dan Sungai Jambu, sampai kepada pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Nama-nama jalan; Diponegoro, Chairil Anwar, Bundo Kanduang
dan tempat bernama Taman Melati, rute Pasar Raya dan Aie Tawa, sampai Simpang
Tabiang, Lubuak Aluang, nama tempat Simpang Enam, Parak Karambia, Bandar
Puruih, Lubuak Minturun.
Dari sekian banyak nama itu, adalah
fakta diantara jalinan fiksi, ada satu nama
yang menonjol daripada nama tempat, kota, dan gedung. Satu nama dari banyak
nama, yakni nama museum itu, tidak fakta. Dia seperti menggantikan fakta,
akan tetapi pada pihak lain, dia mempersiapkan diri untuk melahirkan
pertanyaan, mengapa tidak ada nama Adityawarman. Padahal nama itu mengandung
sejarah, kekuasaan, agama, budaya dan ekonomi politik. Mengapa Adityawarman
tidak pernah disebut sedikitpun. Itulah, sebagai fakta, nama sesungguhnya
museum Sumatera Barat. Mengapa yang dihadirkan nama Andika Cahaya. Pada sisi
lain, ini seperti penolakkan terhadap kehadiran Adityawarman, jika tidak
dikatakan mengganti, indeksikal atau menunda kehadirannya. Agaknya, di sini
kata kunci, ia sebagai novel.
Siang Hari Museum
dan Malam Mesum
Dari biografi kebusukan kekuasaan tiga
penguasa di sebuah Museum (Jotambi, Drs. Ikrar Gantiang dan Dra. Lulu Permata Sari) yang dikisahkan
dalam novel itu, apakah akan takut tercoreng nama baik Adityawarman, sehingga
cukup dipakai nama fiktif Andika Cahaya. Atau sebagaimana C.C. Berg menganggap
nama Adityawarman identik dan dapat dihubungkan dengan Arya Damar, dan
pengertian lain dari Andika Cahaya.
Tetapi siapa yang dapat mengatakan Adityawarman
tidak terlepas dari kebusukan kekuasaan, sebagaimana dikatakan J.L. Moens
(1986: 37,56,57), dalam tahun 1297, Adityawarman menerima
pentahbisan-Bhairawa tertinggi di sebuah lapangan mayat yang menyebarkan bau busuk yang tak tertahankan,
duduk di atas tumpukan mayat-mayat sambil tertawa-tawa bagai setan dan
minum-minum darah. Mid. Jamal (1985:18) pun juga mengatakan bahwa Adityawarman bagi orang Minang memang
bergelar Sri Paduka Berhala (Tuangku Rajo Bahalo). Semua itu juga mengarah
kepada patung Adityawarman yang mengerikan (patung raja yang terbesar di
Indonesia, yang pernah ditemukan), patung seorang raja yang yang berdiri di
atas tengkorak-tengkorak kepala manusia. Fenomena yang luar biasa. Ngingatkan
orang pada lambang bendera para lanun, bajak laut.
Diantara kisah Adityawarman yang baik-baik, ini
sisi kritik yang kritis. Begitu berkuasanya Adityawarman, sehingga Majapahit
pun tak berkutik semasa hidupnya, namun mengapa tidak ada cerita mitos, dongeng
dan mistik tentang tokoh itu. Ada beberapa tokoh menghubungkan dan mengatakan Dang Tuanku dan
Cidua Mato sebagai Adityawarman, atau Datuk Perpatih dengan Ketemanggungan.
Namun rakyat Minangkabau tidak mengatakannya begitu. Bahkan M. Nasroen
(1971:33) dengan tegas mengatakan Adityawarman adalah orang asing, walau
termasuk raja yang paling berkuasa di Minangkabau. Dia berada di luar masyarakat
Minangkabau. Adityawarman tidak mempunyai suku menurut adat Minangkabau dan dia
tidak mempunyai hak atas tanah sedikitpun.
Adityawarman tidak berurat berakar di bumi dan masyarakat Minangkabau. Menurut
adat Minangkabau, Adityawarman hanya orang sumando dan anaknya adalah orang
Minangkabau. Ini menarik, sebagaimana juga dikatakan Wisran Hadi (2000:156-157)
bahwa kedatangan Adityawarman dicatat sebagai permulaan kerajaan di
Minangkabau, padahal jauh sebelum Swarnabhumi, Sriwijaya dan Singosari,
Minangkabau sudah ada di bumi. Uli
Kozok (dalam cermahnya di Unimed pada tanggal 09 Maret 2010) meragukan kalau Adityawarman putra
Dara Jingga.
Dengan demikian, novel ini berbicara
tentang bangsa, peradaban yang membelakangi masa depan, dan bergegas ke masa
lampau yang penuh misteri. Padahal sebuah museum selayaknya hadir dari alam
pemikiran bangsa yang menghadap dan mengejar masa depan. Sebagaimana dikatakan
Boestanoel Arifin Adam (Moenir,2012:30), bahwa negara-negara maju memaknai dan
menghargai peradaban adalah dengan jalan memaknai dan menghargai kebudayaan.
Akan tetapi semua menjadi terbalik, bagaimana sebuah kemuliaan kemudian jatuh
ke tangan manusia-manusia birokratikus
ABS, AIS, KKN, dan mereka bagian kecil dari suatu mesin KKN yang sangat besar
yang berpusat di ibu kota negara. Demikianlah, pada siang hari, dia bernama
Museum dan malam hari dia bernama mesum (Moenir, 2012:33,183, 208). Pada
penampakan dia bernama Museum, dan pada ketidakpenampakannya dia kebudayaan
yang mesum. Lantas,... apakah sejarah pun juga mesum? n
Kuranji, Simpang Tui, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar