Kamis, 17 Oktober 2013

MITIGASI KEBENCANAAN: Pertahanan Terbaik Bernama Pengetahuan


OLEH Nasrul Azwar
Jurnalis Freelance, tinggal di Padang
Pertahanan terbaik terbaik manusia menghadapi bencana alam adalah pengetahuan. Pengetahuan yang tepat sangat berpotensi meminimalisir risiko jatuhnya korban lebih luas. Sejauh mana pengetahuan dan kesiapsiagaan bencana itu dipahami masyarakat?

Sumber: http://3.bp.blogspot.com/

Nenek itu tampak bingung. Orang-orang meneriakinya agar bergegas ke luar rumah. Malam itu, kebetulan hanya ia yang berada di rumahnya. Anak dan menantunya ke luar kota. Lidah nenek terasa berat untuk berucap membalas teriakan itu. Bibirnya pun menggigil.

“Air sudah setinggi pinggang. Sebentar lagi akan sampai ke sini. Cepat Nek!” Sorak lelaki paruh baya sembari memopong nenek itu ke atas mobilnya. Nenek itu tak bersuara. Ia pasrah. Mobil bergerak lambat.

Di sepanjang jalan ribuan warga berjalan tergesa-gesa. Tampak juga warga menyeret sapi, ternaknya. Klakson kendaraan bersahutan. Mesinnya bergemuruh. Nyaris setiap simpang macet. Kota lumpuh. Caci maki dan umpatan pun berhamburan. Semua orang ingin bergegas. Warga seperti dikomandoi serempak bergerak. Tujuannya satu: menjauhi pantai.
Entah dari mana sumbernya, SMS dan plus isu dari mulut ke mulut yang bunyinya sebagian Kepulauan Mentawai telah tenggelam, menyebar sangat cepat bak meteor membawa kecemasan dan katakutan. Warga panik sejadi-jadinya. Kendati ada imbauan dari toa masjid yang disampaikan lurah agar warga tenang, kayanya tak banyak membantu. Warga sangat meyakini informasi SMS yang masuk ke handphone mereka adalah benar: “Tsunami besar sedang menuju pantai barat Sumatra. Padang, salah satu kota yang akan terbenam.”
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/
Padahal, telah jadi pengetahuan umum, tsunami bisa terjadi jika diawali gempa laut dengan skala besar. Pascagempa bumi yang berpotensi tsunami—tentu saja indikatornya diawali dengan perubahan dasar laut secara mendadak diikuti dengan perubahan tempat massa air laut secara mendadak pula. Selain itu, yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa terjadi di dasar laut dengan kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 SR, jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun atau terjadi deformasi vertikal dasar laut. Tanda-tanda akan datangnya tsunami di daerah pinggir pantai adalah bau asin yang menyengat dan dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras. Tapi saat itu, bumi tak berguncang sama sekali. Tanda-tanda demikian itu tak terlihat. Tapi warga buncah.
Itu peristiwa yang terjadi di Kota Padang dan sekitarnya 4 hari setelah bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 silam. Tahun baru 2005 saat itu bertukar jadi kecemasan. Warga Padang memilih tak merayakannya. Selain karena ikut berduka atas bencana besar yang melanda saudara kita di Aceh dan Nias, juga tersebab isu-isu yang bersileweran Kota Padang bakal dilanda tsunami besar.
Bagi saya dan juga mungkin hampir 300 ribu warga Padang yang berdomisili sepanjang pantai di Kota Padang, isu yang membuat buncah warga itu, hingga kini masih belum hilang dari ingatan. Ia telah bersarang menjadi ingatan kolektif. Tapi, sampai hari ini, kita tak tahu siapa penyulut dan penyebar isu yang tak bertanggung jawab itu. Pihak yang berkompeten, seperti kepolisian, tak pula mengusut informasi hoax yang menciptakan keresahan dan berdampak sistemik pada aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Selepas itu, Kota Padang bak “kota mati”. Isu gempa besar bakal terjadi dan memunculkan tsunami, yang berseliweran bebas di “ruang publik” bernama telepon genggam itu, bak “hantu” yang menyeramkan. Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai barat Sumatra Barat yang panjangnya lebih kurang 540 km, yang diperkirakan dihuni 2,5 juta jiwa, mengalami traumatik karena isu-isu yang tak jelas sumbernya.
Pengaruhnya cukup dahsyat. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai telah telanjur eksodus mencari kawasan yang lebih tinggi dan dirasa aman. Rumah-rumah di sepanjang pantai Kota Padang, misalnya, kosong. Dijual murah pemiliknya. Tanah tak lagi begitu berharga. Sebaliknya, di sekitar Kuranji, Pauh, dan Aie Pacah, serta daerah ketinggian lainnya—kawasan yang masuk zona aman, hijau—harganya melambung tinggi. Kini, memiliki rumah di kawasan ini, merupakan idaman setiap warga Kota Padang.
Pemerintah telah menetapkan kawasan pantai itu masuk dalam zona merah, yang rawan diterjang tsunami jika terjadi gempa laut yang berpotensi tsunami. Kendati masuk zona merah, ironisnya, Pemerintah Kota Padang tetap mengeluarkan izin bangunan untuk pembangunan hotel dan rusunawa. Idealnya, kawasan zona bahaya itu, penduduknya harus direlokasi.    

Potensi

Bahwa Sumatra Barat berada di jalur rawan bencana alam, tak bisa pula dibantah. Dari fakta sejarah tsunami, wilayah ini sudah sering dilanda bencana tsunami sejak tiga ratus tahun lalu. Bukti adanya bencana tsunami, para pakar geologis membacanya lewat terumbu karang. Faktanya “terpahat” dan dapat “dibaca” pada terumbu karang yang bertebaran di perairan Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.

Misalnya, pada 10 Februari 1797 terjadi gempa bumi tektonik dengan bermagnitudo momen 8,7 SR. Pusat gempa di perairan Kepulauan Mentawai. Saat itu, Kota Padang diterjang gelombang tsunami setinggi 4 meter dan menelan 300 orang korban jiwa. Kita dapat membayangkangkan, penduduk Kota Padang ketika itu tentu tidak sebanyak pada saat sekarang.
Pada 29 Januari 1833 gempa dengan kekuatan 8,9 SR menggetarkan daerah di pesisir Sumatra Barat, terutama Kota Padang, dan menyulut datangnya tsunami, namun tidak ada catatan berapa jumlah korban jiwa ketika itu.
Selain Padang, dalam tahun yang sama, yaitu pada 24 November 1833, Bengkulu diguncang gempa dan tsunami menyapu sebagian wilayah pesisir Bengkulu. Menurut pakar geologi, gempa ini merupakan pengulangan 15 tahun sebelumnya (18 Maret 1818).
Hamzah Latief dari Tsunami Research Group Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB), (Kompas, 15 September 2007), telah membuat simulasi penjalaran tsunami di Padang. Pemodelannya berdasarkan perambatan tsunami di Padang akibat gelombang berskala sekitar 8,7-8,9 Skala Richter (SR) pada tahun 1797 dan 1833. Simulasi ini menunjukkan gelombang sampai ke pantai Padang dalam waktu 30 menit dengan ketinggian hampir lima meter.
Provinsi Sumatra  Barat berada di antara pertemuan dua lempeng benua besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan patahan (sesar) Semangko. Di dekat pertemuan lempeng terdapat patahan Mentawai. Ketiganya merupakan daerah seismik aktif. Menurut catatan ahli gempa, wilayah Sumatra  Barat memiliki siklus 200 tahunan gempa besar yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya siklus.
Beberapa waktu lalu, pemerintah pusat merilis Peta Gempa 2010 di Istana Negara. Peta yang dibuat Tim Peta Gempa Nasional dan merupakan informasi terbaru potensi gempa masa depan di wilayah Indonesia dan ‘berisi peringatan keras' buat Sumatra  Barat. (www.padangkini.com, Kamis (22/07/2010), pukul 23:12).
Ini terkait informasi potensi ancaman gempa besar maksimal 9 SR (Scala Richter) di Mentawai dan ancaman gempa maksimal 7,5 SR di segmen Sumpur dan Suliti di Kabupaten Solok dan Solok Selatan. Bahkan gempa Mentawai juga berpotensi tsunami.
Peta baru ini memperlihatkan peningkatan potensi gempa di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Sumatra  Barat dibanding peta sebelumnya yang dikeluarkan 2002. Juga peningkatan tingkat guncangan di depan episentrum gempa.
Berdasarkan Zonasi Peta Gempa 2010, ada dua segmen di jalur patahan Sumatra  di daratan yang masih aktif dan berpotensi menjadi titik terjadinya gempa. Kedua segmen itu Segmen Sumpur (Danau Singkarak) dan Segmen Suliti (Gunung Talang), terletak di Kabupaten Solok. Kedua segmen aktif ini berpotensi menjadi titik gempa daratan dengan kekuatan hingga 7,5 SR.

Sadar Kebencanaan
“Alam dapat memberikan petunjuk tentang tsunami. Pertahanan terbaik Anda adalah pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana yang tidak dapat dipastikan datangnya itu.”
Sumber: www.surfaidinternational.org
Kalimat di atas saya ambil dari laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika beberapa tahun lalu. Kini kalimat itu tak terlihat lagi. Bagi saya, kalimat itu cukup bijak dan memberi pengertian yang mendalam tentang perlunya pengetahuan menghadapi bencana: Ada nilai yang sangat kuat mengaitkan alam, manusia, dan Sang Pencipta. Pengetahuan sendiri membuka keseimbangan hidup bagaimana memahami gejala alam.
Maka, membaca fakta sejarah menyangkut gejala dan bencana alam, tampaknya sangat penting. Pengetahuan yang diperoleh dari pembacaan itu, paling tidak akan menyingkap sedikit tabir alam dan membuat kita semakin arif dan peka.
Bencana alam datang memang tidak diharapkan. Tapi ia datang tiba-tiba, sekejap, dan seterusnya meninggalkan duka nestapa. Untuk yang seperti ini sudah demikian banyak pengalaman yang kita rasakan. Bagi daerah kita, Sumatra Barat, bencana alam bukan lagi peristiwa alam yang langka: gempa bumi dengan potensi tsunami, tanah longsor (galodo), banjir, angin kencang, dan gelombang laut besar terasa sudah demikian fasih kita ucapkan belakangan ini.
Bencana alam memang harus diakrabi yang jika telah akrab akan menyadarkan kita betapa kecilnya manusia di mata Sang Pencipta.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi terbatas dengan tajuk “Gempa dan Kita”, yang dihadiri antara lain, Badrul Mustafa Kemal, ahli gempa dari Universitas Andalas, Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami Padang, Rusmazar Ruzuar, tokoh masyarakat, Khalid Syaifullah, Koordinator Lumbung Derma dan Direktur Walhi Padang, dan Zukri Saad, aktivis yang konsen pada lingkungan hidup, para narasumber ini sepakat, agar masyarakat tak mudah memercayai isu-isu gempa dan tsunami yang disebarkan orang-orang tak bertanggung jawab, kendati Sumatra Barat memang berada dalam jalur rawan gempa bumi. Yang perlu ditingkatkan adalah kapasitas pengetahuan masyarakat terkait mitigasi kebencanaan.

“Sampai sekarang tidak ada satupun ahli dan alat supercanggih sekalipun yang ada di seluruh dunia yang mampu memperkirakan kecepatan atau kekuatan, lokasi dan kapan persisnya akan terjadi gempa bumi. Maka, masyarakat tak perlu cemas,” kata Badrul Mustafa Kamal dalam diskusi yang digelar harian Haluan itu.

Patra Rina Dewi dan Rusmazar Ruzuar, dengan nada yang sama mengatakan, masyarakat lebih siap menghadapi bencana daripada pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman terjadinya bencana gempa bumi yang melanda Sumatra Barat sebelumnya. Selain itu, pemerintah tidak memiliki manajemen dan strategi kebencanaan sehingga apa yang dilakukan dalam pra dan setelah bencana, belum tersusun secara sistematis. Penanganan bencana masih tampak sporadis.
Sementara Khalid Syaifullah, menyoroti belum ada koordinasi antarkepala-kepala daerah yang berada di kawasan pesisir. Ada enam pemerintah daerah di Sumatera Barat yang berada di jalur pesisir, tapi tak jelas koordinasinya menghadapi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami.
“Enam daerah yang berada di jalur rawan gempa dan tsunami di pesisir pantai Sumbar  yang dihuni sekitar 2,5 juta jiwa. Hampir setengah jumlah penduduk Sumatra Barat. Namun kita tak mengetahui bentuk koordinasinya antarkepala daerah, dan bagaimana sistem kerjanya,” jelas Khalid.
Zukri Saad, menambahkan, kita tak mengetahui, langkah dan rencana aksi apa yang akan dilakukan pemerintah jika bencana terjadi. Untuk itu, ia minta pemerintah di Provinsi Sumatra Barat sesegera mungkin membangun jalan evakuasi selebar paling kurang 50 meter.
Bencana tsunami Aceh, Pangandaran, Mentawai, serta di wilayah timur Indonesia, serta lindu dan gempa-gampa yang melanda Sumatra sesungguhnya telah memberi pelajaran, pengalaman, dan pengetahuan yang sangat berharga bagi kita bersama. Paling tidak, dengan pengalaman itu pula, sistem peringatan dini serta jalur evakuasi yang telah disiapkan dapat berkerja secara maksimal dan terkoordinatif. Tapi, apakah sistem peringatan dini ini telah yang dapat bekerja dengan baik sehingga derajat kerusakan dan banyaknya korban bisa diminimalkan?
Melihat dan menelisik besarnya dampak akibat gempa pada 30 September 2009 lalu di Sumatra Barat, serta tingginya jumlah korban baik meninggal maupun luka, serta kepanikan yang demikian besar, dan jalur evakuasi yang tak efektif, karena sebagian besar jalur tersumbat dan macet total karena warga juga membawa kendaraannya, jelas sekali mitigasi kebencanaan dan kesiapsiagaan, serta kewaspadaan menghadapi bencana alam terkesan masih rendah dan belum maksimal. Peringatan dini juga tak bekerja efektif karena kepanikan semua pihak saat gempa melanda, dan juga informasi yang mengatakan gempa berpotensi tsunami, tak terkomunikasikan dengan baik. 
Saluran komunikasi yang tampak efektif saat terjadi gempa dan pascagempa adalah radio. Radio penyiaran memiliki peran penting penyampai informasi terkait dengan kondisi terakhir. Jikapun pasokan listrik terputus dan jaringan telekomunikasi bermasalah, stasiun radio yang biasanya memiliki ganset, menjadi alat komunikasi  yang memiliki peran penting. Lalu, pertanyaannya: Apakah semua orang mendengarkan radio saat kepanikan melanda?

Penataan, Pengelolaan, dan Sosialisasi
Sebagian besar warga di Kota Padang dan daerah pantai lainnya, hingga kini belum tahu persis bagaimana pemerintah membangun sistem peringatan dini itu, dan sejauh mana pula kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana tsunami—memang tidak kita harapkan terjadi—jika bencana tsunami itu melanda?
Sumber: http://4.bp.blogspot.com/-
Jika berkaca pada beberapa kali digelar simulasi mitigasi kebencanaan di Kota Padang, tampaknya belum maksimal: beberapa sistem belum bekerja dengan baik. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai—yang tergolong dalam rawan dan berada di jalur bahaya—juga belum banyak menerima pengetahuan umum tentang kesiagaan menghadapi tsunami.
Memang, setelah terjadinya tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, terutama di Kota Padang, pelatihan tanggap darurat (emergency drill) yang menyertakan penduduk kota ini, terutama yang bermukim di pantai, sudah beberapa kali digelar. Sebagai skenario awal prosedur tanggap darurat terhadap bahaya tsunami, menurut pihak terkait, sosialisasinya cukup memuaskan.
Namun banyak pihak yang menilai, capaiannya belum maksimal, belum tuntas. Mereka meminta agar upaya peningkatan kapasitas pengetahuan penduduk terhadap mitigasi kebencanaan, terus ditingkatkan, paling tidak, pada pelaksanaannya. Tim yang manangani pelatihan ini belum sampai pada pengukuran waktu rata-rata dan paling lama yang diperlukan untuk menuju titik evakuasi yang aman bagi warga. Misalnya, penduduk yang tinggal di sekitar Pasir Jambak karena tidak maksimalnya sosialisasi, kita belum mengetahui waktu rata-rata yang dibutuhkan masyarakat menuju titik evakuasi sampai di jalur aman. Semestinya, hal seperti sudah diketahui masyarakat. Sehingga, rentang waktu lebih kurang 30 menit itu, dapat dimanfaatkan secara baik. Juga hal serupa dialami masyarakat di Puruih, Parupuak, Parak Karambia, dan lain-lainnya.
Jika masyarakat masih menonjolkan rasa egoisnya saat bencana datang, maka jalur evakuasi yang dibangun dengan menelan ratusan miliar rupiah menjadi tak ada artinya. Jalur evakuasi akan semakin tak ada gunanya lagi jika masyarakat—karena pengetahuan dan sosialisasi yang minim—mengungsi dengan mengunakan kendaraan roda empat, yang akhirnya menumpuk pada satu titik dan membuat macet. Tentu hal ini jelas sangat riskan menyelematkan diri dalam rentang alokasi waktu 30 menit itu.
Sama halnya juga dengan pembangunan selter yang belum merata. Di sekitar kawasan Tabiang dan sepanjang Lubuak Buaya Padang, misalnya, tak begitu banyak bangunan yang disertai selter. Padahal, daerah ini termasuk pemukiman padat penduduk. Pemerintah kota bisa mengeluarkan regulasi, misalnya, mewajibkan membangun selter—minimal selter untuk kapasitas keluarga—bagi warga yang mengurus IMB (izin membuat bangunan).

Membangun Kapasitas Warga
Penguatan pengetahuan warga terhadap kebencanaan menjadi sangat penting dan krusial. Posisi Sumatra Barat yang berada dalam “jalur” yang rawan bencana alam, baik itu bencana gempa bumi dan diikuti tsunami, longsor, galodo, banjir, dan letusan gunung berapi, tentu harus menjadi perhatian yang sangat serius berbagai pihak.

Sumber: http://1.bp.blogspot.com/

Untuk itu, sangat mendesak memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang mitigasi kebencanaan itu agar kesiagaan dan rasionalitas bisa berjalan dengan baik. Di sini peran dan posisi pemerintah menjadi sangat penting.
Menurut Patra Rina Dewi, menghadapi kebencanaan kunci utamanya adalah pengetahuan. Pengetahun membuka kemungkinan manusia lebih mengenali sifat-sifat bencana, dan sekaligus mengenal fungsi teknologi pendukungnya. Bayangkan, misalnya, pemerintah membangun sistem peringatan dini, yang tentu saja harganya mahal. Tapi, karena minimnya pengetahuan, masyarakat tak tahu bagaimana mengaksesnya.
“Siapa yang memberitahukan kepada masyarakat alat itu berfungsi? Masyarakat akan melakukan apa dengan alat itu? Jadi pengetahuan masyarakat itu tidak hanya tentang rencana evakuasi, tapi bagaimana dengan peringatan dini, baik itu berupa alarm, teknologi lainnya, apa yang harus dilakukan saat evakuasi, dan bagaimana memanfaatkan golden time (20-30 menit) itu? Tentu semua itu harus dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” terang Patra Rina Dewi.
Lebih jauh dijelaskannya, jika mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat sudah disiapkan maksimal, sebenarnya pemerintah telah berhasil menghemat 4 kali lipat dana jika dibandingkan dengan biaya yang dihabiskan dalam tanggap darurat. Maksudnya, jika mitigasi kebencanaan berjalan maksimal dan masyarakat memahami apa yang dilakukan, hal ini jelas meminimalisir jumlah korban dan dampak bencana yang terjadi.
Selain itu, menurut Patra Rina Dewi, pada tingkat keluarga sangat diperlukan pemahaman bersama sebagai antisipasi dini saat terjadi gempa bumi. Susunlah rencana evakuasi keluarga bagi yang tinggal di zona rawan. Misalnya, buatlah kesepakatan dalam anggota keluarga. Jika berada di luar rumah saat gempa bumi berpotensi tsunami terjadi, masing-masing disarankan tak saling mencari. Selamatkan diri ke titik yang dirasa aman. Sepakati dalam keluarga, titik bertemu di mana. Dan seterusnya.  “Ini sangat berguna dan penting.”
“Bangunlah evakuasi keluarga. Siapkan tas siaga bencana, yang isinya makanan  mi instan, minuman, senter, radio, dan dokumen-dokumen berharga,” terangnya.
Akhirnya, seperti kalimat yang saya kutip di laman BMKG itu, kearifan manusia membaca gejala-gejala alam adalah anugerah yang diberikan Tuhan, Sang Pencipta langit dan Bumi serta isinya yang tak ternilai harganya. Dan pertahanan terbaik menghadapi bencana alam yang tidak dapat dipastikan datangnya itu adalah pengetahuan dan kesiapsiagaan. Kita mampu untuk itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...