OLEH Nasrul Azwar
Jurnalis Freelance, tinggal di Padang
Jurnalis Freelance, tinggal di Padang
Pertahanan terbaik terbaik manusia menghadapi bencana
alam adalah pengetahuan. Pengetahuan yang tepat sangat berpotensi meminimalisir
risiko jatuhnya korban lebih luas. Sejauh mana pengetahuan dan kesiapsiagaan
bencana itu dipahami masyarakat?
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/ |
Nenek
itu tampak bingung. Orang-orang meneriakinya agar bergegas ke luar rumah. Malam
itu, kebetulan hanya ia yang berada di rumahnya. Anak dan menantunya ke luar
kota. Lidah nenek terasa berat untuk berucap membalas teriakan itu. Bibirnya
pun menggigil.
“Air
sudah setinggi pinggang. Sebentar lagi akan sampai ke sini. Cepat Nek!” Sorak
lelaki paruh baya sembari memopong nenek itu ke atas mobilnya. Nenek itu tak
bersuara. Ia pasrah. Mobil bergerak lambat.
Di
sepanjang jalan ribuan warga berjalan tergesa-gesa. Tampak juga warga menyeret
sapi, ternaknya. Klakson kendaraan bersahutan. Mesinnya bergemuruh. Nyaris
setiap simpang macet. Kota lumpuh. Caci maki dan umpatan pun berhamburan. Semua
orang ingin bergegas. Warga seperti dikomandoi serempak bergerak. Tujuannya satu:
menjauhi pantai.
Entah
dari mana sumbernya, SMS dan plus isu dari mulut ke mulut yang bunyinya
sebagian Kepulauan Mentawai telah tenggelam, menyebar sangat cepat bak meteor
membawa kecemasan dan katakutan. Warga panik sejadi-jadinya. Kendati ada imbauan
dari toa masjid yang disampaikan lurah agar warga tenang, kayanya tak banyak
membantu. Warga sangat meyakini informasi SMS yang masuk ke handphone mereka adalah benar: “Tsunami
besar sedang menuju pantai barat Sumatra. Padang, salah satu kota yang akan terbenam.”
Sumber: http://2.bp.blogspot.com/ |
Padahal,
telah jadi pengetahuan umum, tsunami bisa terjadi jika diawali gempa laut
dengan skala besar. Pascagempa bumi yang berpotensi tsunami—tentu saja
indikatornya diawali dengan perubahan dasar laut secara mendadak diikuti dengan
perubahan tempat massa air laut secara mendadak pula. Selain itu, yang paling
mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa terjadi di dasar laut dengan
kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo gempa lebih besar dari 6,0
SR, jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun atau terjadi
deformasi vertikal dasar laut. Tanda-tanda akan datangnya tsunami di daerah
pinggir pantai adalah bau asin yang menyengat dan dari kejauhan tampak
gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras. Tapi saat itu, bumi tak
berguncang sama sekali. Tanda-tanda demikian itu tak terlihat. Tapi warga
buncah.
Itu
peristiwa yang terjadi di Kota Padang dan sekitarnya 4 hari setelah bencana
gempa dan tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada 26 Desember 2004 silam. Tahun
baru 2005 saat itu bertukar jadi kecemasan. Warga Padang memilih tak
merayakannya. Selain karena ikut berduka atas bencana besar yang melanda
saudara kita di Aceh dan Nias, juga tersebab isu-isu yang bersileweran Kota
Padang bakal dilanda tsunami besar.
Bagi
saya dan juga mungkin hampir 300 ribu warga Padang yang berdomisili sepanjang
pantai di Kota Padang, isu yang membuat buncah warga itu, hingga kini masih
belum hilang dari ingatan. Ia telah bersarang menjadi ingatan kolektif. Tapi,
sampai hari ini, kita tak tahu siapa penyulut dan penyebar isu yang tak
bertanggung jawab itu. Pihak yang berkompeten, seperti kepolisian, tak pula
mengusut informasi hoax yang
menciptakan keresahan dan berdampak sistemik pada aktivitas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Selepas
itu, Kota Padang bak “kota mati”. Isu gempa besar bakal terjadi dan memunculkan
tsunami, yang berseliweran bebas di “ruang publik” bernama telepon genggam itu,
bak “hantu” yang menyeramkan. Masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai
barat Sumatra Barat yang panjangnya lebih kurang 540 km, yang diperkirakan
dihuni 2,5 juta jiwa, mengalami traumatik karena isu-isu yang tak jelas
sumbernya.
Pengaruhnya
cukup dahsyat. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai telah telanjur eksodus
mencari kawasan yang lebih tinggi dan dirasa aman. Rumah-rumah di sepanjang
pantai Kota Padang, misalnya, kosong. Dijual murah pemiliknya. Tanah tak lagi
begitu berharga. Sebaliknya, di sekitar Kuranji, Pauh, dan Aie Pacah, serta
daerah ketinggian lainnya—kawasan yang masuk zona aman, hijau—harganya
melambung tinggi. Kini, memiliki rumah di kawasan ini, merupakan idaman setiap
warga Kota Padang.
Pemerintah
telah menetapkan kawasan pantai itu masuk dalam zona merah, yang rawan
diterjang tsunami jika terjadi gempa laut yang berpotensi tsunami. Kendati
masuk zona merah, ironisnya, Pemerintah Kota Padang tetap mengeluarkan izin
bangunan untuk pembangunan hotel dan rusunawa. Idealnya, kawasan zona bahaya
itu, penduduknya harus direlokasi.
Potensi
Bahwa Sumatra Barat berada di jalur rawan bencana alam, tak bisa pula dibantah. Dari fakta sejarah tsunami, wilayah ini sudah sering dilanda bencana tsunami sejak tiga ratus tahun lalu. Bukti adanya bencana tsunami, para pakar geologis membacanya lewat terumbu karang. Faktanya “terpahat” dan dapat “dibaca” pada terumbu karang yang bertebaran di perairan Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.
Misalnya,
pada 10 Februari 1797 terjadi gempa bumi tektonik dengan bermagnitudo momen 8,7
SR. Pusat gempa di perairan Kepulauan Mentawai. Saat itu, Kota Padang diterjang
gelombang tsunami setinggi 4 meter dan menelan 300 orang korban jiwa. Kita
dapat membayangkangkan, penduduk Kota Padang ketika itu tentu tidak sebanyak
pada saat sekarang.
Pada
29 Januari 1833 gempa dengan kekuatan 8,9 SR menggetarkan daerah di pesisir
Sumatra Barat, terutama Kota Padang, dan menyulut datangnya tsunami, namun
tidak ada catatan berapa jumlah korban jiwa ketika itu.
Selain
Padang, dalam tahun yang sama, yaitu pada 24 November 1833, Bengkulu diguncang
gempa dan tsunami menyapu sebagian wilayah pesisir Bengkulu. Menurut pakar
geologi, gempa ini merupakan pengulangan 15 tahun sebelumnya (18 Maret 1818).
Hamzah
Latief dari Tsunami Research Group Departemen Geofisika dan Meteorologi
Institut Teknologi Bandung (ITB), (Kompas,
15 September 2007), telah membuat simulasi penjalaran tsunami di Padang.
Pemodelannya berdasarkan perambatan tsunami di Padang akibat gelombang berskala
sekitar 8,7-8,9 Skala Richter (SR) pada tahun 1797 dan 1833. Simulasi ini
menunjukkan gelombang sampai ke pantai Padang dalam waktu 30 menit dengan
ketinggian hampir lima meter.
Provinsi
Sumatra Barat berada di antara pertemuan
dua lempeng benua besar (lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia) dan
patahan (sesar) Semangko. Di dekat pertemuan lempeng terdapat patahan Mentawai.
Ketiganya merupakan daerah seismik aktif. Menurut catatan ahli gempa, wilayah
Sumatra Barat memiliki siklus 200
tahunan gempa besar yang pada awal abad ke-21 telah memasuki masa berulangnya
siklus.
Beberapa
waktu lalu, pemerintah pusat merilis Peta Gempa 2010 di Istana Negara. Peta
yang dibuat Tim Peta Gempa Nasional dan merupakan informasi terbaru potensi
gempa masa depan di wilayah Indonesia dan ‘berisi peringatan keras' buat
Sumatra Barat. (www.padangkini.com, Kamis (22/07/2010), pukul 23:12).
Ini
terkait informasi potensi ancaman gempa besar maksimal 9 SR (Scala Richter) di
Mentawai dan ancaman gempa maksimal 7,5 SR di segmen Sumpur dan Suliti di
Kabupaten Solok dan Solok Selatan. Bahkan gempa Mentawai juga berpotensi
tsunami.
Peta
baru ini memperlihatkan peningkatan potensi gempa di beberapa wilayah
Indonesia, termasuk Sumatra Barat
dibanding peta sebelumnya yang dikeluarkan 2002. Juga peningkatan tingkat
guncangan di depan episentrum gempa.
Berdasarkan
Zonasi Peta Gempa 2010, ada dua segmen di jalur patahan Sumatra di daratan yang masih aktif dan berpotensi
menjadi titik terjadinya gempa. Kedua segmen itu Segmen Sumpur (Danau
Singkarak) dan Segmen Suliti (Gunung Talang), terletak di Kabupaten Solok.
Kedua segmen aktif ini berpotensi menjadi titik gempa daratan dengan kekuatan
hingga 7,5 SR.
Sadar Kebencanaan
“Alam dapat memberikan petunjuk tentang tsunami.
Pertahanan terbaik Anda adalah pengetahuan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana
yang tidak dapat dipastikan datangnya itu.”
Sumber: www.surfaidinternational.org |
Kalimat
di atas saya ambil dari laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika beberapa tahun lalu. Kini kalimat itu tak terlihat lagi. Bagi saya,
kalimat itu cukup bijak dan memberi pengertian yang mendalam tentang perlunya
pengetahuan menghadapi bencana: Ada nilai yang sangat kuat mengaitkan alam,
manusia, dan Sang Pencipta. Pengetahuan sendiri membuka keseimbangan hidup
bagaimana memahami gejala alam.
Maka,
membaca fakta sejarah menyangkut gejala dan bencana alam, tampaknya sangat
penting. Pengetahuan yang diperoleh dari pembacaan itu, paling tidak akan
menyingkap sedikit tabir alam dan membuat kita semakin arif dan peka.
Bencana
alam datang memang tidak diharapkan. Tapi ia datang tiba-tiba, sekejap, dan
seterusnya meninggalkan duka nestapa. Untuk yang seperti ini sudah demikian
banyak pengalaman yang kita rasakan. Bagi daerah kita, Sumatra Barat, bencana
alam bukan lagi peristiwa alam yang langka: gempa bumi dengan potensi tsunami,
tanah longsor (galodo), banjir, angin kencang, dan gelombang laut besar terasa
sudah demikian fasih kita ucapkan belakangan ini.
Bencana
alam memang harus diakrabi yang jika telah akrab akan menyadarkan kita betapa
kecilnya manusia di mata Sang Pencipta.
Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi terbatas dengan tajuk “Gempa dan Kita”, yang dihadiri antara lain, Badrul Mustafa Kemal, ahli gempa dari Universitas Andalas, Patra Rina Dewi, Direktur Eksekutif Komunitas Siaga Tsunami Padang, Rusmazar Ruzuar, tokoh masyarakat, Khalid Syaifullah, Koordinator Lumbung Derma dan Direktur Walhi Padang, dan Zukri Saad, aktivis yang konsen pada lingkungan hidup, para narasumber ini sepakat, agar masyarakat tak mudah memercayai isu-isu gempa dan tsunami yang disebarkan orang-orang tak bertanggung jawab, kendati Sumatra Barat memang berada dalam jalur rawan gempa bumi. Yang perlu ditingkatkan adalah kapasitas pengetahuan masyarakat terkait mitigasi kebencanaan.
“Sampai sekarang tidak ada satupun ahli dan alat supercanggih sekalipun yang ada di seluruh dunia yang mampu memperkirakan kecepatan atau kekuatan, lokasi dan kapan persisnya akan terjadi gempa bumi. Maka, masyarakat tak perlu cemas,” kata Badrul Mustafa Kamal dalam diskusi yang digelar harian Haluan itu.
Patra
Rina Dewi dan Rusmazar Ruzuar, dengan nada yang sama mengatakan, masyarakat
lebih siap menghadapi bencana daripada pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
pengalaman terjadinya bencana gempa bumi yang melanda Sumatra Barat sebelumnya.
Selain itu, pemerintah tidak memiliki manajemen dan strategi kebencanaan
sehingga apa yang dilakukan dalam pra dan setelah bencana, belum tersusun
secara sistematis. Penanganan bencana masih tampak sporadis.
Sementara
Khalid Syaifullah, menyoroti belum ada koordinasi antarkepala-kepala daerah
yang berada di kawasan pesisir. Ada enam pemerintah daerah di Sumatera Barat
yang berada di jalur pesisir, tapi tak jelas koordinasinya menghadapi ancaman
bencana gempa bumi dan tsunami.
“Enam
daerah yang berada di jalur rawan gempa dan tsunami di pesisir pantai
Sumbar yang dihuni sekitar 2,5 juta
jiwa. Hampir setengah jumlah penduduk Sumatra Barat. Namun kita tak mengetahui
bentuk koordinasinya antarkepala daerah, dan bagaimana sistem kerjanya,” jelas
Khalid.
Zukri
Saad, menambahkan, kita tak mengetahui, langkah dan rencana aksi apa yang akan
dilakukan pemerintah jika bencana terjadi. Untuk itu, ia minta pemerintah di
Provinsi Sumatra Barat sesegera mungkin membangun jalan evakuasi selebar paling
kurang 50 meter.
Bencana
tsunami Aceh, Pangandaran, Mentawai, serta di wilayah timur Indonesia, serta
lindu dan gempa-gampa yang melanda Sumatra sesungguhnya telah memberi
pelajaran, pengalaman, dan pengetahuan yang sangat berharga bagi kita bersama.
Paling tidak, dengan pengalaman itu pula, sistem peringatan dini serta jalur
evakuasi yang telah disiapkan dapat berkerja secara maksimal dan
terkoordinatif. Tapi, apakah sistem peringatan dini ini telah yang dapat
bekerja dengan baik sehingga derajat kerusakan dan banyaknya korban bisa
diminimalkan?
Melihat
dan menelisik besarnya dampak akibat gempa pada 30 September 2009 lalu di
Sumatra Barat, serta tingginya jumlah korban baik meninggal maupun luka, serta
kepanikan yang demikian besar, dan jalur evakuasi yang tak efektif, karena
sebagian besar jalur tersumbat dan macet total karena warga juga membawa
kendaraannya, jelas sekali mitigasi kebencanaan dan kesiapsiagaan, serta
kewaspadaan menghadapi bencana alam terkesan masih rendah dan belum maksimal.
Peringatan dini juga tak bekerja efektif karena kepanikan semua pihak saat
gempa melanda, dan juga informasi yang mengatakan gempa berpotensi tsunami, tak
terkomunikasikan dengan baik.
Saluran
komunikasi yang tampak efektif saat terjadi gempa dan pascagempa adalah radio.
Radio penyiaran memiliki peran penting penyampai informasi terkait dengan
kondisi terakhir. Jikapun pasokan listrik terputus dan jaringan telekomunikasi
bermasalah, stasiun radio yang biasanya memiliki ganset, menjadi alat
komunikasi yang memiliki peran penting.
Lalu, pertanyaannya: Apakah semua orang mendengarkan radio saat kepanikan
melanda?
Penataan, Pengelolaan, dan Sosialisasi
Sebagian
besar warga di Kota Padang dan daerah pantai lainnya, hingga kini belum tahu
persis bagaimana pemerintah membangun sistem peringatan dini itu, dan sejauh
mana pula kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana
tsunami—memang tidak kita harapkan terjadi—jika bencana tsunami itu melanda?
Sumber: http://4.bp.blogspot.com/- |
Jika
berkaca pada beberapa kali digelar simulasi mitigasi kebencanaan di Kota
Padang, tampaknya belum maksimal: beberapa sistem belum bekerja dengan baik.
Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai—yang tergolong dalam rawan dan berada
di jalur bahaya—juga belum banyak menerima pengetahuan umum tentang kesiagaan
menghadapi tsunami.
Memang,
setelah terjadinya tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, terutama di Kota
Padang, pelatihan tanggap darurat (emergency
drill) yang menyertakan penduduk kota ini, terutama yang bermukim di
pantai, sudah beberapa kali digelar. Sebagai skenario awal prosedur tanggap
darurat terhadap bahaya tsunami, menurut pihak terkait, sosialisasinya cukup
memuaskan.
Namun
banyak pihak yang menilai, capaiannya belum maksimal, belum tuntas. Mereka
meminta agar upaya peningkatan kapasitas pengetahuan penduduk terhadap mitigasi
kebencanaan, terus ditingkatkan, paling tidak, pada pelaksanaannya. Tim yang
manangani pelatihan ini belum sampai pada pengukuran waktu rata-rata dan paling
lama yang diperlukan untuk menuju titik evakuasi yang aman bagi warga.
Misalnya, penduduk yang tinggal di sekitar Pasir Jambak karena tidak
maksimalnya sosialisasi, kita belum mengetahui waktu rata-rata yang dibutuhkan
masyarakat menuju titik evakuasi sampai di jalur aman. Semestinya, hal seperti
sudah diketahui masyarakat. Sehingga, rentang waktu lebih kurang 30 menit itu,
dapat dimanfaatkan secara baik. Juga hal serupa dialami masyarakat di Puruih,
Parupuak, Parak Karambia, dan lain-lainnya.
Jika
masyarakat masih menonjolkan rasa egoisnya saat bencana datang, maka jalur
evakuasi yang dibangun dengan menelan ratusan miliar rupiah menjadi tak ada
artinya. Jalur evakuasi akan semakin tak ada gunanya lagi jika
masyarakat—karena pengetahuan dan sosialisasi yang minim—mengungsi dengan
mengunakan kendaraan roda empat, yang akhirnya menumpuk pada satu titik dan
membuat macet. Tentu hal ini jelas sangat riskan menyelematkan diri dalam
rentang alokasi waktu 30 menit itu.
Sama
halnya juga dengan pembangunan selter yang belum merata. Di sekitar kawasan
Tabiang dan sepanjang Lubuak Buaya Padang, misalnya, tak begitu banyak bangunan
yang disertai selter. Padahal, daerah ini termasuk pemukiman padat penduduk.
Pemerintah kota bisa mengeluarkan regulasi, misalnya, mewajibkan membangun
selter—minimal selter untuk kapasitas keluarga—bagi warga yang mengurus IMB
(izin membuat bangunan).
Membangun Kapasitas Warga
Penguatan
pengetahuan warga terhadap kebencanaan menjadi sangat penting dan krusial.
Posisi Sumatra Barat yang berada dalam “jalur” yang rawan bencana alam, baik
itu bencana gempa bumi dan diikuti tsunami, longsor, galodo, banjir, dan
letusan gunung berapi, tentu harus menjadi perhatian yang sangat serius
berbagai pihak.
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/ |
Untuk
itu, sangat mendesak memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat
tentang mitigasi kebencanaan itu agar kesiagaan dan rasionalitas bisa berjalan
dengan baik. Di sini peran dan posisi pemerintah menjadi sangat penting.
Menurut
Patra Rina Dewi, menghadapi kebencanaan kunci utamanya adalah pengetahuan.
Pengetahun membuka kemungkinan manusia lebih mengenali sifat-sifat bencana, dan
sekaligus mengenal fungsi teknologi pendukungnya. Bayangkan, misalnya,
pemerintah membangun sistem peringatan dini, yang tentu saja harganya mahal.
Tapi, karena minimnya pengetahuan, masyarakat tak tahu bagaimana mengaksesnya.
“Siapa
yang memberitahukan kepada masyarakat alat itu berfungsi? Masyarakat akan
melakukan apa dengan alat itu? Jadi pengetahuan masyarakat itu tidak hanya
tentang rencana evakuasi, tapi bagaimana dengan peringatan dini, baik itu
berupa alarm, teknologi lainnya, apa yang harus dilakukan saat evakuasi, dan
bagaimana memanfaatkan golden time
(20-30 menit) itu? Tentu semua itu harus dilakukan dengan sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat,” terang Patra Rina Dewi.
Lebih
jauh dijelaskannya, jika mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat sudah disiapkan
maksimal, sebenarnya pemerintah telah berhasil menghemat 4 kali lipat dana jika
dibandingkan dengan biaya yang dihabiskan dalam tanggap darurat. Maksudnya,
jika mitigasi kebencanaan berjalan maksimal dan masyarakat memahami apa yang
dilakukan, hal ini jelas meminimalisir jumlah korban dan dampak bencana yang
terjadi.
Selain
itu, menurut Patra Rina Dewi, pada tingkat keluarga sangat diperlukan pemahaman
bersama sebagai antisipasi dini saat terjadi gempa bumi. Susunlah rencana
evakuasi keluarga bagi yang tinggal di zona rawan. Misalnya, buatlah
kesepakatan dalam anggota keluarga. Jika berada di luar rumah saat gempa bumi
berpotensi tsunami terjadi, masing-masing disarankan tak saling mencari.
Selamatkan diri ke titik yang dirasa aman. Sepakati dalam keluarga, titik
bertemu di mana. Dan seterusnya. “Ini
sangat berguna dan penting.”
“Bangunlah
evakuasi keluarga. Siapkan tas siaga bencana, yang isinya makanan mi instan, minuman, senter, radio, dan
dokumen-dokumen berharga,” terangnya.
Akhirnya,
seperti kalimat yang saya kutip di laman BMKG itu, kearifan manusia membaca
gejala-gejala alam adalah anugerah yang diberikan Tuhan, Sang Pencipta langit
dan Bumi serta isinya yang tak ternilai harganya. Dan pertahanan terbaik
menghadapi bencana alam yang tidak dapat dipastikan datangnya itu adalah pengetahuan
dan kesiapsiagaan. Kita mampu untuk itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar