OLEH Wannofri
Samry
Pengajar di FIB
Unand
Karatau madang
dahulu, babungo babuah balun,
marantau bujang
dahulu, di kampuang baguno balun.
Wannofri Samry |
Itulah ungkapan orang
Minangkabau yang turut mendorong mereka pergi merantau. Karena
mereka belum bisa memberikan sesuatu untuk kampung halaman secara mendalam, maka mereka
pergilah merantau. Alasan dan tujuan mereka pergi merantau memang
bermacam-macam. Ada yang bertujuan memenuhi keperluan ekonomi dan
ada juga yang bermaksud menambah ilmu pengetahuan. Namun setiap perantau Minangkabau
pastilah berhubungan juga kampung halamannya pada suatu masa. Walaupun mereka
sudah tua dan beranak cucu, dan sudah berjaya di rantau mereka tetap ingin
mengabdikan diri mereka untuk kampung halaman, baik secara moril maupun secara
materil.
Begitu pula kesan
mendalam yang kami jumpai ketika bertemu dengan seorang tokoh Minangakabau,
Dato Haji Kaharudin bin Momin generasi kedua
di Gombak, Selangor Malaysia. Beliau sebelumnya pernah menjawat Wakil
Menteri Besar Negeri Selangor. Beliau ini sedang merancang sebuah Rumah Adat
Minangkabau di kawasan Gombak, yang akan ditegakkan pada tanah seluas dua
hektare.
Menurut informasi yang kami (Ikatan Keluarga Minangkabau
Malaysia/IKMM) terima dari beliau bahawa rumah adat Minangkabau itu
dirancang dengan sistem terintegrasi
antara kawasan bisnis, sosial dan budaya. Alasan beliau bersama perantau
Minangkabau lain untuk membangun rumah adat itu ialah untuk menunjukkan kecintaan,
wadah untuk membantu seluruh warga
Minangkabau baik yang di kampung halaman maupun yang ada di Malaysia.
Pengakuan Dato
Kaharudin, pembangunan ini adalah untuk meninggikan marwah masyarakat
Minangkabau secara keseluruhan, yang
dalam sejarahnya pernah jaya. Beliau menyebut beberapa nama seperti Hatta, Syahrir, dan Natsir sebagai tokoh
Minangkabau yang hebat. Beliau mengaku
sangat sedih sekali ketika rumah adat Pagaruyung terbakar, kondisinya yang
sangat memprihatinkan. “Sebagai orang Minangkabau saya sangat sedih”, kata
beliau.
Beliau menginginkan agar
kita membuat “satu Minangkabau” untuk mebangun negeri dan seluruh Minangkabau.
Semestinya orang Minangkabau satu, baik yang dirantau maupun yang dikampung
halaman. Untuk mendorong kesatuan itu beliau
sendiri sudah menyediakan rumah beliau
di kawasan Gombak untuk ditempati oleh para mahasiswa Minangkabau yang
belajar di Malaysia.
Beliau bersedia
menampung mereka yang belajar di Malaysia, dengan syarat mesti salat berjemaah di
sana. Selain itu beliau juga merancangkan
beasiswa untuk para mahasiswa Minangkabau yang datang dari Sumatra Barat. Untuk
di kampung halaman beliau bersama keturunan Minangkabau di Malaysia juga ikut
membantu salah satu pesantren di Padang Panjang, yang saat ini sedang berkembang.
Kecintaan Dato Haji
Kaharudin Momin, tentu bukan satu-satunya, sebagaimana kebiasaan perantau
Minangkabau pun begitu: “Setinggi-tinggi terbang bangau pulangnya ke
kubangan juga”. Walaupun para perantau meghabiskan masanya di rantau, dan
beranak pinak di rantau orang, tetapi kecintaannya, hatinya, tetap tertambat di
kampung halaman. Sebab asal usul tidak akan bisa dialihkan walaupun masa terus
berubah dengan cepat. Mungkin itu juga
yang dirasakan oleh Rais Yatim dan
beberapa tokoh Minangkabau lainnya di
Malaysia.
Ketika Ikatan Keluarga
Mahasiswa Minangkabau (IKMM) ini menghelat Seminar Hamka di Malaysia maka
tokoh-tokoh perantau ini dengan mudahnya mengucurkan bantuan ribuan ringgit.
Manakala bantuan Pemerintah Daerah dan tokoh Minangkabau tidak sebanding dengan
semangat yang dilancarkan oleh anak-anak muda yang terlibat dalam acara itu.
Bahkan Panitia acara ketika dilancarakan Seminar Hamka tahun pertama tahun 2009, mereka justru pening memikirkan akomodasi
untuk pejabat kita yang datang ke Malaysia.
Apa yang kita lihat di
Malaysia juga dilakukan oleh para perantau di tempat-tempat lain di Indoensia
seperti Sulit Air Sepakat di Jakarta, komunitas pariwisata di Jakarta, dan berbagai
ikatan keluarga Minangkaau di kota-kota lain. Semangat semacam itu bisa diikuti
setiap hari melalui jejaring sosial, seperti di rantau.net. Mereka
selalu prihatin terhadap masa depan Minangkabau, dan tidak bosan-bosannya memberikan masukan demi keelokan Minangkabau.
Tetapi kadang-kadang mereka juga sangat kecewa dengan sikap dingin, sekadar formalitas dari para
elit Minangkabau, terutama para
pejabat-pejabat daerah yang tidak begitu peduli dan tidak memperhatikan betul sinergisitas
dari para perantau yang bersemangat itu.
Perlu kita merenungkan
kenapa tokoh-tokoh perantau kita begitu gelisah melihat kampung halaman mereka,
pada hal mereka sudah senang di rantau. Sebahagian mereka juga sudah pesniun,
sudah sukses secara ekonomi dan sebenarnya hidup lebih tenang. Tetapi kenapa
mereka mau mencurahkan pikiran, hati, dan harta mereka untuk Minangkabau?
Jawaban itu mesti kita periksa dalam adagium dan ungkapan-ungkapan yang ada
dalam budaya itu sendiri. Paling tidak seperti yang dikemukakan di atas: hati
mereka sudah tertambat di Minangkabau.
Selain itu mereka ingin
mewariskan identiti mereka yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Identiti
adalah suatu bahagian penting dalam hidup manusia. Sebab dalam adat Minangkabau
identiti menjadi sangat pentin untuk menapaki masa depan.
Harapan, semangat yang tabasuik dan bergelora di rantau hendaknya
juga ada di kalangan elit Minangkabau di kampung. Jangan hanya perantau yang
peduli dengan budaya, dengan kebaikan kampung halaman sementara para elit di
kampung bertenang-tenang saja, dan tidak mau kerja keras. Para elite jangan
hanya disibukkan dengan urusan politik semata, sementara rayat selalu menunggu.
Para elit mesti sadar dengan
ketingalan-ketinggalan dan masa depan negeri mereka. Para elit jangan terlalu sibuk berpidato kian
kemari sementara hasilnya terlalu sedikit dinikmati rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar