Selasa, 29 Oktober 2013

Mengintegrasikan Minangkabau di Perantauan



OLEH Wannofri Samry
Pengajar di FIB Unand
  
Karatau madang dahulu, babungo babuah balun,
marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun.
Wannofri Samry
Itulah ungkapan orang Minangkabau yang turut mendorong mereka pergi merantau. Karena mereka belum bisa memberikan sesuatu untuk kampung halaman secara mendalam, maka mereka pergilah merantau. Alasan dan tujuan mereka pergi merantau memang bermacam-macam. Ada yang bertujuan memenuhi keperluan ekonomi dan ada juga yang bermaksud menambah ilmu pengetahuan. Namun setiap perantau Minangkabau pastilah berhubungan juga kampung halamannya pada suatu masa. Walaupun mereka sudah tua dan beranak cucu, dan sudah berjaya di rantau mereka tetap ingin mengabdikan diri mereka untuk kampung halaman, baik secara moril maupun secara materil.
Begitu pula kesan mendalam yang kami jumpai ketika bertemu dengan seorang tokoh Minangakabau, Dato Haji Kaharudin bin Momin generasi kedua  di Gombak, Selangor Malaysia. Beliau sebelumnya pernah menjawat Wakil Menteri Besar Negeri Selangor. Beliau ini sedang merancang sebuah Rumah Adat Minangkabau di kawasan Gombak, yang akan ditegakkan pada tanah seluas dua hektare. 

Menurut informasi  yang kami (Ikatan Keluarga Minangkabau Malaysia/IKMM)  terima dari  beliau bahawa rumah adat Minangkabau itu dirancang  dengan sistem terintegrasi antara kawasan bisnis, sosial dan budaya. Alasan beliau bersama perantau Minangkabau lain untuk membangun rumah adat itu ialah untuk menunjukkan kecintaan, wadah  untuk membantu seluruh warga Minangkabau baik yang di kampung halaman maupun yang ada di Malaysia.
Pengakuan Dato Kaharudin, pembangunan ini adalah untuk meninggikan marwah masyarakat Minangkabau  secara keseluruhan, yang dalam sejarahnya pernah jaya. Beliau menyebut beberapa nama seperti  Hatta, Syahrir, dan Natsir sebagai tokoh Minangkabau yang hebat.  Beliau mengaku sangat sedih sekali ketika rumah adat Pagaruyung terbakar, kondisinya yang sangat memprihatinkan. “Sebagai orang Minangkabau saya sangat sedih”, kata beliau.
Beliau menginginkan agar kita membuat “satu Minangkabau” untuk mebangun negeri dan seluruh Minangkabau. Semestinya orang Minangkabau satu, baik yang dirantau maupun yang dikampung halaman.  Untuk mendorong kesatuan itu beliau sendiri sudah menyediakan rumah beliau  di kawasan Gombak untuk ditempati oleh para mahasiswa Minangkabau yang belajar di Malaysia.
Beliau bersedia menampung mereka yang belajar di Malaysia, dengan syarat mesti salat berjemaah di sana.  Selain itu beliau juga merancangkan beasiswa untuk para mahasiswa Minangkabau yang datang dari Sumatra Barat. Untuk di kampung halaman beliau bersama keturunan Minangkabau di Malaysia juga ikut membantu salah satu pesantren di Padang Panjang, yang saat ini sedang berkembang.
Kecintaan Dato Haji Kaharudin Momin, tentu bukan satu-satunya, sebagaimana kebiasaan perantau Minangkabau pun begitu: “Setinggi-tinggi terbang bangau pulangnya ke kubangan juga”. Walaupun para perantau meghabiskan masanya di rantau, dan beranak pinak di rantau orang, tetapi kecintaannya, hatinya, tetap tertambat di kampung halaman. Sebab asal usul tidak akan bisa dialihkan walaupun masa terus berubah dengan cepat.  Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Rais Yatim  dan beberapa tokoh Minangkabau lainnya di  Malaysia.
Ketika Ikatan Keluarga Mahasiswa Minangkabau (IKMM) ini menghelat Seminar Hamka di Malaysia maka tokoh-tokoh perantau ini dengan mudahnya mengucurkan bantuan ribuan ringgit. Manakala bantuan Pemerintah Daerah dan tokoh Minangkabau tidak sebanding dengan semangat yang dilancarkan oleh anak-anak muda yang terlibat dalam acara itu. Bahkan Panitia acara ketika dilancarakan Seminar Hamka tahun pertama  tahun 2009, mereka justru pening memikirkan akomodasi untuk pejabat kita yang datang ke Malaysia.
Apa yang kita lihat di Malaysia juga dilakukan oleh para perantau di tempat-tempat lain di Indoensia seperti Sulit Air Sepakat di Jakarta, komunitas pariwisata di Jakarta, dan berbagai ikatan keluarga Minangkaau di kota-kota lain. Semangat semacam itu bisa diikuti setiap hari melalui jejaring sosial, seperti di rantau.net. Mereka selalu prihatin terhadap masa depan Minangkabau, dan tidak bosan-bosannya  memberikan masukan demi keelokan Minangkabau. Tetapi kadang-kadang mereka juga sangat kecewa dengan  sikap dingin, sekadar formalitas dari para elit  Minangkabau, terutama para pejabat-pejabat daerah yang tidak begitu peduli dan tidak memperhatikan betul sinergisitas dari para perantau yang bersemangat itu.
Perlu kita merenungkan kenapa tokoh-tokoh perantau kita begitu gelisah melihat kampung halaman mereka, pada hal mereka sudah senang di rantau. Sebahagian mereka juga sudah pesniun, sudah sukses secara ekonomi dan sebenarnya hidup lebih tenang. Tetapi kenapa mereka mau mencurahkan pikiran, hati, dan harta mereka untuk Minangkabau? Jawaban itu mesti kita periksa dalam adagium dan ungkapan-ungkapan yang ada dalam budaya itu sendiri. Paling tidak seperti yang dikemukakan di atas: hati mereka sudah tertambat di Minangkabau.
Selain itu mereka ingin mewariskan identiti mereka yang sudah diwariskan oleh nenek moyang. Identiti adalah suatu bahagian penting dalam hidup manusia. Sebab dalam adat Minangkabau identiti menjadi sangat pentin untuk menapaki masa depan.
Harapan, semangat yang tabasuik dan bergelora di rantau hendaknya juga ada di kalangan elit Minangkabau di kampung. Jangan hanya perantau yang peduli dengan budaya, dengan kebaikan kampung halaman sementara para elit di kampung bertenang-tenang saja, dan tidak mau kerja keras. Para elite jangan hanya disibukkan dengan urusan politik semata, sementara rayat selalu menunggu.  Para elit mesti sadar dengan ketingalan-ketinggalan dan masa depan negeri mereka.  Para elit jangan terlalu sibuk berpidato kian kemari sementara hasilnya terlalu sedikit dinikmati rakyatnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...