OLEH Esha tegar Putra
Latiahan Ujicoaba |
“Biarkan saja Yang Mulia gagap,” teriak S Metron M selaku
sutradara yang sedang menggarap naskah Ujicoba
karya Wisran Hadi pada sesi latihan di ruang studio di Fakultas Ilmu Budaya
Unand beberapa waktu lalu. Segera, salah seorang pelakon yang berperan sebagai
Yang Mulia berperan sebagaimana adanya dirinya di luar perannya tersebut.
“Kapan lagi yang Mulia itu gagap,” lanjut sutradara yang menginterpretasikan
‘Yang Mulia’ (salah satu pelakon) dalam pengertian keseharian masyarakat bisa
jadi sesuatu yang sempurna.
Ujicoba merupakan naskah
yang sedang dipersiapakan S Metron M di bawah payung Ranah Teater untuk Pekan
Wisran Hadi yang direncanakan akan diadakan di Taman Budaya Sumatera Barat
bulan November mendatang. Naskah tersebut diperkirakan ditulis oleh Wisran Hadi
dekade tahun 80-an dan belum pernah dipentaskan. “Setahu saya, ini pertama kali
Ujicoba akan dipentaskan. Naskah ini
agak berbeda dengan naskah yang pernah dipentaskan,” sebut sutradara yang juga
merupakan salah satu pendiri Ranah Teater tersebut.
Secara tekstual memang naskah
tersebut ‘berbeda’ dengan naskah Wisran Hadi kebanyakan. Ujicoba, dengan tokoh beberapa robot, Emsi, Yang Mulia, Yang
Terhormat, Yang Tidak Terhormat, Satpam, dll, berusaha mengusung teori
penciptaan benda-benda seperti robot, lantas benda-benda yang dihidupkan
tersebut berusaha mempertanyakan segela sesuatu tentang dirinya selayaknya
manusia. Persoalan tidak sampai di sana saja, hal-hal yang alamiah, seperti
mula pertanyaan filolsifis, dipertanyakan juga dalam dialog-dialog antar tokoh.
“Cukup banyak korban di antara kami. Setiap kami mempertanyakan keberadaan kami
di muka bumi sebagai apa, selalu saja kami mendapat gangguan elektronik.
Akibatnya, ya, teman-teman kami kehilangan enerji dan tak berfungsi. Dikatakan
pensiun tidak, dikatakan mati juga bukan…” kalimat salah satu robot dalam
naskah tersebut.
Dalam kebanyakan naskah Wisran Hadi,
penggunaan aspek tradisi, mitos sangat kental sekali. Akan tetapi sangat
sedikit sekali tampak dalam naskah Ujicoba.
“Barangkali inilah yang membedakan naskah Ujicoba dengan naskah Wisran yang
lain,” ungkap S Metron yang membahasakan Wisran Hadi berusaha memberi citraan
lain pada ‘geger kebudayaan’ pada dekade tahun 80-an yang sering dimanifestasikan
dengan teknologi penciptaan robot dan virtualisasi digital.
Di periode tahun delapan puluh dan
sepuluh tahun sebelumnya (70-an) naskah drama di Indonesia dibahasakan oleh
banyak kritikus sebagai tahapan titik puncak penciptaan naskah. Sejumlah naskah
daram lahir pada periode tersebut dengan penggunaan aspek tradisi dan mitos,
dan Wisran Hadi merupakan salah seorang dramawan di antara beberapa dramawan
besar lain yang muncul, seperti: Rendra, Putu Wijaya, Nano Rintiarno, dll.
Safril dalam penelitiannya di tahun
2001 juga pernah meneliti kecenderungan tradisi dan mitos tersebut dalam karya
Wisran Hadi. Dengan judul tulisan ‘Visi Dramawan terhadap Minangkabau’. Safril
mengemukakan bahwa salah satu naskah Wisran hadi, yakni ‘Cindua Mato’ yang
merupakan mitologi besar dalam masyarakat minangkabau merupakan citraan
terhadap skandal seks terbesar dalam mitos-mitos Minangkabau.
Begitu juga Ivan Adilla, dosen di
Fakultas Ilmu Budaya Unand, dalam kajian intertekstulitas untuk naskah drama Putri Bungsu Wisran Hadi menyinggung
persoalan mitos pada naskah yang dianggap sebagai masterpiece Wisran Hadi tersebut.
“Secara tekstual, dalam penggunaan
dialog, memang naskah Ujicoba penekanannya lebih pada sitem tanda (semiotik)
yang dihadirkan dari naskah. Ini termasuk salah satu perbedaan naskah Ujicoba
dengan naskah yang lain. Jadi, pertunjukan Ujicoba tidak hanya akan
dimaksimalkan pada kekuatan dialog yang biasa hadir dalam naskah lainnya, tapi
juga kejutan-kejutan kecil dari peristiwa di dalamnya, kata S Metron tentang
salah satu alasan ia memilih Ujicoba untuk dipentaskan pada pekan Wisran Hadi
yang memang khusus mementaskan karya dramawan besar asal Sumatera barat
tersebut.
Persiapan Ranah
Teater
Meski naskah dengan materi ‘robot’
tersebut diciptakan pada tahun 80-an, akan tetapi tetap aktual jika dibaxca
dari dialog-dialog dalam naskah tersebut. Dan juga tergantung bagaimana
kecakapan sutradara mengadaptasinya dengan kondisi kekinian. Bisa jadi
aktulisasi tersebut dibahasakan sebagai usaha berpaling ke masa lalu, seperti
kata Edwar Said dalam Kebudayaan dan
Kekuasaan (33: 2005), bahwa berpaling ke masa lalu merupakan salah satu
stategi paling umum untuk menafsikan kekinian, karena masa lalu merupakan
refleksi untuk masa depan.
Sikap untuk melihat masa lalu,
seperti pembaruan yang dilakukan dalam proses latihan Ujicoba terhadap naskah
Wisran Hadi, bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu
itu adalah sesuatu yang sudah ditutup, selesai, berlanjut, atau berbeda. Usaha
tersebut juga bukan mengukuhkan sebuah tradisi yang sudah ada. Akan tetapi
usaha untuk memberi pemahaman yang bertolak dari pembelajaran atas pengalaman
kebudayaan yang sudah ada.
“Tidak berarti dalam naskah Ujicoba Wisran Hadi mengesampingkan
persoalan kebudayaan,” tutur S Metron M yang membahasakan persoalan dalam naskah
tersebut lebih besar dibanding persoalan teknologi saja. Ujicoba juga merupakan intertekstulitas dari beberapa persoalan
yang sering dihadirkan oleh Wisran Hadi dalam naskah-naskah yang lain, hanya
saja dengan mediasi (teks) yang berbeda, bisa jadi kemajuan teknologi dan bukan
dalam citaan mitos dan tradisi yang utuh. Mediasi dalam teks-teks tersebut,
secara intertekstulitas merupakan pengimbangan antara persoalan kejadian dan
anggapan (tafsir tunggal) yang ada di dalam masyarakat.
Untuk itulah S Metron M, dengan
payung Ranah Teater ingin
menghadirkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan pertunjukan yang pernah
digarap melalui naskah Wisran Hadi. “Di tengah ruangan akan ada semacam pintu
yang bisa diputar. Bisa jadi ini dianggap citraan dari waktu. Atau bisa juga
dari putaran properti itulah yang akan mengidupkan pertanyan pelakon yang
membahasakan dirinya sebagai robot,” katanya.
Dari proses latihan, tidak hanya
pintu atau ruang waktu yang berputar itu saja yang terlihat. Ada juga beberapa
siluet dengan tokoh-tokoh yang berbicara dari baliknya. Sesekali tokoh itu
muncul dan berinteraksi dengan robot-robot yang mempertanyakan hubungan antara
dirinya dan manusia.
Perputaran waktu dan interaksi itulah
yang memunculkan semacam ‘hiruk-pikuk,’ sebagaimana halnya Yasraf Amir Piliang
(2005) pernah membahasakan interaksi dan tuntutan yang muncul dari banyak suara
itu sebagai noise: “noise adalah sebuah chaos. Akan tetapi, ia dapat digiring ke arah sebuah aransemen,
sebuah komposisi, sebuah order, sebuah pola, sebuah desain, sebuah tatanan.
Artinya, noise itu sesuatu yang bisa
digiring ke arah yang merusak, bisa juga ke arah konstruktif….” Bisa jadi
ungkapan Yasraf inilah yang ingin digiring oleh sutradara dalam persiapan
pementasan Ujicoba.
Sebagaimana noise yang muncul dari suara robot-robot dalam Ujicoba bertanya,
dan kehabisan batere, satu persatu mereka mati dan kehabisan daya untuk
bertanya tentang hubungan dirinya dan persamaannya dengan manusia.
Dalam konteks waktu persiapan
menjelang pertunjukan, penggarapan Ujicoba memang agak cepat, tapi intesitas
latihan aktornya ditingkatkan. “November adalah waktu yang cepat hanya empat
bulan dari awal proses latihan kami menuju pertunjukan,” kata S Metron M yang
memulai latihan pada awal Agustus. “Kami latihan lima kali dalam seminggu,
empat kali yang individual untuk menggarap personal aktornya, satu kali tahapan
penggabungan. Tapi bulan Oktober latihan penggabungan aktor akan dilakukan
terus menerus,” jelas S Metron M menyiasati belasan aktornya yang sebgian besar
adalah mahasiswa dengan jadwal kuliah yang padat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar