Rabu, 23 Oktober 2013

MEMABACA KELOMPOK RANAH TEATER: Susunan Besi, Kabel, dan Gugatan Jatidiri


OLEH Esha tegar Putra
Latiahan Ujicoaba
“Biarkan saja Yang Mulia gagap,” teriak S Metron M selaku sutradara yang sedang menggarap naskah Ujicoba karya Wisran Hadi pada sesi latihan di ruang studio di Fakultas Ilmu Budaya Unand beberapa waktu lalu. Segera, salah seorang pelakon yang berperan sebagai Yang Mulia berperan sebagaimana adanya dirinya di luar perannya tersebut. “Kapan lagi yang Mulia itu gagap,” lanjut sutradara yang menginterpretasikan ‘Yang Mulia’ (salah satu pelakon) dalam pengertian keseharian masyarakat bisa jadi sesuatu yang sempurna.

Ujicoba merupakan naskah yang sedang dipersiapakan S Metron M di bawah payung Ranah Teater untuk Pekan Wisran Hadi yang direncanakan akan diadakan di Taman Budaya Sumatera Barat bulan November mendatang. Naskah tersebut diperkirakan ditulis oleh Wisran Hadi dekade tahun 80-an dan belum pernah dipentaskan. “Setahu saya, ini pertama kali Ujicoba akan dipentaskan. Naskah ini agak berbeda dengan naskah yang pernah dipentaskan,” sebut sutradara yang juga merupakan salah satu pendiri Ranah Teater tersebut.
Secara tekstual memang naskah tersebut ‘berbeda’ dengan naskah Wisran Hadi kebanyakan. Ujicoba, dengan tokoh beberapa robot, Emsi, Yang Mulia, Yang Terhormat, Yang Tidak Terhormat, Satpam, dll, berusaha mengusung teori penciptaan benda-benda seperti robot, lantas benda-benda yang dihidupkan tersebut berusaha mempertanyakan segela sesuatu tentang dirinya selayaknya manusia. Persoalan tidak sampai di sana saja, hal-hal yang alamiah, seperti mula pertanyaan filolsifis, dipertanyakan juga dalam dialog-dialog antar tokoh. “Cukup banyak korban di antara kami. Setiap kami mempertanyakan keberadaan kami di muka bumi sebagai apa, selalu saja kami mendapat gangguan elektronik. Akibatnya, ya, teman-teman kami kehilangan enerji dan tak berfungsi. Dikatakan pensiun tidak, dikatakan mati juga bukan…” kalimat salah satu robot dalam naskah tersebut.
Dalam kebanyakan naskah Wisran Hadi, penggunaan aspek tradisi, mitos sangat kental sekali. Akan tetapi sangat sedikit sekali tampak dalam naskah Ujicoba. “Barangkali inilah yang membedakan naskah Ujicoba dengan naskah Wisran yang lain,” ungkap S Metron yang membahasakan Wisran Hadi berusaha memberi citraan lain pada ‘geger kebudayaan’ pada dekade tahun 80-an yang sering dimanifestasikan dengan teknologi penciptaan robot dan virtualisasi digital.
Di periode tahun delapan puluh dan sepuluh tahun sebelumnya (70-an) naskah drama di Indonesia dibahasakan oleh banyak kritikus sebagai tahapan titik puncak penciptaan naskah. Sejumlah naskah daram lahir pada periode tersebut dengan penggunaan aspek tradisi dan mitos, dan Wisran Hadi merupakan salah seorang dramawan di antara beberapa dramawan besar lain yang muncul, seperti: Rendra, Putu Wijaya, Nano Rintiarno, dll.
Safril dalam penelitiannya di tahun 2001 juga pernah meneliti kecenderungan tradisi dan mitos tersebut dalam karya Wisran Hadi. Dengan judul tulisan ‘Visi Dramawan terhadap Minangkabau’. Safril mengemukakan bahwa salah satu naskah Wisran hadi, yakni ‘Cindua Mato’ yang merupakan mitologi besar dalam masyarakat minangkabau merupakan citraan terhadap skandal seks terbesar dalam mitos-mitos Minangkabau.  
Begitu juga Ivan Adilla, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unand, dalam kajian intertekstulitas untuk naskah drama Putri Bungsu Wisran Hadi menyinggung persoalan mitos pada naskah yang dianggap sebagai masterpiece Wisran Hadi tersebut.
“Secara tekstual, dalam penggunaan dialog, memang naskah Ujicoba penekanannya lebih pada sitem tanda (semiotik) yang dihadirkan dari naskah. Ini termasuk salah satu perbedaan naskah Ujicoba dengan naskah yang lain. Jadi, pertunjukan Ujicoba tidak hanya akan dimaksimalkan pada kekuatan dialog yang biasa hadir dalam naskah lainnya, tapi juga kejutan-kejutan kecil dari peristiwa di dalamnya, kata S Metron tentang salah satu alasan ia memilih Ujicoba untuk dipentaskan pada pekan Wisran Hadi yang memang khusus mementaskan karya dramawan besar asal Sumatera barat tersebut.
Persiapan Ranah Teater
Meski naskah dengan materi ‘robot’ tersebut diciptakan pada tahun 80-an, akan tetapi tetap aktual jika dibaxca dari dialog-dialog dalam naskah tersebut. Dan juga tergantung bagaimana kecakapan sutradara mengadaptasinya dengan kondisi kekinian. Bisa jadi aktulisasi tersebut dibahasakan sebagai usaha berpaling ke masa lalu, seperti kata Edwar Said dalam Kebudayaan dan Kekuasaan (33: 2005), bahwa berpaling ke masa lalu merupakan salah satu stategi paling umum untuk menafsikan kekinian, karena masa lalu merupakan refleksi untuk masa depan.
Sikap untuk melihat masa lalu, seperti pembaruan yang dilakukan dalam proses latihan Ujicoba terhadap naskah Wisran Hadi, bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu itu adalah sesuatu yang sudah ditutup, selesai, berlanjut, atau berbeda. Usaha tersebut juga bukan mengukuhkan sebuah tradisi yang sudah ada. Akan tetapi usaha untuk memberi pemahaman yang bertolak dari pembelajaran atas pengalaman kebudayaan yang sudah ada.
“Tidak berarti dalam naskah Ujicoba Wisran Hadi mengesampingkan persoalan kebudayaan,” tutur S Metron M yang membahasakan persoalan dalam naskah tersebut lebih besar dibanding persoalan teknologi saja. Ujicoba juga merupakan intertekstulitas dari beberapa persoalan yang sering dihadirkan oleh Wisran Hadi dalam naskah-naskah yang lain, hanya saja dengan mediasi (teks) yang berbeda, bisa jadi kemajuan teknologi dan bukan dalam citaan mitos dan tradisi yang utuh. Mediasi dalam teks-teks tersebut, secara intertekstulitas merupakan pengimbangan antara persoalan kejadian dan anggapan (tafsir tunggal) yang ada di dalam masyarakat.
Untuk itulah S Metron M, dengan payung Ranah Teater ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan pertunjukan yang pernah digarap melalui naskah Wisran Hadi. “Di tengah ruangan akan ada semacam pintu yang bisa diputar. Bisa jadi ini dianggap citraan dari waktu. Atau bisa juga dari putaran properti itulah yang akan mengidupkan pertanyan pelakon yang membahasakan dirinya sebagai robot,” katanya.
Dari proses latihan, tidak hanya pintu atau ruang waktu yang berputar itu saja yang terlihat. Ada juga beberapa siluet dengan tokoh-tokoh yang berbicara dari baliknya. Sesekali tokoh itu muncul dan berinteraksi dengan robot-robot yang mempertanyakan hubungan antara dirinya dan manusia.
Perputaran waktu dan interaksi itulah yang memunculkan semacam ‘hiruk-pikuk,’ sebagaimana halnya Yasraf Amir Piliang (2005) pernah membahasakan interaksi dan tuntutan yang muncul dari banyak suara itu sebagai noise:noise adalah sebuah chaos. Akan tetapi, ia dapat digiring ke arah sebuah aransemen, sebuah komposisi, sebuah order, sebuah pola, sebuah desain, sebuah tatanan. Artinya, noise itu sesuatu yang bisa digiring ke arah yang merusak, bisa juga ke arah konstruktif….” Bisa jadi ungkapan Yasraf inilah yang ingin digiring oleh sutradara dalam persiapan pementasan Ujicoba.
Sebagaimana noise yang muncul dari suara robot-robot dalam Ujicoba bertanya, dan kehabisan batere, satu persatu mereka mati dan kehabisan daya untuk bertanya tentang hubungan dirinya dan persamaannya dengan manusia.
Dalam konteks waktu persiapan menjelang pertunjukan, penggarapan Ujicoba memang agak cepat, tapi intesitas latihan aktornya ditingkatkan. “November adalah waktu yang cepat hanya empat bulan dari awal proses latihan kami menuju pertunjukan,” kata S Metron M yang memulai latihan pada awal Agustus. “Kami latihan lima kali dalam seminggu, empat kali yang individual untuk menggarap personal aktornya, satu kali tahapan penggabungan. Tapi bulan Oktober latihan penggabungan aktor akan dilakukan terus menerus,” jelas S Metron M menyiasati belasan aktornya yang sebgian besar adalah mahasiswa dengan jadwal kuliah yang padat.***   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...