CERPEN Alizar Tanjung
Perhatikanlah Siak menggerakkan
tangannya. Bagaimana ia menorehkan kuasnya dengan cara dia yang hati-hati.
Kemudian bagaimana ia menggerakkan kuas itu naik turun dengan garis-garis
lurus. Melepohnya dengan sangat halus. Semacam sapuan sapu pada daerah yang
berdebu, maka berpoleslah semacam minyak kanvas itu. Tujuannya hendak
menyelesaikan lukisan gonjong yang terbengkalai.
Ia telah menyelesaikan badan
rumah bergonjong tanduk kerbau itu berbulan-bulan, tapi ia bertanya kepada
dirinya, kenapa gonjong ini yang belum usai. Perhatikanlah, ia kemudian
berkali-kali menghapus keringatnya, semacam berkali-kali bagaimana menyudahkan
gonjong rumah gadang. Enam gonjong bagian tengah, satu gonjong menghadap ke
depan rumah, menghadap ke jalan panjang yang tepat di depan badannya yang kini
sedang menatap lurus.
Siak berhenti sejenak. ‘Apa
yang kurang katanya,’ dalam hati. Kemudian ia berdiri agak ke belakang di ruang
remang cahaya senja itu, lalu duduk di atas kursi rotan, menghirup hidangan
secangkir kopi pahit hidangan Nur, istrinya. Ia hirup hidangan kopi khas cap
Minang itu. Kopi yang bergambar rumah gadang. Kopi yang pada plastiknya rumah
gadang bewarna kuning emas. Menelusuk asap kopi ke hidungnya. Ia hirup
rapat-rapat. Satu serupan kini mengisi rongga mulutnya. Ia letakkan kopi di
atas piring kaca warna putih tisu. Piring kaca buatan orang minang dengan
ukiran pedati[1].
Satu orang pengendara pedati. Pedati itu berhenti di halaman rumah gadang. Dari
pintu rumah gadang seorang bundo kanduang turun dari rumah gadang mengenakan takuluak[2],
kain sampiang[3],
kebaya kuning.
Siak, mengacungkan kuasnya,
gerakan melukis ke atas, ke bawah, di atas angin. Siak sangat mengerti, melukis
rumah gadang tidak boleh tinggal melukis gonjong rumah gadang. Gonjong lambang
kemenangan. Ilmu yang Siak dapat dari kabar tambo
Minangkabau[4].
Dahulu kala sebelum rumah gadang bergonjong, bertarunglah orang Majapahit dengan
orang Pariangan[5].
Orang Majapahit membawa kerbau besar, orang Pariangan membawa anak kerbau. Orang
Majapahit membawa kerbau betina. Orang pariangan membawa anak kerbau yang baru
lepas dari susuan. Anak kerbau itu sengaja dipisahkan dari ibu susuannya selama
beberapa hari. Nyatalah lapar anak kerbau. Tanduk anak kerbau diasah tajam. Kalau
orang Pariangan menang maka Majapahit harus kembali ke tanah Jawa. Kalau orang
Pariangan kalah maka menetaplah orang majapahit di Minangkabau.
Hari tanding datang, kerbau
dilepas ke gelanggang, orang-orang Pariangan dengan memakai endong[6]
dan kain sarung yang dsempangkan dari bahu sampai pinggang, menonton di
pinggir gelanggang. Seorang penghulu memegang carano[7],
pimpinan orang jawa maju mangakok[8]
carano. Datuk pimpinan orang pariangan maju mangakok carano.
Kerbau di lepas. Anak kerbau
langsung menyerang kerbau betina. Anak kerbau mencari air susu ibunya. Kerbau
betina terlonjak-lonjak menahan sundukan tajam tanduk anak kerbau. Induk kerbau
koyak perutnya. Kerbau orang majapahit kalah, kerbau orang pariangan, menang.
Sebab itulah bernama “Menang kerbau”, pada akhirnya disebut Minangkabau.
Siak ukur jarak pencahayaan
senja di kanvas. Sebelum melukis di atas kanvas, siak meneliti ke Air Mati, di
pusat kota Solok. Siak sudah berkali-kali ke Air Mati, terutama ketika pulang
dari pasar Solok, Siak singgah dulu di rumah gadang yang sudah keropos. Siak
akan berlama-lama menatap rumah gadang. Siak lukis di kertas kosong yang
membenam di sakunya. Siak amati rumah gadang yang lantainya sudah lapuk. Siak
naik ke rumah gadang yang berhuni. Kandang dengan tutup buluh yang lapuk. Siap
tikam lantai yang dimakan rayap. Tonggak rumah gadang yang sudah condong.
Siak juga beberapa kali ke
istana pagaruyung[9],
hanya demi melengkapkan bahan lukisan rumah gadang Siak. Siak tidak suka
berlama-lama di Istana Pagaruyung yang sudah menjadi objek wisata. Orang-orang
berwisata memakai celana pendek ala barat, duduk berpasangan berfoto,
membicarakan tentang ciuman enak di rumah gadang, menikmati duduk resek bersama
teman wisata.
Kini Istana Pagaruyung
sudah roboh. Pada malam khairan di tengah hujan lebat. Petir menyambar atap
istana pagaruyung. Petir menyambar gonjong Istana. Api menjalar. Istana
pagaruyung hangus. Berita-berita kuluar di korang Singgalang dan padang
Ekspres, Istana pagaruyung hangus. Ribuang orang minah menangis.
Siak melukis rumah gadang
dengan dinding berlapis buluh yang mengkilat, tiap kilat ia lukiskan ukiran
dedaunan dan tingkat alam pada dinding. Rumah gadang berukiran kandang yang
berlobang halus. Pada tiap lobang diberi garis halus warna coklat tua. Pada dua
jenjang yang menghapit pintu rumah gadang, diletakkan air basuhan kaki. Bajanjang naik batanggo turun, pidato adat yang pernah
dihafalkan Siak di surau semasa berguru pada manti dan labai. Kini Siak tidak
tahu apakah labai masih di surau tuo di Karang Sadah, atau sudah mati. Siak
sudah lama tidak pulang ke kampung dingin di kecamatan Danau Kembar itu.
Berbulan perenungan itu
siak lukiskan di atas kanvas. Kenapa gonjong ini yang belum usai? Siak mendekat
ke garis pucuk gonjong. Tujuh pucuk gonjong terbengkalai dalam lukisan Siak.
Siak hafal benar kalau rumah gadang tidak usai, seperti pohon ka ateh indak bapucuak ,ka bawah indak
baurek, di tangah-tangah digiriak kumbang.
Siak sudah berpedoman ke
pucuk Istana Pagaruyung, pucuk Istana Pagaruyung tidak tercatat di buku perjalanan
perenungan Siak. Siak berpedoman ke dalam Rumah Gadang di Aia Mati, rumah
gadang itu kini telah roboh. Sudah lama roboh sebelum lukisan siak selesai.
Siak berpedoman ke pucuk rumah gadang di kebun binatang Bukittinggi, rumah
gadang itu hanya tempat rekreasi wisata tempat orang berfoto, bule memotret
kehidupan lama, tempat marga satwa dipamerkan.
“Tanpa kehidupan baru,”
ujar siak semacam tersengat kehidupan baru. Siak ingat pucuk rumah gadang di
Koto Baru, pucuk rumah gadang berlambang bulan dan bintang yang patah. Kalau di
kampung siak tidak ditemukan rumah gadang. Dahulu ada sebuah rumah gadang berpucuk
lima. Empat pucuk sejajar. Satu pucuk menghadap ke depan. Tapi rumah gadang itu
diungkit angin badai. Atap rumah gadang itu terbang dibawa angin. Semenjak itu
rumah gadang itu dirobah bentuk. Rumah itu telah menjadi rumah orang kota,
bersegi empat atap ilalang.
Di kampung Siak tidak ada balairuang (tempat pertemuan adat), entah sejak kapan tidak bersedia. Medan nan bapaneh (tempat pertemuan
warga kampung bersama kepala suku), tak pernah Siak ketahui wujudnya. Hanya
satu yang siak ketahui, ketika ia menikah dengan orang suku melayu, pada hari
pernikahannya, siak batagak gala (gelar
pernikahan), siak mendapat gelar
adat, Siak Mandaro Pudin, orang siak (orang yang dalam ilmu agamanya) di kampungnya. Siak tahu itu gelar kehormatan.
Nama masa kecilnya Eman,
maka semenjak ia menikah orang-orang tidak boleh lagi memanggil Eman. Ketek bapanggiah namo, gadang basubuak gala. Siak bawah ke ranah orang
nama “Siak” itu. Orang-orang menjadi lupa bahwa namanya Aslinya Eman.
“Corak kehidupan lama,”
ujar siak menyapukan kipasnya ke ujung gonjong, ujung gonjong itu mulai berbentuk
di tangan siak. Gonjong lama berliku bulan dan bintang bepucuk tajam, menghujam
tinggi ke langit lepas. Ia sapukan ujung gonjong ke langit lepas. Cat minyak
tumpah di ujung kuas. Siak teruskan menyapu ke langit lepas.
“Kehidupan Minang suku
dalam,” ujar Siak. Siak teruskan tarikan kuas menyelami warna langit senja.
Siak duduk sejenak menatap warna jingga yang timbul dari timur langit. Siak
luruskan letak celana pendeknya. Ia lepaskan kakinya di atas kursi rotan sambil
menatap ruas senja di awan, celah cahaya di atap rumah gadang.
Siak bergerak pelan,
tangannya kembali menari menyilau gerak cahaya. Istrinya datang dari pintu
ruang lukis membawakan segelas air kopi panas.
“Minum Uda Siak. Sudah mau
terbenam matahari.” Siak menngintip ke lobang dinding. Tampak matahari hampir
tenggelam di balik bukit Barisan. Siak tersenyum.
“Tanpa pergantian peradaban,”
ujar Siak. Ia seperti tidak mendengar panggilan Nur. Nur masih berdiri di pintu
dengan baju ketatnya. Nur memakai celana sebetis. Ia berdiri dengan rambut
tergerai. Siak sekilas melihat istrinya. Senyum itu menyungging dari bibir Siak.
Siak makin gila, ia lukis gambar bintang dan bulan sabit di setiap gonjong.
Kini lukisan itu makin siap. Ia perbaiki lukisan matahari. Matahari yang hampir
saja terbenam di pucuk bukit barisan. Siak mengacungkan kuasnya, melukis
seorang perempuan dengan kebaya, menatap gonjong, perempuan memakai takuluak, perempuan dengan baju kebaya,
kain sampiang.
Siak cukupkan lukisan
gonjong, satu menghadap ke depan, siak goreskan kuas dengan sangat cepat. Azan
magrib berkumandang. Siak belum selesaikan liku gonjong utama. Gonjong ini
harus lebih utama dari gonjong yang lain.
Siak kembali bermenung di
kursi rotan. Memandang lurus. Siak berputar. “Tidak ada kehidupan,” ujar siak.
Siak menatap ujung cahaya dari pinggiran matahari. Siang kembali bergerak pelan
mengayun tangkai kuas. Kuas itu kembali menari di atas kanvas. Istri siak
datang dari pintu.
“Sudah Isya, Uda.” Siak
bermenung sejenak. Tidak mendengarkan Istrinya. Ia ingat perempuan itu yang
membawa satu gonjong di tangannya. Siak melukis enam gonjong yang horizontal. Gonjong
itu berbulan sabit. Siak kembali bermenung. Gonjong itu mestinya bewarna apa
jikalau senja meretas. Di bukit Barisan di lukisan Siak matahari masih tinggal
satu sabit untuk tenggelam.
Padang, Juli-November 2010
Tentang Alizar Tanjung
Lahir di Solok, dusun
Karang Sadah, 10 April 1987. Ia sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam di IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai,
dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional; Harian
Tempo, Sindo, Suara Pembaharuan, Jurnal Nasional, Pewarta Indonesia, Berita
Pagi (Palembang), Linggau Post, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan, Majalah
Sabili, Majalah Annida Online, Majalah Tasbih, dan Suara Kampus.
[1] Dahulu memang,
di masa minangkabau lama, orang-orang ke pasar dengan pedati, terutama pasar
Solok, Bukittinggi, Padang, dan sekarang di tempat itu, konon masih ada orang
menggunakan pedati, tapi lebih banyak bendi.
[2] Kain penutup
kepala, kain khas perempuan adat.
[3] Kain panjang
yang dililit dipinggang membentuk rok
[4] Tambo, Cerita lisan
[5] Pariangan, Pa
[6] Endong, celana
[7] Carano,
[8] Mangakok carano
[9] Istana
Pagaruyung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar