CERPEN Ramoun Apta
Karya
TATANG BSp. 1998
|
Ia tak peduli, yang ia inginkan cuma satu,
seorang istri. Harta ia sudah banyak, mobil ia sudah berserak, kebun memanjang berhektar-hektar,
rumah gedung bertingkat, ruko puluhan, motor mewah keluaran Amerika dan Jerman penuh
mengisi parkiran koleksi kendaraan di rumahnya. Ekonominya sudah mapan. Tetapi
ia kurang bahagia. Ia sehat tetapi senyum tidak berbuah di bibirnya. Saking
tidak bahagianya, liurnya saja terasa masam apabila bibirnya mengecap. Ia
benar-benar ingin menikah.
Teman-teman yang ia kenal sudah menikah
semua. Bahkan, ada yang beristri lebih dari satu. Tiga, lima, bahkan ada yang
sampai lima belas. Semua temannya berbahagia. Semua temannya senang bersenda gurau
bersama anak-anak mereka sambil menjilat potongan es krim di taman kota.
Padahal teman-temannya tidak ada yang kaya seperti ia. Tetapi, “Kenapa hanya
aku seorang yang belum menikah?”
Pada usia yang sudah menginjak kepala tiga,
tepatnya tiga puluh lima tahun tujuh bulan, ia sangat risih dengan kehidupan.
Ibunya yang sudah tua itu, seringkali kelupaan akan ia. Ibunya lupa akan paras
anaknya sendiri. Memang benar, penyakit lupa ibu kadang-kadang saja datangnya,
sebagaimana buah kelapa jatuh di kala angin kencang. Ia maklum saja. Ia merasa
wajar karena ibunya memang sudah tua. Saking wajarnya, kadangkala ia
beranggapan, penyakit kelupaan ibu sebenarnya hanya dibuat-buat saja.
Sebenarnya ibu tidak lupa, akan tetapi pura-pura lupa, pura-pura tidak
mengenali siapa anaknya. Ia sadar betapa ibu sebenarnya kecewa lantaran ia
belum menikah. Ia sering mendengar ibu meracau, betapa ibu sangat menginginkan
seorang cucu, menimang cucu, dan memencet hidung cucu yang lucu seperti nenek
tua tetangga di sebelah itu.
Saudara-saudaranya tak lagi ada. Sudah
mati semua. Sebagaimana satu sisir pisang, yang lain sudah pada punah. Dari
enam bersaudara kini hanya tinggal ia seorang. Saudara-saudaranya beragam-macam
cara matinya. Ada yang bunuh diri di tebing dan melompat ke jurang dalam. Ada yang
sengaja meletakkan kepalanya di belakang mobil Dam Truck pengangkut batubara yang sedang mundur. Ada yang sengaja
meminum sebotol minyak rem dengan gelagat yang kehausan benar selesai
memperagakan aksi jungkir-balik pada suatu pertunjukan teater. Ada juga yang
menggorok leher sendiri dengan menggunakan sadel sepeda Unta. Dan, ada juga yang
mati begitu saja ketika berdoa kepada pohon beringin tua yang dahannya pada
berguguran.
Alasan saudara-saudaranya mati beragam
hal. Ada yang mati karena sudah berulangkali berhubungan intim dengan pelacur
tercinta namun masih juga tidak paham bagaimana cara memasang kondom yang baik
dan benar. Ada yang mati karena beban pikiran lantaran tak kunjung berhasil
mengarang sebuah esay setelah selama dua bulan mencoba namun hanya dua paragraf
yang berhasil dituntaskan sementara deadline lomba cipta esay yang berhadiah
jalan-jalan keliling dunia plus uang saku sekehendaknya itu semakin dekat. Ada yang
mati karena tak memiliki kepandaian berbicara dengan perempuan idaman yang
ingin sekali ia nikahi dan yang paling sempurna dari perempuan-perempuan yang pernah
ia nikahi sebelumnya. Ada juga yang mati karena tidak pandai mengucap huruf ‘R’
sementara sebagai wartawan kriminal dan pemerkosaan ia mesti mewawancarai
pelaku dan korban; di mana setiapkali bertemu dengan narasumber ia selalu
dikritik apabila huruf ‘R’ itu berkelok di lidahnya. Dan, ada juga yang mati
karena orang yang berhutang kepadanya terlalu banyak dan tidak satu pun yang
datang membayar meski ia tak meminta sejumlah bunga. Dan kini, hanya ia
seorang. Harapan ibunya agar ia segera menikah, beranak-pinak, dan berbahagia.
***
Ia ingin sekali menikah dan
membahagiakan ibunya dengan memberikan cucu agak seorang. Akan tetapi,
setiapkali berkenalan dengan perempuan, selalu niatnya ditolak. Alasannya
beragam. Ada yang katanya sudah menikah, ada yang mengaku sedang hamil lima
bulan, ada yang tidak ingin menikah sebelum rambutnya rontok semua, ada yang
mengeluh sakit gigi sehingga merasa belum mampu mengurus seorang lelaki, dan
ada juga yang memang sama sekali tidak berminat dengan pria.
Di antara perempuan-perempuan yang
pernah menjalin hubungan dengannya, ada seorang perempuan yang sangat berkenan
di hatinya, ia bernama Seseorang. Orangnya tidak cantik, jauh dari sikap baik
hati, jarang sekali mandi, penipu licik, dan sudah pasti suaranya jelek sekali.
Keteknya, barangkali sebau terasi. Setiapkali janjian ketemuan selalu perempuan
itu minta dibelikan es krim banyak sekali dan cokelat rasa stroberi sembilan
batang sekali jadi. Tetapi ia senang dengan perempuan itu, dan ia sangat ingin
menikah dengannya. Alasannya sederhana, karena tidak ada perempuan yang mau menikah
dengannya maka ia memilih Seseorang. Dan ia beranggapan Seseorang sepertinya
juga menaruh hati padanya.
“Demi malam yang selalu ada, maukah
kamu menikah denganku, wahai cinta?”
“Tentu saja aku mau menikah dengan
kamu. Kamu kan orangnya berpunya. Aku minta itu kamu belikan sekali banyak. Senang
aku jadinya. Bodoh sekali kalau ada perempuan yang tak mau menikah dengan kamu.
Aku yakin pasti lesbi itu perempuan!”
“Lantas, bilakah kiranya ketepatan
waktu kita menikah?”
“Terserah kamu saja, kamu maunya kapan,
aku siap sedia. Tetapi, sebelum menikah, aku minta mas kawinnya didahulukan.
Tidak banyak juga. Cuma kalung emas seberat lima puluh Mayam, cincin kawin dengan
intan sebesar jempol kaki, dan uang tunai sebesar dua puluh ribu rupiah buat
beli rokok orang sewaan yang bakal menjadi wali nantinya. Bagaimana?”
“Baiklah, cinta. Akan aku sediakan
segera. Ee eh, ngomong-ngomong, ternyata harga kamu tinggi juga ya.” Kata ia ngawur entah kemana.
Ia bahagia. Akhirnya ia akan menikah
juga. Betapa merasa beruntungnya ia. Ia tak peduli dengan mas kawinnya. Berapa
pun yang Seseorang minta akan ia berikan. Ia sudah terlampau larut dalam
kegembiraan.
Maka, tanpa berpikir panjang, dengan
sigap, ia sediakan segera emas seberat lima puluh Mayam itu, cincin kawin dengan
intan sebesar jempol kaki itu, dan uang tunai sebesar dua puluh ribu rupiah itu
ia amplopkan.
Akan tetapi, belum lama setelah mas
kawin itu ia serahkan, belum genap pula lima hari mas kawin itu baru berpindah
tangan, Seseorang sudah menghilang. Ketika nomor kontaknya ia coba hubungi, sudah
tidak aktif lagi, malah sudah lain pula nada panggilannya. Pemilik nomer yang elu tuju sudah kabur, dan Handphone yang elu belikan
itu sudah pula dibuang pemiliknya ke sumur. Duh duh…, kasihan deh elu…! “Ah,
lagi-lagi demikian. Lagi-lagi aku gagal dan batal menikah!”
***
Belum lama ini ia sempat bercerita kepada
seorang teman mengenai kisah cintanya yang kalera itu. “Wahai teman, kenapa aku
selalu gagal dan tersingkir dalam percintaan?”
Perlu diketahui, seorang teman yang ia
temui ini adalah seorang penyair. Karya-karyanya sudah bertebaran di berbagai media
massa, baik itu di tingkat daerah, nasional, hingga internasional. Sudah
terangkum pula dalam ratusan buku antologi bersama, bersama-sama para penyair
dari berbagai angkatan pula gengsinya. Bahkan, konon kabarnya, ia sudah
memiliki tiga puluh judul buku puisi tunggal, dan masing-masingnya sudah
berulangkali cetak dan menjadi best
seller sebagai buku puisi terlaris. Itulah sebabnya sehingga ia mau
bertanya kepada itu teman. Baginya, sudah sangat pantas itu teman pendapatnya diminta.
Karena ia percaya bahwa penyair adalah manusia yang paling paham akan persoalan
cinta.
“Jikalau aku simak, persoalan engkau
hanya satu, kau tidak pandai berbahasa. Bahasamu itu, waduh, kacau! Tidak puitis,
dan hampa. Ubahlah bahasa engkau itu menjadi sedikit indah. Tetapi, jangan
sampai engkau terlihat lebay.”
“Bagaimana cara agar aku bisa mengubahnya?
Di mana buku panduan berbahasa indah bisa aku dapatkan?”
“Engkau beli saja buku kumpulan
puisiku. Puisi-puisiku itu indah sekali. Romantis. Engkau rayu saja perempuan
dengan puisi itu, aku jamin akan banyak perempuan yang meminta engkau untuk
segera menikahinya. Itulah rahasiaku sehingga dulu kekasihku banyak dan akur
semua. Hanya puisi, cuma kepandaian dalam berbahasa.” Jawab temannya sembari
diiringi suara carut-marut istrinya yang mengeluh akan ketiadaan nasi dan sambal
buat santapan ini malam.
“Ah, kamu besar ota!”
***
Ingin sekali ia membahagiakan ibunya.
Akan tetapi, apa mau di kata, tidak ada seorang pun perempuan mengena
pinangannya. Betapa keharuan begitu besar melanda di hatinya. Bahkan, karena saking
harunya, ia pernah hampir menabrak tukang siomay yang sedang bermenung indah
memikirkan nasib di suatu simpang. Ia merasa menjadi seorang yang paling malang
di daerahnya.
Pada suatu kesempatan ibunya pernah
berkata: “Menikahlah, Nak! Tak ada gunanya kekayaan dan kekerenan yang kau punya
apabila kau belum mempunyai anak.”
Begitulah. Mau tidak mau, ia harus menikah.
Maka, ia putuskan untuk kembali mencari
perempuan. Tidak peduli ia akan kembali gagal. Akan ia tanyai setiap perempuan
yang ia jumpa, di mana saja, sampai benar-benar ada perempuan yang mau menikah
dengannya. Tidak perlu cinta, yang penting perempuan itu mau menikah dan mampu
untuk beranak, meski tidak sanggup untuk setia. Ia hanya ingin menikah dan memberikan
cucu buat ongkos kebahagiaan sebelum ibunya meninggalkan dunia.
Akan tetapi, baru saja ia berencana akan
pergi, mendadak saja handphonenya berbunyi. Ia heran. Rasa-rasanya baru kemarin
ini itu handphone dibuang. Sudah dilempar ke arah muara beserta segala masa
lalu yang suram. Ia ingat sekali. Sangat ingat. Tetapi, kok ada lagi di sini
ya. Lantas, ia angkat juga itu telpon, dengan gelagat sedikit berpaham dan
berwibawa.
“Hallo, siapa gerangan menelpon di
kejauhan?”
“Hallo, saya Ses…&%#^%zxewrex….”
“Hallo. Hallo? Kamu Ses… Siapa?”
“Saya Ses… !%#@$%^grzxzerbruek….”
“Hallo-hallo-hallo, suara kamu putus-putus!”
“Hallo-hallo-hallo…, saya Seseorang.”
“Seseorang?”
“Iya, Seseorang. Apakah kamu Ramoun
Apta, si penulis yang mengarang cerita berjudul ‘Maukah Kamu Menikah Denganku,
Wahai Cinta?’”
Lp. Karta-Tambud, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar