CERPEN Alizar Tanjung
Aku menyaksikan mata anjing
di beranda. Mata anjing di atas meja ukiran jepara. Di atas piring kaca dialas
kain putih. Matanya mengeliat. Sebilah pisau di sebelah mata anjing. Pisau itu
kemudian memantulkan mata anjing. Pisau itu memantulkan kepalaku, hidungku yang
berdarah-darah, pipiku yang berdarah-darah, telingaku, keningku, kelopak
mataku, jenggot tipisku.
Aku dapat melihat mataku
bermain-main di bola dunia mata anjing. Dua bola mataku, aku saksikan sayu.
“Tuanku yang punya ruh. Kau
orang hidup. Aku kini benda mati yang hidup.” Ouh, mata itu bicara. Mata paling
setan yang pernah kusaksikan. Paling setan dari hari setan. Konon hari itu hari
ketika Adam dilemparkan ke dunia. Hawa merayunya memakan buah kemelaratan.
Terlemparlah Adam. Tapi memang kodrat perempuan. Ia berasal dari tulang rusuk
yang bengkok, kalau engkau biarkan ia akan terus bengkok, kalau engkau paksa
meluruskan ia akan patah.
“Ah, tidakkah kenal tuan
dengan diriku. Aku mata-mata yang mengail di sampah-sampah persimpangan. Pada
tiap tumpukan nasi pembuangan rumah makan. Seseorang kemudian menangkapku.
Katanya aku pengganggu. Ia congkel mataku. Ia hadiahkan buat Tuan.”
Aku jadi pusing, kenapa aku
temukan mata anjing. Segala hal adalah ketiadaan. Yang ada hanya baying-bayang
dari sesuatu. Tapi mata anjing mengusik pikiranku. Segala hal adalah rekaan.
“Aku ingin mengambil
matamu. Aku kehilangan tubuh.” Mata anjing itu melompat-lompat dalam piring.
“Tidak. Aku mimpi.”
“Kau tidak mimpi. Kau di
alam nyata.”
Mata anjing itu
menari-nari. Darahnya menetes-netes.
“Gila.”
“Di negeri ini mata orang
mesti diganti dengan mata anjing. Anjing-anjing sudah banyak yang dibunuh. Mata
orang banyak yang rabun, sebab itu ia pakai kacamata.”
“Mata orang adalah mata
suci. Mustahil digantikan mata anjing.”
“Banyak bacot.” Mata Anjing
itu membaca mantra. Mataku sakit. Di dalam bergejolak. Matakaku menyentak.
Uratnya terserabut. Mata itu melilit. Darah muncrat ke luar lobang mataku.
“Anjing. Kucing. Rimau.
Kambing. Kerbau. Sakit. Setan!”
Mata anjing menghambur ke gua
mataku. Mata itu menancap, menusuk, mengakar. Sial, ia menggantikan posisi
mataku. Mata anjing di mataku mengerjap. Kelopak mawarnya membesar. Aku dapat
lihat cahaya biru setan di matanya.
Cahaya itu menusuk retina. Cahaya itu membuat ruang gelap. Gelap itu membuat
mata anjing leluasa. Biru mata anjing semakin silau. Maka membesar dan menipis
pupil mata anjing di mataku.
“Mata-mata anjing sudah
mestinya mendapat tempat. Ruang adalah bilik rahasia untuk tempat suci. Ruang tempat
duduk setan dan malaikat bersanding dan berjabat tangan.” Mata anjing membaca
mantra-mantra setan.
***
Aku diantarkan ke sebuah gua
panjang. Hanya ada lumut, batu, dinding, talmit-talmit yang meruncing, Jalannya
licin, terjal. Aku jadi seekor burung yang tersesat. Sayapku mengepak. Mataku
sebagai mata burung. Pintu masuk batu-batu cermin.
Aku tak percaya ini malam
atau siang setan. Anjing menggonggong. Srigala meraung. Langit tak tampak. Bumi!
Bumi tak dapat dibedakan, mana bumi mana gelap.
Kecuali hanya satu, hitam.
Di pintu gua aku tak
berwujud, kecuali hanya mataku. Mataku melayang di dinding gua. Mataku
berdarah-darah. Mataku sama hitamnya ruang. Titik hitam yang lebih hitam dari
yang lainnya meyakinkan bahwa itu mata. Mataku berputar-putar, terantuk dinding
gua, terantuk batu. Kelopak mawar mataku sayu, menyipit. Gelap.
Aku sadar bola mataku sudah
tak ada. Hanya ada mata bolongku. Aku berdiam dengan tubuhku yang entah
darimana kembalinya. Tubuh tidak berupa. Bukan ruh. Bukan! Aku percaya aku masih
hidup. Tak ada dalam jadwal hari, tanggal, bulan, tahun kematianku. Maka
indikator ruh hanya bualan. Aku juga percaya setiap jasad ruhnya kembali kepada
Tuhan. Ia disediakan tempat. Ia bergabung di pohon-pohon Tanjung. Bergelantung
berbuai-buaian. Di bawahnya air susu, madu, mengalir deras. Langit biru.
Pepohonan tumbuh rindang, tumbuhnya terbalik. Memetiknya sambil tidur di atas
permadani. buahnya lezat. Tinggal minta maka langsung di depan mata.
Burung-burung bewarna-warni berukuran besar siap mengantar ke mana ruh hendak
pergi. Kuda-kuda putih ditambak di padang rumput maha luas.
Aku sampai di tengah gua.
Sepasasang-sepasang bola mata bersinar. Mata biru menyilau tajam. Hanya mata
dan mata itu. Mata harimau pikirku. Atau mata srigala. Mata inyiak[1].
Jangan-jangan benar mata inyiak. Inyiak yang siap menerkamku. Bulu kuduk
tubuhku yang tak berupa, merinding. Mata kosongku kemudian bersilau biru. Semua
mata di depanku serentak melihat mata silauku.
Mata itu, sekolompok mata
anjing lengkap dengan tubuhnya di tengah gua. Aku tidak percaya, mata anjing
itu mengelilingi meja batu. Anjing-anjing itu duduk jongkok. Anjing-anjing itu
memperagakan matanya. Kelopak mawarnya membesar. Di bawah kepala raja anjing,
di atas batu, semangkuk mata terhidang. Mata itu sayu, kelopak mawarnya sipit.
Mangkuk itu berdarah-darah. Rahangnya anjing itu menganga. Giginya besar-besar.
Anjing-anjing yang aku
temukan memakai dasi, baju sutra, sepatu kulit. Anjing-anjing yang aku temukan
memakai kacamata, sal, cincin. Anjing-anjing yang aku temukan memakai gelang
emas, liontin. Anjing-anjing yang aku temukan, ditemukan mata anjingku.
Aku tak tahu. Kenpa? Mata
anjing itu berdarah-darah. Mata anjing semakin biru saat mengeluarkan
suara.”Tidak!!!” Dalam mata anjing itu mataku tertawan. Mereka menyimpan mata
manusiaku. Mataku mengeliat melihat mata bolongku. Mataku bewarna darah, titik
tengah biru. Lalu mata anjing itu terus berdarah-darah.
“Perundingan kita siapa
memakan mata pertama?” Maka raja anjing berkata. Perundingan dimulai. Semuah riuh.
Kemudian ruang kembali hitam. Hanya tampak silau-silau mata anjing tanpa tubuh.
Tepatnya mata anjingku berhenti menyilau.
“Ini mata spesial dari
mata-mata orang sempurna. Memakan mata spesial hidangan terlezat. Mata
berdarah-darah.”
Mata itu berlonjak-lonjak.
Mata itu berkumpul di tengah. Mata itu berjajar serentak memandang mata anjingku.
Sepasang mata maju ke depan. Sepasang mata itu tepat sejengkal di depan mata anjingku.
Mata anjing itu masuk ke mata anjingku. Menetap di urat retina. Mata itu menyilau
tajam. Mataku menjelma dari mata anjing ke mata anjing.
“Indah untuk sebuah
permulaan,” katanya.
“Kelezatan tersembunyi pada
ruang-ruang yang sepi dijamah,” ujarnya.
“Akulah pemakan pertama.
Sesudah itu kita bersama. Jelasnya, habis mata orang sempurna kita kumpulkan
lagi mata lainnya, mata berdarah-darah.”
Semua bersorak-sorak. Semua
berlonjak-lonjak. Semacam melihat pantulan bola bisball. Semua mata memantul
dinding gua, naik turun, kiri kanan. Mata anjing itu berkumpul membuat badan
anjing. Sebelum proses makan mata orang sempurna dimulai, mata anjingku maju ke
depan. Mata berdarah-darah itu masuk dalam mulut mata anjingku. Tubuh tak
berupaku dilumuri darah. Darahnya menetes-netes.
***
Hal yang tak dapat kupahami
di beranda ada mata anjing. Siapa yang meletakkannya. Dalam mata anjing ada
mataku. Pisau yang tergeletak itu mengeliatkan mataku. Urat-urat leherku
menegang. Pisau itu menyilau tajam.
Aku ingat-ingat kejadian
minggu lalu. Seekor anjing kurap ditabrak di Jalan Soedirman. Anjing itu
tergeletak. Separuh badannya sampai kaku pipih. Mata anjing itu memandang bola
mataku. Mata anjing itu menusuk. Lingkaran bola matanya buram. Mata anjing itu
sayu, menutup.
Tentunya yang menabrak
anjing itu aku sendiri. “Sial,” ujarku. Anjing itu mengotori roda mobilku.
Anjing kurap siapa yang dibiarkan berkeliaran. Kota ini semakin banyak anjing
kurapnya.
“Anjing kurap sial,”
ujarku. Aku tinggalkan anjing kurap tergeletak di tengah aspal. Aku yakin pasti
anjing itu akan hancur lumat. Benar saja perkataanku. Baru saja aku tinggalkan,
sebuah bus kota melindasnya. Mata anjing mengelinding. Kutancap gas. Mengubur
anjing kurap hanya mengulur waktu. Kota membuat semua harus berjlan cepat.
Perbuatan sia-sia menguburkan anjing kurap. Apalagi pekerjaanku sebagai anggota
dewan bukan untuk mengubur anjing kurap.
Saat aku berjalan ke pasar,
anjing-anjing kurap berkeliaran. Anjing-anjingi itu bertubuh krempepeng.
Bulu-bulunya terserabut dari tubuh. Anjing-anjing jalan sempoyongan.
Pedagang-pedagang melempari setiap anjing yang mendekat ke lapaknya. Saat aku
berjalan ke kantor, segerombopan Satpol PP menangkap anjing-anjing.
Anjing-anjing itu dibuang ke dalam truk. Anjing-anjing itu mau dibunuh. Anjing-anjing
itu harus dimusnahkan. Katanya semenjak anjing-anjing kurap merajalela di kota
Padang, penyakit rabies mewabah. Maka muncap saja anjing-anjing itu
menggonggong dan meraung.
Di rumahku seorang tetangga
memecahkan kepala anjing dengan lebih dari sepluh pukulan. Ia menggunakan balok
kayu. Katanya anjingnya gila. Terserang rabies. Siapa yang digigitnya mati.
Anjing itu berderai isi benaknya. Keluar matanya. Terjulur lidahnya saat mati.
Tetanggaku buang itu anjing di bak penampungan sampah kota.
Ah, sepasang mata anjing di
beranda. Adakah hubungannya. Aku pikir mungkin pikiranku yang membuat seseorang
mengantar sepasang mata anjing. Atau memang seseorang sengaja mengantarkan
sepasang mata anjing. Aku tak peduli. Aku ambil mata anjing itu. Aku campakkan
dalam got di depan rumahku. Air sesudah hujan kan menghanyutkan ke muara. Aku
ambil pisau. Tak kulempar dalam got. Aku takut seseorang akan terluka menginjak
atau menyentuh secara tak sengaja. Aku dapat gunakan mengiris bawang, tomat,
seladri, di dapur.
Aku kunci pintu, aku yakin
ada orang berniat jahat padaku. Kurapatkan jendela. Kututup pintu atap lantai
dua, tempatku sering menjemur pakaian.
***
Mata anjing muncul di
kantor tempatku bekerja. Mata anjing itu masuk pada setiap mata pegawai kantor.
Pupil mata itu menyipit dan melebar seperti mata kucing. Mata itu abu-abu,
bundar seperti kelereng main anak-anak. Mata itu menari-nari. Setiap orang yang
aku temui di lobi, bicara dengan bahasa anjing. Mengucapkan salam dengan
helusan anjing. Bersuara keras dengan salakkan anjing. Ketika bertemu di ruang
agak gelap, mata anjing itu mata biru.
Aku saksikan kantorku penuh
mata anjing. Meja kerja penuh mata anjing. Mata itu melonjak seperti dalam
piring di beranda rumahku. Mata itu menatap tajam ke arahku. Aku keluar lobi
kantor. Pergi mencari makan. Aku hampir muntah. Aku bertemu orang makan mata anjing
sepanjang jalan. Ia lahap garang. Aku lihat orang-orang itu bermata anjing.
Sorot matanya tajam. Sontak semua dipenuhi salakan anjing.
Di jalan, di mal, di toko,
di rumah makan, di kali, di penampungan sampah, di panti jompo, di rumah sakit,
di sekolah, di masjid; banjir mata anjing. Mata anjing masuk mata orang
sempurna. Mata anjing itu duduk di meja. Mata anjing menempel di kaca. Mata
anjing menempel di langit-langit gedung. Mata anjing banjir di jalan-jalan. Mata
anjing itu leluasa membolak-balik sampah. Darahnya netes-netes.
***
Mata anjing datang dalam
mimpiku. Ia langsung masuk dalam mata bolongku. Ia mengonggong, kemudian
melolong panjang. Mata itu biru silau tajam. Kemudian ribuan mata anjing masuk
dalam kamarku. Aku tak tahu dari mana datangnya. Yang aku tahu, jendela,
ventilasi, telah aku tutup. Mata itu meraung dan meraung. Di sebelah setiap
mata anjing, sebilah pisau menyilaukan batang leherku.n
Padang, Mei-November 2010
Tentang Alizar Tanjung
Lahir di Dusun
Karang Sadah, Kabupaten Solok, 10 April 1987. Karya-karya antologinya, Antologi
cerpen “Rendezvous di Tepi Serayu” (Grafindo Litera Media, 2009), “Bukan
Perempuan” (Grafindo Litera Media, 2010), Antologo Puisi “Puisi Menolak Rupa”
(Unggun Religi, 2010). Tergabung
dalam Nominasi Anugerah pena kategori cerpen dan esai terbaik 2009 (FLP Pusat).
Bergiat di FLP Sumbar. Sedang mempersiapkan buku kumcer “Kurungan”.
Karya-karyanya
dipublikasikan di Harian Tempo, Sindo, Suara Pembaharuan, Jurnal Nasional,
Pewarta Indonesia, Berita Pagi (Palembang), Linggau Post, Singgalang, Padang
Ekspress, Haluan, Majalah Tasbih, Annida, Gizone.
[1] Sejenis harimau,
tapi orang kampung di Kota Solok sering menyatakan harimau jadi-jadian, bukan
harimau sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar