CERPEN Delvi Yandra
Malam ini adalah malam terberat sepanjang hidupku. Pikiranku
terus melambung. Aku hanya terus duduk merenung di sudut kamar. Di atas lapik
kubentangkan kitab suci tanpa membaca surat-surat di dalamnya. Sesungguhnya, besok
aku akan menjadi marapulai.
Bukan pekerjaan yang kupersoalkan atau masalah setoran
yang cukup membuat repot tapi ini adalah persoalan anjuran agama. Besok aku
akan melaksanakan akad nikah. Gadis pinangan yang dipilih Abak bukanlah
perempuan yang kucintai. Sebenarnya aku belum berniat mencari pendamping hidup
dengan alasan bahwa aku masih ingin menikmati kesendirian dengan pekerjaanku. Jadi,
tak perlu kiranya kusebutkan bagaimana sebenarnya perempuan itu. Yang jelas, ia
bukan perempuan yang dapat membuat aku jatuh hati padanya. Tidak ada pesona
yang menarik.
Sebenarnya, apa yang kulakukan adalah atas permintaan Abak.
Ia bersikeras menentukan pilihan untukku dengan pertimbangan bahwa sebelum
meninggal ia ingin mengalami bagaimana rasanya menimang seorang cucu. Aku tidak
habis pikir dengan permintaan Abak tersebut. Sementara Emak, hanya mengamini
kata-kata Abak. Ia tak dapat menentang apa yang digariskan kepada
perempuan-perempuan Minang sejak dahulu. Di dalam rumah maupun di dalam
keseharian Emak hanya dianggap Abak sebagai istri yang kerjanya mengurusi
dapur, sumur dan kasur. Tapi, inilah yang menjadi persoalan berat bagiku sebab
pernikahan bukanlah suatu taruhan tetapi perbuatan adat yang sakral. Apa yang
kupikirkan akan selalu bertentangan dengan keinginan Abak.
Memang, apapun yang orang-orang lakukan mengenai
pernikahan yang sakral dikarenakan atas dasar harga diri dan diawali dengan
niat yang baik. Ah, setidak-tidaknya masih ada orang yang berani melakukannya
demi suatu prestise. Seperti halnya panibo yang diberikan pihak
keluargaku kepada perempuan itu tiga minggu yang lalu. Seperangkat selimut
tebal dan pakaian. Begitu pula halnya dengan uang jemputan. Kemudian, beberapa
hari setelah itu, ia menerimanya. Percobaan Abak berhasil dengan sangat sukses.
“Oi marapulai, tidak lama lagi kau akan basandiang.
Sudah lurus ucapan kau?” Seloroh Abak sebentar tadi di ruang makan.
Lalu kujawab pertanyaan Abak itu dengan seulas senyum dan
anggukan kecil. Entah bagaimana caranya aku menjelaskan kepada Abak kalau aku
tidak ingin menikahi perempuan itu. Aku hanya khawatir penyakit jantung Abak
akan kambuh lagi jika kukatakan yang sebenarnya. Hal itulah yang sangat tidak
kuinginkan.
Sebentar kemudian, kubaca satu ayat saja. Mudah-mudahan
nantinya akan terang jalan pikiranku. Napas panjang kuhirup lalu mulailah
kubaca lafas-lafas yang cukup populer. Betapa kurasakan hati yang begitu tenang
dan dada yang tiba-tiba menjadi lapang.
Aku menghargai niat baik Abak. Tapi, tidak ada salahnya
apabila aku menentukan pilihanku sendiri. Sekarang kan bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Lagi pula aku ini seorang
laki-laki sejati dan laki-laki berdarah Minang seperti aku selayaknya sudah
merantau ke negeri orang mencari kerja yang lebih mapan dan perempuan pilihan
untuk dinikahi. Jadi, aku berhak menentukan perempuan yang akan kujadikan teman
bersanding sampai mati. Aku tidak ingin perempuan yang dipilih Abak nantinya
akan celaka.
***
Orang-orang berbondong menuju masjid. Menuju tempat dilaksanakannya akad nikah. Anak-anak di kampung pun
ikut meramaikan. Mereka bersorak-sorai sambil mengikuti arakan dari belakang.
Beberapa bungkus penganan dan beras dihantarkan dalam perhelatan tersebut. Wah,
suasana yang gegap gempita pun memenuhi ruang masjid. Bisik-bisik keras terus
bersahutan dan menyayat daging telingaku. Aku yakin mereka sedang membicarakan
aku dan perempuan ini.
Sebentar kemudian suasana menjadi hening. Penghulu
mengambil posisi duduk di hadapan kami. Mata orang-orang tertuju padaku dan
perempuan yang duduk di sampingku. Kami tak mampu bertatapan. Entah apa yang
membuat aku tiba-tiba menjadi gugup. Menjadi tak karuan.
‘Ah, jangan!
Jangan sampai ini terjadi. Aku tak berniat untuk jatuh hati padanya jadi aku
tak boleh gugup,’ kataku dalam hati.
Pelan-pelan kuberanikan diri untuk meliriknya dengan
sudut mata kananku. Kuberanikan pula wajahku menatap wajahnya dengan sedikit
rasa tak suka. Tanpa sengaja kutemukan matanya yang begitu tulus, kepalanya
menunduk seperti penuh tanda tanya. Satu hal lagi yang membuat jantungku terasa
ingin lepas adalah ketika kuperhatikan wajahnya yang molek dan bersih. Hari ini
perempuan itu benar-benar kelihatan cantik. Pantas jika ia disebut anak daro.
Aneh. Aku merasa bahwa diriku baru saja bersikap seperti
seorang anak kecil yang tengah sibuk memilih mainan di sebuah kios mainan.
Pikiranku tambah tidak karuan ketika melihat binar di
wajah Abak dan Emak. Mereka terus memperhatikan aku dan kubayangkan kalau
mereka tengah berpikir bahwa semoga aku akan lurus mengucapkannya.
“Bagaimana marapulai?” Penghulu itu menyela ke tengah
pikiranku. ”Kau sudah siap?”
Perempuan itu mengusap keringat di keningnya dengan
selendang yang membaluti lehernya. Kemudian dengan segera ia sampaikan wajah
setulus peri dan selembut awan di hadapanku. Tatapan yang sangat tidak
kuinginkan. Tatapan yang membuat aku terus berpikir ulang dalam mengambil
sikap.
“Saya siap datuk penghulu.” Lalu, sambil kubetulkan
posisi duduk. ”Silakan dimulai datuk penghulu”.
Sementara penghulu itu membacakan segala hal dan tetek
bengek lainnya, aku kembali pada tujuanku untuk tidak menghapal ucapan dan nama
perempuan itu. Lalu, sebentar kemudian kuperhatikan ia mencubit lengan kirinya
dan dilanjutkan dengan meremasnya. Wajahnya memerah seperti warna sari buah
apel. Ia begitu gugup. Sebegitu
gugupkah, pikirku.
Dapat kubayangkan kalau ia begitu menantikan pernikahan
ini. Mungkin memang benar bahwa ia telah benar-benar pasrah dengan keputusannya
ini. Barangkali saat ini ia sedang berpikir bahwa aku juga sungguh
mencintainya.
Betapa tololnya perasaan. Selalu tidak sesuai dengan apa
yang orang-orang pikirkan dan tentang perasaan itu sendiri akan ada banyak hal
dan peristiwa dapat dipelajari. Seperti halnya apa yang dipikirkannya kepadaku
saat ini. Di dalam Masjid ini.
Lalu, peristiwa yang paling mendebarkan adalah pada saat
aku mulai mengucapkan janji nikah. Penghulu itu mendekap tanganku dengan tangan
keriputnya. Hal yang tidak dapat kusangka-sangka adalah bahwa aku telah
berhasil menyebut nama perempuan itu. Nama yang berusaha untuk aku singkirkan
dari pikiranku. Aku tidak tahu apakah aku harus lega atau menyesal telah
melakukannya.
Setelah semua orang mulai beranjak meninggalkan masjid, aku masih gelisah membatu. Seketika itu pula Abak menjentik daun
telingaku.
“Ndeh,
kau jangan bikin malu Abak di depan orang kampung,” bisik Abak ke telingaku. “Ayo,
pulang!”
Akhirnya, aku telah sah menjadi suami perempuan itu.
Dapat kupastikan pula bahwa pada saat baralek gadang esok aku akan segera
bersanding di pelaminan bersama perempuan yang kusebut Lisa.
***
Malam ini aku disidang Abak di meja makan, ketika orang
kampung tengah sibuk mempersiapkan baralek gadang. Ia begitu murka dan entah
darimana mengetahui bahwa aku tidak setuju dengan pernikahan ini. Sementara Emak
terus berusaha memadamkan amarah Abak yang sedang terbakar. Sebentar kemudian, Abak
kembali tenang setelah dadanya sedikit terasa sesak.
“Kau harusnya mengerti kenapa Abak bersikeras menikahkan
engkau dengan Lisa.” Suara Abak melirih dan sesekali matanya menatap aku dengan
penuh harapan.
“Abak hanya ingin menyelamatkan hidupnya. Kalau tidak
segera Abak nikahkan engkau dengannya, laki-laki biadab itu akan menjualnya.”
Aku menjadi bingung dengan penjelasan Abak yang tiba-tiba
itu. Kemudian Abak menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang ayah Lisa yang
berniat menyerahkan Lisa kepada agen gelap di Batam. Abak juga mengatakan bahwa
ayah Lisa adalah laki-laki yang tega melakukan perbuatan busuk apapun demi
mencapai tujuannya. Maka pada akhirnya, ibunya, mendesak agar Abak bersedia
menikahkan Lisa denganku sebelum laki-laki itu pulang beberapa hari lagi.
“Untuk itulah Abak menikahkan kau dengan Lisa. Abak ingin
menimang cucu itu hanya alasan yang Abak buat-buat saja.” Kemudian Abak minta
dipapah Emak ke bilik tidur.
”Kau pikir-pikirlah lagi. Lisa benar-benar telah
mencintaimu.”
Kemudian, aku menjadi kalut di ruang makan yang berlampu
buram. Urat-urat di kepalaku seperti akan keluar. Pikiranku kacau. Dan sungguh,
aku tak bisa memutuskan apapun untuk kubicarakan pada Lisa di malam pengantin
nanti. Aku belum siap menerima kenyataan sesungguhnya. Hal yang tak pernah
terbayangkan olehku selama ini.
Sayup-sayup kudengar isak tangis Emak di dalam kamar.
***
Aku benar-benar telah bersanding dengan perempuan itu.
Pelaminan menemani kami untuk duduk berdua. Jelas kusaksikan senyum lepas dari
bibir Lisa. Pesta usai dengan damai.
Di rumah yang kami tempati sementara, di dalam kamar
pengantin, aku telah menciptakan kekakuan yang abadi. Berjam-jam kami tak
mengeluarkan sepatah katapun. Beberapa saat kemudian, dengan perlahan, Lisa
melepaskan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya. Malam pun lekas meninggi.
Aku harus berani jujur terhadap perasaan yang
sesungguhnya. Walaupun aku telah lurus menyebut namanya tetapi aku harus tetap
menentukan keputusanku malam ini juga. Setidak-tidaknya agar aku tidak terus
tenggelam oleh desakan perasaan seperti ini.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan ayah Lisa. Ternyata
ia datang lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Suaranya terdengar jelas
dari dalam rumah. Ia memekik dan menjerit dengan suara lantang di halaman.
Memanggil-manggil nama anaknya. Lisa lekas membetulkan pakaiannya.
Dengan sigap aku segera bergegas ke pintu muka.
Menghadang laki-laki itu dengan penuh amarah.
Rumahteduh, 2009
Tentang
Delvi Yandra
Lahir 10 Desember 1986 di Palangki, Sumatra Barat. Cerpennya termaktub dalam antologi bersama: Kembang Gean (2007) dan Jalan
Menikung ke Bukit Timah (2009). Mendirikan sanggar menulis kreatif untuk
remaja Layarbirustudio. Juga aktif di Teater Rumahteduh dan Studiomerah.
Sekarang kuliah di Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar