Rabu, 16 Oktober 2013

Malam Lancip

CERPEN Ragdi F Daye
Aku tertegak canggung di depan pintu setelah mundur satu langkah. “Maafkan aku!” ujarnya sambil mengusap mata. Malam tampak hitam di belakangnya yang melintangkan senyum rapuh di bibir pucat. Kenapa dia ke mari? Kepalaku seperti dicucuk lusinan paku berkarat. Tubuhnya tampak ringkih. Rambutnya menjuntai-juntai basah bekas tersiram hujan. Dia datang sendirian.
Apa aku harus mengajaknya masuk ke dalam? Ini malam, baru usai hujan, dan aku seorang lelaki yang tinggal sendirian.
Kugerakkan tubuh untuk duduk di kursi kayu yang merapat ke jendela. “Di dalam sangat berantakan. Duduklah.” Ada jeda kosong yang tidak menyenangkan. Bau parfumnya masih menguar dari bajuku. Kurasakan hembus napasnya yang hangat. “Tentu ada yang kurang baik. Kau datang sendirian tanpa suami dan anakmu, sedang sekarang sudah lewat pukul sembilan. Kau datang dari Pekanbaru? Aku benar-benar kaget.”
Dia belum lama melahirkan, itu kabar yang kudengar. Tentu malam ini anaknya kehausan.
“Bagaimana kabarmu? Kau tampak sangat baik.” Sapanya.
“Seperti yang kaulihat. Begitulah aku di luar.”
“Kau masih sendiri?”
“Untuk menanyakan itukah kau jauh-jauh datang ke mari?”
“Kau masih marah padaku, Kal.”
Kuhempaskan napas untuk menenangkan degup jantung. “Tunggu sebentar,” Aku masuk ke dalam—dingin dan sepi. Mengisi dua buah cangkir dengan air panas dan gula. Mengambil dua kantong teh celup dan satu buah sendok stainless steel yang bengkok. Kuberikan satu cangkir dan sendok padanya. “Gulanya belum diaduk.” Suaraku bergetar.
Dia menyambut cangkir itu cepat. Ujung-ujung jari tangannya yang halus beradu dengan jariku. “Terima kasih.” Ucapnya, lalu mengaduk-aduk air teh dengan sikap khusuk. “Hilde kutitipkan pada Uni Maisarah.”
Seekor anjing melintas sendirian di tepi jalan, mungkin baru selesai kawin dengan pasangan semusimnya. Lantai tampak sedikit basah. Dari rumah sebelah terdengar nyanyian gamat Melayu. Kakiku terasa gatal, pasti nyamuk-nyamuk telah berpesta pora di keremangan bawah meja.
Apa yang sebaiknya kulakukan?
“Kal, bolehkah aku nginap di sini?”
*
Seperti kau, dia pun menyakitiku. Melabuhkan ujung-ujung jarinya di hatiku, membelai usap, lalu meremas dan menggaruknya dengan runcing kuku.
“Ternyata aku kalah, Kal.” katanya suatu hari. “Kau memang terlalu baik, sedang aku terlalu busuk.”
Mendengar suaranya yang sendu membuatku kian percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang sangat pandai berpura-pura. Kau, dia, mereka, sama saja. Dia terobos pintu hatiku, bersikencak, lalu pergi serupa hantu meninggalkan kekosongan. Sebutan apa yang paling pantas untuk itu?
Hitam panjang rambutnya adalah kawanan ular medusa dengan lidah bercabang dua penuh bisa. Jenjang lehernya hanya sarang suara keledai yang amat menjengkelkan. Matanya jalang. Hidungnya buruk. Mulutnya busuk. Tubuhnya. Napasnya. Segalanya.
“Tak usah sesali pertemuan kita.” Bisiknya berlagak akan menangis.
Saat itu aku merasa sedang terpuruk dalam kubangan lumpur di tengah hujan  lebat penuh topan dan petir. Lututku menumpu tanah. Kusungkurkan kepalaku ke atas lanyah menyempurnakan kesia-siaan. Aku hanya genangan luluk.
“Jangan mendendam, Kal. Iklaskan aku pergi darimu.”
Dia letakkan telapak tangannya di dadaku untuk menentramkan gejolak hatiku. Tapi aku telah lupa pada kata-kata. Hanya kutentang matanya dengan rasa sakit yang terus beranak pinak. Ingin sekali kusuapkan seonggok lumpur di telapak kakiku ke mulutnya yang indah itu.
Lalu dia melambai.
Begitu mudah. Begitu gemulai.
“Kau terlalu tinggi untuk kugapai, Kal.”
Dua tahun lalu. Dia pergi setelah mendapatkan lelaki itu yang bersedia membuatkannya kolam madu untuk berkecimpung. Seperti kau lima tahun lalu.
*
“Masih kausimpan kain songket itu?”
Aku terkejut oleh pertanyaannya yang tak kusangka. Ketika pergi, kau memberiku sebuah wayang Yudistira. Kurasa aku menyimpannya di suatu tempat yang tak kuingat. Begitu pula kain songket bermotif petak-petak pemberiannya.
“Tentu telah kau buang, ya.”
“Entahlah. Aku baru pindah ke sini. Aku lupa menaruhnya di mana.” Kuteguk tehku dengan gundah. Apa berarti aku sengaja mengenang bila benda itu masih kusimpan? “Ada apa kau ke mari?”
“Tolong jangan ketus seperti itu, Kal.” Dia menunduk dan menggigit-gigit kuku jari tangannya.
Besok pagi aku hendak berangkat cepat, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.
Lampu rumah sebelah sudah padam.
Malam makin dingin.
“Aku masih tak habis pikir, kenapa dulu kau meninggalkanku.”
“Itu sudah lama, Kal, tak usah dibahas.”
“Tapi aku sakit, tahu kau?”
Dia menatapku.
Alangkah sakitnya aku begitu tahu bahwa kau hanya mempermainkanku. Kau pura-pura cinta setengah gila membuatku sebenar gila dan melakukan segala hal paling tolol untuk memuaskan hatimu. Kulemparkan kotoran ke muka ibuku, kubuang teman-temanku, kujadikan diriku binatang. Semua itu hanya untukmu, yang ingin tahu seperti apa sesungguhnya makhluk yang bernama laki-laki.
Lalu kau pergi sambil mengengkeng-ngengkeng seperti anjing. Lalu dia datang ketika aku tak bisa lagi percaya pada orang lain. Tapi dia melunakkan hatiku dengan elusan suara lembutnya yang menumbuhkan ketololan serupa.
“Aku tak bahagia, Kal.”
Ya, aku tahu. Aku dapat melihatnya di sepasang mata itu.
“Ah, konyolnya aku, mengadu padamu. Kau bukan siapa-siapaku lagi.”
Suaranya begitu cengeng membuatku sedih sekaligus marah.
Teh tumpah. Pintu berdebam.
“Sudah kubilang, percayalah padaku...”
“Mm-maafkan aku...”
“Mari kuseka air matamu...”
“Kal!”
Kali ini saja. Dia yang datang. Ini kota. Dia masih cantik. Sudah lama sekali. Tak akan ada yang tahu. Aku pernah hampir memilikinya. Tak perlu berbuat apa-apa. Dia tak akan menolak. Suaminya persetan. Ayolah...
“Khmm...”
Aku berlari ke pintu. Meninggalkan kamar yang muram. Meninggalkan teras yang di atas mejanya teronggok dua gelas teh yang mendingin. Berlari ke jalan dengan napas terengah-engah. Di persimpangan jalan aku berhenti. Tegak. Menengadahkan kepala menatap langit. Hitam. Pudar.
Aku tak akan melakukannya.
Kustop taksi.
“Naiklah. Maisarah menunggumu di rumah. Aku sudah meneleponnya.” Kubukakan pintu taksi itu setelah turun dan menuntunnya ke jalan. Tanganku menggigil.
“Bolehkah aku meminta, Kal?” Dia tegak dengan mata berlinang. “Maukah kau memelukku?”
Aku tahu, sepotong hatiku ada bersamanya, seperti sekerat yang kaubawa. Betapa sulitnya menahan gejolak di dalam dadaku. Sejak dia datang dan menubrukku, aku sudah kejang dalam impian kusut masai. Begitu inginnya tubuhku merasakan lebih. Alir darahku begitu ligat tersengat sentuhan kulitnya yang dingin hangat.
Tapi aku telah malam. Telah lungkrah dan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...