Kamis, 24 Oktober 2013

Leva Kudri Balti, Seniman Tradisi dari Bunga Pasang


Leva Kudri Balti

“Tradisi itu sesuatu yang unik… dan itu adalah saya...”
Ungkapan yang berkali-kali keluar dari mulut Leva Kudri Balti ketika saya mewawancari pria berkulit putih ini.
Leva Kudri Balti, S.Sn., M.Sn., lahir 24 Mei 1985 di Bunga Pasang, Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ia anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Liviati, S.Pdi (guru SD) dan Badrul C.H. (PNS). Levandra Balti (kakak) dan Leva Azmi Balti (adik), yang saat ini sedang menempuh perkuliahan di Jurusan Farmasi Universitas Andalas.
Menamatkan SD dan SMP di kampung halaman. Uni—sapaan sayang di lingkungan asal yang pada saat itu mulai aktif berkesenian semenjak bergabung di Paduan Suara dan solo song—mulai mengikuti kegiatan berkesenian, dalam rangka Perseni pada kelas 5 SD. Meninggalkan kostum merah putih tak membuat pria yang begitu dekat dengan ibunya ini meninggalkan kegiatan kesenian, terbukti ketika duduk di bangku SMP tahun 2011, Leva aktif di kelompok Marching Band, paduan suara dan melukis.

Awal Karir Berkesenian
Menamatkan SMP pada tahun 2001, Lepok—julukan yang dia terima ketika memutuskan untuk melanjutkan ke SMKI Padang, Sumatera Barat—pada saat melangkahkan kaki ke SMKI, di hadapkan pada dua pilihan yakni seni rupa dan seni pertunjukan. Tanpa pikir panjang, dia lansung mengambil seni pertunjukan dan lebih fokus pada Karawitan.
Sepertinya sifat bersosialisasi sudah mengalir dalam darah danging Leva, terbukti ketika resmi menjadi siswa di SMKI, Leva langsung melakukan pendekatan dengan senior serta diajak untuk bergabung di Sanggar Satampang Baniah asuhan Bu Chun, salah seorang guru di SMKI Padang. Inilah awalnya nama panggilan Lepok melekat karena dia selalu duduk memerhatikan tanpa berkedip ketika senior-senior latihan.
Iven pertama, membatu karya tari koreografer Deslenda. Kemudian maarak baralek dengan honor Rp3.000, sampai Rp5.000, yang saat itu cukup untuk menambah uang saku. Iven kedua ketika Leva akan naik kelas 3 SMA awal 2003 mengikuti Promosi Kompetensi Siswa ke Yogyakarta dan ini adalah Iven pertama keluar kota. Sekembali dari Yogyakarya, Leva di gaet dosen STSI Padangpanjang dan komposer Susandra Jaya sebagai pemusik karya beliau di Taman Budaya Sumatera Barat (2003).
Iven selanjutnya ketika Leva dan rombongan dari Sanggar Lansano yang beranggotakan senior dan teman-teman Leva di SMKI dipercaya Dinas Pariwisata Kota Padang, Sumatera Barat untuk menjadi wakil dalam rangkaian Konser Musik Budaya pada tahun 2004 ke Ethiopia.
Ketika duduk di kelas 3 di SMKI, Leva mendapat kesempatan untuk Praktek Kerja Lapangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumatera Barat. Satu-satunya kampus seni di wilayah Sumatera. Selama 1,5 bulan Leva mengajar di SMP Padang dan 1.5 lagi menimba ilmu di kampus seni tersebut. Saat PKL inilah Leva bertemu dengan Alfalah, salah seorang dosen Karawitan STSI Padangpanjang.
Ramadan 2003, Leva mengikuti kegiatan berkesenian di Lubuk Basung, di tengah kegembiraan terselip kesedian bagi dia karena harus malam takbiran di Lubuk Basung dan menuju ke kampung halaman menjelang shalat Idul Fitri. Menempuh Perkuliahan di STSI Padangpanjang tahun 2004. Bagi Leva, di atas dunia ini tidak ada yang instan, jika ingin meraih sesuatu yang mesti berkorban banyak mulai dari waktu, tenaga bahkan materi.
“Yo pokoknyo kamari masuak je lah, jadi urang sabalik kampus ko lah kenal jo awak, tapi sabanyak tu nan sanang, sabanyak itu jo nan kurang sanang, tapi bagi wak biaso se nyo… awak kan punyo misi untuak dakek jo sado senior tanpa memandang jurusan,” demikian katanya dengan logat Minang yang kental.
Senior karawitan mulai melirik kegigihan Leva, kemudian dia diajak untuk membantu proses ujian akhir senior. Leva juga ikut tergabung dalam sanggar Si Kambang Manih asuhan Ayah Em. Pada 2005 Thomas Kerei, Mahasiswa Cheko melakukan kunjungan ke STSI Padangpanjang untuk memperkenalkan bermain Jimbe dengan American style, saat itu Leva dipercaya untuk melakukan duet dengan Thomas Kerei untuk performance di SMA Negeri 1 Padangpanjang.
 “Saya kaget ketika Thomas Kerei mengatakan diantara sekian banyak mahasiswa yang mahir main jimbe cuma saya yang memiliki gaya permaian mendekati American stlye,” katanya.
Dari Ranah Band Hingga Ranah Rasta
Melalang buana ke luar kota dan luar negeri tak membuat Leva  meninggalakan hobinya di dunia band. Terbukti di tahun 2005, bersama teman satu kos yang masih mahasiswa STSI Padangpanjang yaiktu Hasan, Husin, dan Donny Angga membentuk Ranah Band. Selang beberapa waktu, Leva bertemu dengan pentolan Cherry + yaitu Arip chaip, Leva mulai digandeng dalam setiap acara performance dan festival yang diisi oleh Cherry+. Leva mulai merasakan ketidakcocokkan dengan Cherry+ dan akhirnya dia memutuskan untuk keluar.
Leva tidak tahan tanpa ngeband, beberapa bulan setelahnya Leva tergabung oleh Mandez pada posisi gitar jika memainkan lagu ciptaan, jika ada festival maka dia main pada posisi jimbe. Kemudian pada saat ada Festival Rock Selebor, Leva kembali ditarik oleh Cherry+. Bulan depannya Leva mengajak Ade Akart mahasiswa STSI Padangpanjang untuk membentuk sebuah band, bersama Naldo, Chaink, Bojes, Yudi Mandez maka terbentuklah The Bandrol. Dibantu oleh Mayoret Studio kemudian pada Dies Natalis STSI Padangpanjang pada 2007, The Bandrol manggung di Pelataran Teater.
Sempat vakum karena masing-masing personil sibuk kuliah, kemudian pada 2008, saat band Steven n Coconutrez lagi bumming. Andrey, teman satu kos Leva menawarkan untuk membentuk band aliran reggae, dan Leva setuju. Mereka meminang Hasan dan Bojes. Andrey yang ternyata sudah memiliki beberapa lagu ciptaan yang langsung dibawa saat performance perdana pun menggaet Duke pada posisi accordion dan Al, tanpa melupakan Yudi Mandez akhirnya mereka berangkat untuk mengikuti Iven di kanagarian Tandikek, Pariaman Sumatera Barat. Mereka membawa honor satu juta rupiah yang masa itu terbilang besar. Sepulang dari festival, mereka menggaet dony kemudiab mereka memutuskan untuk  rekaman, dan inilah masa emas Ranah Rasta.
Sempat bertemu dengan Ega, manajer Rubberclock dan mereka diminta untuk tapil di Padang, dan inilah perjalann paling pahit dimana mereka harus bertarung dengan hujan. Memutuskan untuk bertarung di Indifeast pada 2009.
Sejumlah kegiatan kesenian lainnya yang dilakoninya, di antaranya, tampil bersama kelompok  Gandang Tambua di Maninjau, tampil pada rangakaian Pedati di Bukittinggi dengan membawa Talago Buni, tahun 2006, Ayah Em bersama sanggarnya menggaet Leva untuk pentas keliling ke Malaysia, Kuala Lumpur, dan vineng yang saat itu membawakan Drama Musikal, karya Wendy H.S.
Keluarga dan Perjalan Asmara
Tahun 2010 pada Juni, Leva menamatkan kuliahnya di jenjang Strata I dan pada tahun yang sama di bulan September Leva melanjutkan ke jenjang Pascasarjana. Berkat dukungan dari orangtua, kakak, adik dan teman-temannya, pada 16 Mei 2012 Leva menuntaskan kuliah pascasarjananya.
Ternyata perjalanan Asmara Leva tak semulus  berkeseniaan. Leva  masih ingat pesan orang tuanya, bahwa untuk masalah percintaan, memang harus memiliki batas-batas. Leva, yang dikenal dengan anak rumahan memang tak terlalu acuh dengan masalah pacaran. Namun, menginjak masa puberitas saat SMP, Leva sempat merasakan benih-benih cinta monyet. Ketika masuk ke SMKI, sempat berkenalan dengan wanita yang ia puja, namun hanya berlansung sebentar.
 “Pucuk dicinta ulampun tiba,” ungkapan ini cocok untuk Leva, karena saat menempuh perkuliahan di STSI Padangpanjang. Leva, bertemu dengan bidadari pujaannya Dwi Anggraini. Perjalanan Asmara yang mulus, saling mendukung dan mengerti sampai semua teman-temannya, yakin bahwa suatu saat mereka akan membina keluarga. Namun, malang tak dapat ditolak, lima tahun perjalanan asmara mereka, harus kandas berhubung kekasih hati bekerja ke Bengkulu.
Lahir di lingkungan yang tradisinya masih erat, membuat Leva tergerak untuk menimba ilmu di bidang tradisi, sehingga ke depan dia mampu mempertahankan tradisi di kampung halamannya. Meski sempat main dengan aliran yang berbeda pada saat ngeband, namun itu tak pernah mengubah karakteristik tradisi di jiwanya. Tradisi, bagi Leva sendiri adalah hal yang unik.
Layaknya bangungan, tradisi sangat kuat dan sulit untuk diubah ataupun diruntuhkan. Suatu kebanggaan bagi Leva, hingga sekarang ia mampu mempertahankan tradisi dengan atitudenya dalam berkesenian, berhadapan dengan dosen, senior, teman, adik-adik dan masyarakat penikmat seni. Bahkan, pola dan sistem komposisi bermain di tradisi diaplikasikan Leva ke dalam format band. Dia ternyata punya idealis dan selera sendiri dalam berkarya, yang penting baginya hasil bukan tong kosong nyaring bunyinya.
Konsep karya Leva cendrung pada kehidupan sehari-hari, kenyataan yang terjadi yang harus diperbaiki. Pada karya ujian akhir Pascasarjana 2012 “Ruang yang Hilang”, dimana anak-anak sudah melupakan permainan tradisi seperti tangkelek panjang, pacu karuang dan gundu, kemudian beralih pada Playstation, Poker dan orangtua malah memfasilitasi untuk itu. Sedih sekali melihat generasi seharian di depan Komputer untuk hal yang tak jelas. Jadi, leva seolah ingin sampaikan yang terbaik harusnya kembali merangkul anak-anak untuk peduli dengan tradisi.
Sukses berkesenian dengan tetap berpijak pada sebi tradisi. Leva memilih tetap berkesenian di Padangpanjang, karena dia ingin mengabdi dan memberikan yang terbaik bagi generasi seni selanjtnya. Alasan lainnya yaitu Leva tetap ingin bersama Ranah Rasta yang merupakan keluarga baginya.
Leva ingin mendirikan group (ruang idealis dan ruang entertainment) yang berpegang pada tradisi. Selain itu ia juga ingin mendirikan Pondok berkesenian di kampung halamannya, Pasisia. (Reportase Dian Permata Sari, mahasiswi Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia Padangpanjang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...