Leva Kudri Balti |
“Tradisi itu sesuatu yang unik… dan itu adalah saya...”
Ungkapan yang berkali-kali keluar dari mulut Leva Kudri
Balti ketika saya mewawancari pria berkulit putih ini.
Leva Kudri Balti, S.Sn., M.Sn., lahir 24 Mei 1985 di
Bunga Pasang, Painan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Ia anak kedua dari tiga
bersaudara pasangan Liviati, S.Pdi (guru SD) dan Badrul C.H. (PNS). Levandra
Balti (kakak) dan Leva Azmi Balti (adik), yang saat ini sedang menempuh
perkuliahan di Jurusan Farmasi Universitas Andalas.
Menamatkan SD dan SMP di kampung halaman. Uni—sapaan
sayang di lingkungan asal yang pada saat itu mulai aktif berkesenian semenjak
bergabung di Paduan Suara dan solo song—mulai mengikuti kegiatan berkesenian,
dalam rangka Perseni pada kelas 5 SD. Meninggalkan kostum merah putih tak
membuat pria yang begitu dekat dengan ibunya ini meninggalkan kegiatan
kesenian, terbukti ketika duduk di bangku SMP tahun 2011, Leva aktif di
kelompok Marching Band, paduan suara dan melukis.
Awal Karir
Berkesenian
Menamatkan SMP pada tahun 2001, Lepok—julukan yang dia
terima ketika memutuskan untuk melanjutkan ke SMKI Padang, Sumatera Barat—pada
saat melangkahkan kaki ke SMKI, di hadapkan pada dua pilihan yakni seni rupa
dan seni pertunjukan. Tanpa pikir panjang, dia lansung mengambil seni
pertunjukan dan lebih fokus pada Karawitan.
Sepertinya sifat bersosialisasi sudah mengalir dalam
darah danging Leva, terbukti ketika resmi menjadi siswa di SMKI, Leva langsung
melakukan pendekatan dengan senior serta diajak untuk bergabung di Sanggar
Satampang Baniah asuhan Bu Chun, salah seorang guru di SMKI Padang. Inilah
awalnya nama panggilan Lepok melekat karena dia selalu duduk memerhatikan tanpa
berkedip ketika senior-senior latihan.
Iven pertama, membatu karya tari koreografer Deslenda. Kemudian
maarak baralek dengan honor Rp3.000,
sampai Rp5.000, yang saat itu cukup untuk menambah uang saku. Iven kedua ketika
Leva akan naik kelas 3 SMA awal 2003 mengikuti Promosi Kompetensi Siswa ke
Yogyakarta dan ini adalah Iven pertama keluar kota. Sekembali dari Yogyakarya,
Leva di gaet dosen STSI Padangpanjang dan komposer Susandra Jaya sebagai
pemusik karya beliau di Taman Budaya Sumatera Barat (2003).
Iven selanjutnya ketika Leva dan rombongan dari Sanggar Lansano
yang beranggotakan senior dan teman-teman Leva di SMKI dipercaya Dinas
Pariwisata Kota Padang, Sumatera Barat untuk menjadi wakil dalam rangkaian
Konser Musik Budaya pada tahun 2004 ke Ethiopia.
Ketika duduk di kelas 3 di SMKI, Leva mendapat kesempatan
untuk Praktek Kerja Lapangan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Padangpanjang, Sumatera Barat. Satu-satunya kampus seni di wilayah Sumatera.
Selama 1,5 bulan Leva mengajar di SMP Padang dan 1.5 lagi menimba ilmu di
kampus seni tersebut. Saat PKL inilah Leva bertemu dengan Alfalah, salah
seorang dosen Karawitan STSI Padangpanjang.
Ramadan 2003, Leva mengikuti kegiatan berkesenian di
Lubuk Basung, di tengah kegembiraan terselip kesedian bagi dia karena harus
malam takbiran di Lubuk Basung dan menuju ke kampung halaman menjelang shalat
Idul Fitri. Menempuh Perkuliahan di STSI Padangpanjang tahun 2004. Bagi Leva,
di atas dunia ini tidak ada yang instan, jika ingin meraih sesuatu yang mesti
berkorban banyak mulai dari waktu, tenaga bahkan materi.
“Yo pokoknyo kamari masuak je lah, jadi urang sabalik
kampus ko lah kenal jo awak, tapi sabanyak tu nan sanang, sabanyak itu jo nan
kurang sanang, tapi bagi wak biaso se nyo… awak kan punyo misi untuak dakek jo
sado senior tanpa memandang jurusan,” demikian katanya dengan logat Minang yang
kental.
Senior karawitan mulai melirik kegigihan Leva, kemudian
dia diajak untuk membantu proses ujian akhir senior. Leva juga ikut tergabung
dalam sanggar Si Kambang Manih asuhan Ayah Em. Pada 2005 Thomas Kerei,
Mahasiswa Cheko melakukan kunjungan ke STSI Padangpanjang untuk memperkenalkan
bermain Jimbe dengan American style,
saat itu Leva dipercaya untuk melakukan duet dengan Thomas Kerei untuk
performance di SMA Negeri 1 Padangpanjang.
“Saya kaget ketika
Thomas Kerei mengatakan diantara sekian banyak mahasiswa yang mahir main jimbe
cuma saya yang memiliki gaya permaian mendekati American stlye,” katanya.
Dari Ranah
Band Hingga Ranah Rasta
Melalang buana ke luar kota dan luar negeri tak membuat
Leva meninggalakan hobinya di dunia
band. Terbukti di tahun 2005, bersama teman satu kos yang masih mahasiswa STSI
Padangpanjang yaiktu Hasan, Husin, dan Donny Angga membentuk Ranah Band. Selang
beberapa waktu, Leva bertemu dengan pentolan Cherry + yaitu Arip chaip, Leva
mulai digandeng dalam setiap acara performance dan festival yang diisi oleh
Cherry+. Leva mulai merasakan ketidakcocokkan dengan Cherry+ dan akhirnya dia
memutuskan untuk keluar.
Leva tidak tahan tanpa ngeband, beberapa bulan setelahnya Leva tergabung oleh Mandez pada
posisi gitar jika memainkan lagu ciptaan, jika ada festival maka dia main pada
posisi jimbe. Kemudian pada saat ada Festival Rock Selebor, Leva kembali
ditarik oleh Cherry+. Bulan depannya Leva mengajak Ade Akart mahasiswa STSI
Padangpanjang untuk membentuk sebuah band, bersama Naldo, Chaink, Bojes, Yudi
Mandez maka terbentuklah The Bandrol. Dibantu oleh Mayoret Studio kemudian pada
Dies Natalis STSI Padangpanjang pada 2007, The Bandrol manggung di Pelataran
Teater.
Sempat vakum karena masing-masing personil sibuk kuliah,
kemudian pada 2008, saat band Steven n Coconutrez lagi bumming. Andrey, teman
satu kos Leva menawarkan untuk membentuk band aliran reggae, dan Leva setuju.
Mereka meminang Hasan dan Bojes. Andrey yang ternyata sudah memiliki beberapa
lagu ciptaan yang langsung dibawa saat performance perdana pun menggaet Duke
pada posisi accordion dan Al, tanpa melupakan Yudi Mandez akhirnya mereka
berangkat untuk mengikuti Iven di kanagarian Tandikek, Pariaman Sumatera Barat.
Mereka membawa honor satu juta rupiah yang masa itu terbilang besar. Sepulang
dari festival, mereka menggaet dony kemudiab mereka memutuskan untuk rekaman, dan inilah masa emas Ranah Rasta.
Sempat bertemu dengan Ega, manajer Rubberclock dan mereka
diminta untuk tapil di Padang, dan inilah perjalann paling pahit dimana mereka
harus bertarung dengan hujan. Memutuskan untuk bertarung di Indifeast pada
2009.
Sejumlah kegiatan kesenian lainnya yang dilakoninya, di antaranya,
tampil bersama kelompok Gandang Tambua
di Maninjau, tampil pada rangakaian Pedati di Bukittinggi dengan membawa Talago
Buni, tahun 2006, Ayah Em bersama sanggarnya menggaet Leva untuk pentas
keliling ke Malaysia, Kuala Lumpur, dan vineng yang saat itu membawakan Drama
Musikal, karya Wendy H.S.
Keluarga dan
Perjalan Asmara
Tahun 2010 pada Juni, Leva menamatkan kuliahnya di
jenjang Strata I dan pada tahun yang sama di bulan September Leva melanjutkan
ke jenjang Pascasarjana. Berkat dukungan dari orangtua, kakak, adik dan
teman-temannya, pada 16 Mei 2012 Leva menuntaskan kuliah pascasarjananya.
Ternyata perjalanan Asmara Leva tak semulus berkeseniaan. Leva masih ingat pesan orang tuanya, bahwa untuk
masalah percintaan, memang harus memiliki batas-batas. Leva, yang dikenal
dengan anak rumahan memang tak terlalu acuh dengan masalah pacaran. Namun,
menginjak masa puberitas saat SMP, Leva sempat merasakan benih-benih cinta
monyet. Ketika masuk ke SMKI, sempat berkenalan dengan wanita yang ia puja,
namun hanya berlansung sebentar.
“Pucuk dicinta
ulampun tiba,” ungkapan ini cocok untuk Leva, karena saat menempuh perkuliahan
di STSI Padangpanjang. Leva, bertemu dengan bidadari pujaannya Dwi Anggraini.
Perjalanan Asmara yang mulus, saling mendukung dan mengerti sampai semua
teman-temannya, yakin bahwa suatu saat mereka akan membina keluarga. Namun,
malang tak dapat ditolak, lima tahun perjalanan asmara mereka, harus kandas
berhubung kekasih hati bekerja ke Bengkulu.
Lahir di lingkungan yang tradisinya masih erat, membuat
Leva tergerak untuk menimba ilmu di bidang tradisi, sehingga ke depan dia mampu
mempertahankan tradisi di kampung halamannya. Meski sempat main dengan aliran
yang berbeda pada saat ngeband, namun
itu tak pernah mengubah karakteristik tradisi di jiwanya. Tradisi, bagi Leva
sendiri adalah hal yang unik.
Layaknya bangungan, tradisi sangat kuat dan sulit untuk
diubah ataupun diruntuhkan. Suatu kebanggaan bagi Leva, hingga sekarang ia
mampu mempertahankan tradisi dengan atitudenya dalam berkesenian, berhadapan
dengan dosen, senior, teman, adik-adik dan masyarakat penikmat seni. Bahkan,
pola dan sistem komposisi bermain di tradisi diaplikasikan Leva ke dalam format
band. Dia ternyata punya idealis dan selera sendiri dalam berkarya, yang
penting baginya hasil bukan tong kosong nyaring bunyinya.
Konsep karya Leva cendrung pada kehidupan sehari-hari,
kenyataan yang terjadi yang harus diperbaiki. Pada karya ujian akhir
Pascasarjana 2012 “Ruang yang Hilang”, dimana anak-anak sudah melupakan
permainan tradisi seperti tangkelek panjang, pacu karuang dan gundu, kemudian
beralih pada Playstation, Poker dan orangtua malah memfasilitasi untuk itu.
Sedih sekali melihat generasi seharian di depan Komputer untuk hal yang tak
jelas. Jadi, leva seolah ingin sampaikan yang terbaik harusnya kembali
merangkul anak-anak untuk peduli dengan tradisi.
Sukses berkesenian dengan tetap berpijak pada sebi
tradisi. Leva memilih tetap berkesenian di Padangpanjang, karena dia ingin
mengabdi dan memberikan yang terbaik bagi generasi seni selanjtnya. Alasan
lainnya yaitu Leva tetap ingin bersama Ranah Rasta yang merupakan keluarga
baginya.
Leva ingin mendirikan group (ruang idealis dan ruang
entertainment) yang berpegang pada tradisi. Selain itu ia juga ingin mendirikan
Pondok berkesenian di kampung halamannya, Pasisia. (Reportase Dian Permata Sari,
mahasiswi Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia Padangpanjang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar