CERPEN
Amelia Asmi
Burung-burung hitam beriring di langit
yang mulai kemerahan. Azan Magrib sebentar lagi berkumandang dari masjid.
Anak-anak lagi bermain dipanggil ibunya pulang. Berbenah kemudian mengaji di
masjid.
Aku beranjak dari dudukku, berjalan ke depan jendela. Menutupnya dan menurunkan gorden. Tanganku tergantung
waktu menurunkan gorden. Di depan, dari jendela aku melihat lelaki berpayung
merah. Ia lelaki dewasa, memakai celana panjang dan baju kaos warna hitam. Dari
ia memegang payung, aku lihat kulit tangannya putih. Putih bak bengkuang yang
baru dikupas. Angin membawa harumnya ke dalam rumah, bau melati. Ia berlalu.
“Aneh, tidak ada hujan ia memakai payung,” pikirku.
Aku mengikat rambutku tinggi. Mengambil kertas untuk
mengipas. Siang ini matahari terasa dekat kepala. Di kamar aku berpeluh, baju
kaosku basah di bagian punggung dan ketiak. Aku menuju beranda rumah,
setidaknya udara dari bunga-bunga di beranda dapat menyejukkan.
Lelaki kemarin lewat lagi, tidak ada yang berubah, hanya
kini ia memakai baju senada dengan warna payungnya. Warna merah dan celana
pendek hingga lutut. Aku terus memperhatikannya hingga ia melihat ke arahku.
Sebentar, kemudian ia berpaling. Alis matanya tebal, cuma itu yang
terperhatikan olehku. Tanganku terus mengipas dan ia lenyap dari pandanganku.
Disusul bayangannya yang ikut menghilang.
Tak menentu lelaki putih berpayung merah ini lewat di
depan rumahku. Pagi saat cahaya mentari hangat. Siang saat cahaya matahari
panas. Dan kala senja saat matahari berada di barat, bayangan badan di timur.
Lelaki putih ini masih mengenakan payung merah. Tak pernah berganti warna
payungnya selalu merah dan tetap merah. Jika melihatnya saat siang hari
payungnya menyilaukanku. Ini pemandangan unik bagiku, ada pria yang gigih
berpayung dengan warna mencolok. Ada apa gerangan?
Angin tenang tapi dapat membuat rambutku tak karuan. Aku
memakai baju terusan berwarna merah hingga lutut. Duduk di beranda, memegang
setangkai mawar putih. Pria berpayung merah berhenti di depan pagar rumahku.
“Kemarilah ikut denganku. Ada tempat indah yang ingin
kutunjukkan padamu,” ucapnya mengajakku.
Tak menjawab, aku berdiri dan menghampirinya. Ia
merengkuh pinggangku. Kami berjalan dengan payung menuju tempat indah ucapnya.
Aku curiga pada lelaki ini, tapi aku ingin melihat tempat indah. Selama ini aku
belum pernah melihat tempat indah. Aku hanya bermain di rumah.
Lama berjalan telah membawa kami di depan kabut. Pemisah
tempat indah dengan rumahku.
“Jika kamu yakin melangkahlah ikut denganku.”
Bukan seperti tanya melainkan perintah bagiku. Aku ingin
tahu apa yang ada di dalam kabut di depanku ini. Maka tanpa ragu aku pun melangkah, serentak dengan
pria putih di sampingku.
Kabut hilang, kini tinggal orang-orang berpayung dengan
berbagai warna. Aku amati setiap mereka.
Jika pria memakai payung merah. Wanita payungnya berwarna kuning, dan anak-anak
payung yang dikenakannya berwarna hijau. Hujan tak henti-henti turun. Sesekali
kilat menyambar negeri ini dan terdengar petir bagai pesta kembang api ditahun
baru.
Pria di sampingku mengajak aku berkeliling melihat
sekitar. Di kiri dan kanan yang kudapati orang berpayung. Tak ada yang
dilakukan oleh mereka. Hanya berjalan memetik mawar kuning, mawar merah, dan
mawar hijau. Sesuai dengan warna payung yang ada di sini.
Hujan masih asyik bermain dengan tanah, jalan menjadi
basah dan berlumpur. Jika ada yang memakai celana atau rok panjang mereka akan
menyingsingkannya. Takut ternoda oleh tanah yang basah.
Semakin ke ujung jalan, hujan semakin lebat. Payung tak
cukup lagi melindungi kami berdua. Bajuku setengahnya sudah basah begitu juga
dengan pria putih. Aku kedinginan, aku ingin pulang. Tapi negeri hujan ini
bagai mantra yang menghipnotis.
Banyak bangunan tinggi menjulang. Unik bangunan ini tak
punya pintu atau pun tangga. Buat apa bangunan semegah ini dibuat jika tak ada
yang menempati. Bunga-bunga indah merekah. Perempuan dan pria di sini wajahnya
cantik dan gagah. Mereka semua putih.
Aku merasa asing, di sini aku saja yang warna kulitnya
coklat. Hingga penduduk asli memandang lama ke arahku. Selain itu aku tidak memakai
payung berwarna kuning, ini malah sepayung dengan pria. Di negeri ini setiap
orang memiliki payung sendiri.
Aku lihat jam tangan yang kubawa dari rumah. Di rumahku
kini adzan magrib telah menggema ke setiap telinga yang mendengarnya. Disini tak
ada perubahan, masih sama saat aku masuk ke dalamnya. Awan gelap, hujan
mengguyur payung. Tak letih, tak penat, tak bosan mengguyur payung setiap
detiknya.
Dari pria yang memayungiku ini aku tahu bahwa negeri ini
tak pernah ada surya, tak ada benda langit seperti bulan dan bintang pada saat
malamnya. Apa rasa hidup jika tak bisa merasa hangatnya mentari. Indahnya malam
dengan keanggunan bulan di langit berbintang.
“Tak adakah rindu kalian pada mentari, bulan, langit? Tak
mesrakah orang-orang di sini? Mengapa dalam satu payung hanya ada satu orang?
Bukankah segala sesuatu itu lebih indah jika dilakukan berdua?” aku memuntahkan
tanyaku. Aku tak ingin pulang nanti sepotong hatiku di sini karena tanyanya tak
terlunasi.
“Kamu letih?” tanyanya balik padaku.
Teringat olehku jalan kami yang panjang tak berujung. Aku
lihat sepatu putihku penuh lumpur. Basah kakiku, kurasa jika dibuka jari kakiku
telah keriput. Aneh, aku tak merasa letih sedikit pun. Aku masih semangat ingin
menyusuri jalan ini walau hati telah rindu rumah.
Aku menggeleng, “Jawablah tanyaku tadi.”
Sambil berjalan ia mulai menjawab tanyaku.
“Di negeri ini begitulah adanya, apa yang kau lihat, apa
yang kau pikirkan itulah kami. Rindu ada untuk melihat benda langit, tapi itu
bisa kami atasi.”
Diam sejenak.
Ia memetik mawar berwarna merah, ia persembahkan untukku.
Kini bunga mawarku ada dua, merah dan putih.
“Terima kasih,” ucapku melengkungkan senyum untuknya.
“Jika rindu matahari maka kami tekan tombol warna kuning.
Kau lihat dipegangan payung ini, ada tiga warna. Putih untuk melihat bulan dan
bintang berwarna emas.”
Aku perhatikan pegangan payungnya. Benar ada tiga
tombol dengan tiga warna.
“Aku ingin melihat gemintang dan bulan di langit malam
yang cerah,” pintaku ingin membuktikan kebenaran ucapannya.
Ia menekan tombol warna emas dan putih. Seketika payung merah
menjadi sepetak langit cerah. Tak ada payung penghalang hujan. Semuanya muncul
seperti kelambu yang ditambatkan pada empat tiang. Penuh kristal cahaya. Bulan
tergantung disudutnya.1[i][1]
Gemintang menggelayut manja pada langit empat tiang. Sungguh
memanjakan mataku. Tak letih aku menengadah menyaksikan hamparan gemintang dan
bulan berwarna putih susu. Indah sekali. Hanya ada di payung kami. Di payung
yang lain tidak. Hujan di negeri ini masih turun deras.
Lewat seorang wanita dengan rambut bergelombang, dari
payungnya terpancar cahaya putih bersih.
“Ia sedang rindu bulan,” jawab pria putih, seakan
mengetahui pikiranku.
Aku menggigil, hujan semakin lebat saja. Bajuku basah,
sesekali aku bersin dan menarik ingus.
“Aku ingin pulang,” pintaku.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Sial karena pria putih
berpayung merah aku jadi memimpikannya. Baju dan celana tidurku menetes bulir
hujan yang merembes pada atap kamar tidurku. Atap kamarku bocor.
Pantas dinginnya kurasakan nyata. Setelah terjaga pun aku masih bersin.
Aku ganti baju dengan pakaian hangat. Berjalan ke dapur
membuat teh hangat. Aku lihat jam dinding, jarum panjangnya ke arah tujuh dan jarum
pendeknya ke angka delapan. Nyenyak sekali aku tidur, dari sore hingga kini
malam.
Hujan di luar lebat sekali. Sesekali petir menggetarkan
langit. Teh aku seruput sedikit demi sedikit. Nikmat betul minum teh saat malam
dingin.
Pintu rumahku diketuk tiga kali dari luar. Heran hujan
selebat ini masih ada yang ingin bertemu. Mengganggu nikmat saat minum teh
saja. Pintu terkuak. Aku terkejut mendapati seorang yang ada di hadapanku. Muka
kuyu, baju basah diguyur hujan. Tangannya sebelah kanan memegang payung
berwarna merah. Ya, dia lelaki putih berpayung merah yang barusan datang dalam
mimpiku.
“Aku ingin meminjam payung,” suaranya bergetar menahan
dingin. Iba aku melihatnya.
“Masuklah,” jawabku.
Aku suguhkan ia secangkir teh. Dalam cahaya lampu ruanganku ia begitu indah
sebagai lelaki. Ia nikmati teh yang kuberi.
“Maaf aku mengganggumu, payungku patah diserang angin.
Aku tak bisa pulang tanpa payung. Maukah kau pinjami aku payung?”
Aku mengangguk, kemudian berjalan ke kamar. Aku mengambil
payung yang biasanya aku gantungkan di belakang pintu kamarku.
Tiba aku di belakang pintu. Payung tak kutemukan. Aku
layangkan pandang, kudapati payung merah di sudut dekat lemari pakaianku.
Payung itu meneteskan air, hingga lantai di dekatnya menggenang air. Aku dekati
payung yang belum rapi lipatannya. Kuraih, kuraba, ada tiga tombol pada
pegangannya. Ya, payung yang sama dalam mimpiku tadi. Bersama pria putih yang
sekarang mungkin saja sedang menyeruput teh.
[1] Potongan
kalimat pada cerpen Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan! Hamsad Rangkuti, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar