Sabtu, 19 Oktober 2013

Kota Lampion

CERPEN Dodi Prananda

Sumber: http://www.cepolina.com
Bahkan, aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai melangkah ke kota ini. Perjalanannya begitu asing. Begitu cepat. Secepat kilat, sampai-sampai aku lupa, dengan mengendarai apa sehingga aku bisa sampai tersesat ke kota lampion ini. Setelah yakin bahwa aku benar-benar merasa asing dengan kota ini, aku yakin bahwa  aku telah benar-benar tersesat.
Begitu sampai ke kota ini, aku agak heran. Kuedarkan tatapanku ke seluruh arah. Tidak ada satu orang pun. Kota apa ini? Berkali-kali aku bertanya dalam hati. Tapi, tak jua mendapatkan jawaban. Bangunan-bangunan berasitektur seperti istana kulihat tampak tersusun rapi di hadapan tiang yang berjejer lampu-lampu lampion warna merah. Kota nan indah. Kulihat keindahan yang begitu luar biasa dari kota ini. Tapi, kenapa tak ada seorang pun manusia di sini?

Setelah mengitari jalan, kulihat seorang perempuan duduk di sebuah taman. Di sebuah kursi warna emas dengan besi berbentuk spiral. Sebuah kursi yang cukup untuk diduduki oleh tiga atau empat orang. Letaknya pun persis di tengah lingkaran taman, sehingga ketika duduk di kursi itu, maka pemandangan jejeran lampion nan indah terlihat sangat menawan.
Dia mengenakan gaun selutut. Cukup anggun kulihat dari kejauhan. Bandana merah jambu, melingkar manis di antara puncak rambutnya. Kurasa ia penduduk di kota lampion ini. Kudekati dia. Dia menatapku. Tersenyum kecil. Lalu berujar pelan, “Selamat datang di kota lampion. Kau mungkin telah tersesat hingga bisa sampai ke kota ini,” ujarnya dengan suara merdunya.
Kubalas senyumnya yang renyah.
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai ke sini? Siapa namamu?” balasku.
Dia menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. “Kau tidak perlu tahu kenapa kau bisa sampai ke sini. Dan kau juga tak perlu tahu namaku,” balasnya lagi. Aroma dari tubuhnya bisa kurasakan. Cukup wangi. Wajahnya pun cukup cantik, sama seperti kota lampion ini. Hanya saja, dari gaya bicaranya agak sedikit menjengkelkan.
“Namaku Dimas…”
“Terserah kaulah, kalau kau benar-benar tak ingin menyebutkan namamu. Aku yakin kau adalah penduduk di kota ini. Bisakah kau ceritakan padaku tentang kota ini?”
Dia menatapku. Agak lama. Lalu, melempar pandang ke arah jalan.
 “Maaf, aku tidak bisa menceritakan kepadamu tentang kota ini. Aku harus mencari tahu dulu siapa dirimu sebenarnya sehingga Kurcaciku membawamu ke sini, padahal tidak sembarang orang di bawa ke sini. Orang-orang yang tersesat ke kota ini, bukan sembarang orang. Dan aku tidak melihat keistimewaan dari dirimu. Aku belum bisa cerita,” ucapnya.
Aku meremas tangan. Gampang benar ia menyebutku manusia yang tidak punya keistimewaan. Kenapa perempuan ini amat menjengkelkan?
Ia tersenyum.
Aku membuang pandang darinya.
“Di kota ini ada seribu satu lampion. Satu di antara lampion itu adalah lampionmu,” ucapnya lagi ketika aku merasa jengkel padanya.
Aku agak heran. Merasa penuh bertanya-tanya tentang kalimatnya barusan. Seribu satu lampion, tak pernah kusangka sebanyak itu jumlah lampion di kota ini.
“Nanti malam kita akan mengitari kota ini untuk menemukan lampionmu, bagaimana?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Matahari sudah mulai bersembunyi di ufuk barat. Seperti merayap-rayap, sehingga cahaya jingga nan tersisa seperti memantulkan pelabuhan cahaya emas ke arahku dan perempuan ini. Kini, aku menyadari malam sebentar lagi akan menampakkan batang hidungnya. Lampu-lampu lampion yang dipasang sepanjang kota ini mulai bercahaya. Terasa sangat indah kota ini di kala malam. Lampu lampion warna merah yang dipasang sepanjang jalan, bercahaya merah. Sebagian ada cahaya keperakkan yang dipantulkan oleh lampu taman warna emas.
***
Malam ini, malam di kota lampion adalah malam yang paling terindah yang pernah kurasakan. Lampion warna merah dengan pendar cahaya warna keemasan menyinari malam ini dengan manis. Seperti bernyawa. Sepanjang lampion yang berjejer di sepanjang kota, sepanjang itupula cahaya yang indah itu mengitari sudut malam. Dari kejauhan, terlihat bagai lintasan rel cahaya emas yang baris berbaris. Entah dimana ujungnya.
Kami memulai berjalan mengitari setiap sudut di kota lampion menuju arah utara. Tapi, setelah cukup jauh berjalan, benar-benar tak seorang pun yang kami temui. Selain perempuan ini, tak ada makhluk lain. Hanya kurcacinya. Kurcaci milik perempuan ini. Kurcaci yang katanya membawa orang-orang pilihan tersesat ke kota lampion ini.
“Aku tahu kamu baru saja putus dari pacarmu, kemarin sore di sebuah kafe,” ucapnya.
Aku menoleh ke arahnya. Menciptakan mimik wajah heran kepada perempuan ini. Darimana ia tahu bahwa aku baru saja putus dari pacarku.
“Dan aku juga tahu bahwa kau sedang bersedih karena baru saja dikeluarkan dari tempat kau berkuliah, begitu malang nasibmu,” lagi-lagi ia berujar.
Dan aku pun mulai sadar, betapa perempuan di sampingku ini bukan perempuan sembarangan. Banyak hal yang ia tahu tentangku. Sampai-sampai masalah aku dikeluarkan dari kampus juga ia ketahui.
“Apakah kau seorang peri atau bidadari? Aku tahu kau bukan makhluk biasa,” balasku sambil melangkah.
Tanpa terasa kami sampai di sebuah bangunan yang mirip istana. Kutebak inilah rumah perempuan ini. Sebuah rumah yang cukup megah. Ia mengajakku masuk. Tapi, aku menolak. Kulepaskan pegangan tangannya. Tapi, ia berusaha meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.
“Akan kuperkenalkan kau pada ibuku,” ucapnya.
“ibumu?”
“Ya. ibuku”
Aku mengikuti langkah kakinya. Terdengar tapak sepatunya mengetuk-ngetuk lantai. Kuikuti langkahnya dari belakang. Agak cemas diriku rasanya. Aku sudah melangkah terlalu jauh pada kehidupan di kota lampion ini. Bahkan, sampai pada kehidupan keluarga perempuan kota lampion ini. Rumah perempuan ini begitu antik. Pajangan-pajangan di dalamnya begitu unik. Lantai rumahnya pun juga. Baru kali ini kutemukan lantai rumah yang terbuat dari kaca, sehingga ketika melangkah aku pun bisa melihat tubuhku.
“Tunggu…” perempuan itu menahan langkahku.
“Nanti ketika kau bertemu ibuku, jangan pernah mengatakan bahwa ibuku adalah ibumu. Sebab, wajah ibu kita sangat mirip,” ia membuka pintu menuju ruangan tempat ibunya berada.
Aku tidak mengerti dengan kata-kata perempuan ini. Bagaimana mungkin wajah ibuku dan ibunya serupa. Sungguh begitu sulit untuk mempercayainya.
Setelah ia masuk ke dalam ruangan dengan pintu di dorong ke arah kanan itu, aku membuntutinya dari belakang. Agak malu-malu sambil menatap ke sekeliling ruangan.
“Ke sinilah,” perempuan itu menyuruhku berhadapan dengan ibunya.
Ketika melihat wajah ibunya, aku benar-benar tak percaya. Wajah ibunya dengan ibuku begitu mirip. Tahi lalat yang tumbuh di dagunya juga. Potongan rambutnya juga. Termasuk baju yang sedang dikenakan oleh ibu perempuan ini, kuingat ibuku juga memiliki baju dengan rupa yang sama seperti yang dikenakan oleh ibunya.
“Nama saya Dimas. Saya tidak tahu kenapa saya bisa sampai ke sini. Dan tadi saya bertemu dengan perempuan ini di taman setelah saya berjam-jam berkeliling untuk meminta bantuan seseorang untuk mengantarkan saya pulang,” jelasku pada ibunya.
ibunya tersenyum ke arahku. Dan aku pun membalasnya. Senyum ibunya begitu manis, tapi tidak seperti anaknya yang amat menjengkelkan.
“Kau adalah manusia pilihan untuk bisa berada di kota lampion ini,” ucap ibunya pelan.
Lagi-lagi aku tak mengerti. Bagaimana mungkin ketersesatanku sampai ke kota lampion ini lantaran karena aku manusia pilihan. Ah, seperti dongeng rasanya.
Perempuan itu memberikanku sebuah handuk dan alat-alat mandi. Ia menyodorkan ke tanganku. “Sekarang kau mandilah dulu. Setelah itu kita akan kembali ke luar. Mencari mana lampionmu.”
Aku menuruti perintahnya. Bergegas aku ke kamar mandi.
***
Setelah mandi, aku kembali berjalan mengitari malam di kota lampion dengan perempuan ini. Aku tahu ia baik hati, tetapi terkadang ia membuat aku jengkel. Banyak hal yang sangat rahasia tentangku ia ketahui.
“Dulu, pada zaman dinasti Ming, ada perampok yang budiman dengan nama Lie Cu Seng di kota Kaifeng. Dia biasanya merampok ke orang kaya untuk dibagikan ke orang miskin, dan Lie Cu Seng juga mempunyai gerombolan anak buahnya, dia akan membagikan hasil rampokannya pada rumah-rumah yang ada lampu lampionnya,” jelasnya padaku.
“Itulah cerita kenapa lampu lampion ada hingga sekarang,” cerita perempuan itu.
“Baik hati sekali Lie Cu Seng itu, mau membagi hasil rampokannya untuk orang miskin,” ujarku padanya.
“Lampion adalah wujud rasa terima kasih banyak rakyat pada Lie Cu Seng yang telah banyak membantu orang yang sangat kesusahan,” perempuan itu berucap sambil berhenti pada sebuah lampion.
Perempuan itu menatap lampion yang ada tepat di hadapannya. Seketika nyala cahaya lampion menjadi terang benderang dan mencipratkan cahaya emas ke tubuhnya.
“Aku telah menemukan lampionku,” pelan ia berucap.
“Sudah saatnya aku bercerita padamu tentang kota lampion ini. Perlu kau tahu, bahwa aku adalah janin yang dikandung di rahim ibumu sebelum kau dilahirkan. Aku telah dilahirkan lebih dulu, dan umurku hanya satu jam, karena aku lahir tidak normal. Di kota lampion inilah aku dibesarkan”
Sekonyong-konyong, sebuah lampion memendarkan cahaya yang amat terang. Berkilau, seperti menarik tubuhku ke arahnya. Aku mendekatinya. Tapi, tiba-tiba sebuah siluet menyambar tubuhku dan menarik tubuhku ke sebuah pusaran waktu. Cahaya lampion kulihat samar-samar dari kejauhan. n
Padang, 10 Oktober 2010





Tentang Dodi Prananda
Lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang terpilih sebagai Juara I Lomba Menulis Cerpen Remaja(LMCR) 2010 Tingkat Nasional,  PT.Rohto Laboratories, setelah pada tahun 2009 juga menjadi Pemenang Harapan dengan cerpen Menanti ibu. Cerpennya Sajadah dari Ayah terpilih sebagai 20 cerpen terbaik pilihan Majalah Aneka Yess, cerpen Orang Paling Sibuk terpilih sebagai sepuluh besar Sayembara Penulisan Cerpen Balai Bahasa Padang 2009, dan cerpen Saluak Pak Datuak terpilih sebagai Juara III Lomba Penulisan Cerpen Berlatar Budaya Minangkabau Pelajar se-Sumatra Barat dalam Pekan Budaya Sumatra Barat 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...