CERPEN Dodi Prananda
Sumber: http://www.cepolina.com |
Bahkan, aku tidak tahu
kenapa aku bisa sampai melangkah ke kota ini. Perjalanannya begitu asing. Begitu
cepat. Secepat kilat, sampai-sampai aku lupa, dengan mengendarai apa sehingga aku
bisa sampai tersesat ke kota lampion ini. Setelah yakin bahwa aku benar-benar
merasa asing dengan kota ini, aku yakin bahwa aku telah benar-benar tersesat.
Begitu sampai ke kota ini,
aku agak heran. Kuedarkan tatapanku ke seluruh arah. Tidak ada satu orang pun.
Kota apa ini? Berkali-kali aku bertanya dalam hati. Tapi, tak jua mendapatkan
jawaban. Bangunan-bangunan berasitektur seperti istana kulihat tampak tersusun
rapi di hadapan tiang yang berjejer lampu-lampu lampion warna merah. Kota nan
indah. Kulihat keindahan yang begitu luar biasa dari kota ini. Tapi, kenapa tak
ada seorang pun manusia di sini?
Setelah mengitari jalan,
kulihat seorang perempuan duduk di sebuah taman. Di sebuah kursi warna emas
dengan besi berbentuk spiral. Sebuah kursi yang cukup untuk diduduki oleh tiga
atau empat orang. Letaknya pun persis di tengah lingkaran taman, sehingga
ketika duduk di kursi itu, maka pemandangan jejeran lampion nan indah terlihat
sangat menawan.
Dia mengenakan gaun selutut.
Cukup anggun kulihat dari kejauhan. Bandana merah jambu, melingkar manis di
antara puncak rambutnya. Kurasa ia penduduk di kota lampion ini. Kudekati dia. Dia
menatapku. Tersenyum kecil. Lalu berujar pelan, “Selamat datang di kota
lampion. Kau mungkin telah tersesat hingga bisa sampai ke kota ini,” ujarnya
dengan suara merdunya.
Kubalas senyumnya yang
renyah.
“Aku tidak tahu kenapa aku
bisa sampai ke sini? Siapa namamu?” balasku.
Dia menarik tanganku untuk
duduk di sampingnya. “Kau tidak perlu tahu kenapa kau bisa sampai ke sini. Dan
kau juga tak perlu tahu namaku,” balasnya lagi. Aroma dari tubuhnya bisa
kurasakan. Cukup wangi. Wajahnya pun cukup cantik, sama seperti kota lampion
ini. Hanya saja, dari gaya bicaranya agak sedikit menjengkelkan.
“Namaku Dimas…”
“Terserah kaulah, kalau kau
benar-benar tak ingin menyebutkan namamu. Aku yakin kau adalah penduduk di kota
ini. Bisakah kau ceritakan padaku tentang kota ini?”
Dia menatapku. Agak lama. Lalu,
melempar pandang ke arah jalan.
“Maaf, aku tidak bisa menceritakan kepadamu
tentang kota ini. Aku harus mencari tahu dulu siapa dirimu sebenarnya sehingga Kurcaciku
membawamu ke sini, padahal tidak sembarang orang di bawa ke sini. Orang-orang
yang tersesat ke kota ini, bukan sembarang orang. Dan aku tidak melihat
keistimewaan dari dirimu. Aku belum bisa cerita,” ucapnya.
Aku meremas tangan. Gampang
benar ia menyebutku manusia yang tidak punya keistimewaan. Kenapa perempuan ini
amat menjengkelkan?
Ia tersenyum.
Aku membuang pandang
darinya.
“Di kota ini ada seribu
satu lampion. Satu di antara lampion itu adalah lampionmu,” ucapnya lagi ketika
aku merasa jengkel padanya.
Aku agak heran. Merasa
penuh bertanya-tanya tentang kalimatnya barusan. Seribu satu lampion, tak
pernah kusangka sebanyak itu jumlah lampion di kota ini.
“Nanti malam kita akan
mengitari kota ini untuk menemukan lampionmu, bagaimana?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Matahari sudah mulai
bersembunyi di ufuk barat. Seperti merayap-rayap, sehingga cahaya jingga nan
tersisa seperti memantulkan pelabuhan cahaya emas ke arahku dan perempuan ini. Kini,
aku menyadari malam sebentar lagi akan menampakkan batang hidungnya.
Lampu-lampu lampion yang dipasang sepanjang kota ini mulai bercahaya. Terasa
sangat indah kota ini di kala malam. Lampu lampion warna merah yang dipasang
sepanjang jalan, bercahaya merah. Sebagian ada cahaya keperakkan yang
dipantulkan oleh lampu taman warna emas.
***
Malam ini, malam di kota
lampion adalah malam yang paling terindah yang pernah kurasakan. Lampion warna
merah dengan pendar cahaya warna keemasan menyinari malam ini dengan manis.
Seperti bernyawa. Sepanjang lampion yang berjejer di sepanjang kota, sepanjang
itupula cahaya yang indah itu mengitari sudut malam. Dari kejauhan, terlihat
bagai lintasan rel cahaya emas yang baris berbaris. Entah dimana ujungnya.
Kami memulai berjalan
mengitari setiap sudut di kota lampion menuju arah utara. Tapi, setelah cukup
jauh berjalan, benar-benar tak seorang pun yang kami temui. Selain perempuan
ini, tak ada makhluk lain. Hanya kurcacinya. Kurcaci milik perempuan ini. Kurcaci
yang katanya membawa orang-orang pilihan tersesat ke kota lampion ini.
“Aku tahu kamu baru saja
putus dari pacarmu, kemarin sore di sebuah kafe,” ucapnya.
Aku menoleh ke arahnya.
Menciptakan mimik wajah heran kepada perempuan ini. Darimana ia tahu bahwa aku
baru saja putus dari pacarku.
“Dan aku juga tahu bahwa
kau sedang bersedih karena baru saja dikeluarkan dari tempat kau berkuliah,
begitu malang nasibmu,” lagi-lagi ia berujar.
Dan aku pun mulai sadar,
betapa perempuan di sampingku ini bukan perempuan sembarangan. Banyak hal yang
ia tahu tentangku. Sampai-sampai masalah aku dikeluarkan dari kampus juga ia
ketahui.
“Apakah kau seorang peri
atau bidadari? Aku tahu kau bukan makhluk biasa,” balasku sambil melangkah.
Tanpa terasa kami sampai di
sebuah bangunan yang mirip istana. Kutebak inilah rumah perempuan ini. Sebuah
rumah yang cukup megah. Ia mengajakku masuk. Tapi, aku menolak. Kulepaskan
pegangan tangannya. Tapi, ia berusaha meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik
saja.
“Akan kuperkenalkan kau
pada ibuku,” ucapnya.
“ibumu?”
“Ya. ibuku”
Aku mengikuti langkah
kakinya. Terdengar tapak sepatunya mengetuk-ngetuk lantai. Kuikuti langkahnya
dari belakang. Agak cemas diriku rasanya. Aku sudah melangkah terlalu jauh pada
kehidupan di kota lampion ini. Bahkan, sampai pada kehidupan keluarga perempuan
kota lampion ini. Rumah perempuan ini begitu antik. Pajangan-pajangan di
dalamnya begitu unik. Lantai rumahnya pun juga. Baru kali ini kutemukan lantai
rumah yang terbuat dari kaca, sehingga ketika melangkah aku pun bisa melihat tubuhku.
“Tunggu…” perempuan itu
menahan langkahku.
“Nanti ketika kau bertemu ibuku,
jangan pernah mengatakan bahwa ibuku adalah ibumu. Sebab, wajah ibu kita sangat
mirip,” ia membuka pintu menuju ruangan tempat ibunya berada.
Aku tidak mengerti dengan
kata-kata perempuan ini. Bagaimana mungkin wajah ibuku dan ibunya serupa. Sungguh
begitu sulit untuk mempercayainya.
Setelah ia masuk ke dalam
ruangan dengan pintu di dorong ke arah kanan itu, aku membuntutinya dari
belakang. Agak malu-malu sambil menatap ke sekeliling ruangan.
“Ke sinilah,” perempuan itu
menyuruhku berhadapan dengan ibunya.
Ketika melihat wajah ibunya,
aku benar-benar tak percaya. Wajah ibunya dengan ibuku begitu mirip. Tahi lalat
yang tumbuh di dagunya juga. Potongan rambutnya juga. Termasuk baju yang sedang
dikenakan oleh ibu perempuan ini, kuingat ibuku juga memiliki baju dengan rupa
yang sama seperti yang dikenakan oleh ibunya.
“Nama saya Dimas. Saya
tidak tahu kenapa saya bisa sampai ke sini. Dan tadi saya bertemu dengan
perempuan ini di taman setelah saya berjam-jam berkeliling untuk meminta
bantuan seseorang untuk mengantarkan saya pulang,” jelasku pada ibunya.
ibunya tersenyum ke arahku.
Dan aku pun membalasnya. Senyum ibunya begitu manis, tapi tidak seperti anaknya
yang amat menjengkelkan.
“Kau adalah manusia pilihan
untuk bisa berada di kota lampion ini,” ucap ibunya pelan.
Lagi-lagi aku tak mengerti.
Bagaimana mungkin ketersesatanku sampai ke kota lampion ini lantaran karena aku
manusia pilihan. Ah, seperti dongeng rasanya.
Perempuan itu memberikanku
sebuah handuk dan alat-alat mandi. Ia menyodorkan ke tanganku. “Sekarang kau
mandilah dulu. Setelah itu kita akan kembali ke luar. Mencari mana lampionmu.”
Aku menuruti perintahnya. Bergegas
aku ke kamar mandi.
***
Setelah mandi, aku kembali
berjalan mengitari malam di kota lampion dengan perempuan ini. Aku tahu ia baik
hati, tetapi terkadang ia membuat aku jengkel. Banyak hal yang sangat rahasia
tentangku ia ketahui.
“Dulu, pada zaman dinasti
Ming, ada perampok yang budiman dengan nama Lie
Cu Seng di kota Kaifeng. Dia biasanya merampok ke orang kaya untuk dibagikan
ke orang miskin, dan Lie Cu Seng juga
mempunyai gerombolan anak buahnya, dia akan membagikan hasil rampokannya pada
rumah-rumah yang ada lampu lampionnya,” jelasnya padaku.
“Itulah cerita kenapa lampu
lampion ada hingga sekarang,” cerita perempuan itu.
“Baik hati sekali Lie Cu Seng itu, mau membagi hasil
rampokannya untuk orang miskin,” ujarku padanya.
“Lampion adalah wujud rasa
terima kasih banyak rakyat pada Lie Cu Seng yang telah banyak membantu orang
yang sangat kesusahan,” perempuan itu berucap sambil berhenti pada sebuah
lampion.
Perempuan itu menatap
lampion yang ada tepat di hadapannya. Seketika nyala cahaya lampion menjadi
terang benderang dan mencipratkan cahaya emas ke tubuhnya.
“Aku telah menemukan
lampionku,” pelan ia berucap.
“Sudah saatnya aku
bercerita padamu tentang kota lampion ini. Perlu kau tahu, bahwa aku adalah
janin yang dikandung di rahim ibumu sebelum kau dilahirkan. Aku telah
dilahirkan lebih dulu, dan umurku hanya satu jam, karena aku lahir tidak
normal. Di kota lampion inilah aku dibesarkan”
Sekonyong-konyong, sebuah
lampion memendarkan cahaya yang amat terang. Berkilau, seperti menarik tubuhku
ke arahnya. Aku mendekatinya. Tapi, tiba-tiba sebuah siluet menyambar tubuhku
dan menarik tubuhku ke sebuah pusaran waktu. Cahaya lampion kulihat samar-samar
dari kejauhan. n
Padang, 10 Oktober 2010
Tentang Dodi Prananda
Lahir di Padang, Sumatra
Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra
Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan
Simpang terpilih sebagai Juara I Lomba Menulis Cerpen Remaja(LMCR) 2010
Tingkat Nasional, PT.Rohto Laboratories,
setelah pada tahun 2009 juga menjadi Pemenang Harapan dengan cerpen Menanti ibu. Cerpennya Sajadah dari Ayah terpilih sebagai 20
cerpen terbaik pilihan Majalah Aneka Yess,
cerpen Orang Paling Sibuk terpilih
sebagai sepuluh besar Sayembara Penulisan Cerpen Balai Bahasa Padang 2009, dan
cerpen Saluak Pak Datuak terpilih
sebagai Juara III Lomba Penulisan Cerpen Berlatar Budaya Minangkabau Pelajar se-Sumatra
Barat dalam Pekan Budaya Sumatra Barat 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar