OLEH Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
“Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah; syarak mangato, adaik mamakai.”
Konsolidasi kultural suku bangsa
Minangkabau? Kenapa ada gagasan seperti ini? Bukankah suku bangsa Minangkabau
terkenal di seantero Nusantara sebagai sebuah suku yang distingtif, yang relatif
memiliki karakter yang khas? Begitu distingtifnya berbagai aspek kehidupan suku
bangsa ini sehingga menjadi sasaran penelitian para ahli dan peneliti, mulai
dari tradisi matrilinealnya yang unik, adat istiadatnya yang khas, budaya
merantau yang tidak pernah pudar, sampai kepada Islam yang dipandang sangat
kuat baik di masa lampau maupun kontemporer.
Tetapi, pada saat yang sama, berbagai
aspek kehidupan suku bangsa Minangkabau juga cenderung cair, karena
kebudayaannya yang terbuka, yang ‘eksvolutif’, berbeda dengan kebudayaan suku
Jawa yang ‘involutif’—melingkar ke dalam jika kita meminjam kerangka Clifford
Geertz tentang ‘involutif pertanian Jawa’. Karena itu, kebudayaan suku
Minangkabau cenderung sangat terbuka bagi budaya luar, dengan mengorbankan
budayanya sendiri, yang lebih lama menjadi distingsinya.
Gejala kebudayaan Minangkabau yang
‘eksvolutif’ itu bisa terlihat dalam perjalanan sejarah budaya, sosial dan
keagamaan suku bangsa ini. sejak ekspansi Islam yang menemukan momentumnya
mulai abad 16, Islam adalah sesuatu yang datang dari luar, yang bagaimanapun
diterima secara bertahap ‘naik’. Sebaliknya , adat berasal dari darek, wilayah pusat alam Minangkaabau,
yang ‘menurun’ ke pesisir dan rantau. Perkembangan ini tergambar dalam prinsip agamo mandaki, adaik manurun.
Bagaimanapun, merupakan keniscayaan bagai adat untuk menerima Islam, yang
kemudian ditempatkan sejajar: adaik basandi
syarak, syarak basandi adaik.
Dalam perkembangan berikutnya, Islam
tidak lagi terbendung. Dinamika pembaharuan internal di dalam komunitas yang lebih
berorientasi Islam—persisnya antara tasawuf jalan damai (Tuanku Nan Tuo dan
Syekh Jalaluddin) dengan mereka yang ala Wahabi (Tuanku Nan Renceh dan Tuanku
Imam Bonjol) akhirnya menempatkan Islam di atas adat seperti tercermin dan
prinsip adaik basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, yang sampai sekarang ini menjadi simbolisme
‘ketundukan’ adat di bawah hegemoni agama.
Meski demikian konsolidasi agama dan
amalgamasinya dengan adat kelihatan tidak pernah tuntas. Tarik-menarik dalam
Islam Minangkabau itu sendiri juga tidak pernah selesai, begitu juga di antara
Islam pada satu pihak dengan adat pada pihak lain. Pada ranah agama, gelombang
pembaharuan yang dilancarkan Haji Abdulkarim Amrullah (Haji Rasul), Haji
Abdullah Ahmad dan kaum muda lainnya mengakibatkan ‘Islam surau’ (tradisi pada
posisi defensive dan marjinal, yang
dampaknya masih terlihat sampai sekarang ini, yang diakui banyak tokoh
Minangkabau sebagai ‘kelangkaan ulama’.
Sementara itu, ‘tarik tambang’ antara
agama dengan adat juga terus berlangsung. Ini terlihat dari riwayat Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi yang bermukim di Mekkah, yang mengritik adat Minangkabau
yang menurut dia belum sepenuhnya sesuai dengan ortodoksi Islam. Dan ini terus
berlanjut di masa Buya Hamka, yang memandang perlu adanya sebuah ‘revolusi’
adat Minangkabau agar lebih sesuai dengan ortodoksi Islam. Hingga sekarang ini,
pergumulan antara Islam dan adat tetap saja belum berakhir apalagi ada prinsip ‘adaik nan sabana adaik atau adaik nan
sabatang panjang; dicabuik indak mati, dianjak indak layua, indak lapuak dek
hujan, indak lakang dek paneh; sebuah prinsip idealistic yang bisa
diperdebatkan, ketika berbagai perubahan cepat dan berdampak panjang terus
melanda ranah Minangakabau.
Perubahan-perubahan dalam setengah abad
terakhir—khususnya sejak selesainya PRRI pada akhir 1960-an yang kemudian
diikuti pemerintahan Orde Baru—juga terjadi sangat cepat dan berdampak panjang
dalam berbagai aspek kehidupan suku bangsa Minang. Perubahan itu bukan hanya
menyangkaut kehidupan sosial yang pada gilirannya juga menimbulkan
dampak-dampak tertentu dalam kehiduapan adat-istiadat dan keagamaan, tetapi
juga psikologi orang Minang. Semua perubahan ini bukan tidak menimbulkan
disorientasi dan dislokasi di kalangan suku bangsa Minang, yang sampai sekarang
ini masih terlihat sisa-sisanya, yang cenderung terus menggayuti filsafat
hidup, cara pandang dan gaya hidup orang Minang baik di ranah maupun di rantau.
Karena itu, jika kita berbicara tentang
‘konsolidasi kultural’ suku bangsa Minangkabau, maka hal ini nampaknya
merupakan sebuah keharusan yang bahkan sebenarnya sudah lama tertunda. Ke
depan, dengan konsolidasi kultural itu, suku bangsa Minangkabau dapat menamukan
kembali jati dirinya—yang agaknya mesti kontekstual dengan realitas hari ini
dan tantangan ke depan, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.
ABS-SBK:
Retropeksi
Wacana tentang ‘Adat Basandi Syarak –
Syarak Basandi Kitabullah’ (ABS-SBK) yang beriringan dengan gagasan ‘kembali ke
nagari’ dan sekaligus ‘kembali ke surau’ telah bergabung dalam beberapa tehun
teakhir di kalangan para ulama, pemimpin Minang baik di Sumatera barat maupun
di rantau. Kemunculan wacana, gagasan dan bahkan juga konsep filosofis dan
praksis seperti ditawarkan Naskah Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010, tidak
ragu lagi berkaitan dengan perkembangan poitik masa pasca-Soeharto, ketika
kebijakan desentralisasi dan otonomisasi daerah menemukan momentumnya dan
memberikan peluang bagi konsolidasi atau rekonsolidasi kebudayaan Minangkabay
dalam berbagai aspeknya.
Meskipun demikian, masih jadi tanda
tanya besar tentang seberapa jauh wacana
ABS-SBK dan gerakan ‘kembali ke nagari’ dan sekaligus ‘kembali ke surau’
tersebut bisa berhasil. Pengamatan selintas di lapangan menunjukkan, belum
terlihat atnda-tanda meyakinkan bahwa ketiga gagasan dan bahkan mungkin juga
semacam gerakan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.
Bagaimanapun, wacana atau gagasan
tentang ABS-SBK dan ‘kembali ke nagari dan ‘kembali ke surau’ pada tsau segi
boleh jadi masih mencerminkan ‘romantisme’ sejarah orang Minang sekarang
tentang keunggulan dan distingsi kebudayaan Minangkabau di masa silam. Baik
‘adat’, ‘nagari’ dan ‘surau’ dipandang sebagai ‘loacal genius’ dalam kehiduapan adat, sosial-politik, dan keagamaan
Minagkabau, sehingga menghantarkan suku bangsa ini ke dalam posisi terkemuka di
antara suku-suku bangsa lain di Nusantara.
Dalam ingatan bersama (collective memory) masyarakat Minangkabu
ketiga ‘local genius’ itu memberikan
suasana yang kondusif untuk kelahiran sejumlah ulama besar, pemikir,
cendekiawan, pemimpin politik puncak, budayawan, dan sastrawan. Mereka
memainkan peran penting dalam kancah
nasional sejak masa pergerakan sampai dasawarsa awal pasca-kemerdekaan; secara
sangat simbolik mereka menampilkan distingsi dan keunggulan sistem adat, agama,
sosial-budaya, dan sosio-politik Minangkabau.
Selanjutnya adalah ratapan tentang ‘batang
tarandam, eksistensi ‘keminangan’ yang dipandang sudah pudar. Hampir seluruh
forum yang membahas tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat Minang dalam
waktu sekitar setengah abad terakhir—sejak akhir 1960-an—hampir mengandung
pesan eksplisit maupun implicit tentang sudah saatnya bagi suku bangsa
Minangkabau untuk ‘mambangkik batang
tarandam’. Riuh-rendah gagasan ini sering terdengar di ranah Minang
sendiri; menjadi wacana tidak hanya di kalangan cerdik pandai, alim ulama dan
tokoh-tokoh informal lainnya, tetapi juga merupakan pembicaraan—jika tidak
kebijakan—di kalangan para pejabat pemerintahan di Provinsi Sumatera Barat.
Tokoh-tokoh Minang pada berbagai levelnya di rantau juga menjadikan wacana ini
sebagai toipik pembicaraan yang hangat dan berkepanjangan.
Strategi
Kebudayaan dan Politik
Memandang perjalanan historis suku
bangsa Minangkabau dan pengalaman pergumulan adat dan Islam, kenestapaan
pasca-PRRI, dan perubahan politik, agama, adat, dan sosial budaya, konsolidasi
cultural suku bangsa ini masih terus menghadapi banyak tantangan dan kendala.
Pad abiding politik, kembali kepada
pemerintahan lembaga nagari masih menunggu integrasi pranata dan lembaga adat
dan agama dnegan birokrasi resmi. Pemerintahan nagari yang secara tradisonal
mencakup kepemimpinan keagamaan—yang bertumpu pada lembaga-lembaga keagamaan
seperti surau—dan kepemimpinan adat dan kepemimpinan ‘cadiak-candiko’ dan ‘tigo
tungku sajarangan’, perlu pemulihan yang sitematik, bukan sekadar wacana
dan konsep.
Pada saat yang sama, adat dan agama
juga memerlukan konsolidasi yang melibatkan kontekstualisasi dan revitalisasi
baik pada tingkat konsep normative maupun kerangka praksis; juga kelembagaan
dan kepemimpinannya. Ini tidak lain, karena adat dan agama berhadpan dengan
perubahan-perubahan struktur sosial masyarakat Minang yang berlangsung kian
cepat dalam tiga dasawarsa terakhir. Kini, keluarga Minangkabau semakin menjadi
‘keluarga nuklir’, di mana ayah hampir sepenuhnya menjadi penanggungjawab
berbagai aspek kehidupan istri dan anak-anaknya. Mamak tidak lagi memkul
tanggungjawab actual sehari-hari terhadap kemenakan, karena mereka juga sibuk
dengan tanggung jawab masing-masing terhadap anak-anak mereka sendiri. Mamak
memang menjadi dikondultasi sang ayah dan ibu dalam hal-hal sangat esensial
dankrusial menyangkut anak mereka (kemenakan sanga mamak) seperti soal
pernikahan misalnya; tetapi, keputusan kini hampir sepenuhnya berada di tangan
ayah dan ibu.
Juga, karena urbanisasi yang terus
berlangsung semakin cepat atau ‘meng-urban-nya’ wilayah-wilayah pedesaan, anak
laki-laki semakin jarang tidur di surau; mereka kini sudah mempunyai ‘kamar’ di
rumah orang tua mereka masing-masing. Dengan demikian, salah satu ‘ritus
peralihan’ (rite de passage), sangat
penting baik secara dat maupun agama dalam kehidupan anak-anak Minang kian
lenyap.
Dalam perkembangan lebih jauh, dengan
menguatnya keluarga nuklir, tanggung jawab atas pendidikan termasuk pendidikan
agama—semakin menjadi tanggung jawan keluarga dari pada paguyuban adat
danlingkungan lebih luas yang diwakili surau dan nagari. Keluarga—atau ayah dan
ibu— yang memiliki pengetahuan keagamaan, mungkin relative tidak mengalami
masalah seirus dalam penanaman pendidikan agama ini, karena mereka sendiri bisa
mengajari anak-anak mereka. Tetapi bagi ayah atau ibu yang tidak memiliki
pengetahuan dan kecakapan keagamaan, dan juga tidak mampu mendatangkan guru
mengaji ke rumah, maka mengakibatkan terjadinya pengikisan keislaman di
kalangan generasi muda Minang.
Dalam kehidupan sosial budaya,
perubahan-perubahan yang dimunculkan pembangunan (modernisasi) Orde Baru,
meinbulkan urbanisasi yang berlangsung dan meingkat secara cepat di Sumatera
Barat—seperti juga terjadi di banyak wilayah Indonesia lainnya. Semakin banyak
anak-anak muda Minang yangmasih bujangan dan yang sudah berumahtangga—baik
laki-laki maupun perempuan—yang merantau ke wilayah-wilayah urban, baik di
lingkungan Sumatera Barat sendiri maupun ke wilayah-wilayah lain. Nagari, surau
dan lubuk tapian pun ditinggalkan; banyak persawahan dan lahan-lahan
perkebunnan dibiarkan begitu saja menyemak membelukar.
Sementara di rantau sendiri keadaannya
tidak kunjung membaik. Persingan di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Badnung,
Surabay, dan sebagainya semakin sulit. Karena itu, dalam dua dasawarsa terakhir
setidak-tidaknya, perantau-perantau Minang bisa ditemukan di berbagai pelosok
terpencil di Indonesia, membuka kedai nasi Padang. tidak terlihat kemajuan
signifikan para perantau ini. para perantau Minang umumnya tidak mampu
melangkah keluar sector kaki lima, dan sector-sektor informal lainnya.
Lihatlah, apakah ada dan berapa banyak perantau Minang yang berhasil menjadi
penguasa besar nasional dalam dua tiga dasawarsa terakhir ini.
Menghadapi berbagai tantangan dan
realitas yang tidak kondusif itu, maka tidak ada pilihan, kecuali perlunya
sebuah strategi kebudayaan dan politik. Dalam bacaan saya, Naskah Konres
Kebuddayaan Minangkabau 2010 telah memberikan kerangka yang realtif
komprehensif menyangkut strategi kebudayaan dan politik tersebut. Bagaimanapun
kerangka itu memerlukan political will
kepemimpinan birokrasi kepemerintahan; dan juga kesediaan kepemimpinan agama
dan adat untuk membangun kesepakatan, baik pada tingkat konsep, kerangka, dan
praksisi konsolidasi cultural suku bangsa Minangkabau tersebut. Tanpa itu,
keinginan untuk perubahan kea rah lebih baik, bisa berarti bahwa ‘kaum’
Minangkabau itu sendiri tidak mau mengubah nasibnya. Wallahu a’lam bishawab.
Tulisan ini disampaikan sebagai keynote
speech pada Seminar Kebudayaan Minangkabat, 12-13 Desember 2010 di Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar