CERPEN Ragdi F. Daye
Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.
Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal
yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.
Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku
telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi
itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik
punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan
petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada
pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap
mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.
Tapi sebentar… Kau tahu, aku tak pandai bercerita. Mungkin lebih baik
kuputar lagu-lagu yang meruntuhkan hati agar aku bisa lancar berkata-kata, agar
aku tak malu-malu menelanjangi diri di depanmu. Aku tak akan mengeraskan
volumenya. Sayup-sayup saja.
Seperti perjumpaanku denganmu, pertemuanku dengannya tak pernah kusangka.
Aku sedang lari dari rasa jenuh dalam pertemuan yang tak jelas arah itu.
Kubawa diri ke meja di pojok kedai minum yang tanpa dinding dengan secangkir
kopi yang tak terlalu pahit. Angin menghambur masuk mengelus pipiku, menghantarkan
aroma bebunga, mungkin tanjung. Seperti biasa, jenuh akan membuatku gundah dan
gugup. Aku jadi merasa aneh dengan perjalananku yang sebenarnya agak berat
karena harus meninggalkanmu. Kemarin aku ingin membatalkannya namun kau memaksa
karena menurutmu pertemuan itu penting dan berguna bagi masa depan pekerjaanku.
Nyatanya aku terpuruk dalam kebosanan.
Kutekan nomormu, tapi tak diangkat-angkat. Kucoba berulang kali, namun
tetap sama. Kau tak bisa dihubungi, padahal aku ingin mendengarkan suaramu dan
menghirup energi dari kata-katamu. Apakah kau sudah tidur atau telepon
genggammu tertinggal di kamar depan dekat rak buku? Ah, nanti saja kaujawab.
Aku mulai meneguk kopi yang rasanya tak terlalu istimewa itu,
mengetuk-ngetukkan tangan kiri ke paha, dan membiarkan mata menjelajah ke mana-mana.
Hingga aku melihat dia. Dia? Ya, dia yang dulu pernah singgah dalam
hari-hariku.
Mulanya aku diam saja. Tetap duduk di bangku tersudut itu dan mengamati
orang-orang di sekitar. Aku pura-pura tidak melihatnya karena mungkin saja dia
juga pura-pura tak melihatku. Apa pentingnya menyapa seseorang dari masa yang
sudah lalu? Bisa-bisa membawa masalah. Kualihkan perhatian dengan mencoba lagi
menghubungimu. Tetapi nihil. Malam berlanjut. Orang-orang datang dan pergi.
Pertemuan malam itu mungkin sudah selesai dan aku dapat balik ke kamar. Namun
aku tetap duduk, menghirup kopi pelan-pelan, mengetuk-ngetukkan jemari ke paha,
dan kembali melihatnya yang seperti tak tahu bahwa ada aku tak jauh darinya.
Dia, dia tidak cantik sepertimu. Dia juga tidak berpakaian anggun menawan
seperti kebiasaanmu. Malam itu dia hanya mengenakan celana panjang pudar dan
blus kebesaran dipadu syal merah-hitam. Dia duduk menopang wajah dengan tangan.
Sebatang rokok terjepit di sela jarinya. Sebatang rokok?; Perempuan seperti apa
itu?, mungkin kau akan bertanya, tapi dengarkan saja. Di mejanya tampak dua buah
gelas yang kuduga berisi kopi karena begitulah dia dahulu. Wajahnya tampak
kusam dan sendu. Sesekali dia menaruh rokoknya, lantas menulis cepat-cepat di
sebuah buku kecil di atas meja. Barangkali dia sedang menulis puisi, cerita,
atau rangkaian kata-kata serupa itu.
Apakah dia masih mengingat puisi tentangku yang pernah dibuatnya dulu? Hatiku mulai gemetar oleh dorongan rasa yang
tak kukehendaki. Aku ingin menghampirinya. Menatap bibir hitamnya yang kubenci
sekaligus kusukai. Dudukku mulai tidak nyaman, seolah ada duri menonjol di
lapisan bangku. Mendekatinya terasa mengkhianatimu. Tetapi diam saja seperti menyiksa
diri sendiri. Akhirnya aku berdiri. Tidak, tidak. Aku tak bermaksud
mengkhianatimu. Aku hanya ingin bicara dengannya. Siapa tahu bisa tumpas seluruh
jemu.
“E, e… Kau?” ekspresi terkejutnya bagimu mungkin terkesan berlebihan. Dia
terbatuk dan rokoknya jatuh.
Aku duduk di seberangnya. Tersenyum kaku. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Dia memasukkan ujung telunjuk kiri ke mulut, menggigit ujung kuku
dua detik. “Kau… tinggal di kota ini?”
“Ehm, tidak. Aku sedang ada pertemuan di sini.” Kutunjuk lantai atas. “Kau
sedang jalan-jalan?”
“Besok aku ada acara di pusat kota.”
“Tentang puisi?”
Sungguh, percakapan kami begitu tersendat-sendat, sama sekali tak seperti
cerita di film-film. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu membuat jarak atau
dia. Kami banyak mengumbar senyum basa-basi sebagaimana layaknya dua manusia dewasa
yang munafik.
Apakah dia lalu mengajakku ke kamarnya, atau malah aku yang membawanya ke
kamarku? Ah, tenanglah. Ceritaku masih panjang.
Dia menyibakkan rambutnya yang ikal bergelombang, menopang dagu lagi, lalu
menatap mataku lekat-lekat. “Mau duduk-duduk di atas atap?”
Tentu saja aku tersentak. Duduk-duduk di atas atap? Gila, aku sudah tidak
muda lagi!
“Takut jatuh sekarang?”
“Ehm, tidak, tidak. Ini hotel. Malam. Apa nanti kata orang?”
“Apa nanti kata orang? Hahaha… Itu pertanyaanmu dulu sebelum kita memanjat
atap gedung rektorat universitas untuk kemudian menatap matahari tenggelam
sampai lenyap dipulun gelap.”
Oh, ya. Benar! Itu dulu, waktu aku masih mahasiswa, sinting! “Oke.
Baiklah.”
Dia memesan minuman kepada pelayan, memasukkan barang-barangnya ke tas-samping,
kemudian menarik tanganku. Kami berlari mendaki anak tangga sampai lantai enam
seperti dua kanak-kanak kurang kerjaan. Napasku ngos-ngosan. Mengertilah, aku
sudah bapak-bapak, bukan? Tetapi dia tetap seperti kucing manis yang kesurupan.
Meletup-letup. Tidak lelah. Tetap tertawa-tawa menyemburkan kata-kata puisi
jalang.
Betapa itu yang dulu sangat kusuka dari dia. Betapa itu yang dulu
menyihirku.
“Kamu terlalu rajin! Negara ini tidak akan berubah!” Dia merebut diktat
kuliahku dan melemparkannya ke udara ketika aku masih sempat-sempatnya
menyiapkan ujian semester di atas atap. Lembaran-lembaran itu melayang dalam
angin untuk kemudian berhamburan di pelataran taman rektorat.
Itu dulu. Ribuan senja yang lalu.
“Ayolah!”
Kami menyusup keluar melalui pintu darurat. Pekat malam yang haru
menyambut. Pesona lampu-lampu seperti kunang-kunang kasmaran. Bintik-bintik
cahaya bintang di langit seperti titik-titik embun di kelopak mawar akhir
subuh.
Aku berdiri di tengah dataran atap dengan gamang dan riang. Kukembangkan
tangan. Menghirup sejuk malam. Mengusir kelesuan. Dia duduk di tubir atap,
menjuntaikan kaki. Aku mengambil tempat di sampingnya. “Ayo, ceritakan tentang
dirimu! Sudah berapa ratus puisi yang kautulis? Sudah berapa puluh bukumu yang
terbit? Sudah berapa lelaki yang kaubuat patah hati?”
“Kau menyindirku?”
“Tidak. Aku memujimu.”
“Bukuku yang terbit baru tujuh. Dan tak ada lelaki yang kupatahkan hatinya
sejak kau pergi mematahkan hatiku.”
“Astaga! Kau sudah mulai melancarkan serangan, ya!”
“Aku sungguh-sungguh. Walau kau tak mengerti puisi, tapi kau mencintai
puisi. Tak ada mata yang menatapku berbinar-binar, selain kau dengan pandangan
bocah lima tahun dihadiahi layang-layang itu.”
“Aku sudah beristri,” kataku datar. “Dia sedang mengandung anak ketiga
kami.”
“Sudah tiga anakmu?”
“Dua gugur. Mudah-mudahan yang ini selamat.”
“Dan malam ini kau bersamaku, saat istrimu hamil…”
“Kita ‘kan tidak melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Duduk seperti orang gila di atas atap begini?! Oh, ampuni aku!”
“Jadi kau masih belum menikah?”
“Seperti yang kukatakan dulu, aku ingin kau yang jadi suamiku.”
“Tapi aku tak bisa menikahi puisi!”
Pukul 00:04. Ah, betapa lengangnya!
Apakah kau sudah lelap dalam mimpi saat itu? Atau malah tak bisa tidur
karena berhalusinasi tentang aku yang hendak meloncat dari atas atap?
“Tidak adakah satu dari beribu penyair itu yang menarik hatimu?”
“Ini bukan soal menarik atau tidak. Malah banyak dari mereka yang mampu
membuatku mabuk tanpa meneguk arak.”
“Lalu kenapa tak kaurelakan satu? Lihatlah mukamu begitu muram kesepian!”
“Kau ‘kan tahu, aku ini burung pengicau yang liar, yang kubutuhkan adalah
dahan rindang yang nyaman.”
Tak ada lagi yang kami lakukan selain pembicaraan yang melompat-lompat,
tertawa kering, menepuk-nepuk nyamuk, meneguk minuman karbonat dalam kaleng,
memeluk lutut masing-masing, bermenung, memandang ujung langit, menunggu cahaya
fajar menyemburat….
Di antara hitam langit malam dan titik-titik bintang, kulihat kau melambaikan
tangan. Kau mengenakan pakaian putih panjang yang kemerahan. Kemerahan? Tidak.
Tidak. Itu seperti darah. Darah? Tubuhmu mengambang melayang-layang dalam
ledakan cahaya merah seperti mahkota mawar pecah.
Buru-buru kuambil telepon genggam. Menekan nomormu berulang-ulang. Jawab!
Jawab! Ayolah…!
“Halo! Halo!”
“…. Ada apa, Sayang? Kau tak bisa tidur?”
“Kau baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja?”
“Hei, kau dengan siapa?”
“Tidak, aku tidak dengan siapa-siapa. Anak kita baik-baik saja?”
“Istrimu baik-baik saja?”
“Psst…! Sst! Diam!”
“Kau dengan seseorang? Hei! Aku dengar suara perempuan.”
“Tidak. Aku barusan mimpi buruk. Mungkin kau mimpi buruk juga.”
“Kau dengan siapa?”
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya.”
“Oke, besok pagi kutelepon lagi.”
Kubisukan telepon genggam. Subuh akan segera datang. Pikiranku pasti kacau
karena begadang. Kulemparkan kaleng kosong.
“Kau seharusnya tadi tak bersuara.”
“Takut sekali kau rupanya.”
“Aku tak mau menyakiti hatinya. Pasti dia jadi risau bertanya-tanya.”
“Kita ‘kan tidak berbuat apa-apa.”
Ketika pagi akhirnya datang, kami membuang diri ke dalam lift. Wajah-wajah
kami tampak berkerut-kerut di pantulan dinding berkilau.
“Segeralah kau pilih seseorang untuk melabuhkan kelelahanmu.”
“Aku menginginkanmu.”
“Pakai akal sehatlah! Aku tak akan menceraikan istriku ataupun menjadikanmu
yang kedua.”
Di lantai bawah kami berpisah. Dia mencuri cium pipiku sambil berbisik memintaku
datang ke acaranya. Aku mengangguk dan berjanji dalam hati untuk segera berkemas
pulang. Kuaktifkan telepon genggam.
Ada banyak panggilan tak terjawab darimu, dan sebuah pesan: Demi Tuhan,
apakah berpisah satu hari dapat
membuatmu tidur dengan perempuan lain?
Nah, ceritaku sudah selesai. Tak ada yang kututup-tutupi. Aku benar-benar
telanjang. Sekarang, mari kubuka rantai yang membelit tubuhmu, juga saputangan
yang menyumpal mulutmu. Apakah musiknya perlu diganti?
“Jahat! Jahat! Jahat…! Gila sekali kau!”
Kau melompat dari kursi lalu mencakar-cakar dadaku. Merobek-robek kemeja
yang belum sempat kuganti sejak pulang dari bandara karena kau dengan cerewet
terus bertanya sepanjang jalan dengan prasangka yang tajam menikam. “Apa aku
ini kurang seksi sehingga kau mau jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah aku
tak becus mengurusmu? Apa aku tak cukup perhatian, pengabdian, dan cinta untukmu?
Kenapa kau sama saja dengan para lelaki bajingan?”
Tidak. Tidak. Tidak.
Kau keliru. Mungkin benar, bahwa dia adalah bara yang menggelegakkan
darahku, memberi sensasi. Tapi kau adalah air yang menghapus dahagaku, membuatku
akan terus hidup dan bermimpi. Walau sebagai air kadang kau menjadi gelombang
yang membanting dan terkadang mengalir diam tanpa riak membuatku menggigil
dalam sepi.
Padang, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar