Minggu, 20 Oktober 2013

Kelopak Langit



CERPEN Ragdi F. Daye

Baiklah, aku akan menelanjangi diriku di depanmu.
Kau akan dengan leluasa melihat semua gurat sepi di pori-pori, semua jejak sesal yang membeku, dan mimpi-mimpi mati di epitel.
Kau tak akan bisa pergi menghindar atau menutup mata dan telinga sebab aku telah memasang rantai yang membuat tubuhmu akan tetap duduk menyimak di kursi itu. Kedua tanganmu telah kuupayakan senyaman mungkin tetap berada di balik punggungmu. Maafkan aku yang terpaksa menyumpal mulutmu dengan saputangan petak-petak biru muda yang kaubelikan, karena aku tak ingin ada sela, ada pertanyaan. Dengarkan saja aku. Setelah itu, kau dapat memutuskan akan tetap mencintaiku atau akan menjauh sepenuh jarak.

Tapi sebentar… Kau tahu, aku tak pandai bercerita. Mungkin lebih baik kuputar lagu-lagu yang meruntuhkan hati agar aku bisa lancar berkata-kata, agar aku tak malu-malu menelanjangi diri di depanmu. Aku tak akan mengeraskan volumenya. Sayup-sayup saja.
Seperti perjumpaanku denganmu, pertemuanku dengannya tak pernah kusangka.
Aku sedang lari dari rasa jenuh dalam pertemuan yang tak jelas arah itu. Kubawa diri ke meja di pojok kedai minum yang tanpa dinding dengan secangkir kopi yang tak terlalu pahit. Angin menghambur masuk mengelus pipiku, menghantarkan aroma bebunga, mungkin tanjung. Seperti biasa, jenuh akan membuatku gundah dan gugup. Aku jadi merasa aneh dengan perjalananku yang sebenarnya agak berat karena harus meninggalkanmu. Kemarin aku ingin membatalkannya namun kau memaksa karena menurutmu pertemuan itu penting dan berguna bagi masa depan pekerjaanku. Nyatanya aku terpuruk dalam kebosanan.
Kutekan nomormu, tapi tak diangkat-angkat. Kucoba berulang kali, namun tetap sama. Kau tak bisa dihubungi, padahal aku ingin mendengarkan suaramu dan menghirup energi dari kata-katamu. Apakah kau sudah tidur atau telepon genggammu tertinggal di kamar depan dekat rak buku? Ah, nanti saja kaujawab. Aku mulai meneguk kopi yang rasanya tak terlalu istimewa itu, mengetuk-ngetukkan tangan kiri ke paha, dan membiarkan mata menjelajah ke mana-mana.
Hingga aku melihat dia. Dia? Ya, dia yang dulu pernah singgah dalam hari-hariku.
Mulanya aku diam saja. Tetap duduk di bangku tersudut itu dan mengamati orang-orang di sekitar. Aku pura-pura tidak melihatnya karena mungkin saja dia juga pura-pura tak melihatku. Apa pentingnya menyapa seseorang dari masa yang sudah lalu? Bisa-bisa membawa masalah. Kualihkan perhatian dengan mencoba lagi menghubungimu. Tetapi nihil. Malam berlanjut. Orang-orang datang dan pergi. Pertemuan malam itu mungkin sudah selesai dan aku dapat balik ke kamar. Namun aku tetap duduk, menghirup kopi pelan-pelan, mengetuk-ngetukkan jemari ke paha, dan kembali melihatnya yang seperti tak tahu bahwa ada aku tak jauh darinya.
Dia, dia tidak cantik sepertimu. Dia juga tidak berpakaian anggun menawan seperti kebiasaanmu. Malam itu dia hanya mengenakan celana panjang pudar dan blus kebesaran dipadu syal merah-hitam. Dia duduk menopang wajah dengan tangan. Sebatang rokok terjepit di sela jarinya. Sebatang rokok?; Perempuan seperti apa itu?, mungkin kau akan bertanya, tapi dengarkan saja. Di mejanya tampak dua buah gelas yang kuduga berisi kopi karena begitulah dia dahulu. Wajahnya tampak kusam dan sendu. Sesekali dia menaruh rokoknya, lantas menulis cepat-cepat di sebuah buku kecil di atas meja. Barangkali dia sedang menulis puisi, cerita, atau rangkaian kata-kata serupa itu.
Apakah dia masih mengingat puisi tentangku yang pernah dibuatnya dulu?  Hatiku mulai gemetar oleh dorongan rasa yang tak kukehendaki. Aku ingin menghampirinya. Menatap bibir hitamnya yang kubenci sekaligus kusukai. Dudukku mulai tidak nyaman, seolah ada duri menonjol di lapisan bangku. Mendekatinya terasa mengkhianatimu. Tetapi diam saja seperti menyiksa diri sendiri. Akhirnya aku berdiri. Tidak, tidak. Aku tak bermaksud mengkhianatimu. Aku hanya ingin bicara dengannya. Siapa tahu bisa tumpas seluruh jemu.
“E, e… Kau?” ekspresi terkejutnya bagimu mungkin terkesan berlebihan. Dia terbatuk dan rokoknya jatuh.
Aku duduk di seberangnya. Tersenyum kaku. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik.” Dia memasukkan ujung telunjuk kiri ke mulut, menggigit ujung kuku dua detik. “Kau… tinggal di kota ini?”
“Ehm, tidak. Aku sedang ada pertemuan di sini.” Kutunjuk lantai atas. “Kau sedang jalan-jalan?”
“Besok aku ada acara di pusat kota.”
“Tentang puisi?”
Sungguh, percakapan kami begitu tersendat-sendat, sama sekali tak seperti cerita di film-film. Aku tak tahu, apakah aku yang terlalu membuat jarak atau dia. Kami banyak mengumbar senyum basa-basi sebagaimana layaknya dua manusia dewasa yang munafik.
Apakah dia lalu mengajakku ke kamarnya, atau malah aku yang membawanya ke kamarku? Ah, tenanglah. Ceritaku masih panjang.
Dia menyibakkan rambutnya yang ikal bergelombang, menopang dagu lagi, lalu menatap mataku lekat-lekat. “Mau duduk-duduk di atas atap?”
Tentu saja aku tersentak. Duduk-duduk di atas atap? Gila, aku sudah tidak muda lagi!
“Takut jatuh sekarang?”
“Ehm, tidak, tidak. Ini hotel. Malam. Apa nanti kata orang?”
“Apa nanti kata orang? Hahaha… Itu pertanyaanmu dulu sebelum kita memanjat atap gedung rektorat universitas untuk kemudian menatap matahari tenggelam sampai lenyap dipulun gelap.”
Oh, ya. Benar! Itu dulu, waktu aku masih mahasiswa, sinting! “Oke. Baiklah.”
Dia memesan minuman kepada pelayan, memasukkan barang-barangnya ke tas-samping, kemudian menarik tanganku. Kami berlari mendaki anak tangga sampai lantai enam seperti dua kanak-kanak kurang kerjaan. Napasku ngos-ngosan. Mengertilah, aku sudah bapak-bapak, bukan? Tetapi dia tetap seperti kucing manis yang kesurupan. Meletup-letup. Tidak lelah. Tetap tertawa-tawa menyemburkan kata-kata puisi jalang.
Betapa itu yang dulu sangat kusuka dari dia. Betapa itu yang dulu menyihirku.
“Kamu terlalu rajin! Negara ini tidak akan berubah!” Dia merebut diktat kuliahku dan melemparkannya ke udara ketika aku masih sempat-sempatnya menyiapkan ujian semester di atas atap. Lembaran-lembaran itu melayang dalam angin untuk kemudian berhamburan di pelataran taman rektorat.
Itu dulu. Ribuan senja yang lalu.
“Ayolah!”
Kami menyusup keluar melalui pintu darurat. Pekat malam yang haru menyambut. Pesona lampu-lampu seperti kunang-kunang kasmaran. Bintik-bintik cahaya bintang di langit seperti titik-titik embun di kelopak mawar akhir subuh.
Aku berdiri di tengah dataran atap dengan gamang dan riang. Kukembangkan tangan. Menghirup sejuk malam. Mengusir kelesuan. Dia duduk di tubir atap, menjuntaikan kaki. Aku mengambil tempat di sampingnya. “Ayo, ceritakan tentang dirimu! Sudah berapa ratus puisi yang kautulis? Sudah berapa puluh bukumu yang terbit? Sudah berapa lelaki yang kaubuat patah hati?”
“Kau menyindirku?”
“Tidak. Aku memujimu.”
“Bukuku yang terbit baru tujuh. Dan tak ada lelaki yang kupatahkan hatinya sejak kau pergi mematahkan hatiku.”
“Astaga! Kau sudah mulai melancarkan serangan, ya!”
“Aku sungguh-sungguh. Walau kau tak mengerti puisi, tapi kau mencintai puisi. Tak ada mata yang menatapku berbinar-binar, selain kau dengan pandangan bocah lima tahun dihadiahi layang-layang itu.”
“Aku sudah beristri,” kataku datar. “Dia sedang mengandung anak ketiga kami.”
“Sudah tiga anakmu?”
“Dua gugur. Mudah-mudahan yang ini selamat.”
“Dan malam ini kau bersamaku, saat istrimu hamil…”
“Kita ‘kan tidak melakukan hal yang tidak-tidak.”
“Duduk seperti orang gila di atas atap begini?! Oh, ampuni aku!”
“Jadi kau masih belum menikah?”
“Seperti yang kukatakan dulu, aku ingin kau yang jadi suamiku.”
“Tapi aku tak bisa menikahi puisi!”
Pukul 00:04. Ah, betapa lengangnya!
Apakah kau sudah lelap dalam mimpi saat itu? Atau malah tak bisa tidur karena berhalusinasi tentang aku yang hendak meloncat dari atas atap?
“Tidak adakah satu dari beribu penyair itu yang menarik hatimu?”
“Ini bukan soal menarik atau tidak. Malah banyak dari mereka yang mampu membuatku mabuk tanpa meneguk arak.”
“Lalu kenapa tak kaurelakan satu? Lihatlah mukamu begitu muram kesepian!”
“Kau ‘kan tahu, aku ini burung pengicau yang liar, yang kubutuhkan adalah dahan rindang yang nyaman.”
Tak ada lagi yang kami lakukan selain pembicaraan yang melompat-lompat, tertawa kering, menepuk-nepuk nyamuk, meneguk minuman karbonat dalam kaleng, memeluk lutut masing-masing, bermenung, memandang ujung langit, menunggu cahaya fajar menyemburat….
Di antara hitam langit malam dan titik-titik bintang, kulihat kau melambaikan tangan. Kau mengenakan pakaian putih panjang yang kemerahan. Kemerahan? Tidak. Tidak. Itu seperti darah. Darah? Tubuhmu mengambang melayang-layang dalam ledakan cahaya merah seperti mahkota mawar pecah.
Buru-buru kuambil telepon genggam. Menekan nomormu berulang-ulang. Jawab! Jawab! Ayolah…!
“Halo! Halo!”
“…. Ada apa, Sayang? Kau tak bisa tidur?”
“Kau baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja?”
“Hei, kau dengan siapa?”
“Tidak, aku tidak dengan siapa-siapa. Anak kita baik-baik saja?”
“Istrimu baik-baik saja?”
“Psst…! Sst! Diam!”
“Kau dengan seseorang? Hei! Aku dengar suara perempuan.”
“Tidak. Aku barusan mimpi buruk. Mungkin kau mimpi buruk juga.”
“Kau dengan siapa?”
“Kau baik-baik saja, kan?”
“Ya.”
“Oke, besok pagi kutelepon lagi.”
Kubisukan telepon genggam. Subuh akan segera datang. Pikiranku pasti kacau karena begadang. Kulemparkan kaleng kosong.
“Kau seharusnya tadi tak bersuara.”
“Takut sekali kau rupanya.”
“Aku tak mau menyakiti hatinya. Pasti dia jadi risau bertanya-tanya.”
“Kita ‘kan tidak berbuat apa-apa.”
Ketika pagi akhirnya datang, kami membuang diri ke dalam lift. Wajah-wajah kami tampak berkerut-kerut di pantulan dinding berkilau.
“Segeralah kau pilih seseorang untuk melabuhkan kelelahanmu.”
“Aku menginginkanmu.”
“Pakai akal sehatlah! Aku tak akan menceraikan istriku ataupun menjadikanmu yang kedua.”
Di lantai bawah kami berpisah. Dia mencuri cium pipiku sambil berbisik memintaku datang ke acaranya. Aku mengangguk dan berjanji dalam hati untuk segera berkemas pulang. Kuaktifkan telepon genggam.
Ada banyak panggilan tak terjawab darimu, dan sebuah pesan: Demi Tuhan, apakah  berpisah satu hari dapat membuatmu tidur dengan perempuan lain?
Nah, ceritaku sudah selesai. Tak ada yang kututup-tutupi. Aku benar-benar telanjang. Sekarang, mari kubuka rantai yang membelit tubuhmu, juga saputangan yang menyumpal mulutmu. Apakah musiknya perlu diganti?
“Jahat! Jahat! Jahat…! Gila sekali kau!”
Kau melompat dari kursi lalu mencakar-cakar dadaku. Merobek-robek kemeja yang belum sempat kuganti sejak pulang dari bandara karena kau dengan cerewet terus bertanya sepanjang jalan dengan prasangka yang tajam menikam. “Apa aku ini kurang seksi sehingga kau mau jatuh ke pelukan perempuan lain? Apakah aku tak becus mengurusmu? Apa aku tak cukup perhatian, pengabdian, dan cinta untukmu? Kenapa kau sama saja dengan para lelaki bajingan?”
Tidak. Tidak. Tidak.
Kau keliru. Mungkin benar, bahwa dia adalah bara yang menggelegakkan darahku, memberi sensasi. Tapi kau adalah air yang menghapus dahagaku, membuatku akan terus hidup dan bermimpi. Walau sebagai air kadang kau menjadi gelombang yang membanting dan terkadang mengalir diam tanpa riak membuatku menggigil dalam sepi.
Padang, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...