CERPEN Dodi
Prananda
Karya Amrianis: Teater Malin Kundang
|
Apa binatang paling menarik di dunia ini? Bila mungkin
pertanyaan itu kujawab, dengan matang aku akan menjawab; kupu-kupu. Bukan
semata, karena karena aku memiliki kekasih cantik rupa bernama Kupu.
Cantik, indah dan menawan, itulah komentarku ketika setiap
bertemu kupu-kupu. Hal yang sama ternyata juga kualami ketika bertemu Kupu. Aku
mengulang komentar itu untuknya; cantik, indah dan menawan.
Aku ingat dulu, ibu sering bilang, kalau ada-ada kupu-kupu
yang masuk rumah, itu artinya akan ada tamu yang datang. Imajinasi kanakku,
membayangkan, kupu-kupu itulah yang akan berubah menjadi tamunya. Tapi,
ternyata tidak. Seringkali, apa yang ibu bilang terjadi. Ada tamu yang datang.
Tunggu! Itu akan terjadi kalau saja kupu-kupunya warna-warni, bukan berwarna
hitam. Tapi, kalau saja kupu-kupunya berwarna hitam, “Penanda kematian. Akan
ada yang mati. Kupu-kupu memberi kabar,” kata ibu. Cerita itu, tak mengurangi rasa cintaku pada
kupu-kupu. Dan, karena aku telah menamai diriku; Kekasih Kupu-Kupu.
***
Aku bertemu Kupu ketika sebuah pameran lukisan di Jakarta.
Ia malam itu sangat anggun. Datang ke sebuah pameran lukisan terbesar tahun itu
menemani ayahnya yang penggila lukisan. Aku tiba-tiba menjadi ingat. Sehari
sebelum malam pameran itu, ibu sempat bilang,” Ada seekor kupu-kupu warna-warni
masuk ke rumah kita,” katanya sambil berusaha menangkap kupu-kupu itu. Tapi,
kupu-kupu itu beranjak pergi dari rumah, melalui kaca jendela yang menganga.
Ayahnya bertanya padaku waktu itu, “Berapa harga yang harus
kubayar untuk lukisan sebagus ini?” katanya. Aku tidak berani menjawab,
maksudku, tidak berani menyebutkan harga itu di depan putrinya yang cantiknya
mungkin jauh lebih dari kupu-kupu yang ada di lukisan itu.
“Buat Tuan, tidak perlu bayar lukisan ini!” tulisku di
kertas putih.
Ia sontak agak terkaget. Jawaban yang sangat tepat kurasa baginya
malam itu, karena beberapa hari setelah itu, aku berhasil mendapatkan putrinya.
Amat jauh berharga bagiku ketimbang memberikan lukisan yang kurampungkan berhari-hari
demi dipajang di pameran akbar itu tanpa harus dihargai uang dari ayahnya.
Apalagi, ketika saat itu, aku mendengar pertama kali bahwa ternyata aku keliru
selama ini; ada ciptaan Tuhan yang ternyata jauh lebih cantik, indah dan
menawan dari kupu-kupu.
“Namaku, Kupu..,” kata dia memperkenalkan diri. Di sebuah
kafe, di suatu malam, saat aku berhasil bertemu untuk kedua kalinya dengan dia
setelah malam pameran itu. Aku rasa, Kupu sangat mengerti betapa aku tak bisa
berbicara langsung untuk menjawab salam perkenalannya. Tidak ke telinganya.
Tapi, justru ke matanya.
“Nama yang cantik,” kataku, “seperti Kupu-Kupu,” aku
membalas di atas kertas.
Dia tersenyum. Aku membalas senyumnya. Itulah, pertama kali ia
telah berhasil membuat aku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kali.
***
Semenjak mengenal Kupu, aku merasa dilecut banyak inspirasi
setiap hari. Banyak hari-hariku habis terdiam, bermenung, berhari-hari untuk
duduk di depan kursi. Di depan kanvas yang masih putih perawan. Belum ada
satupun di sana, tergores cat minyak dari kuas yang masih kuapit disela-sela
jemariku.
Suatu hari, Kupu terang bahagia, aku melukis dirinya. Ia
duduk di sela kepak sayap kupu-kupu raksasa yang sedang mengembang terbang.
“Ini kado satu tahun hubungan kita,” kataku padanya.
Ia menciumku; aku maksud bibirku, untuk pertama kali.
Mengingatkan aku bagaimana rasa bahagia seorang Rose DeWitt Bukater ketika dilukis seorang Jack Dawson difilm Titanic sehingga
ia menghadiahi daun bibir Jack dengan sebuah ciuman paling hangat di atas
geladak kapal.
Aku rasa, kalau aku tak terlalu berlebihan, Kupu perempuan
yang amat romantis. Bukan hanya karena ia perempuan yang mau masuk ke
kehidupanku lebih jauh hingga sekarang, tapi justru karena sikapnya yang
membuat aku menjadi sangat luluh. Tidak bisa menolak ajakannya berjalan ke
taman; untuk mencari kupu-kupu, menikmati senja di taman, dan menutupnya dengan
sebuah percintaan paling hangat di ruang lukisku. Ia menjadi pemantik
imajinasiku, serta merta menjadi perempuan yang telah mengubah banyak hal.
“Kau tidak bisu sayang, sungguh. Kau justru berkata dengan
sangat lebih tajam lewat lukisan-lukisanmu,” kata Kupu suatu hari.
Suatu hari. Usai aku merampungkan sebuah lukisan seorang
laki-laki dengan kemaluan bernanah dan belatung-belatung menempel di sana, dan
seorang perempuan dengan lutut tertekuk ke lantai, menjilati kemaluan itu
dengan rakus dan lapar. Di hari yang sama, ketika Ibu mendapati Bapak selingkuh
dengan gundiknya di kamar belakang. Di hari yang sama, ketika aku melihat
langsung Bapak memasukkan seorang perempuan ke kamar itu, di saat Ibu dua hari
ini tak tidur di rumah.
Aku ingin temui Bapak di kamar itu, melayangkan sebuah tinju
paling keras tepat di jidadnya. Kupu menahanku. Meredam amarah yang tidak bisa
terbendung. Dan, Kupu berhasil membendungnya.
“Biarkan Tuhan menyelesaikannya. Tuhan punya ending yang lebih bijak untuk semua ini.
Dan, bukan berarti kau lemah atas semua ini. Kau kuat, laki-laki paling kuat,
dalam kelemahanmu sekalipun,” ia membisikku kalimat itu ke telingaku.
Aku menciumnya.
Lalu, di ruang lukis, aku terus meneruskan lukisan laki-laki
itu. Kini, tepat di kepala laki-laki itu, bersarang sebuah peluru panas yang
menembus tengkorak kepalanya. Seorang perempuan lain, dari arah belakang yang
mengarahkan pistol itu ke arah laki-laki itu.
Sejenak, aku menghentikan lukisan itu. Melempar kuas. Tak
kuasa meneruskan lukisan itu. Kupu kali ini diam di tempatnya. Membiarkan aku
memandang lepas pemandangan dari jendela nako, memandangi malam yang biadab
bagi laki-laki yang dipanggilnya; Bapak.
“Hatimu tidak pernah bisu sayang. Hatimu sangat bijak
menghadapi semua ini. Aku yakin, dan bantu aku buat meyakinkanmu bahwa semua
akan baik-baik saja,” kini Kupu berkata. Ia mendekat. Memelukku dari belakang. Aku
biarkan tangannya melingkari tubuhku, dan aku menyambut pelukannya, membiarkan
airmataku jatuh di pundaknya ketika aku berbalik arah memeluknya. “Kau tidak
pernah bisu! Tak sekalipun,” ia melanjutkan sambil menatap sesuatu masuk dari
dalam jendela.
“Lihat itu….!” katanya. Aku mengikuti telunjuknya. Seekor
kupu-kupu hitam, baru saja masuk ke kamar lukisku. Seeekor kupu-kupu hitam,
tidak..tidak.. tidak seekor, dan..
“Sayang, kupu-kupu itu banyak sekali..” Kupu setengah
terkejut ketika sekawanan kupu-kupu hitam, masuk dari jendela nako yang
terbuka.
“Kalau saja kupunya berwarna hitam, itu penanda kematian!”
suara Ibu di masa kecil, membuat aku menjadi terguncang beberapa saat. Kepalaku
berdenyut begitu keras. Ada sesuatu yang membuat tubuhku menjadi tidak seimbang.
Kupu mencoba membuatku tetap sadar, tetapi tubuhku sempoyongan, dan, ambruk ke
lantai…
Gelap. Semua sekonyong-konyong menggelap. Di dalam kegelapan
itu aku melihat; seorang perempuan muda tengah menelepon seseorang, Ibu turun
dari taksi, menyorongkan kunci rumah dari luar, masuk rumah dan
memanggil-manggil Bapak, Ibu berjalan ke kamar, Ibu menuju dapur, Ibu bertemu
perempuan itu di depan kamar lukisku, Ibu menuju kamar belakang bersama
perempuan itu, perempuan itu menyerahkan sebuah pistol ke tangan Ibu, lalu
terdengar suara tembakan dari kamar belakang…
“Dooorrr!!!”
Depok, 10 April 2012
TENTANG Dodi Prananda
Dodi Prananda, lahir di Padang, 16 Oktober 1993. Sedang
studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia. Saat ini aktif sebagai Reporter FISIPERS (Lembaga Pers
Mahasiswa Sosial Politik UI).
Ia terpilih sebagai Juara II Sayembara Menulis Cerita Pendek
Tingkat Mahasiswa Se-Indonesia yang diselenggarakan UKM Bengkel Menulis dan
Sastra (Belistra), FKIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Serang, Banten)
dan termuat dalam Bulan Kebabian
(Belistra Press, 2011). Cerpennya, selain dimuat di berbagai media lokal dan
terbitan Jakarta, juga termuat dalam sejumlah antologi. Buku puisinya yang
telah terbit; Musim Mengenang Ibu (2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar