Minggu, 27 Oktober 2013

Jendela di Kamar



CERPEN Amelia Asmi

Di kamar aku melihat jendela itu terbuka. Jendela kayu bercat biru. Ada wanita di balik jendela itu. Perempuan mengenakan baju biru berkerah V. Aku tak tahu bawahan yang dikenakannya. Pasalnya tertutup tembok yang menghalang.
Rambut wanita itu dikepang dua. Di dagunya terdapat tahi lalat. Ia menatap lama ke arahku. Kadang bibirnya melengkungkan senyum. Tapi lebih sering bibirnya terkatup lalu matanya yang bergerak liar.  Jauh menatap ke kamarku. Menjelajahi setiap sudut kamar. Bila ada yang aneh, maka tawanya berderai. Aku sering salah tingkah dibuatnya.
Pagi ini tak ada kegiatan. Hari menunjukkan pukul enam pagi. Harum embun merebak di kamarku. Sebelum membuka jendela kamar aku putuskan untuk membuat secangkir teh. Aku seduh teh hangat, nikmat rasanya. Jendela kamar kubuka. Tak cukup hitungan menit, jendela biru itu pun terkuak. Wanita itu masih mengenakan baju yang kemarin. Baju kaus berkerah V warna biru. Ia melihat ke cangkir yang sedang aku pegang. Sepertinya ia ingin mencicipi teh yang kubuat. Aku tersenyum, ia balas senyumku. Lama kami saling memandang. Hingga embun kering di rumput, mentari hadir. Teh dalam gelas pun telah habis. Ia masih berdiri di balik jendelanya.

Aku letih hanya saling memandang. Lagi pun siang nanti aku ingin pergi. Aku suruh ia menutup jendela kamarnya. Aku lambaikan tangan salam perpisahan. Ia pun membalas.
*
Saat hujan turun, aku gembira. Menyaksikan setiap butiran hujan membuatku bahagia. Terlebih usai hujan, ada pelangi melengkung. Indah menghias langit.
Mendung menggantung. Jendela aku sibakkan, angin menyentuh pipiku. Jendela bercat biru juga terbuka. Wajah wanita yang memiliki tahi lalat di dagunya hadir. Ia tersenyum melambaikan tangan. Ditempatnya juga telah mendung. Aku ingin menyaksikan hujan bersama dengan wanita berbaju biru itu.  Aku dekati jendelanya, ia berucap.
“Masuklah, lihatlah hujan turun dari jendela kamarku.”
Aku patuh, aku melompat ke jendelanya. Dingin menjalar, ia tersenyum. Di sebelah ranjangnya ada sebuah meja kecil. Di atasnya terdapat secangkir teh, asap mengepul. Aku ingin meminumnya. Aku tatap wanita yang kini tegak di sampingku.
“Boleh aku meminun teh ini,” ucapku sembari menunjuk cangkir teh. Ia mengangguk.
“Aku buatkan itu untuk mu,” lanjutnya.
Menyaksikan hujan di sini berbeda dengan kamarku. Di sini terasa lebih dingin. Hujan deras tak berhenti. Aku sedu teh yang ia buat. Ia memandangku, lalu memandang hujan. Ia tengadahkan tangan menampung air hujan. Aku menirunya, lalu kami saling mencipratkan air hujan. Suasana mencair aku merasa dekat dengan wanita berbaju biru ini.
Kamarnya sama denganku. Memiliki tempat tidur, lemari baju, dan meja kecil. Bedanya ia menanam berbagai macam bunga di kamarnya. Kamarnya wangi, sedangkan kamarku apek. Kain kotor digantung di belakang pintu. Sepatu dan kaus kaki berantakan di bawah tempat tidur. Kontras sekali kamarku dengan kamarnya.
Malam akan segera datang. Hujan telah berhenti. Aku berpamitan dengannya. Sebelum aku melompat dari jendela kamarnya, ia berujar.
“Namaku, Kuntum. Kamu?”
“Zee,” balasku.
*
Hujan membuatku dekat dengan Kuntum. Setiap aku buka jendela kamar, dia juga melakukannya. Mulanya hanya saling pandang, lalu aku melompati jendelanya. Di kamarnya aku berkisah, membacakan cerita atau hanya bertukar cakap. Kuntum menyenangkan, ia pendengar yang baik.
Terkadang Kuntum yang bertandang ke kamarku. Aku membantunya masuk ke kamarku. Ia akan melompat dari jendelaku. Ia membantu merapikan kamarku. Melap debu yang bertengger di meja. Ia memintaku untuk menghias kamarku dengan bunga hidup.
“Aku akan bantu merawat bungamu,” ucapnya suatu ketika.
Kuntum bilang jika kamarku banyak bunga segar, ia akan sering bermain di kamarku. Menghabiskan hari hingga ia terlelap. Lalu aku menggendongnya, mengembalikan ia ke tempat tidurnya. Terkadang ibu curiga, mengapa setiap aku di kamar selalu berisik. Seperti aku membawa seorang teman.
Aku jelaskan pada ibu, aku baik-baik saja. Dan tak ada orang lain selain aku di kamar itu. Ibu tak yakin, namun ia tak mau berdebat denganku. Ayah dan ibu memang acuh terhadapku. Ia hanya sayang pada anak perempuannya saja. Ibu bilang aku seperti orang aneh, pria yang tak pandai bergaul. Untung ada Kuntum, ia tak pernah menganggapku demikian.
*
Kuntum masuk dalam hidupku. Aku berterimakasih kepada orang yang telah menciptakan jendela. Hingga aku dan Kuntum bertemu. Aku semakin jarang berinteraksi dengan ayah dan ibu. Hari-hari aku habiskan di dalam kamar. Aku keluar kamar bila Kuntum menyuruhku membeli bunga. Kemarin aku baru membelikan mawar untuknya. Kini di kamarku banyak bunga. Kuntum yang mengatur bunga-bunga yang ada di kamarku. Aku juga membelikan Kuntum baju, biar ia tak memakai baju birunya lagi.
Aku menaruh hati terhadap Kuntum. Kami selalu menghabiskan waktu berdua. Ntah pagi, ntah siang, ntah malam, kami menyaksikan hujan turun dan senja membias langit. Dari jendela kamar, kami berdiri bersisian. Tangan saling  mencengkram. Saat itu aku merasa bahagia, Kuntum pun demikian.
Ingin aku mengajak Kuntum pergi berlarian di atas rumput basah saat hujan turun. Namun Kuntum menolak. Ia tak ingin pergi terlampaui jauh. Cukup di kamarnya atau di kamarku.
*
Dalam otakku hanya ada Kuntum, Kuntum, dan Kuntum. Aku semakin laju membeli bunga. Ibu heran akan sikapku. Demikian juga ayah. Dulu mereka acuh terhadapku, kini malah begitu perhatian.
“Buata apa bunga untukmu, Nak? Sering Ibu lihat kau membawa bunga ke kamar. Kamu baik-baik saja?” ucap ibu cemas.
“Aku baik-baik saja. Aku suka bunga Ibu. Tak masalah bukan?” balasku.
Ibu hanya mengelus punggungku. Menatapku prihatin. Aku muak dibuatnya.
Kamar kini aku kunci. Aku tak ingin ayah atau ibu masuk ke kamarku. Aku khawatir mereka akan mepergoki aku dengan Kuntum.
*
Hujan lebat. Aku suka hujan. Kuntum suka hujan. Aku suka Kuntum. Kuntum suka bunga. Dingin, aku ingin menyeduh teh. Tapi aku malas keluar. Aku biarkan jendela kamar  terbuka. Aku ingin memandang rintik hujan. Aku lihat Kuntum juga membuka jendelanya. Menyibakkan tirai lalu menghadihaiku sebingkai senyum.
Aku menatapnya, ia menatapku. Aku ingin menyeduh teh yang ia buat. Aku ingin menikmati setipa tetes hujan bersamanya. Ingin  menjalarkan hangat tubuhku lewat genggaman tangan. Ingin berdampingan berdiri di depan jendela kamar. Aku lompati jendela kamarnya. Air huan menyentuh rambutku. Kuntum mengambil handuk lalu mengusap rambutku pelan.
“Terimakasih. Aku ingin menyeduh teh,” bisikku di samping telinganya.
Ia beri aku senyum, sebelum berlalu membuatkan aku secangkir teh.
Aku dengar bunyi gaduh di luar kamarku. Tapi aku tidak dengar jelas. Pasalnya hujan lebat. Lagi pun aku sedang di kamar Kuntum. Aku sedang menanti teh. Kuntum datang, ia membawa dua cangkir teh. Aku hembus sebentar, lalu aku minum.
Dari jendela kamar Kuntum, aku lihat pintu kamarku terbuka. Ayah dan ibu masuk ke dalam. Pantasan tadi bunyi gaduh dari luar, ternyata ayah membuka paksa pintuku. Aku lihat wajah ibu tak berona merah. Ia gemetar, aku tak tahu  sebabnya. Ntah karena jendela kamarku yang terbuka atau ibu memendam sedihnya. Ia sedih melihat kamarku yang banyak menyimpan bunga. Aku dan Kuntum menyaksikan tingkah kedua orangtuaku. Dari jendela kamar Kuntum, aku melihat ibu terduduk di atas tempat tidurku. Matanya basah oleh air mata. Ayah mencoba menghibur ibu.
Ibu memperhatikan setiap sudut kamarku. Mulanya mata ibu jatuh pada meja kecil. Di sana banyak  cangkir bekas teh. Aku rasa sudah dihinggapi semut. Lalu mata ibu menatap kearah aku dan Kuntum. Kuntum meremas tanganku. Ia takut, Aku menenagkannya.
“Ibu tak akan melihat kita,” bisikku pelan.
 Ibu lama menatap ke arah jendela Kuntum. Degup jantungku berdetak semakin laju. Ibu berujar kepada ayah.
“Semenjak lukisan ini di kamarnya, sikap Zee jadi aneh. Sering aku mendengar Zee berbicara sendiri. Ia juga suka bunga, dan anehnya menyimpan bunga di kamarnya. Akan kumusnahkan lukisan ini.”
Menahan marah ibu membawa lukisan. Lukisan yang bergambar sebuah kamar yang jendelanya terbuat dari kayu berwarna biru. Dalam lukisn itu terdapat sebuah ranjang, lemari baju, meja kecil, dan banyak tanaman bunga. Ada wanita berkepang dua yang mengenakan baju biru berdiri di depan jendela itu.
Ibu mengambil minyak tanah dan korek api. Melihat itu, Kuntum pucat.
“Apakah Ibumu akan membakar kita?” pelan  Kuntum berucap.
“Ntahlah,” jawabku.
Mulanya jendela kamar Kuntum yang disiram ibu dengan minyak tanah, lalu tempat tidur kayu, meja, dan terakhir aku dan Kuntum. Baju kami basah, bau minyak tanah sungguh tak sedap.
Ibu menghidupkan api. Api melahap seleuruh yang ada di kanvas. Kini tak ada lagi jendela kamar, Kuntum, aku, dan bunga.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...