OLEH Kurnia Warman
Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang
Pendahuluan
Walaupun belum bisa
mensejahterakan sebagian besar rakyat, kebijakan desentralisasi di Indonesia,
pasca runtuhnya orde baru 1998, betul-betul telah dirasakan dampaknya bagi kehidupan
masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Secara yuridis, otonomi daerah
terutama diawali dengan keluarnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu
bentuk kebijakan yang bersentuhan dengan kehidupan sosial di masyarakat paling
bawah (masyarakat hukum adat) adalah berkaitan dengan sistem pemerintahan desa
(village goverment). Berdasarkan UU
tersebut, bentuk pemerintahan desa yang sebelumnya diseragamkan oleh pemerintah
orde baru[1] boleh kembali dibentuk
tidak seragam yaitu berdasarkan hak asal usul dan adat istiadat masing-masing.
Pasal 1 Huruf (o) UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian dimuat juga dalam Pasal 1
Angka (12) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa desa atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Peluang inilah yang
digunakan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat (Pemda Sumbar) untuk keluar
dari sistem pemerintahan desa dan “kembali ke nagari” dengan mengeluarkan
Peraturan Daerah Propinsi No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Nagari (Perda Nagari 2000). Bagi “nagari” sebagai masyarakat hukum adat, hal
ini merupakan peluang untuk mengaktualisasikan kembali eksistensinya yang sudah
tercabik sebelumnya. Perda ini menyatukan kembali wilayah pemerintahan desa
(pemerintahan nagari) dengan wilayah kesatuan masyarakat hukum adat nagari,
sehingga memutus dualisme yang selama telah membingungkan masyarakat, yaitu
antara desa dan nagari. Kebijakan ini jelas berdampak terhadap penguasaan dan
pengelolaan sumberdaya alam di tingkat masyarakat hukum adat termasuk hutan
adat, khususnya hutan ulayat, karena sumberdaya alam tersebut merupakan harta
kekayaan nagari yang dikelola oleh pemerintah nagari (Pasal 7 Perda Nagari
2000).
Hutan adat merupakan
hutan yang berada di sekitar dan dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat
tertentu. Dalam praktik, hutan adat sering juga disebut dengan hutan ulayat.
Sebetulnya pengertian hutan adat lebih luas dari hutan ulayat, karena hutan
ulayat hanya merupakan salah satu jenis saja dari berbagai jenis hutan adat
menurut pemilikan dan penguasaannya. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK)
memberikan pengertian yang tidak tegas terhadap hutan adat. Pasal 1 Huruf f UUK
menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
Sejak awal, secara hukum kedudukan hutan adat selalu
menjadi perdebatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan. Pihak
pengusaha dan penguasa berkepentingan dengan hutan sebagai salah satu obyek
investasi yang menjadi andalan untuk mendatang devisa.[2] Bagi masyarakat hukum adat—apalagi
pada era desentralisasi—hutan merupakan “hidup mati” karena keberadaan hutan
sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka (Gunawan, 2005). Akibatnya, di
lapangan hampir selalu terjadi konflik kehutanan antara pengusaha dan/atau
penguasa dengan masyarakat hukum adat. Menurut studi yang dilakukan oleh Wulan
dkk. (2004) terbukti memang terjadinya peningkatan jumlah konflik kehutanan
sejak era reformasi. Peristiwa konflik kehutanan pada Tahun 2000 meningkat
hampir sebelas kali lipat dibandingkan dengan tahun 1997. Faktor-faktor penyebab
utama terjadinya konflik, dalam hal ini, adalah masalah tata batas/pembatasan
akses, perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini menunjukkan bahwa konflik
kehutanan yang muncul sebagian besar—hampir seluruhnya—terjadi antara
masyarakat (hukum adat) dengan pengusaha kehutanan.
Maraknya konflik kehutanan tentu dapat dipahami sebagai
akibat dari letupan keberatan masyarakat yang selama ini terbelenggu kekuasaan
otoriter. Sejak reformasi, masyarakat melihat bahwa aparat pegawal kepastian
hukum bagi pengusaha berdasarkan hukum negara berada pada posisi lemah sehingga
masyarakat berani reclaim kawasan
adat mereka. Inilah kelamahannya jika kepastian hukum bagi usaha di bidang
kehutanan hanya diberikan oleh hukum negara saja, sehingga pada saat negara
lemah maka jaminan usaha pun melemah. Konflik yang bernuansa reclaiming ini tentu tidak akan terjadi
jika hukum adat ikut memberikan jaminan kepastian kepada pengusaha. Pada saat
posisi negara melemah, sehingga tidak mampu memberikan jaminan kepada usaha
kehutanan maka hukum adatlah yang akan memberikan jaminan itu. Jadi ada sinergi
antara hukum negara dan hukum adat. Jika tidak, maka reclaiming-reclaiming tersebut “seolah” mendapat legitimasi dari
hukum adat dan sebagai wujud perlawanan terhadap hukum negara.
Kenyataan di atas sejalan dengan temuan Gunawan (2005),
bahwa ternyata desentralisasi telah menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat
adat yang tinggal di sekitar dan/atau di dalam hutan. Ada 3 persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Cerekang di Sulawesi
Selatan lokasi studinya, pasca desentralisasi yaitu terjadinya konversi
mangrove menjadi tambak, berkurangnya akses masyarakat pada hasil hutan dan
ancaman terhadap kepastian status hutan adat mereka. Kalau kondisi seperti ini
berlangsung terus menerus jelas akan mengancam kelangsungan hidup masyarakat
adat yang bersangkutan dan tentu saja akan meningkatkan angka kemiskinan di
Indonesia. Data kependudukan menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di hutan
merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia Wollenberg dkk.
(2004). Kelangsungan kehidupan kelompok masyarakat ini sangat tergantung dari
hutan. Jika akses mereka terhadap hutan dibatasi atau dilarang oleh berbagai
kepentingan usaha kehutanan maka kehidupan masyarakat jelas terancam. Oleh
karena itu, Wollenberg dkk. (2004) menyatakan bahwa keberadaan kawasan hutan
sangat penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi di
bidang kehutanan memang masih bermasalah dan tentu saja perlu segera dibenahi.
Dalam hal ini, jangan pula ditafsirkan sebaliknya bahwa ternyata desentralisasi
kehutanan semakin memperparah keadaan sehingga tidak perlu dilakukan, oleh
karena itu perlu kembali dilakukan resentralisasi bidang kehutanan. Penafsiran acontrario seperti ini tidak tepat
karena yang terjadi adalah bukan kesalahan kebijakan desentralisasi tetapi
masalahanya adalah belum semua pemerintah daerah menyambut kebijakan ini dengan
tepat. Sebagian besar daerah justru membebani hutan dengan target peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan aspek sustainabilty dan aspek kepentingan masyarakat hukum adat. Walaupun
demikian, ada juga daerah yang justru melakukan penguatan kedudukan hukum
terhadap hutan adat atau hak ulayat pada umumnya, misalnya Pemda Lebak Propinsi
Banten yang mensahkan hak ulayat suku Baduy melalui Perda No. 32 Tahun 2001
tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Perda Kampar Propinsi Riau
No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Ulayat Masyarakat Adat, Keputusan Bupati Bungo
Propinsi Jambi No. 1246 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu
Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo dan Keputusan Bupati Merangin Propinsi
Jambi No. 95 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Rimbo Penghulu Depati
Gento Rajo Desa Pulau Tengah Kecamatan Jangkat.
Di samping itu, seperti dikemukakan di atas, kebijakan
yang diambil oleh Pemda Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) juga merupakan salah
satu contoh dari respon positif daerah terhadap desentralisasi yang juga
dinilai relatif progresif. Secara keseluruhan respon Pemda Sumbar terhadap
kebijakan desentralisasi adalah diawali dengan langkah kembali ke pemerintahan
nagari. Melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Nagari (Perda Nagari 2000), yang disahkan 16 Desember 2000, Sumbar menyatakan
“selamat tinggal” terhadap sistem pemerintahan desa bentukan orde baru. Dengan
keluarnya Perda Nagari maka masyarakat hukum adat nagari di Sumatera Barat
mempunyai 2 kedudukan sekaligus yaitu baik sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat maupun sebagai pemerintahan terendah. Sebagai pemerintahan terendah yang
otonom—sebagaimana halnya pemerintah desa—nagari berhak mengatur rumah
tangganya sendiri. Oleh karena itu, untuk mendukung kemandiriannya, maka segala
aset atau harta kekayaan masyarakat hukum adat (nagari) termasuk hutan,
dikelolah oleh nagari untuk kesejahteraan rakyatnya. Tetapi, kebijakan ini tentu
tidak sinkron dengan ketentuan yang terdapat dalam UUK dan juga masih
bermasalah dengan UUPA. Oleh karena itu, pada era desentralisasi ini posisi
hutan adat sedang berada di “persimpangan jalan”.
Berkaitan dengan hal di atas, paper ini akan membahas 3
hal pokok, pertama, bagaimana
kedudukan hutan adat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
menurut UUK maupun UUPA serta peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah. Kedua, bagaimana pemerintah daerah,
khususnya Pemda Sumatera Barat, merespon ketentuan tersebut dalam pengaturan
hutan adat di daerah sehubungan dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan dan
ketiga, bagaimana pula masyarakat
hukum adat menyikapi keberadaan hutan adat khususnya dalam kehidupan bernagari
di Sumatera Barat.
Pengertian
dan Status Hukum Hutan Adat
Sebelum lebih jauh membahas kedudukan hutan adat, perlu
terlebih dipahami apa yang dimaksud dengan hutan adat. Di “persimpangan
jalannya” posisi hutan adat diawali dengan ketidakjelasan pengertian hutan adat
itu sendiri. Secara hukum, hutan adat tidak diakui oleh UUK sehingga tidak
selalu tepat kita melihat pengertian dan keberadaan hutan adat hanya dengan
berpedoman pada UUK. Perujukan terhadap UUK dalam hal ini hanya sekedar
memberikan gambaran sekaligus sebagai perbandingan dengan pengertian hutan adat
dalam hukum adat dan dalam realitas kehidupan masyarakat hukum adat. Pembagian
jenis hutan menurut UUK dapat dilakukan berdasarkan 2 hal, yaitu berdasarkan
status dan fungsinya. Untuk memahami pandangan UUK terhadap keberadaan hutan
adat, kita harus memberi perhatian kepada pembagian jenis hutan berdasarkan
statusnya. Pasal 5 Ayat (1) UUK menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya
terdiri atas hutan negara dan hutan hak, tidak ada hutan adat. Hutan negara
adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan
hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Lalu di mana letak hutan adat? Pernyataan Pasal 5 Ayat
(1) di atas disambung dengan ayat-ayat berikutnya, bahwa hutan negara dapat
berupa hutan adat atau dengan perkataan lain bahwa hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 Huruf (f).
Pernyataan yang tidak mengakui status hukum hutan adat ini diperkuat lagi
dengan Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UUK yang menyatakan hutan adat yaitu hutan
negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Pernyataan yang agak
persuasif itu hanya yang terdapat Pasal 37 UUK yang menyatakan pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Tetapi, tetap
saja pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat tersebut dianggap
sebagai hutan negara bukan sebagai hutan adat, sehingga kewajiban-kewajiban
sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara—sepanjang hasil hutan tersebut
diperdagangkan—tetap diperlakukan terhadap masyarakat yang bersangkutan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa seolah-olah negara
merupakan pemilik semua hutan dan adanya hutan adat hanya merupakan semacam
“kebaikan hati” negara terhadap masyarakat hukum adat. Hal ini jelas tidak
sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD dan UUPA. Pasal
1 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Artinya, bangsa Indonesialah yang menjadi pemilik dan sumber hak atas seluruh
sumberdaya agraria, termasuk hutan, bukan negara—apalagi hanya sebuah
departemen teknis yang namanya Departemen Kehutanan. Secara konstitusional, UUK
yang memang dibuat (hanya?) untuk kepentingan Departemen Kehutanan ini
sebetulnya juga bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (2), bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Di samping itu, UUK juga kurang memperhatikan Pasal 28 I Ayat
(3) UUD, bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional—yang merupakan
hak asasi—harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.[3]
Kembali ke status hutan, pertanyaan berikutnya adalah
siapakah yang berwenang menentukan jenis-jenis hutan tersebut. Status hutan
sebagaimana tersebut di atas dalam realisasinya ditetapkan oleh pemerintah
(pusat). Khusus terhadap hutan adat, pemerintah baru menetapkannya sepanjang
menurut kenyataan masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada (de facto) dan diakui keberadaannya (de jure). Apabila dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan
hutan adat kembali kepada pemerintah (pusat).
Latar belakang atau dasar pemikiran dari ketentuan di
atas dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UUK sebagai berikut. Untuk mengantisipasi
perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di
Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah
hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat
hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya.
Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam
pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan
mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat
melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan
hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas
tanah menurut ketentuan UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.
Bagian lain dari isi UUK yang terkait juga dengan sikap
pembuat UU terhadap kedudukan hutan adat dan masyarakat hukum adat adalah
ketentuan yang terdapat pada Bab X tentang Peran Serta Masyarakat, khususnya
Pasal 68 Ayat (3) dan (4). Pasal ini menyatakan, bahwa masyarakat di dalam dan
di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan
hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas
tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, Penjelasan
Pasal 68 Ayat (3) menyatakan bahwa perubahan status atau fungsi hutan dapat
berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan
kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka. Agar perubahan
status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah
bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk
mengupayakan kompensasi yang
memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam
usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.
Bila dicermati secara mendalam, tindakan seperti di atas sebetulnya
sama dengan tindakan pencabutan hak atas tanah seperti yang diatur UU No. 20
Tahun 1961 serta peraturan terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum. Sebagaimana diketahui bahwa pencabutan hak atas tanah hanya
dilakukan untuk kepentingan umum tidak boleh dilakukan untuk kepentingan
sepihak saja apalagi semata-mata untuk mendapatkan keuntungan. Pernyataan Pasal
68 dan Penjelasan di atas (penulis: khususnya
yang digarisbawahi) tidak memenuhi syarat untuk bisa dilakukannya
pencabutan hak atas kerana bukan untuk kepentingan umum. Pencabutan hak atas
tanah wajib dilakukan dengan pembayaran ganti kerugian, tidak bisa hanya dengan
sekedar kompensasi saja (Pasal 18 UUPA). Jadi ketentuan ini betul-betul
bertentang dengan Hukum Agraria Nasional, khususnya UUPA dan UU No. 20 Tahun
1961 serta peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan.
Pernyataan ini semakin memperkuat bukti bahwa pemerintah tidak mempunyai
itikad baik terhadap hutan adat dan masyarakat hukum adat.
Hutan Adat, Hutan
Ulayat dan Masyarakat Hukum Adat
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa di samping tidak
mengakui status hukum hutan adat, UUK juga menganggap bahwa hutan adat sama
dengan hutan ulayat. Jika asumsi seperti ini diterapkan di lapangan maka jelas
akan sangat bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di masyarakat, termasuk
bertentangan dengan UUPA padahal UUK menyatakan bahwa UUPA dijadikan sebagai
pedoman untuk menentukan status hutan. Menurut UUPA, hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hukum
adat. Oleh karena itu, untuk menjelaskan apa itu hutan adat perlu dilihat dalam
hukum adat secara umum.
Hukum adat tidak membedakan atau tidak memisahkan dengan
tegas pengaturan antara tanah dan hutan, oleh karena itu jenis hak atas
tanahnya juga menentukan status hutan yang ada di atasnya. Berkaitan dengan hak
atas tanah, hukum adat tidak hanya mengenal hak ulayat (tanah ulayat) tetapi
juga mengenal hak-hak milik baik yang bersifat invidual maupun komunal (Sudiyat, 1981). Menurut UUPA, hak-hak
milik adat tersebut diakui sebagai hak milik, cuma saja jika pemegang haknya
ingin mendapatkan sertipikat maka yang bersangkutan harus mengajukan konversi
hak bersamaan dengan proses pendaftaran tanah. Jadi negara tidak memberikan hak
kepada yang bersangkutan karena hak miliknya sudah ada yaitu sebagaimana
ditentukan oleh hukum adat. Karena hutan berada di atas tanah maka—sekali lagi
tegaskan—status tanah menentukan status hutan dan berdasarkan hal itu menurut
hukum adat status hutan terdiri atas:
- Hutan milik (milik adat) yaitu hutan yang berada di atas tanah milik adat. Hutan adat jenis ini dapat pula dibagi menjadi 2 bagian yaitu hutan milik perseorangan dan hutan milik komunal (hutan suku/hutan kaum).[4]
- Hutan ulayat yaitu hutan yang tidak dimiliki baik oleh individual maupun kelompok tertentu dalam suatu masyarakat hukum adat seperti suku dan kaum. Hutan ulayat merupakan hutan yang dikelola oleh suatu masyarakat hukum adat untuk kepentingan bersama (kepentingan umum) atau oleh dan bagi seluruh anggota persekutuannya. Hutan inilah yang dikenal dengan ulayat nagari (hutan nagari) di Sumatera Barat dan hutan adat jenis ini sajalah yang dikenal oleh UUK sebagai hutan adat.
Agaknya sulit
dibantah bahwa pandangan UUK terhadap hutan adat tidak sinkron dengan ketentuan
yang berlaku dalam UUPA dan hukum adat itu sendiri. Oleh karena itu, wajar
terdapat perbedaan jawaban tentang apa itu hutan adat antara UUK dengan UUPA
dan hukum adat.
Bila dihubungkan dengan pengaturan hak ulayat dalam UUPA
dan peraturan pelaksanaannya—walaupun juga masih mendapat banyak kritikan[5]—maka kita dapat memahami
bahwa kedudukan hutan adat, khususnya hutan ulayat, tidak dapat dipisahkan dari
hak ulayat. Kecuali itu, kita juga dapat memahami bahwa tidak semua hutan adat
sama dengan hutan ulayat. Sebagaimana diketahui bahwa pengaturan hak ulayat
dalam UUPA, secara eksplisit, terdapat dalam Pasal 3. Pasal ini menyatakan
bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Bahar (2005: 56-57) memberikan kritikan atau keberatan
yang menarik terhadap isi Pasal 3 UUPA ini. Menurut Bahar ketentuan ini
mempunyai 2 kelemahan yaitu kelamahan logika dan kelamahan politik. Dari segi
logika tidak mungkin suatu masyarakat hukum adat yang dibangun berdasarkan
genalogis dan teritorial bida menjadi tidak ada, kecuali kalau musnah oleh
bencana alam yang sangat dahsat atau terjadinya genocide. Dari segi politik, pernyataan “sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu a priori yang mengandung kecurigaan dari
pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini menunjukkan
seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan,
kenegaraan dan kebangsaan. Bukankah pemenuhan kepentingan masyarakat hukum adat
itu merupakan bagian upaya pemenuhan kepentingan nasional? Terlepas dari
persoalan di atas, pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan suatu
hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada
sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (Sumardjono,
2001: 54). Walaupun demikian, bagi Hartono (1978: 47-48) keberadaan hak ulayat
tersebut memang harus dilihat juga dalam hubungannya dengan negara. Jika hak ulayat
merupakan hak masyarakat hukum adat, maka adalah wajar pula setelah masyarakat
hukum adat secara tegas, baik melalui Sumpah Pemuda 1928 maupun Proklamasi
Kemerdekaan dan UUD 1945, menyatakan tekad untuk membentuk ikatan kebangsaan
dan kenegaraan sebagai Bangsa dan Negara Republik Indonesia, bahwa hak ulayat
itu diteruskan oleh Republik Indonesia. Mungkin, Hartono ingin menyatakan bahwa
sejak terbentuknya negara maka keberadaan hak ulayat harus dibingkai dalam
kehidupan bernegara, sehingga tidak bebas sebebasnya seperti sebelum
bernegara.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah dari manakah asal
istilah hak ulayat sebagaimana disebutkan UUPA? Walaupun semua memahami bahwa
istilah hak ulayat berasal dari Bahasa Minangkabau, termasuk Van Vollenhoven
(1926: 19), namun UUPA tidak pernah menyebutkan hal itu. Di samping itu, dalam
UUPA sendiri, walaupun telah mengakui pelaksaan hak ulayat masyarakat hukum
adat, kita tidak menemukan pengertian dari hak ulayat di dalamnya. Dalam hal
ini, Penjelasan Pasal 3 UUPA setidaknya dapat menuntun kita untuk menggali apa
yang dimaksud dengan hak ulayat oleh UUPA. Benar adanya bahwa hak ulayat yang
dimaksud dalam Pasal 3 UUPA itu bukanlah persis seperti hak ulayat yang dikenal
dalam masyarakat hukum adat di Minangkabau. Penjelasan Pasal 3 UUPA menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu"
ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut beschikkingsrecht. Kedengarannya
agak aneh memang, istilah hak ulayat yang lahir dari “rahim” masyarakat hukum
adat kita sendiri, pengertiannya malah mengacu kepada istilah Belanda yang
datang kemudian sebagai penjajah di nusantara ini. Apa boleh buat, secara
akademis ternyata memang pakar-pakar hukum dari Belanda lebih tertarik untuk
meneliti, mendalami dan menulis tentang hukum adat kita sendiri, bahkan
memperjuangkannya sebagai bidang studi hukum tersendiri, yang di dalamnya
terdapat pula uraian tentang hak ulayat (Warman, 2004).
Kalau ditelusuri kepustakaan hukum adat, istilah beschikkingsrecht pertama
kali dipakai oleh Van Vollenhoven
(1926) dalam bukunya Miskenningen
Van Het Adatsrech. Pernyataan ini juga didukung oleh Soesangobeng (2000:
127-129), sebagaimana halnya juga dikemukakan oleh Burns (2004: 14-15), bahwa
istilah beschikkingsrecht diintroduksi
pertama kali oleh Van Vollenhoven pada 1909 dalam kuliahnya yang kedua di
Leiden. Walaupun Van Vollenhoven
menyebutnya beschikkingsrecht over den grond (atas tanah), namun dari
ciri-ciri yang dikemukakan, ternyata beschikkingsrecht tidak hanya meliputi
tanah tetapi juga sumberdaya alam lainnya, seperti hutan, air, pasir dan
sumberdaya alam lainnya yang terkait dengan tanah yang bersangkutan. Van Vollenhoven pun tidak pula—mungkin
belum mampu—memberikan pengertian yang tegas terhadap hak ulayat, dia hanya memberikan ciri-ciri beschikkingsrecht
(dalam Mahadi, 1991: 67) sebagai berikut.
- Hanya warga persekutuan hukum itu sendirilah yang berhak bebas mempergunakan tanah/hutan (exploit any virgin lands) di wilayah kekuasaannya untuk kepentingan keluarga. Kalau digunakan juga untuk dijual maka yang bersangkutan harus membayar iuran (penulis: Hukum Adat Minangkabau menyebutnya dengan bungo (Navis, 1986: 152)). Mereka boleh membuka tanah untuk pertanian (clearing it for agriculture), untuk mendirikan kampung (founding a village) dan mengambil hasil hutan (gathering forest produce).
- Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan, yang harus membayar recognitie dan/atau retributie kepada persekutuan hukum yang bersangkutan.
- Persekutuan hukum tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands.
- Persekutuan bertanggung jawab dalam hal terjadi unaccountable delict within the area.
- Hak ulayat tidak dapat dialihkan selama-lamanya (can not be permanently alinated).
Pakar Hukum Adat Indonesia kemudian menerjemahkan beschikkingsrecht dengan bermacam-macam istilah. Iman Sudiyat (1981: 2‑3) menyebut hak ulayat sama
dengan istilah dari Djojodigoeno yaitu hak purba, sedangkan Soepomo menyebutnya
dengan hak patuanan. Menurutnya, hak purba itu adalah hak yang
dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam),
sebuah serikat desa‑desa (dorpenbond)
atau biasanya oleh sebuah desa saja, untuk menguasai seluruh tanah seisinya
dalam wilayahnya.
Secara etimologi, istilah hak ulayat memang masih mengandung
perdebatan. Hak ulayat awalnya memang hanya dan lebih populer di masyarakat
adat Minangkabau (Sumatera Barat). Pada daerah lain di Indonesia, masyarakat
menyebutnya dengan berbagai istilah dan konteks berbeda, baik sebagai milik—patuanan (Ambon)—maupun sebagai daerah
penghasil makanan—panyampeto
(Kalimantan)—ataupun sebagai lapangan yang terpagar—pawatasan (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian
(Bali), atau sebagai tanah terlarang buat orang lain—tatabuan (Bolaang Mangondow). Selanjutnya juga ada istilah torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), nuru
(Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau) (Ter Haar, 1981: 85). Menurut Ter Haar, hak masyarakat atas tanah itu dalam lukisan kuno
disebut dengan hak eigendom (eigendomsrecht) dan hak yasan komunal (communal bezitsrecht). Hak terakhir ini
menimbulkan jalinan‑jalinan yang ruwet, maka Van Vollenhoven menamakan hak
komunal itu dengan beschikkingsrecht
(hak pertuanan), yang akhirnya menjadi istilah teknis (Ter Haar, 1981: 71‑72). Tetapi,
sekarang—mungkin karena pengaruh UUPA—istilah hak ulayat sudah dipakai oleh sebagian
besar—mungkin seluruh—masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Indonesia.
Biasanya, istilah itu dipakai dalam memperjuangkan atau menuntut hak mereka
terhadap pihak-pihak yang “merampas”
tanah dan sumberdaya alam yang dikuasai oleh masyarakat. Jadi pada
dasarnya penyebutan hak ulayat pada masing-masing daerah di Indonesia terdapat
perbedaan. Oleh karena itu, UUPA tidak
hanya menyebutkan hak ulayat tetapi ditambah dengan “hak-hak serupa
lainnya”.
Selama lebih dari 39 tahun sejak dikeluarkannya UUPA
tidak satu pun peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk menegaskan
apa sebetulnya pengertian hak ulayat. Mengapa hal ini terjadi? Apakah kebijakan
untuk tidak mengatur hak ulayat ini merupakan suatu kesengajaan dan apakah
motif yang terdapat di belakang semua ini? Banyak pihak menyatakan bahwa hal
ini mungkin merupakan suatu kesengajaan karena ada yang berpendapat bahwa
keberadaan hak ulayat itu tidak perlu diatur karena perlahan-lahan keberadaannya
akan lenyap dengan sendirinya, misalnya Harsono (2003).
Dalam hal inilah kelahiran Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut
Permenag No. 5 Tahun 1999), dengan plus minusnya, merupakan suatu angin segar
bagi hak ulayat. Pertama, Permenag
No. 5 Tahun 1999 ini semakin mempertegas pengakuan hukum negara terhadap
eksistensi hak ulayat. Hal ini dapat dilihat pada bagian awal Permenag ini
yaitu Konsideran Menimbang Huruf (a) dan (b) yang menyatakan bahwa hukum tanah
nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 3 UUPA. Pernyataan ini diperkuat dengan
pernyataan berikutnya, bahwa pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat
tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan
dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya.
Kedua, secara
yuridis, Permenag inilah yang pertama kali menyebutkan pengertian hak ulayat.
Menurut Pasal 1 Angka (1) Permenag No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hak
ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang
dimaksud dengan tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Tampaknya, pengertian hak
ulayat ini tetap merupakan akumulasi dari ciri-ciri beschikkingsrecht
yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven yang dikemukakan di atas.
Ketiga, di samping
memberikan penguatan pengakuan dan pengertian hak ulayat, Permenag No. 9 Tahun
1999 juga mengemukakan kriteria untuk menentukan masih adanya hak ulayat yaitu:
a. terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, yaitu
adanya masyarakat hukum adat sebagai subyek hak ulayat.
b. Masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
atau pun atas dasar keturunan (Pasal 1 Angka 3);
c. terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;
d. terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Ketiga persyaratan minimal untuk adanya hak sebagaimana
tersebut di atas sesuai dengan dan merupakan ajaran umum yang berlaku secara
universal. Keberadaan suatu “hak” harus dibangun oleh unsur-unsurnya, yaitu
minimal adanya subyek hak, adanya obyek hak dan adanya aturan yang mengatur
hubungan hukum antara subyek dengan obyek hak tersebut (Martin, 1993: 45-50). Walaupun
demikian, tetap timbul pertanyaan kritis, apakah layak dan patut kita mengukur
keberadaan hak ulayat dengan kriteria tersebut terhadap masyarakat hukum adat
yang sudah lebih dari 20 tahun mendapat tekanan dan penghancuran dari UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa?
Lalu, siapa yang memagang otoritas untuk mengukur dan
menyatakan masih ada atau tidaknya hak ulayat? Permenag No. 5 Tahun 1999 sudah
menegaskan bahwa lembaga yang berwenang menentukan keberadaan hak ulayat adalah
pemerintah daerah (Pemda) kabupaten melalui peraturan daerah.
Kalau kita bandingkan kriteria adanya hak ulayat dengan
kriteria atau syarat masih adanya hutan adat menurut UUK sebetulnya ada
kemiripan yaitu sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Perbedaannya adalah
bahwa UUK lebih mengutamakan pada masih adanya masyarakat hukum adat yang
menguasai hutan adat tersebut bukan pada ulayatnya (hutan ulayat). Pasal 4 Ayat
(3) UUK menyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Pernyataan
ini menunjukkan bahwa UUK bukanlah bermaksud mengakui adanya hutan adat
melalinkan hanya sekedar memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adatnya.
Oleh karena itu, sekali lagi dikemukakan, Pasal 5 Ayat (3) UUK menyatakan hutan
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Siapakah yang menentukan masih
ada dan pengakuan dari manakah yang diperlukan untuk menyatakan masih adanya
masyarakat hukum adat itu? Seperti telah disinggung di atas, bahwa pemerintahlah
(pusat) lah yang berwenang untuk hal itu.
Pengaturan mengenai masyarakat hukum adat (bukan hutan
adat) terdapat pada Pasal 67 UUK. Ayat (1) pasal ini menyatakan, bahwa masyarakat
hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada itu berhak:
a.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b.
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum
adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
c.
mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Berkaitan dengan keberadaan dan kriteria untuk menyatakan
masih adanya hutan adat sekarang, menarik untuk disimak hasil penelitian Kaisti (2003) tentang hutan
adat di Sulawesi Selatan pada era desentralisasi. Kaisti menyatakan bahwa
sampai sekarang adat ternyata masih digunakan sebagai kunci untuk menentukan
bagaimana sumberdaya hutan dialokasikan kepada masyarakat. Menurut Kaisti, ada
tiga indikator untuk mengakui hutan adat (customary
forests) yaitu tradisi (struktur institusional dan legislasi adat),
teritori (batas-batas klaim area) dan waktu (sejarah dari masyarakat di
lokasi). Secara esensial, tampaknya hasil studi Kaisti ini masih mempunyai
kemiripan dengan kriteria adanya hak ulayat menurut Permenag No. 5 Tahun 1999.
Kemudian, sejalan dengan Permenag No. 5 Tahun 1999, Pasal
67 Ayat (2) menyatakan, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum
adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah
(Perda).[6] Kedua ketentuan ini sebetulnya
bisa disinergikan (digabungkan) dengan satu Perda saja yaitu Perda tentang
pengakuan keberadaan hak ulayat di daerah karena pengakuan terhadap hak ulayat
termasuk di dalamnya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai salah
satu kriteria dari masih adanya hak ulayat. Persoalan yang mungkin timbul
adalah apakah Departemen Kehutanan bersedia dengan mekanisme ini untuk ditempuh?
Pertanyaan ini muncul karena Pasal 67 Ayat (3) UUK justru kurang sinkron dengan
pernyataan Ayat (2) bahwa ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), padahal sudah jelas
Ayat (2) pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan Perda. Pertanyaan berikutnya juga muncul, PP ini mengatur tentang
masyarakat hukum adat atau mengatur tentang hutan adatnya? Jelas terlihat
adanya kontradiksi di antara ketentuan-ketentuan dalam UUK itu sendiri tentang
masyarakat hukum adat dan hutan adat.
Berkaitan dengan ini tentu menarik disimak mengenai adanya
rencana Dapartemen Kehutanan untuk membuat peraturan pemerintah (PP) tentang
hutan adat. Menurut hemat penulis, agak aneh memang kedengarannya bahwa
pemerintah akan membuat PP hutan adat karena hutan adat itu sendiri tidak
diakui statusnya di dalam UUK dan Pasal 67 Ayat (3) hanya memberikan mandat
untuk membuat PP tentang masyarakat hukum adat bukan hutan adat. Pantas saja
Sumardjono (1999) telah mengemukakan beberapa masukan dan kritik sehubungan
dengan adanya upaya penggantian UU Kehutanan yang lama yaitu UU No. 5 Tahun
1967—yang menghasilkan UU No. 41 Tahun 1999 (UUK). Sumardjono menyatakan,
adalah suatu kejanggalan jika UUK mengatur tentang Masyarakat Hukum Adat sementara
UUK sendiri—waktu itu masih Rancangan UUK—menyangkal kebaraan hutan adat. Menurut Sumardjono, pengaturan masyarakat
hukum adat berada di luar ruang lingkup UUK, karena pengakuan terhadap
keberadaan masyarakat hukum adat utamanya berkaitan dengan penguasaan tanahnya,
termasuk sumberdaya alam yang berada dalam wilayahnya. Oleh karena itu, jika
UUK akan mengatur tentang masyarakat hukum adat harus menyebut secara eksplisit
hutan adat di samping hutan negara dan hutan milik. Dengan demikian, Sumardjono
mengemukakan pengertian masing-masing hutan tersebut, hutan negara adalah
kawasan hutan yang berada di atas tanah negara atau tanah yang tidak dilekati
dengan suatu hak; hutan milik adalah kawasan hutan yang berada di atas tanah
yang dilekati dengan hak milik atau hak guna usaha; hutan adat adalah kawasan
hutan yang berada di atas tanah masyarakat hukum adat.
Dalam konteks inilah perlu juga kita membahas keberadaan
Surat Menteri Kehutanan (Menhut) No. S.75/Menhut-II/2004, 12 Maret 2004,
Perihal: Surat Edaran Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti rugi
oleh Masyarakat Hukum Adat. Pertama,
Surat Menhut ini hanya semacam edaran kepada gubernur dan bupati/walikota yang
isinya mengingatkan kepala daerah akan isi dari UUK berkaitan dengan persoalan masyarakat
hukum adat. Surat Menteri ini menimbulkan kesan bahwa selama ini gubernur dan
bupati/walikota tidak atau kurang memperhatikan isi dari UUK berkaitan dengan
kewenangan Pemda dalam penanganan masyarakat hukum adat yang tinggal di sekitar
dan dalam hutan. Oleh karena itu, tetap timbul keraguan apakah gubernur dan
bupati/walikota akan menjalankan apa yang diperintahkan oleh Menhut, apalagi
baik secara politik maupun secara personal rezim yang berkuasa sudah berubah
dan menterinya juga sudah diganti.
Kedua, Surat
Menhut ini khusus ditujukan terhadap daerah-daerah yang menghadapi konflik di
bidang kehutanan yaitu konflik antara masyarakat hukum adat yang menuntut
kompensasi/ganti rugi terhadap pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) atau izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Jika tidak ada tuntutan dari masyarakat
hukum adat maka tentu surat ini tidak berarti apa-apa. Di samping itu, Surat
Menhut ini juga sudah berprasangka buruk terhadap masyarakat hukum adat bahwa
yang dituntut selalu dan hanya kompensasi/ganti rugi. Bagaimana kalau
masyarakat bukan menuntut kompensasi tetapi menolak HPH/IUPHHK? Jadi ruang
lingkup pemecahan masalah yang diinstrusikan oleh Surat Menhut ini masih
sempit. Butir 2 Huruf (a) Surat Menhut ini menyatakan, apabila di wilayah
Saudara (gubernur dan bupati/walikota) terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum
adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan HPH/IUPHHK,
maka terhadap permohonan atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan
penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang ada di daerah yang
bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan
aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah permohonan yang
bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian
tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat
sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 67 UUK.
Ketiga, apakah
setelah penelitian selesai dan hasil menyatakan bahwa masyarakat hukum adat ada
lalu sudah dapat ditetapkan status hutan adatnya? Jawabannya adalah belum
karena masih melalui proses sangat panjang dan mungkin saja konflik yang
terjadi sudah semakin parah. Hasil penelitian itu harus terlebih dahulu
ditetapkan dengan Perda Propinsi, lalu Perda itu disampaikan kepada Menhut
untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Jangan puas hati
dahulu, karena Menhut bisa saja menerima atau menolaknya. Jika Menhut menolak,
coba bayangkan sudah berapa banyak habis tenaga, waktu dan dana untuk melakukan
rangkaian sebelumnya. Jangan dikira untuk menjadikan hasil penelitian jadi Perda Propinsi
merupakan suatu pekerjaan mudah dan bisa cepat. Menurut hemat penulis, Surat
Menhut ini juga masih mengandung banyak persoalan pada tingkat praktis.
Kembali kepada persoalan bagaimana menentukan masih
adanya masyarakat hukum adat. Jika Permenag No. 5 Tahun 1999 menentukan
kriteria tentang masih adanya hak ulayat seperti dikemukakan di atas maka UUK—karena
perhatiannya lebih tertuju kepada masyarakat hukum adat—menentukan kriteria
masih adanya masyarakat hukum adat. Penjelasan Pasal 67 Ayat (1) UUK menyatakan
bahwa masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a.
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b.
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.
ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan
adat, yang masih ditaati;
e.
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Berkaitan dengan
ini, Permenag No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan kriteria masih adanya
masyarakat hukum adat tetapi memberikan pengertian juridis, bahwa masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Dalam literatur hukum adat, sebetulnya kita juga
bisa menemukan unsur-unsur yang membangun adanya suatu masyarakat hukum adat
misalnya Ter Haar yang menyebutnya dengan rechtsgemeenschappen
seperti yang dikutip Mahadi (1991: 60):
- adanya sejumlah orang tertentu bertindak, semua merasa terikat, semua mendapat rugi/untung;
- adanya keteraturan, orang-orang tertentu atau golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan (penulis: ada pemimpin);
- adanya harta benda bersama seperti tanah, air , tanaman, tempat peribadatan dan gedung-gedung lain; semua ikut memelihara harta benda, menjaga kebersihan fisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya; semua warga boleh menikmati harta benda, orang luar tidak boleh;
- tidak ada terlintas di pikiran warga untuk membubarkannya.
Untuk kondisi Sumatera Barat segala persyaratan di atas
mungkin relatif masih relevan. Kalau kita perhatikan kondisi sosial dan tanah
ulayat di Sumatera Barat dengan mempertimbangkan kriteria tersebut di atas,
maka tidak diragukan lagi bahwa tidak sulit bagi orang Minangkabau untuk
membuktikan kriteria hak ulayat dan unsur-unsur masyarakat hukum adat tersebut.
Apalagi sekarang dengan kembali ke sistem pemerintahan nagari, semakin terbuka
kesempatan bagi masyarakat atau anak nagari untuk menjaga eksistensi tanah
ulayat mereka. Pernyataan ini juga didukung oleh beberapa hasil penelitian
terkait dengan sumberdaya alam di Sumatera Barat, antara lain misalnya yang
relatif baru antara lain Sjahmunir (2001), Biezeveld (2002), dan Benda-Beckmann
(2004). Hasil penelitian yang ditulis oleh Sjahmunir (2001) merupakan hasil
penelitian tim yang khusus dibentuk oleh Gubernur Sumatera Barat untuk
persiapan pembuatan Ranperda Tanah Ulayat.
Hutan Adat
dan Kebijakan Kembali ke Nagari
Sebagaimana
diketahui bahwa sejak berlakunya Perda Nagari 2000[7] maka seluruh Kabupaten di
Sumatera Barat kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai sekarang telah menerapkan
sistem pemerintahan nagari. Kebijakan ini secara tidak langsung juga berdampak
terhadap keberadaan hutan adat karena hutan adat terdapat dalam wilayah
nagari-nagari. Penguasaan dan pemilikan terhadap hutan-hutan adat tersebut berkaitan
erat dengan struktur sosial masyarakat di nagari. Oleh karena itu, tulisan ini
merasa perlu mengemukakan struktur kehidupan masyarakat hukum adat nagari di
Sumatera Barat.
Hukum adat
Minangkabau telah menentukan syarat untuk adanya suatu nagari yang terdapat dalam “Undang‑undang Nagari”,
seperti yang dikutip oleh Navis (1984: 91‑94) dan Nasroen (1971: 136). Undang‑undang
Nagari dapat dikatakan sebagai hukum tata negaranya nagari, yang ruang lingkup berlakunya sebatas lingkungan nagari yang
berstatus otonom. Dalam hal ini terdapat 8 syarat yang harus dipenuhi dalam
membetuk suatu nagari sebagai berikut.
1.
Babalai bamusajik (mempunyai balai dan masjid),
maksudnya adalah mempunyai balai
(balairung) tempat roda pemerintahan nagari dilaksanakan, baik bidang
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Anggotanya terdiri atas seluruh
penghulu dalam nagari. Nagari juga
harus mempunyai masjid sebagai tempat peribadatan seluruh anak nagari.
2.
Basuku banagari (mempunyai suku mempunyai negeri), maksudnya setiap penduduk nagari terbagi ke
dalam kelompok masyarakat yang bernama suku (clan), minimal harus ada
empat suku.[8]
Banagari maksudnya, setiap penduduk
harus jelas asal‑usulnya, baik suku maupun nagarinya, sehingga dapat diketahui
warga ressetlement atau pendatang
yang hendak menetap. Penentuan asal‑usul ini sangat penting artinya bagi
nagari, terutama dalam penentuan hak dan kewajibannya sebagai penduduk nagari
tersebut.
3.
Bakorong bakampuang (mempunyai tempat/wilayah dan kampung),
maksudnya setiap nagari harus mempunyai wilayah kediaman, baik lingkaran pusat
dengan batas‑batas tertentu secara alamiah maupun lingkaran sebagai
perkampungan sebagai satelit (hinterland).
4.
Bahuma babendang (berhuma berbendang), maksudnya
adanya pengaturan keamanan terhadap gangguan yang datang dari luar serta
pengaturan informasi resmi tentang berbagai hal, seperti musim turun ke sawah, gotong
royong dan lain‑lain.
5.
Balabuah batapian (mempunyai labuh dan tepian),
maksdunya mempunyai pengaturan perhubungan lalu lintas dan perdagangan.
6.
Basawah baladang (mempunyai sawah dan ladang), maksudnya pengaturan
sistem usaha pertanian serta harta benda yang menjadi sumber kehidupan dan
hukum pewarisan.
7.
Bahalaman bapemedanan (mempunyai halaman
dan medan/gelanggang) adalah berupa pengaturan rukun tetangga, pesta
perkawinan dan permainan.
8.
Bapandam bapusaro (mempunyai tempat pemakaman),
artinya tempat pemakaman serta pengaturan acara penyelenggaraan anak nagari
yang meninggal dunia.
Dari uraian di atas
tergambarlah bahwa suatu nagari di
Minangkabau terdiri atas kelompok masyarakat yang mempunyai daerah dengan batas‑batas
tertentu, berpemerintahan atau pemimpin serta mempunyai harta kekayaan
tersendiri, lengkap dengan pengaturannya. Dengan perkataan lain, bahwa nagari
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang dibangun atas dasar genealogis
dan teritorial. Secara horizontal, teritorial nagari terbagi atau tersebar
dikuasai oleh kelompok-kelompok genealogis yaitu suku, kaum, perut/jurai dan
keluarga. Jadi secara bertingkat dapat dikemukakan bahwa suatu nagari terdiri
atas beberapa suku, suatu suku terdiri atas beberapa kaum, suatu kaum terdiri
atas beberapa perut/jurai dan suatu jurai terdiri atas beberapa keluarga.
Secara sederhana struktur sosial masyarakat hukum adat yang membangun tegaknya
suatu nagari dapat di gambarkan sebagai berikut:
Struktur Sosial Masyarakat Hukum Adat Nagari
di Sumatera Barat
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa masing-masing
kelompok yang membangun tatanan kehidupan bernagari juga menempati dan
menguasai teritori atau bidang-bidang tanah dan kawasan, termasuk hutan, yang
kesemuanya disebut tanah adat karena pengaturannya tunduk kepada hukum adat.
Orang Minangkabau menyebut hubungan hukum antara orang atau kelompok
orang—sebagai subyek hukum—dan tanah dengan istilah ulayat. Oleh karena itu,
sesuai dengan struktur sosial kehidupan masyarakat yang digambarkan di atas
maka masing-masingnya mempunyai ulayat, mulai dari ulayat nagari, ulayat suku,
ulayat kaum sampai kepada ulayat perseorangan (keluarga). Jika di atas ulayat
masing-masing itu terdapat hutan maka itulah yang disebut dengan hutan ulayat.
Tunggu dulu, apakah semua jenis ulayat yang disebutkan di atas sesuai atau
cocok dengan pengertian ulayat sebagaimana dikemukakan oleh UUPA? Jawabannya
adalah tidak cocok, sebab kalau ya maka tidak seorang pun orang Minangkabau
yang tinggal di nagari mempunyai hak milik walaupun tanah itu merupakan tanah individual
yang didapatkannya memalui jual beli. Dalam hal ini, penelitian Warman (1998:
51-54) menunjukkan bahwa yang sesuai dengan pengertian ulayat sebagaimana
dimaksud UUPA hanya ulayat nagari. Untuk ulayat suku, kaum, dan keluarga
bukanlah merupakan suatu hak ulayat tetapi sebagai tanah milik adat, baik yang
bersifat komunal maupun pribadi.
Sebagaimana halnya juga masyarakat hukum adat lainnya,
nagari-nagari di Sumatera Barat juga memosisikan hutan sebagai salah satu harta
kekayaan nagari yang harus dikelola untuk kesejahteraan anak nagari. Hutan
merupakan salah satu sumberdaya ekonomi dan sosial yang harus di pertahankan
atau dijaga keberadaannya. Hal ini mendapat dukungan dari Perda Nagari 2000
yang menyatakan bahwa hutan merupakan salah satu harta kekayaannya nagari sebagai
bagian dari ulayat masyarakat hukum adat nagari. Pasal 7 Perda Nagari 2000
menyatakan bahwa harta kekayaan nagari meliputi:
a. pasar nagari;
b. tanah lapang
atau tempat rekreasi nagari;
c. balai, masjid
dan atau surau nagari;
d. tanah,
hutan, batang air, tebat, dan laut yang menjadi ulayat nagari;
e. bangunan
yang dibuat oleh penduduk/perantau untuk kepentingan umum;
f.
harta benda dan kekayaan lainnya.
Jadi, hutan ulayat diposisikan sebagai salah satu kekayaan
nagari yang tujuan pengelolaannya tentu saja sebagai sumber ekonomi bagi
pemerintahan nagari. Pasal 8 Ayat (1) Perda Nagari 2000 menyatakan bahwa hasil
dari harta kekayaan nagari merupakan salah satu sumber pendapatan asli nagari.
Bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan ulayat nagari itu
agar bisa memberikan manfaat bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat nagari?
Pasal 10 Perda Nagari 2000 menyatakan, bahwa pedoman pengelolaan dan
pemanfaatan ulayat nagari diatur tersendiri dengan Peraturan Daerah Propinsi. Upaya
untuk melahirkan Perda Ulayat ini sudah dilakukan oleh Pemda Sumatera Barat
segera setelah Perda Nagari disahkan, tetapi sampai sekarang masih belum
terwujud. Banyak hal yang menyebabkan mengapa Perda Ulayat itu belum berhasil
disahkan sebagaimana mulusnya pengesahan Perda Nagari 2000, baik segi proses
lahirnya maupun muatan atau esensinya. Hal ini terungkap, salah satunya, pada
acara diskusi publik (hearing) yang
diadakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Sumbar dalam
rangka pembahasan Rancangan Perda (Ranperda) Tanah Ulayat, 8 April 2003. Dari
segi proses, pembuatan Ranperda ini dianggap dirumuskan secara sepihak oleh
Pemda, sedangkan dari segi esensi Rancangan Perda ini dirasa tidak memberikan
perlindungan kepada ulayat masyarakat hukum adat
Terlepas dari masalah dikemukakan di atas, sebetulnya ada
persoalan yang paling prinsip berkaitan Ranperda Tanah Ulayat ini dari aspek hukum
pembentukan perundang-undangan. Ternyata ruang lingkup muatan Ranperda ini “terjepit”
di antara beberapa UU yang berlaku antara lain, UU Pemerintahan Daerah sendiri,
UUPA dan UU sektoral yang mengatur sumberdaya alam (UUK, UU Pertambangan, UU
Pengelolaan Sumberdaya Air dan lain-lain). Jadi posisi Ranperda Tanah Ulayat
ini juga berada di “persimpangan jalan”, karena itu ia sangat rentan dengan
persoalan insinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Warman dan Rachmadi, 2005: 65-66).
Pengelolaan
Hutan menurut Hukum Adat Minangkabau
Dicantumnya
hutan sebagai salah satu bentuk ulayat dalam Perda Nagari 2000 merupakan
implementasi dari nilai-nilai hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan. Fatwa
adat sebagai suatu sumber hukum adat menyatakan bahwa ruang lingkup ulayat
sebagai berikut (misalnya Nasroen, 1971: 180):
Sekalian nego utan tanah (seluruh bagian
hutan tanah)
Baikpun jirek nan sabatang (baikpun pohon
jarak yang sebatang)
Baikpun rumpuik nan sakaki (baikpun rumput
yang sehelai)
Baiknyo batu nan saincek (baik batu yang sebutir)
Ka bawah sampai takasiak bulan (ke bawah sampai
ketemu pasir “bulan”)
Ka atehnyo sampai mambumbuang jantan (ke atas
sampai menjulang tinggi)
Pangkat panghulu punyo ulayat (merupakan ulayat
penghulu).
Jadi menurut hukum adat, semua yang ada di hutan ulayat mereka, termasuk
semua kayu, merupakan kepunyaan bersama masyarakatnya di bawah pimpinan
penghulu di nagari.
Dalam bentuk-bentuk pemanfaatannya, hutan dapat pula
dibedakan menjadi beberapa golongan yang menunjukkan betapa pentingnya
keberadaan hutan bagi masyarakat hukum adat nagari (Nasroen, 1971: 180-181):
1. Hutan lepas
(hutan lapeh), yang disebut juga dengan rimbo
tuo (rimba tua), rimbo gadang (rimba
besar), rimbo rajo (rimba raja), rimbo dalam (rimba dalam), rimbo laweh (rimba luas), rimbo lapeh (rimba lepas), rimbo ana (rimba sunyi), rimbo piatu (rimba piatu). Hutan jenis ini merupakan tempat
persiapan mengingat perkembangan jumlah penduduk nagari. Di sinilah nanti akan
didirikan sawah ladang yang baru, taratak, dusun dan nagari.
2. Hutan atau
tanah yang telah dibuka oleh masyarakat tetapi ditinggalkan lagi sehingga
kembali dikuasai oleh nagari.
3. Hutan atau
tanah yang telah diusahakan secara terus-menerus oleh masyarakat nagari.
Walaupun hukum adat mengenal berbagai jenis hutan
sebagaimana disebutkan di atas namun pemanfaatan hutan pada prinsipnya hanya
digunakan untuk keperluan keluarga bukan untuk dikomersialkan. Kearifan ini
sebetulnya menyiratkan bahwa tindakan untuk menjadikan hutan, terutama kayu,
sebagai komoditas ekonomi semata merupakan tindakan yang tidak populer atau
tidak direstui oleh hukum adat (Warman dkk., 2002: 2). Oleh karena itu, jika anggota
masyarakat hukum adat tersebut mengambil kayu dan hasil hutan lainnya untuk
komersial, maka di samping harus melapor dan minta izin ke nagari, mereka juga
harus memenuhi kewajiban untuk membayar iuran (bungo).
Dalam Hutan Adat Minangkabau dikenal ketentuan, ka hutan babungo kayu (ke hutan berbunga
kayu), ka sungai babungo pasie (ke
sungai babungo pasir), ka lauik babungo
karang (ke laut berbunga karang) dan ka
sawah babungo ampiang (ke sawah berbunga emping). Di samping sebagai sumber
pendapatan nagari, kebijakan ini juga merupakan salah satu upaya preventif agar
hutan tidak begitu saja dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
hidup sekarang tetapi juga harus dapat mendukung kehidupan generasi mendatang (sustainable forest management). Oleh
karena itu harus ada upaya untuk
mencegah kerusakan sumberdaya hutan secara besar-besaran sejak dini.
Dalam hukum adat (Minangkabau) kita mengenal beberapa
bentuk iyuran (bungo) terkait dengan
komersialisasi ulayat termasuk hutan (Navis, 1984: 152).
1. Bungo kayu (bunga kayu), pajak hasil kayu yang
diperniagakan yang besarnya 10%.
2. Bungo aleh (bunga alas), pajak hasil hutan
lainnya, seperti damar, rotan, dan lain-lain yang diperdagangkan sebasar 10%.
3. Bungo ampiang (bunga emping), pajak hasil
penggarapan sawah dan ladang yang besarnya 10%.
4. Bungo tanah (bunga tanah), pajak hasil tambang
sebesar 10%.
Urian di atas menunjukkan bahwa hukum adat Minangkabau
mempunyai aturan yang konkrit dalam mengatur pengelolaan hutan bagi
masyarakatnya. Pada saat masyarakat hukum adat nagari sekarang juga menjadi
pemerintahan terendah yaitu pemerintahan nagari maka sebagian nilai-nilai
tersebut diangkat dan dijadikan peraturan yang mengatur pemerintahan nagari itu
sendiri.
Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat di Nagari
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Perda Nagari 2000
dan nilai-nilai yang berlaku dalam hukum adat sebagaimana dikemukakan di atas,
menjadi modal dasar bagi nagari dalam melahirkan kebijakan pengelolaan hutan
adat. Beberapa nagari di Sumatera Barat sudah mencoba untuk membuat kebijakan
tentang pengelolaan harta kekayaan nagari, termasuk hutan (ulayat).
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh nagari lebih terfokus hanya pada
hutan ulayat nagari yaitu hutan adat yang cocok dengan pengertian hutan ulayat
seperti yang dimaksud UUK dan UUPA. Hutan adat yang termasuk hutan milik
komunal (milik adat) tidak secara langsung mendapatkan dampak dari kabijakan
kembali ke pemerintahan nagari. Hal ini dapat kita maklumi bahwa sebagai hutan
milik adat, keberadaan hutan kaum dan suku tidak tergantung pada pemerintahan
nagari—yang berlaku justru sebaliknya nagarilah yang tergantung dengan suku dan
kaum—karena pemilikan dan penguasaannya
sudah jelas. Walaupun demikian, dalam uraian ini nanti juga akan disinggung
sedikit tentang bagaimana pengelolaan hutan milik adat ini sebagai pembahasan
tambahan yang membuktikan bahwa hutan adat tidak semuanya merupakan hutan
ulayat tetapi juga ada hutan milik adat.
Kebijakan pengelolaan hutan adat di Nagari Simarasok
Kabupaten Agam dikemukakan sebagai kasus pertama dalam melihat kedudukan hutan
adat pada era desentralisasi di Sumatera Barat, khususnya pada tingkat nagari.
Nagari Simarasok terletak di Kecamatan Baso yang berlokasi tidak jauh dari
pinggir Jalan Raya Bukittinggi-Payakumbuh. Nagari ini relatif mudah dijangkau
dengan kendaraan bermotor karena dilalui oleh jalan penghubung yang relatif bagus,
apalagi setiap hari sekarang sudah ada mobil angkutan pedesaan yang melayani
masyarakat untuk pergi ke dan dari Kota Bukittinggi. Berkaitan dengan kedudukan
hutan adat, kita dapat melihat salah satu kebijakan yang diambil oleh nagari
ini, yaitu dikeluarkannya Peraturan Nagari Simarasok No. 1 Tahun 2002 tentang
Teritorial dan Ulayat Nagari Simarasok (selanjutnya disebut Perna Teritorial
dan Ulayat Simarasok). Perna ini disahkan tanggal 20 April 2002, satu tahun
setelah Kabupaten Agam menerapkan sistem pemerintahan nagari dengan
diberlakukannya Perda Agam No. 31 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.
Perna Teritorial dan Ulayat Simarasok ini tidak secara
eksplisit menyebutkan kedudukan hutan adat, karena yang diatur di dalamnya
memang bukan khusus tentang hutan adat. Perna ini memberikan ketegasan tentang
wilayah dan batas-batas wilayat nagarinya dan identifikasi ulayat sebagai harta
kekayaan nagari. Jadi isi dari perna ini adalah semacam klaim dari Nagari
Simarasok terhadap wilayah kedaulatannya dan jika dicermati materinya maka
terlihat bahwa hal ini merupakan suatu kebijakan yang progresif. Kalaulah semua
nagari di Sumatera Barat melakukan hal yang sama maka seluruh wilayah propinsi
ini, terutama di daerah kabupaten, akan terbagi habis menjadi teritorial dan
ulayat-ulayat nagari. Akibatnya, betul apa yang dikatakan beberapa pakar hukum
adat bahwa di Sumatera Barat tidak ada hutan negara sebab semua hutan, di luar
hutan milik komunal, merupakan hutan ulayat nagari sebagai salah satu harta
kekayaan nagari.
Berkaitan dengan kedudukan hutan adat, terdapat beberapa
hal menarik yang dapat disimpulkan dari isi Perna Teritorial dan Ulayat Nagari
Simarasok ini:
1.
Jenis hak atas tanah, termasuk tentunya menentukan status
hutan, menurut hukum adat di Nagari
Simarasok terdiri atas: hak pribadi, hak wakaf, hak ulayat kaum, dan hak ulayat
nagari (Konsideran Menimbang Angka 1). Jadi penentuan status kepemilikan suatu
areal tidak ditentukan berdasarkan apa yang tumbuh di atas tanah tetapi
berdasarkan siapa yang memiliki dan/atau menguasai tanahnya. Setidak-tidaknya,
hal ini membuktikan bahwa hutan adat—hutan yang diatur dengan hukum adat—tidak
hanya merupakan hutan ulayat tetapi juga bisa berupa hutan milik adat.
2.
Teritorial nagari ditetapkan berdasarkan penguasaan anak
nagari terhadap tanah menurut jenis hak atas tanah disebutkan di atas
(Konsideran Menimbang Angka 1). Berdasarkan hal ini maka wilayah hutan yang
dijadikan sebagai kegiatan perladangan bagi anak nagari, baik yang berupa taratak[9]
maupun dusun,[10] merupakan salah satu
indikator dalam menentukan wilayah nagari (Konsideran Menimbang Angka 2). Di
samping berdasarkan fakta-fakta yang disebutkan di atas, penentuan wilayah
nagari seperti itu juga diperkuat dengan landasan historis.[11] Salah satu catatan
sejarah yang dipakai sebagai dasar dalam hal ini adalah sejarah yang bersumber
dari salah seorang tokoh adat yaitu Latif Datuk Panduko Sati yang menjadi penghulu sejak sebelum tahun
1900 M (Konsideran Menimbang Angka 2).
3.
Penentuan wilayah teritorial nagari juga ditentukan
berdasarkan pengakuan dari nagari tetangga, bahwa sampai saat perna tersebut
disahkan sampai sekarang (2005) tidak satu pun dari pihak luar Nagari Simarasok
yang keberatan dengan kegiatan perladangan anak Nagari Simarasok (Konsideran
Menimbang Angka 3 dan Pasal Angka 7).[12] Walaupun tidak ada
kesepakatan khusus yang dilakukan bersama dengan nagari-nagari tetangga, namun
sampai saat ini tidak protes dari mereka.[13] Teritorial Simarasok
ialah wilayah permukaan bumi sampai teritorial wilayah nagari tetangga sekitar
Simarasok (Pasal 1 Angka 6). Sekali lagi, ketentuan seperti ini mengakibatkan
tidak adanya wilayah yang tak bertuan (res
nullius) yang tersisa di antara batas-batas nagari. Dengan kata lain tidak
ada tanah negara atau hutan negara di antara wilayah nagari-nagari di Sumatera
Barat.
4.
Terdapatnya klaim bahwa seluruh kekayaan alam yang berada
di atas atau di bawah permukaan bumi di wilayah nagari merupakan ulayat nagari.
Dalah hal ini, ulayat Nagari Simarasok ialah semua permukaan tanah yang bukan
milik pribadi, bukan ulayat kaum dan bukan tanah wakaf, semua sungai, banda
(selokan) dan banda buatan serta semua yang berada di bawah muka bumi dalam
teritorial Nagari Simarasok (Pasal 4
Angka 1). Secara rinci Pasal 4 Angka 2 menyatakan, sungai dan anak sungai
dan banda yang termasuk Ulayat Nagari Simarasok ialah sungai Batang Agam, Banda
Jabua, Banda Anak Air, Banda Jambak, Banda buatan (irigasi) dan banda lainnya
yang terletak dalam teritorial Nagari Simarasok. Begitu juga dengan semua yang
di bawah muka bumi teritorial Nagari Simarasok termasuk ulayat Nagari Simarasok
di antaranya ialah Guo (Gua) nan Panjang Simarasok, batuan, mineral atau tanah
atau lainnya di bawah teritorial Nagari Simarasok dengan batas vertikal pada
batas-batas teritorial Nagari Simarasok (Pasal 4 Angka 3).
Kalau kita perhatikan isi dari perna ini tampaknya nagari
betul-betul merupakan sebuah “negara kecil” yang otonom dan seakan-akan
terlepas dari Negara Kesatuan RI. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah asumsi
seperti ini benar dan apa latar belakang nagari membuat peraturan seperti ini? Gejalah
ini dapat dijelaskan dengan, pertama,
bahwa lahirnya perna yang isinya seperti di atas tidak lain disebabkan karena
kuatnya dampak kebijakan desentralisasi pasca orde baru. Semangat
desentralisasi itu tidak hanya dirasakan oleh daerah propinsi dan
kabupaten/kota tetapi juga sampai ke tingkat paling bawah yaitu nagari (desa). Kedua, adanya dorongan yang kuat dari
masyarakat hukum adat nagari untuk merevitalisasi nilai-nilai hukum adat mereka
dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam di wilayah persekutuannya. Hal ini
dapat dilihat, bahwa begitu ada kesempatan seperti sekarang ini, langsung
secara spontan masyarakat hukum adat nagari menghidupkan kembali hukum adatnya.
Ketiga, secara hukum mereka juga
berada di jalan yang benar karena hal itu mendapat pembenaran dari Perda Nagari
2000 seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tanah, hutan, sungai dan
lain-lain adalah ulayat yang merupakan harta kekayan nagari. Perda Nagari
sendiri juga mendapat landasan yuridis dari UU No. 22 Tahun 1999, UU
pemerintahan daerah yang berlaku saat itu.
Lantas, timbul pertanyaan tentang bagaimana posisi
UUK—tentu termasuk UU Pertambangan dan lain-lain—dalam hal ini? Hal inilah yang
menjadi persoalan hukum dalam melihat kedudukan hutan adat. Kalau kita telusuri
kembali Perda Nagari 2000 maka kita akan maklum mengapa isi Perda Nagari itu
demikian adanya sehingga juga mempengaruhi perna. Lihatlah Konsideran Mengingat
dari Perda Nagari 2000 tersebut, di dalamnya tidak tercantum UUK, UU
Pertambangan dan lain-lain itu, bahkan UUPA sekali pun tidak masuk hitungan. Jadi
seolah-olah UUK dan UU Pertambangan termasuk UUPA jalannya terhenti sampai di
tingkat propinsi. Dalam kondisi seperti ini bagaimana mungkin kita mengukur
kedudukan hutan adat di Sumatera Barat berdasarkan UUK, yang memang juga tidak
mengakui hutan adat.
Kembali ke Nagari Simarasok, bagaimana pelaksanaan Perna
Teritorial dan Ulayat itu, apakah bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya? Tentu
belum terlalu valid kita melihat
pelaksanaan suatu aturan yang begitu luas ruang lingkupnya dalam masa pelaksanaan
yang relatif masih singkat (kurang lebih 3 tahun). Berdasarkan studi lapangan
sampai sejauh ini tampaknya perna tersebut masih berjalan dengan baik, kecuali
satu hal yaitu berkaitan dengan pengelolaan salah satu ulayat nagari yaitu
sarang walet alam yang terdapat di Guo Panjang Nagari Nagari Simarasok. Sebagaimana
diketahui bahwa sarang walet merupakan salah satu jenis hasil hutan non kayu,
oleh karena itu tentu pengelolaannya harus mengacu kepada UUK. Berdasarkan
studi ini terlihat bahwa dalam kasus sarang walet di Nagari Simarasok, baik
hukum negara maupun hukum adat, sama-sama tidak berlaku. Hukum yang berlaku
adalah hukum yang dibuat sendiri oleh kelompok-kelompok pengelola Guo Panjang
tersebut atas dukungan oknum aparat keamanan setempat.[14]
Kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Nagari
Simarasok berkaitan dengan hutan adat adalah khusus mengenai hutan ulayat
nagari saja, tidak mengatur bagaimana dengan kedudukan dan pengelolaan hutan
adat yang dimiliki oleh suku dan/atau kaum di dalam teritortialnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan kembali ke nagari tidak secara langsung berdampak
terhadap kedudukan hutan milik adat yang terdapat di nagari-nagari, karena
memang kedudukan dan pengelolaannya sudah jelas, sepenuhnya merupakan milik
bersama dari suku/atau kaum yang bersangkutan. Keterlibatan pemerintahan nagari
dalam hal ini sangat terbatas, yaitu dalam hal terjadinya peralihan pemilikan
atas hutan adat tersebut maka harus diketahui oleh pemerintah nagari dan
kerapatan adat nagari (KAN).[15]
Kasus kedua yang akan dikemukakan dalam hal ini adalah
kedudukan dan pengelolaan hutan adat di Kotomalintang Nagari Duokoto Kecamatan
Tanjungraya yang juga dalam wilayah Kabupaten Agam. Nagari Duokoto memang
terdiri atas 2 koto, yaitu Kotomalintang dan Kotogadang, yang saat studi ini
dilakukan tegah berlangsung upaya pemisahan terhadap keduanya sehingga akan
menjadi 2 nagari.[16] Terlepas dari gejala
sosial yang terjadi di lokasi ini, terkait dengan kedudukan hutan adat dan
pengelolaannya, terdapat kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat
hukum adat khususnya di Kotomalintang yaitu apa yang dikenal dengan parak.
Nagari Duokoto terletak di daerah kemiringan di pinggir
Danau Maninjau yang berjarak lebih kurang 25 km dari Lubuk Basung, Ibukota
Kabupaten Agam. Hampir sama dengan Nagari Simarasok, yang disinggung di atas,
Nagari Duokoto ini juga relatif mudah dijangkau dari Ibukota Kabupaten karena
di samping jalannya sudah baik juga setiap hari sudah ada mobil angkutan
pedesaan yang beroperasi di daerah ini.
Kedudukan dan pengelolaan hutan adat yang disebut dengan parak di lokasi ini berbeda dengan hutan
adat di Nagari Simarasok di atas. Kedudukan parak
di Nagari Duokoto ini terutama di Kotomalintang tidak terlalu terpengaruh oleh
kebijakan kembali ke nagari. Sampai saat penelitian ini dilakukan belum satu
pun peraturan nagari (perna) yang dikeluarkan berkaitan dengan pengelolaan
ulayat apalagi khusus hutan adat. Kondisi ini dapat dipahami karena memang
nagari ini sedang menghadapi upaya pemisahan menjadi 2 nagari, sehingga
perhatian untuk mengeluarkan perna tidak terfokus. Oleh karena itu, untuk
melihat kedudukan dan pengelolaan hutan adat di nagari ini kita tidak bisa
mengandalkan perna, tetapi harus melihat kenyataan yang ada di lapangan.
Parak merupakan
sebutan untuk hutan adat yang ditumbuhi oleh tanaman buah-buahan baik yang
sengaja ditanam oleh pemiliknya maupun yang tumbuh secara alamiah di lokasi.
Untuk sebutan parak pada
nagari-nagari lain di Sumatera Barat biasa dikenal juga dengan ladang atau palak. Tanaman buah yang
mendominasi tumbuh di parak adalah durian, sehingga jika musim durian datang
maka nagari ini menjadi perkampungan durian yang tentu saja sangat menarik
untuk dikunjungi oleh para penggemar durian.[17] Secara topografis, parak merupakan daerah penyangga (buffer zone) antara hutan lindung dengan
daerah perkampungan dan persawahan. Jadi kearifan lokal masyarakat hukum adat
setempat memahami betul bahwa parak
berfungsi untuk menjaga ketersediaan air untuk keperluan mereka baik untuk
kebutuhan sehari-hari maupun untuk mengairi sawah-sawah mereka. Dalam skala
yang lebih luas tentu saja keberadaan parak
sangat penting bagi tersedianya sumber air bagi Danau Maninjau, yang sekarang
sudah banyak dibebani oleh keperluan komersial terutama untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau.
Kembali kepada kedudukan hukum parak sebagai hutan adat. Secara hukum, parak bukanlah merupakan ulayat nagari karena tidak dikelola oleh
nagari. Parak adalah hutan adat yang
berstatus hutan milik suku dan/atau kaum yang pengelolaannya berada sepenuhnya
di bawah penguasaan suku dan/atau kaum yang bersangkutan. Dalam praktik
pengelolaannya memang terdapat kearifan-kearifan tradisional yang menggambarkan
solidaritas sosial di antara anggota masyarakat yang berasal dari berbagai
suku, tetapi hal itu tidak mempengaruhi bahwa status parak-parak tersebut adalah sebagai tanah hutan milik masing-masing
suku dan/atau kaum yang ada di masyarakat hukum adat setempat. Bila ditinjau
dari UUK maka status hutan adat seperti parak ini tidak terakomodasi dalamnya,
karena ia bukanlah hutan ulayat seperti dimaksud oleh UUK.
Lalu, bagaimana dengan hutan ulayat nagari yang terdapat
di Nagari Duokoto ini? Secara formal, sampai saat studi ini belum ada perna
yang mengatur tentang ulayat dan teritorial nagarinya seperti di Simarasok.
Oleh karena itu tentu saja ketentuan hukum adat tentang tanah dan hutan,
seperti telah dikemukakan di atas, akan dijadikan sebagai pedoman untuk melihat
kedudukan hutan ulayat nagari. Secara umum dapat dikatakan bahwa seluruh hutan
yang terdapat di nagari, selain hutan milik pribadi dan hutan milik adat,
merupakan hutan ulayat nagari. Seperti telah disinggung di atas, menurut Perda
Nagari 2000, hutan ulayat nagari tersebut merupakan salah satu harta kekayaan
nagari yakni sebagai sumber pendapatan asli nagari.
Selain parak,
Nagari Duokoto juga mempunyai hutan yang tidak dikuasai atau dimiliki oleh kelompok
suku/kaum atau anggota masyarakat hukum adat, walaupun tetap ada yang melakukan
pemungutan hasil hutan non kayu. Hutan jenis ini terdapat di luar dan
berbatasan dengan parak yang
berfungsi dan dijaga oleh masyarakat sebagai hutan lindung. Masyarakat setempat
menyebut hutan lindung ini dengan nama hutan rintih.[18] Menurut informasi, baik
dari masyarakat maupun dari Walinagari, hutan rintih merupakan hutan lindung yang lokasi dan batas-batasnya
disepakati antara masyarakat hukum adat nagari dengan Pemerintah Hindia Belanda
dahulu. Sebagai bukti, bahwa sampai sekarang masih dapat ditemui patok atau
tanda batas hutan lindung dengan parak-parak
masyarakat. Berbeda dengan di Nagari Simarasok, pada umumnya masyarakat Nagari
Duokoto menyebut dan mengakui bahwa hutan rintih
itu merupakan hutan negara atau hutan lindung. Penulis mengamati dan memahami
bahwa masyarakat cenderung menyamakan hutan lindung dengan hutan negara karena
memang fakta menunjukkan bahwa hutan lindung itu dilindungi oleh aparat negara.
Menurut penulis, asumsi seperti ini harus diluruskan. Hutan lindung merupakan
jenis hutan berdasarkan fungsinya, sedangkan hutan negara adalah jenis hutan
menurut statusnya. Jadi bisa saja hutan lindung berada di atas hutan yang bukan
hutan negara, misalnya hutan hak. Jika anggapan yang memahami bahwa hutan
lindung adalah hutan negara saja, masyarakat tentu merasa tidak ikut
bertanggung melindungi hutan tersebut karena bukan hutan adat mereka.
Sebagai contoh kasus ketiga atau yang terakhir untuk
melihat kedudukan hutan adat di Sumatera Barat pada era desentralisasi ini
adalah Nagari Sungai Kamuyang Kecamatan Luak Kabupaten 50 Kota. Secara
geografis dan sosial ekonomi, lokasi Nagari Sungai Kamuyang hampir sama kondisi
2 nagari sebelumnya. Nagari Sungai Kamuyang terletak tidak jauh dari Kota
Payakumbuh, Ibukota Kabupaten 50 Kota. Wilayah nagari ini juga dapat diakses
relatif mudah dari Kota Payakumbuh karena ada angkutan pedesaan yang beroperasi
setiap saat melewati nagari ini. Tidak ada yang terlalu istimewah dari nagari
ini jika kita lihat sepintas lalu, tetapi jika kita masuk menelusuri seluruh
wilayahnya yang berada diketinggian karena memang di daerah kaki Gunung
Sago—salah satu gunung sangat terkenal di Sumatera Barat—maka kita akan
berdecak kagum pada keindahan alam nagari ini. Apalagi pada cuaca cerah, kita
bisa melihat pemandangan yang luar biasa ke arah Kota Payakumbuh jika kita
berdiri di atas salah satu lokasi tanah dan hutan ulayat nagari yang terletak
di Dusun Sibaladung. Hampir semua sisi Kota Payakumbuh bisa disaksikan dari
nagari ini, sehingga kita merasa seakan-akan memandang Kota dari udara. Di
samping itu, nagari ini juga mempunyai sumberdaya air yang cukup banyak
sehingga menjadi salah satu nagari pemasok air untuk Perusahan Daerah Air Minum
setempat.
Di balik keindahan Nagari Sungai Kamuyang terdapat
kebijakan pemanfaatan tanah ulayat yang telah dikukuhkan dalam suatu peraturan
nagari (perna), yaitu Perna Sungai Kamuyang No. 1 Tahun 2003 tentang
Pemanfaatan Tanah Ulayat Nagari (selanjutnya disebut Perna Tanah Ulayat Sungai
Kamuyang). Beberapa hal yang dapat dicatat dari perna ini antara lain sebagai
berikut:
1. Sebetulnya
Perna Ulayat ini tidak mengetur mengenai hutan adat yang ada di nagari, karena
memang tujuan utama dari perna ini hanya untuk mengatur pemanfaatan tanah
ulayat nagari yang langsung ditunjuk secara eksplisit oleh perna. Tetapi, jika
kita menyimak isi perna ini dengan teliti sambil mengadakan penafsiran
(interpretasi) maka kita menemukan bagaimana pandangan nagari ini terhadap
status hutan yang ada di wilayah nagarinya. Pertama dalam Pasal 5 yang isinya
mengatur tentang penunjukkan tanah-tanah ulayat nagari Sungai Kamuyang. Ada
tiga wilayah yang diklaim sebagai tanah ulayat nagari Sungai Kamuyang sekaligus
dengan menentukan batas-batasnya. Dari ketiga lokasi tanah ulayat nagari
tersebut yang terkait dengan kedudukan hutan dalam wilayah Nagari Sungai
Kamuyang adalah lokasi kedua dari 3 lokasi yang dinyatakan dalam Pasal 5 Huruf
b Perna Tanah Ulayat. Secara lengkap Pasal 5 Huruf b menyatakan, bahwa salah
satu tanah ulayat nagari dalam hal ini adalah tanah yang dikuasai penuh oleh
nagari yang terletak di Selatan Sibaladung dan Madang Kadok yang berbatas
sebelah Timur dengan Batang Punago, sebelah Barat dengan Nagari Tanjung Haro,
Sikabu-kabu di Polongan Tangah Lurah Lubuak, serta sebelah Selatan dengan jalan
boswessent (penulis: hutan lindung).
2. Selanjutnya,
Pasal 12 Ayat (1) Perna Ulayat ini juga menunjukkan hal yang sama, bahwa
tanaman keras dapat ditanam pada lahan kritis, batas tanah nagari dengan tanah
ulayat kaum/suku (penulis: tanah
milik adat kaum/suku), batas tanah ulayat nagari dengan hutan lindung serta
batas antar nagari yang ditanam oleh pemerintah nagari.
3. Setidak-tidaknya
dari dua pernyataan yang terdapat dalam Perna Ulayat Nagari yang dikemukakan di
atas dapat ditafsirkan dan diketahui tentang bagaimana pendangan Nagari Sungai
Kamuyang terhadap kedudukan hutan, khususnya hutan lindung, yang ada di
wilayahnya. Dengan tegasnya penunjukkan batas tanah ulayat nagari dengan hutan
lindung maka dapat disimpulkan bahwa hutan lindung bukanlah merupakan ulayat
nagari Sungai Kamuyang. Pandangan seperti hampir sama dengan pandangan masyarakat
di Nagari Duokoto yaitu cenderung beranggapan bahwa hutan lindung sama dengan
hutan negara.[19]
Kesamaan pandangan dari kedua nagari ini bisa dimaklumi karena keduanya belum
membuat perna tentang teritorial nagari masing-masing.
4. Hampir sama
dengan pandangan Nagari Simarasok, Nagari Sungai Kamuyang menganggap tanah
ulayat nagari sebagai salah satu aset yang dimiliki oleh nagari. Dalam memahami
hal ini, pembuat perna menyatakan bahwa tanah ulayat nagari adalah berstatus
sebagai tanah milik nagari (Pasal 2 Perna Tanah Ulayat). Secara hukum,
pernyataan ini bertentang dengan UUPA karena menurut UUPA nagari tidak bisa
memiliki tanah seperti orang atau warga negara Indonesai dan badan hukum
tertentu (Pasal 21 Ayat (1) dan (2) UUPA).
5. Perna ini
juga menguatkan berlakunya kembali hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya
alam, terutama dalam pemanfaatan tanah, yaitu berkaitan dengan pemberlakuan bungo (iuran). Pasal 15 Ayat (1) Perna
Ulayat Nagari ini menyatakan bahwa setiap orang yang memanfaatkan tanah ulayat
nagari wajib membayar bungo tanah
kepada negari. Bungo tanah adalah
istilah lain dari sewa tanah berupa iuran yang dipungut pemerintah nagari atas
pemanfaatan tanah ulayat nagari oleh anak nagari atau badan usaha. Hasil dari
iyuran ini digunakan untuk pembangunan nagari dan kesejahteraan anak nagari
(Pasal 1 Huruf j Perna Ulayat Nagari).
6. Tujuan utama
dari Perna ini adalah untuk memberikan kejelasan status tanah ulayat nagari
yang selama ini belum jelas, terutama yang berada si Dusun Sibaladung, karena
tanah tersebut berasal dari reclaiming
masyarakat terhadap hak guna usaha dari suatu perusahaan peternakan yang pernah
beroperasi di nagari ini.[20]
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian di atas, terkait dengan kedudukan
hutan adat pada era desentralisasi dapat disimpulkan bahwa adanya
ketidakjelasan status hutan adat di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa hutan adat betul-betul sedang berada di “persimpangan jalan”. Kesimpulan
ini dapat dilihat setidak-tidaknya dari 3 hal:
- Ketidakjelasan status hutan adat disebabkan adanya insinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hutan adat. Secara yuridis, status hutan adat tidak diakui oleh UUK, sementara itu UUPA—walaupun menyatakan hukum adat sebagai hukum positif atas sumberdaya agraria—juga terlihat masih mendua dan tidak tegas. Pada sisi lain, UU Pemerintahan Daerah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi Pemda sampai kepada pemerintahan desa (pemerintahan nagari di Sumatera Barat) untuk mengklaim bahwa hutan adat merupakan hak ulayat. Hal ini menimbulkan kebimbangan bagi kita tentang dasar hukum yang mana yang akan dirujuk dalam menentukan kedudukan hutan adat. Oleh karena itu, penemuan hukum oleh hakim menjadi sangat penting jika terjadi sengketa tentang hutan adat.
- Terdapat perbedaan mendasar antara UUK dengan UUPA dan/atau hukum adat dalam memberikan pengertian terhadap hutan adat. UUK berpendapat bahwa hutan adat sama dengan hutan ulayat, tetapi UUPA dan hukum adat melihat bahwa hutan ulayat hanya merupakan salah satu bentuk dari hutan adat, karena masih ada hutan milik adat baik bersifat pribadi maupun yang bersifat komunal (hutan suku dan/atau hutan kaum). UUK menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat, jika pernyataan ini juga diterapkan terhadap hutan milik adat tentu saja akan menjadi permasalahan besar bagi hak asasi masyarakat hukum adat.
- Pada tingkat masyarakat hukum adat, tempat di mana hutan adat itu ditemui, juga terdapat ketidaksamaan pandangan dan sikap dalam melihat keberadaan hutan adat. Hal ini akan lebih terlihat jika masyarakat hukum adat tersebut juga dijadikan sebagai tingkat pemerintahan terendah (village government)—seperti pemerintahan nagari di Sumatera Barat—yang juga berhak membuat peraturan tentang aset atau harta kekayaannya. Ada masyarakat hukum adat yang memandang bahwa hutan adat merupakan bagian hak ulayat yang sekaligus berkedudukan sebagai harta kekayaan mereka. Pada pihak lain pun sudah ada sebagian masyarakat hukum adat yang melihat adanya perbedaan antara hutan adat dengan hutan negara, walaupun anggapan ini masih perlu diluruskan karena mereka menganggap bahwa hutan lindung sama dengan hutan negara. Tampaknya masyarakat tidak terlalu mempersoalkan status hutan—hutan negara atau hutan ulayat—sepanjang tidak ada pihak ketiga yang mengatasnamakan negara mengelola hutan untuk mencari keuntungan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam bidang kehutanan, apa yang dikenal dengan pluralisme hukum betul-betul suatu realita.
Berkaitan dengan kenyataan yang dihadapi oleh hutan adat
sebagaimana dikemukakan di atas, maka untuk ke depan ada beberapa rekomendasi
yang agaknya perlu menjadi perhatian:
- Seluruh UU yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya agraria, terutama UUK dan UUPA dan lain-lain, perlu segera disinkronkan dengan UU Pemerintahan daerah, agar adanya kesamaan persepsi dalam melihat kedudukan hutan adat sesuai dengan paradigma desentralisasi.
- Perlu studi mendalam tentang bagaimana mendorong adanya sinergi antara negara atau pemerintah dengan masyarakat hukum adat terkait pengelolaan hutan adat dengan menggunakan perspektif pluralisme hukum. Salah satu metode yang kiranya dapat diterapkan untuk mengakomodasi pluralisme hukum dalam pengelolaan hutan adat adalah dengan mendorong lahirnya peraturan desa (perdes)—peraturan nagari di Sumatera Barat, tentu jika pemerintahan desa dibentuk berdasarkan kesatuan masyarakat hukum adat. Jadi akan terdapat perdes yang berbeda-beda dalam melihat kedudukan hutan adat untuk mencapai tujuan yang sama yaitu penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kalau di negara-negara Anglo Saxon, dalam rangka mengekomodasi plurlisme hukum, berlaku prinsip judge made law, mungkin perlu dipertimbangkan bahwa untuk Indonesia—yang memang secara historis termasuk negara yang memakai Sistem Eropa Kontinental—untuk mendorong village made law. Hal ini ditujukan agar jaminan kepastian berusaha di bidang kehutanan tidak saja diberikan oleh hukum negara tetapi juga oleh hukum adat.
Daftar
Pustaka
Anonim, 2003, Satu yang Kami Tuntut: Pengakuan, AMAN,
ICRAF dan FPP, Bogor.
Bahar, S., 2005, Inventarisasi dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Benda-Beckmann, F.
dan K., 2004, “Struggles over Communal Property Rights and Law in Minangkabau,
West Sumatra”, Working Paper, No. 64,
Max Planck Institute for Social Anthropology, Halle/Saale.
Biezeveld, R., 2002,
Between Individualism and Mutual Help;
Social security and natural resources in a Minangkabau village, Eburon,
Delf.
Burns, P., 2004, The Leiden Legacy: Concept of Law in
Indonesia, Penerbit KITLV Press, Leiden.
Dt. Rajo Mangkuto,
H. A. (Walinagari Simarasok), 2005, Kronologi
Kejadian pada Guo Simarasok-Tabek Panjang, 24 Februari, Tanpa Penerbit.
Gunawan, H, 2005, Desentralisasi, Ancaman dan Harapan bagi
Masyarakat Adat; Studi kasus masyarakat adat Cerekang di Kabupaten Luwuk Timur,
Propinsi Sulawesi Selatan, CIFOR, Bogor.
Harsono, B, 2003, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Hartono, S., 1978, Beberapa Pemikiran ke arah Pembaharuan Hukum
Tanah, Penerbit Alumni, Bandung.
Kaisti, H., 2003,
“Conflict over access, struggle over meaning: Decentralisation and customary
land claims in Indonesian forest politics”, Makalah
pada Congress on
Globalisation, Localisation and Tropical Forest Management in the 21st Century,
22-23 Oktober, Amsterdam.
Mahadi, 1991, Uraian
Singkat tentang Hukum Adat, Sejak RR tahun 1854, Penerbit Alumni,
Bandung.
Martin,
R.,1993, A System of Rights,
Clarendon Press-Oxford.
Nasroen, M., 1971, Dasar Falsafah Adat Minangkabau,
Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Navis, A. A., 1986, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan
Kebudayaan Minangkabau, Penerbit PT. Grafiti Pers, Jakarta.
Raharjo, D. Y.,
Oktavia, V., dan Azmaiyanti, Y., 2004, Obrolan
Lapau, Obrolan , Sebuah potret pergulatan kembali ke nagari, Studio Kendil,
Bogor.
Sjahmunir, 2001, Laporan Hasil Penelitian Eksistensi Tanah
Ulayat Dewasa Ini di Sumatera Barat, Pemda Propinsi Sumatera Barat, Tanpa
Penerbit, Padang.
Soesangobeng, H.,
2000, “Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek
Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah
Datar”, dalam Syofyan, J. (Penghimpun), Himpunan
Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat di Sumatera Barat, Tanpa
Penerbit, Padang, hal. 115-152.
Sudiyat, I., 1981, Hukum
Adat, Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.
Sumardjono, M, 1999,
Revisi Undang-undang Kehuatan, dalam Harian Kompas,
Jakarta 22 Juni,
---------------,
2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Ter Haar, B., Bzn,
1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Terjemahan Soebakti Poesponoto, Cetakan Keenam, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta.
Van Vollenhoven, C., Miskenningen van Het Adatsrecht,
Boekhandel en Drukkerij voorheen E. J. Brill Leiden, 1926, hal. 19.
Warman, K., 1998, Konversi
Hak Atas Tanah Ganggam Bauntuak menurut UUPA di Sumatera Barat, Tesis S-2,
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
---------------,
2004, Prospek Pengembangan Ekonomi Nagari
melalui Pemberdayaan Hak Ulayat (Nagari): Suatu pendekatan yuridis, Makalah
Seminar Mengembalikan Eksistensi Lembaga Pasukuan dalam Perspektif Pemerintahan
Nagari, dalam rangka Hari Jadi Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung ke-55, Muaro Sijunjung, 25 Pebruari.
Warman, K. dan
Rachmadi, 2005, Hak Ulayat Nagari Atas
Tanah di Sumatera Barat, Jejak dan agenda untuk era desentralisasi, Raharjo,
D. Y. dan Rahz, M. H. (Editor), Penerbit Yayasan Kemala, Jakarta.
Warman, K., Karel.,
B., dan Sugianto, H., 2002, “Penggalian Potensi Hukum Adat dalam Rangka
Penanganan Kasus Pencurian Hasil Hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat: Studi
kasus pencurian kayu di Wilayah Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat”, Hasil
Penelitian, Small Research Grants
2000-2001 TNKS, Yayasan Kehati, Jakarta.
Wollenberg, E.,
Belcher, B., Sheil, D., Dewi, S., dan Moeliono, M., 2004, “Mengapa Kawasan
Hutan Penting bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia?” dalam Governance Brief, CIFOR, Bogor.
Wulan, Y.C., Yasmi,
Y., Purba, C. dan Wollenberg, E., 2004, “Konflik Kehutanan di Indonesia sebelum
dan sesudah Reformasi”, dalam Warta
Kebijakan, No. 15, Oktober 2004, CIFOR, Bogor.
[1]
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
[2]
Walaupun tidak semua pengelolaan hutan mendatangkan devisa baik bagi daerah
maupun negara. Data penerimaan daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2005
menunjukkan bahwa ternyata daerah tidak mendapatkan apa-apa dari hasil hutan,
padahal hutan Mentawai terus diperas. Mungkin para aparat kehutanan di daerah
secara personal banyak yang memperoleh pemasukan dari sektor ini. Lihat Harian
Umum Kompas, 26 Maret 2005.
[3]
Kita tentu dapat memahami bahwa salah satu penyebab terjadinya
inkostitusionalitas dari UUK adalah dari segi waktu pengesahan UUD dan UUK.
Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD merupakan hasil dari Amandemen
Kedua UUD, 18 Agustus 2000, sedangkan UUK sendiri lahir lebih dahulu yaitu 30
September 1999. Untuk kedepan, persoalan inkostitusionalitas ini tentu harus
menjadi salah satu pertimbangan bagi revisi UUK.
[4]
Jenis hutan adat milik komunal seperti ini dapat ditemui hampir di seluruh
nagari di Sumatera Barat, kecuali nagari-nagari yang secara teritorial berada
di daerah perkotaan atau berbatasan dengan daerah kota yang memang tidak lagi mempunyai hutan—misalnya
Nagari Kotobaru Kabupaten Solok. Salah satu contoh konkrit dari eksistensi
hutan milik komunal yang dikelola secara baik oleh masyarakat di nagari adalah
apa yang dikenal dengan parak yang
terdapat di Kotomalintang Nagari Duokoto Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lebih
jauh lihat Raharjo, D. Y., Oktavia, V., dan Azmaiyanti, Y., 2004, Obrolan Lapau, Obrolan , Sebuah potret
pergulatan kembali ke nagari, Studio Kendil, Bogor, hal. 153-156.
[5]
Kritikan terhadap UUPA berkaitan dengan pengakuan hak ulayat, antara lain,
bahwa UUPA tidak sungguh mengakui hak ulayat karena demikian banyaknya
persyaratan yang harus dipenuhi agar hak ulayat mendapat pengakuan. Lihat
misalnya Anonim, 2003, Satu yang Kami
Tuntut: Pengakuan, AMAN, ICRAF dan FPP, Bogor.
[6]
Tetapi, untuk menentukan status hutan adalah kewenangan pemerintah pusat (Pasal
5 Ayat (3) UUK). Jadi, status hutan adat ditentukan oleh pemerintah pusat
sedangkan status atau keberadaan masyarakat hukum adat ditentukan oleh
pemerintah daerah.
[7]
Berdasarkan evaluasi pelaksanaan pemerintahan nagari dan dengan berlakunya UU
No. 32 Tahun 2004, sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, maka Pemda Sumatera
Barat sekarang juga mempersiapkan Rancangan Perda pengganti Perda Nagari 1999.
Pada saat makalah ini dibuat, draf Ranperda tersebut sudah memasuki draf versi ke 6. Dengan demikian,
keberadaan UU No. 32 Tahun 2004 sampai saat penelitian ini dilakukan belum
berdampak nyata terhadap pemerintahan nagari dan kehidupan masyarakatnya. Oleh
karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan jika Perda Nagari sebagai
penyesuaian terhadap UU No. 32 Tahun 2004 tersebut telah disahkan.
[8] Ketentuan
tentang persyaratan berdirinya suatu nagari harus terdiri atas suku-suku ini
telah diakomodasi secara eksplisit oleh Pasal 2 Perda Nagari 2000, bahwa setiap
nagari mempunyai beberapa suku dan dengan batas-batas wilayah yang jelas. Draf
ke 6 Ranperda Pengganti Perda Nagari 2000 menyatakannya lebih kuat, bahwa nagari mempunyai sekurang-kurangnya 4 (empat) suku
dengan batas-batas wilayah yang jelas (Pasal 2).
[9] Taratak
adalah daerah peladangan yang belum berpemukiman perempuan atau belum ditempati
oleh keluarga-keluarga yang mengolah ladang itu (Konsideran Menimbang Angka 2).
[10] Dusun
adalah wilayah teritorial kecil (tempat perladangan) dari nagari yang telah
berpemukiman perempuan lengkap sekurang-kurangnya satu kaum (Konsideran
Menimbang Angka 2).
[11] Bandingkan
kembali kecocokannya dengan penelitian Kaisti (2003) di Sulawesi Selatan, bahwa
unsur waktu (historis) merupakan salah satu indikator untuk menentukan hutan
adat.
[12]
Dalam hukum agraria, ketentuan seperti disebut dengan asas cantradictio delimitatie, artinya seseorang baru dikatakan berhak
atas atas sebidang tanah jika orang-orang atau pemilik yang berbatasan dengan
tanah tersebut mengakui bahwa orang yang bersangkutanlah pemilik tanah itu.
Lihat antara lain Harsono, B., 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
[13]
Hal ini juga terungkap dalam wawancara
dengan 2 orang tokoh adat yaitu Datuk Reno Basa, Penghulu Suku Jambak, Anggota Kerapatan
Adat Nagari (KAN) Simarasok dan Ketua Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) dan
Datuk Indo Marajo, Anggota KAN Simarasok, 14 Juli 2004.
[14]
Secara rinci persoalan terkait dengan pengelolaan sarang walet ini dapat
dilihat dalam Dt. Rajo Mangkuto, H. A. (Walinagari Simarasok), 2005, Kronologi Kejadian pada Guo Simarasok-Tabek
Panjang, 24 Februari.
[15]
Pernyataan seperti ini juga dapat disimpulkan dari wawancara dengan Datuk Reno Basa, Penghulu Suku Jambak, Anggota KAN
Simarasok dan Ketua BPRN dan Datuk Indo Marajo, Anggota KAN, 14 Juli 2004 serta
beberapa kali diskusi dengan H. A. Datuk Rajo Mangkuto, Walinagari Simarasok,
di antaranya diskusi 18 Agustus 2005.
[16]
Secara eksplisit aspirasi untuk adanya pemisahan ini, salah satu terungkap
dalam suatu diskusi atau pertemuan
dengan tokoh-tokoh masyarakat Kotomalintang, yang dihadiri oleh hampir semua
unsur masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, badan perwakilan rakyat nagari
(BPRN), Walinagari Duokoto, tokoh pemuda dan sebagainya, termasuk Calon
Walinagari yang sudah dipilih oleh rakyat Kotomalintang, 12 Juni 2004. Hal ini
membuktikan bahwa masyarakat Kotomalintang betul-betul serius dan sudah siap
menjadi nagari tersendiri.
[17]
Deskripsi lengkap dan lebih menarik tentang parak
ini bisa dilihat Raharjo, D. Y., Oktavia, V., dan Azmaiyanti, Y., 2004, Obrolan Lapau, Obrolan , Sebuah potret
pergulatan kembali ke nagari, Studio Kendil, Bogor, hal. 153-158.
[18]
Hal ini juga tergambar dari wawancara
dengan A. Sutan Djamaris, tokoh masyarakat setempat, 12 Juni 2004, sebagaimana
dikuatkan oleh M. Idrus Dt. Rajo Angek Nan
Kuniang, Walinagari Duokoto, wawancara
30 Juli 2004.
[19]
Pandangan sebagian anggota masyarakat hukum adat Nagari Sungai Kamuyang seperti
ini terungkap dalam diskusi dengan
kelompok tani pengelola tanah ulayat nagari di lokasi ladang mereka, 21 Januari
2004.
[20]
Hal ini diungkapkan juga oleh Luzon Lanjumin, Walinagari Sungai Kamuyang, wawancara, 13 Juni 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar