OLEH Asril Muchtar
Dosen ISI
Padangpanjang
Ensambel gandang
tasa atau disebut juga gandang tambua secara musikal termasuk
ke dalam ensambel perkusi ritmik tanpa melodi. Tidak ada alat musik yang
difungsikan sebagai instrumen melodi.
Juga tidak ada gendang yang ditala dengan nada-nada tertentu yang
difungsikan sebagai instrument melodi, seperti alat musik taganing pada etnik Batak Toba di
Sumatra Utara.
Gandang Tasa merupakan
ensambel musik perkusi yang tergolong paling besar di Minangkabau. Besar dari
aspek bentuk, ukuran, suara, jumlah alat musik yang digunakan, bahkan juga dari
segi guna dan fungsinya dalam kegiatan
adat dan ritual. Kebesaran guna dan fungsinya tampak dari penggunaan Gandang Tasa pada berbagai upacara adat
yang bersifat prosesi yang ditampilkan di ruangan terbuka, seperti mengarak
penganten dan pendukung upacara Upacara
Tabuik di Pariaman.
Dalam
setiap grup Gandang Tasa, biasanya
dipakai antara 4–10 buah lebih gendang bermuka dua (double-headed
cylindrical drum) dan satu buah tasa
(single-headed vessel drum). Banyaknya gendang yang dipakai memberikan
pengaruh pula pada karakter musik ini,
yakni bersifat dinamis dan enerjik, bahkan karena suaranya yang keras
bisa difungsikan untuk membangkit semangat “heroik” dalam Upacara Tabuik.
Gandang Tasa dijumpai di beberapa daerah di
Minangkabau, seperti Pariaman, Maninjau, Tiku, Lubuk Basung, dan beberapa
daerah kabupaten Agam lainnya yang berbatasan dengan kabupaten Padang Pariaman.
Gandang Tasa Pariaman memiliki
karakter musik cenderung cepat, dinamis, enerjik, dan
keras, terutama di kawasan kota Pariaman, sehingga lagu-lagu
yang dimainkan hanya berdurasi antara
empat sampai delapan menit saja. Karena penyajian Gandang Tasa lebih banyak menguras tenaga. Karakter musik seperti
itu banyak dipengaruhi pula oleh alam lingkungannya yang berada di tepi pantai
yang cenderung keras.
Lagu-lagu Gandang Tasa.
Diperkirakan
jumlah lagu gandang tasa itu lebih dari lima puluh judul, yang tersebar di beberapa nagari,
desa, dan kelurahan di Pariaman dan Maninjau serta daerah lainnya. Uniknya
kebanyakan grup gandang tasa di Pariaman memiliki sendiri
lagu-lagu andalannya. Lagu tersebut diciptakan sendiri oleh seniman atau
pimpinan yang ada dalam grup. Memang lagu-lagu andalan grup itu tidak banyak,
hanya berkisar antara 3-5 lagu. Tetapi mereka bisa juga memainkan lagu-lagu
yang dimiliki oleh grup lain, terutama lagu-lagu yang menarik dan terkenal.
Lagu-lagu
gandang tasa kebanyakan terinspirasi oleh alam atau lingkungan sekitarnya. Misalnya
lagu Siontong Tabang (nama burung), Balam Tigo Gayo (suara
tekukur yang merdu), Matam Manjompak, Kudo Manyipak (kuda lari cepat), Oyak
Ambacang (tentang buah-buahan), Riak Danau, dan pengalaman dalam
perjalanan, misalnya Kureta Mandaki (kereta api mendaki), Turiah
Lasuang (bunyi kincir air menumbuk padi).
Selain
itu, juga muncul ide kreativitas dari senimannya dengan menggarap berbagai
motif-motif ritme, kemudian disusun dalam suatu komposisi yang bagus dan baik.
Misalnya, lagu Alihan, Matam 12 Tokok Balua, dan sebagainya. Lagu-lagu
jenis yang terakhir ini merupakan lagu andalan grup yang memilikinya. Bahkan
tak jarang pula dipelajari oleh grup gandang
tasa yang lain.
Pertunjukan Gandang Tasa
Pertunjukan Gandang Tasa dilaksanakan di arena atau
lapangan terbuka. Sesuai
pula dengan karakter musiknya yang bersuara keras yang bisa didengar dalam
radius yang relative luas tanpa pengeras suara, terutama pada malam hari di
desa-desa atau nagari yang tidak banyak gangguan bunyi atau suara yang lain. Dalam
konsep tradisinya pertunjukan Gandang
Tasa selalu dilakukan di lapangan terbuka, baik dalam posisi berdiri maupun
dalam bentuk prosesi. Yang penting agak luas sehingga memungkinkan Gandang Tasa bisa disajikan.Tempat
pertunjukan juga tidak disiapkan secara khusus, seperti pentas dan sejenisnya.
Setiap
Gandang Tasa dimainkan, baik untuk latihan maupun untuk pertunjukan, tasa
sebagai alat musik yang menjadi kendali permainan terlebih dulu harus
dipanaskan atau didiang dekat api. Kegiatan itu berlangsung sekitar 3-4 menit dekat nyala api yang berasal dari
daun kelapa kering, agar kulit menjadi kencang dan kering. Ini diperlukan untuk
bisa menghasilkan bunyi dengan frekuensi tinggi atau nyaring. Bunyi nyaring
merupakan ciri warna bunyi atau timbre tasa.
Bunyi nyaring itu sangat diperlukan untuk membuat perbedaan yang sangat
kontras dengan bunyi gendang yang bersuara rendah, sehingga ritme-ritme dan garitiak tasa (ornamentasi ritme tasa) yang dimainkan bisa terdengar
dengan jelas dan bersih.
Perbedaan
warna bunyi ini merupakan konsep dan sebagian dari estetika musik Gandang Tasa. Cara seperti ini selalu
dilakukan setiap pergantian lagu, karena bunyi nyaring pada tasa
hanya akan bertahan sekitar lima sampai tujuh menit. Untuk penyajian
berikutnya, tasa harus didiang lagi agar kulit menjadi
nyaring. Tasa jenis ini sering pula
disebut dengan tasa balango atau tasa talenang.
Namun
dalam perkembangan sekarang, tasa telah
diganti dengan tasa fiber yang selaput memberannya terbuat dari plastik atau
fiber, sedangkan badan tasa terbuat dari kuali, bukan dari belanga. Tasa fiber lebih praktis digunakan untuk
waktu lama dan pada saat prosesi atau berjalan, karena tidak perlu didiang.
Akan
tetapi, menurut pengakuan sebagian besar pemain tasa, karakter suara tasa fiber
pada satu sisi tidak sebagus atau sebaik suara tasa balango, terutama untuk menghasilkan bunyi nyaring. Bunyi
nyaring dengan kualitas prima, tidak bisa dihasilkan dari tasa fiber, sebagaimana yang dapat dihasilkan oleh tasa balango,
sehingga suara garitiak tasa tidak
sebagus atau sebaik yang dimainkan dengan tasa
balango. Bagi pemain tasa yang
muda-muda khususnya yang tidak pernah memainkan tasa balango, mereka tidak dapat membedakan kualitas dan rasa
memainkan tasa balango.
Komposisi
pemain pada saat pertunjukan dalam posisi diam (pertunjukan di tempat),
berbentuk lingkaran dan bentuk huruf V atau segi tiga. Kalau berbentuk
lingkaran, posisi pemain tasa berada pada bagian tengah lingkaran atau pada
garis lingkaran. Jika berbentuk segi
tiga, maka posisi pemain tasa berada
pada sudut segi tiga itu. Komposisi pemain pada saat prosesi (berjalan) pada umumnya dibuat dalam
dua berbaris, dan di antara barisan itu ditempati oleh pemain tasa. Meskipun ada juga yang dibuat
dalam tiga sampai empat barisan jika pemain dalam jumlah banyak.
Penonton
Penonton pertunjukan Gandang Tasa berasal dari berbagai
lapisan masyarakat, tetapi lebih didominasi oleh kaum laki-laki, terutama
anak-anak dan para remaja. Para penonton tersebut tidak menempati suatu tempat
khusus. Mereka boleh saja menyaksikan dari berbagai arah dan tempat. Bagi
anak-anak dan para remaja, jika ada pertunjukan Gandang Tasa, misalnya dalam upacara pesta perkawinan, mereka selalu ingin berada di depan
para pemusik. Pada lagu-lagu tertentu, mereka tak jarang juga bergoyang dan
bersorak sebagai bentuk ungkapan respon fisik, baik karena lagu maupun oleh
karena tingkah para pemusik.
Berbeda dengan para
penonton dewasa, mereka lebih sering menyaksikan pertunjukan Gandang Tasa dari jarak jauh sambil
duduk-duduk santai. Lagu-lagu Gandang
Tasa itu memang lebih enak dan jelas suaranya didengar dari jarak yang
relatif agak jauh.
Gandang Tasa dalam
Upacara
Gandang Tasa dipertunjukkan dalam berbagai upacara dan kegiatan sosial
yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya dalam upacara pesta perkawinan,
mengarak penganten, sebagai musik pengiring tari Galombang dalam upacara pengangkatan raja, upacara pengangkatan
pengulu, maulid Nabi Muhammad, alek
nagari (pesta desa/nagari), dan lain sebagainya.
Pertunjukan
Gandang Tasa dalam upacara pesta
perkawinan dan mengarak penganten biasanya dilakukan dalam satu rangkaian
kegiatan. Sebelum upacara mengarak penganten diselenggarakan, Gandang Tasa terlebih dulu dimainkan
pada siang dan malam hari, dan baru pada keesokan harinya dimainkan untuk
upacara mengarak penganten. Lagu-lagu yang dimainkan pada siang dan malam hari
itu cukup banyak, sesuai dengan perbendaharaan yang dimiliki oleh grup Gandang Tasa tersebut. Misalnya lagu Matam Panjang, Oyak Tabuik, Matam Pondok
Duo, Matam Turiah Lasuang, Matam Duo Baleh, Alihan, Kudo Manyipak, Siontong
Tabang, Kureta Mandaki, Oyak Ambacang, Katidiang Sompong, dan lain
sebagainya. Pada saat ini fungsi Gandang
Tasa hanya untuk hiburan semata. Beberapa desa atau nagari di Maninjau lagu
yang biasa dimainkan untuk arakan antara lain, Atam dan Riak Danau
Upacara
mengarak penganten dilaksanakan pada saat anak
daro (penganten perempuan) beserta pasumandan
menuju rumah marapulai, dan
sebaliknya. Gandang Tasa berada di bagian paling belakang rombongan. Pada
upacara ini lagu yang dimainkan adalah lagu Matam
Manjalang, atau Matam Panjang. Yang
terpenting dari pertunjukan ini adalah bagaimana menyajikan jalinan permainan
ritme yang variatif, sehingga suasana menjadi hidup dan bergairah. Pada
prinsipnya kehadiran Gandang Tasa
dalam upacara ini tidak begitu penting. Ia bisa digantikan dengan jenis musik
lain seperti katumbak, yang biasa
membawakan lagu-lagu joged Melayu dan gamad
serta lagu-lagu dangdut.
Upacara Maulid Nabi Muhammad SAW
Pertunjukan Gandang
Tasa dalam upacara Maulid Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya hanya untuk
memeriahkan suasana. Dalam upacara
Maulid Nabi yang lebih diutamakan adalah pertunjukan musik yang bernuansa
Islami dan bersuasana relijius, seperti berzikir, salawat talam atau salawat
dulang, sedangkan Gandang Tasa, tidak
banyak berperan. Bahkan dalam upacara ini di banyak tempat di Pariaman, Gandang Tasa tidak dimainkan.
Upacara
Pengangkatan Rajo dan Penghulu
Pertunjukan Gandang
Tasa dalam upacara pengangkatan rajo agak
berbeda dengan pertunjukan yang dilakukan pada beberapa upacara di atas. Dalam
upacara pengangkatan rajo, Gandang Tasa disajikan untuk mengiringi
tari Galombang. Tarian ini
ditampilkan pada saat tamu rajo
datang, mereka disambut dengan tari Galombang
sebagai penghormatan, karena tamu yang datang pada umumnya juga para rajo-rajo
yang berasal dari nagari lain. Dari
pihak tamu yang datang, mereka juga
membawa sekelompok penari Galombang. Jadi pada saat bersamaan tampil
dua kelompok penari Galombang dengan
saling berhadapan dari jarak yang relatif cukup jauh (kurang lebih 20–30
meter), tetapi kian lama kian mendekat dan akhirnya saling berhadap-hadapan.
Hal yang unik dari pertunjukan ini adalah bahwa lagu yang
disajikan melalui ritme-ritme gendang dan tasa dalam tempo cepat dan dinamik
keras, tidaklah menjadi pedoman bagi
para penari untuk melangkah atau bergerak. Begitu juga sebaliknya ritme-ritme Gandang Tasa juga tidak mengikuti ritme
gerak penari Galombang. Para penari Galombang melakukan
gerakan-gerakan berdasarkan komando dan bentuk gerak yang dibuat oleh pemimpin Galombang mereka masing-masing. Musik
bagi mereka hanya dimanfaatkan sebagai
efek musikal untuk membakar semangat dan emosinya, terutama emosi untuk
bertanding dan bahkan bisa untuk berkelahi.
Peningkatan
kadar emosi dan semangat dari
masing-masing penari menjalari seluruh raganya yang terpancar dari
ekspresi yang muncul melalui wajah dan intesitas gerak mereka. Keadaan ini
memang dapat dipahami karena para penari Galombang
adalah para pesilat. Biasanya pertunjukan ini tidak
berlanjut menjadi perkelahian, karena pada saat-saat mereka akan bertemu atau
telah berdekatan, mereka akan dilerai oleh janang
(wasit) yang sangat disegani dengan mengetengahkan carano beserta perlengkapannya sebagai simbol pendamai dan
bersilaturrahmi sebagaimana tujuan semula.
Di sini terlihat bahwa Gandang Tasa sangat berperan penting dalam membakar emosi dan
semangat para penari Galombang. Jika
tidak diiringi dengan Gandang Tasa
suasana seperti di atas tidak bisa dibangun. Sebagaimana dijelaskan oleh
Gilbert Rouget (1998) bahwa gendang memiliki aura seperti manusia yang bisa
menghasilkan suara meledak-ledak, keras, dan brutal serta memiliki frekuensi
dramatik atau obsesif yang dapat menggugah emosional dengan kuat. Pertunjukan
tari Galombang dari kedua belah pihak
merupakan prestise atau harga diri dari masing-masing rajo.
Upacara Ritual Tabuik dan Oyak Tabuik
Peran
Gandang Tasa yang sangat penting
sekali adalah pada Upacara Tabuik, yang diselenggarakan di Pariaman setiap awal hingga paroh pertama bulan
Muharam. Upacara Tabuik terdiri
dari rangkaian-rangkaian upacara yaitu: mengambil tanah, mengambil dan
menebas batang pisang, maradai, mahatam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naiak pangkek, ma-oyak
tabuik, dan tabuik dibuang ke laut. Kesemua
rangkaian upacara itu diiringi dengan Gandang Tasa. Keberadaan Gandang Tasa menjadi bagian yang amat
penting untuk mendukung suasana
khususnya yang bersifat ‘heroik’ dan ‘patriotik’. Selain itu juga untuk
mendukung suasana sedih. Melalui ritme-ritme Gandang Tasa dirangsang berbagai
emosi dan ekspresi yang ada dalam setiap
rangkaian upacara.
Kartomi (1986) menggambarkan kehadiran Gandang Tasa dalam Upacara Tabuik
seperti musik militer Sepoy (Cipahi)
yang ada di Sumatra, suaranya sangat keras, ritme-ritme musik militer memberikan
dorongan yang menggemparkan, mereka memainkan sambil berjalan.
Gandang Tasa
yang sangat penting juga dimainkan adalah pada acara Oyak Tabuik yang diselenggarakan oleh masyarakat Pariaman khususnya
di perantauan. Misalnya para perantau Pariaman yang berada di Padang,
Bukittinggi, Payakumbuh, Pekan Baru, Batam, Jakarta, dan kota-kota lainnya.
Acara Oyak Tabuik dapat saja dilakukan oleh masyarakat Pariaman di perantauan
dalam berbagai event atau hajatan.
Biasanya dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus; menyambut tahun baru Hijriyah (bulan
Muharam); peresmian atau pelantikan pengurus Persatuan Keluarga Daerah Pariaman
(PKDP), dan sebagainya.
Daerah Perkembangan Gandang Tasa
Saat ini Gandang
Tasa tidak hanya ditemui pada daerah Pariaman, Maninajau dan daerah Agam
lainnya, melainkan sudah ditemui di berbagai kota Sumatra Barat, seperti:
Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padangpanjang, dan bahkan di kota-kota besar
seperti Medan, Jakarta, dan lain sebagainya. Hadirnya Gandang Tasa di berbagai kota tersebut pada umumnya dibawa oleh
para perantau yang berasal dari Pariaman dan Maninjau. Para perantau sering
melakukan upacara-upacara di daerah perantauannya yang melibatkan Gandang Tasa, sebagaimana yang lazim
dilakukan di daerah asalnya.
Selain oleh para komunitas perantau, Gandang Tasa juga dimiliki oleh berbagai
sanggar-sanggar kesenian yang ada di berbagai kota di Sumatra Barat, dan sanggar-sanggar
kesenian Minang yang ada di berbagai kota luar
Sumatra Barat. Paket-paket pertunjukan yang disajikan oleh
sanggar-sanggar kesenian itu tak jarang juga menghadirkan paket khusus Gandang Tasa, seperti pertunjukan awal
sebagai pembukaan pertunjukan.
Padangpanjang,
25 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar