Rabu, 23 Oktober 2013

Gandang Tasa, Musik Perkusi Ritmik Minangkabau

OLEH Asril Muchtar
Dosen ISI Padangpanjang

Ensambel gandang tasa atau disebut juga gandang tambua secara musikal termasuk ke dalam ensambel perkusi ritmik tanpa melodi. Tidak ada alat musik yang difungsikan sebagai instrumen melodi.  Juga tidak ada gendang yang ditala dengan nada-nada tertentu yang difungsikan sebagai instrument melodi, seperti alat musik  taganing pada etnik Batak Toba di Sumatra Utara.
Gandang Tasa merupakan ensambel musik perkusi yang tergolong paling besar di Minangkabau. Besar dari aspek bentuk, ukuran, suara, jumlah alat musik yang digunakan, bahkan juga dari segi guna dan  fungsinya dalam kegiatan adat dan ritual. Kebesaran guna dan fungsinya tampak dari penggunaan Gandang Tasa pada berbagai upacara adat yang bersifat prosesi yang ditampilkan di ruangan terbuka, seperti mengarak penganten dan pendukung upacara Upacara Tabuik di Pariaman.

Dalam setiap grup Gandang Tasa, biasanya dipakai antara 4–10 buah lebih gendang bermuka dua (double-headed cylindrical drum) dan satu buah tasa (single-headed vessel drum). Banyaknya gendang yang dipakai memberikan pengaruh pula pada karakter musik ini,  yakni bersifat dinamis dan enerjik, bahkan karena suaranya yang keras bisa difungsikan untuk membangkit semangat “heroik” dalam Upacara Tabuik.
Gandang Tasa dijumpai di beberapa daerah di Minangkabau, seperti Pariaman, Maninjau, Tiku, Lubuk Basung, dan beberapa daerah kabupaten Agam lainnya yang berbatasan dengan kabupaten Padang Pariaman. Gandang Tasa Pariaman memiliki karakter musik  cenderung cepat, dinamis,  enerjik, dan  keras,  terutama di  kawasan kota Pariaman, sehingga lagu-lagu yang dimainkan hanya  berdurasi antara empat sampai delapan menit saja. Karena penyajian Gandang Tasa lebih banyak menguras tenaga. Karakter musik seperti itu banyak dipengaruhi pula oleh alam lingkungannya yang berada di tepi pantai yang cenderung keras.
Lagu-lagu Gandang Tasa.
Diperkirakan jumlah lagu gandang tasa itu lebih dari lima puluh  judul, yang tersebar di beberapa nagari, desa, dan kelurahan di Pariaman dan Maninjau serta daerah lainnya. Uniknya kebanyakan grup gandang tasa di Pariaman memiliki sendiri lagu-lagu andalannya. Lagu tersebut diciptakan sendiri oleh seniman atau pimpinan yang ada dalam grup. Memang lagu-lagu andalan grup itu tidak banyak, hanya berkisar antara 3-5 lagu. Tetapi mereka bisa juga memainkan lagu-lagu yang dimiliki oleh grup lain, terutama lagu-lagu yang menarik dan terkenal.
Lagu-lagu gandang tasa kebanyakan terinspirasi oleh alam atau lingkungan sekitarnya. Misalnya lagu Siontong Tabang (nama burung), Balam Tigo Gayo (suara tekukur yang merdu), Matam Manjompak, Kudo Manyipak (kuda lari cepat), Oyak Ambacang (tentang buah-buahan), Riak Danau, dan pengalaman dalam perjalanan, misalnya Kureta Mandaki (kereta api mendaki), Turiah Lasuang (bunyi kincir air menumbuk padi).
Selain itu, juga muncul ide kreativitas dari senimannya dengan menggarap berbagai motif-motif ritme, kemudian disusun dalam suatu komposisi yang bagus dan baik. Misalnya, lagu Alihan, Matam 12 Tokok Balua, dan sebagainya. Lagu-lagu jenis yang terakhir ini merupakan lagu andalan grup yang memilikinya. Bahkan tak jarang pula dipelajari oleh grup gandang tasa yang lain. 
Pertunjukan Gandang Tasa
Pertunjukan Gandang Tasa dilaksanakan di arena atau lapangan terbuka. Sesuai pula dengan karakter musiknya yang bersuara keras yang bisa didengar dalam radius yang relative luas tanpa pengeras suara, terutama pada malam hari di desa-desa atau nagari yang tidak banyak gangguan bunyi atau suara yang lain. Dalam konsep tradisinya pertunjukan Gandang Tasa selalu dilakukan di lapangan terbuka, baik dalam posisi berdiri maupun dalam bentuk prosesi. Yang penting agak luas sehingga memungkinkan Gandang Tasa bisa disajikan.Tempat pertunjukan juga tidak disiapkan secara khusus, seperti pentas dan sejenisnya.  
Setiap Gandang Tasa dimainkan, baik untuk latihan maupun untuk pertunjukan, tasa sebagai alat musik yang menjadi kendali permainan terlebih dulu harus dipanaskan atau didiang dekat api. Kegiatan itu berlangsung sekitar 3-4 menit dekat nyala api yang berasal dari daun kelapa kering, agar kulit menjadi kencang dan kering. Ini diperlukan untuk bisa menghasilkan bunyi dengan frekuensi tinggi atau nyaring. Bunyi nyaring merupakan ciri warna bunyi atau timbre tasa. Bunyi nyaring itu sangat diperlukan untuk membuat perbedaan yang sangat kontras dengan bunyi gendang yang bersuara rendah, sehingga ritme-ritme dan garitiak tasa (ornamentasi ritme tasa) yang dimainkan bisa terdengar dengan jelas dan bersih.
Perbedaan warna bunyi ini merupakan konsep dan sebagian dari estetika musik Gandang Tasa. Cara seperti ini selalu dilakukan setiap pergantian lagu, karena bunyi nyaring  pada tasa hanya akan bertahan sekitar lima sampai tujuh menit. Untuk penyajian berikutnya, tasa  harus didiang lagi agar kulit menjadi nyaring. Tasa jenis ini sering pula disebut dengan tasa balango atau tasa talenang.
Namun dalam perkembangan sekarang, tasa telah diganti dengan tasa fiber yang selaput memberannya terbuat dari plastik atau fiber, sedangkan badan tasa terbuat dari kuali, bukan dari belanga. Tasa fiber lebih praktis digunakan untuk waktu lama dan pada saat prosesi atau berjalan, karena tidak perlu didiang.
Akan tetapi, menurut pengakuan sebagian besar pemain tasa, karakter suara tasa fiber pada satu sisi tidak sebagus atau sebaik suara tasa balango, terutama untuk menghasilkan bunyi nyaring. Bunyi nyaring dengan kualitas prima, tidak bisa dihasilkan dari tasa fiber, sebagaimana yang dapat dihasilkan oleh tasa balango, sehingga suara garitiak tasa tidak sebagus atau sebaik yang dimainkan dengan tasa balango. Bagi pemain tasa yang muda-muda khususnya yang tidak pernah memainkan tasa balango, mereka tidak dapat membedakan kualitas dan rasa memainkan tasa balango.
Komposisi pemain pada saat pertunjukan dalam posisi diam (pertunjukan di tempat), berbentuk lingkaran dan bentuk huruf V atau segi tiga. Kalau berbentuk lingkaran, posisi pemain tasa berada pada bagian tengah lingkaran atau pada garis lingkaran.  Jika berbentuk segi tiga, maka posisi pemain tasa berada pada sudut segi tiga itu. Komposisi pemain pada saat  prosesi (berjalan) pada umumnya dibuat dalam dua berbaris, dan di antara barisan itu ditempati oleh pemain tasa. Meskipun ada juga yang dibuat dalam tiga sampai empat barisan jika pemain dalam jumlah banyak.
Penonton
Penonton pertunjukan Gandang Tasa berasal dari berbagai lapisan masyarakat, tetapi lebih didominasi oleh kaum laki-laki, terutama anak-anak dan para remaja. Para penonton tersebut tidak menempati suatu tempat khusus. Mereka boleh saja menyaksikan dari berbagai arah dan tempat. Bagi anak-anak dan para remaja, jika ada pertunjukan Gandang Tasa, misalnya dalam upacara pesta perkawinan, mereka selalu ingin berada di depan para pemusik. Pada lagu-lagu tertentu, mereka tak jarang juga bergoyang dan bersorak sebagai bentuk ungkapan respon fisik, baik karena lagu maupun oleh karena tingkah para pemusik.
Berbeda dengan para penonton dewasa, mereka lebih sering menyaksikan pertunjukan Gandang Tasa dari jarak jauh sambil duduk-duduk santai. Lagu-lagu Gandang Tasa itu memang lebih enak dan jelas suaranya didengar dari jarak yang relatif agak jauh.
Gandang Tasa dalam Upacara
Gandang Tasa dipertunjukkan  dalam berbagai upacara dan kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya dalam upacara pesta perkawinan, mengarak penganten, sebagai musik pengiring tari Galombang dalam upacara pengangkatan raja, upacara pengangkatan pengulu, maulid Nabi Muhammad, alek nagari (pesta desa/nagari), dan lain sebagainya.
Pertunjukan Gandang Tasa dalam upacara pesta perkawinan dan mengarak penganten biasanya dilakukan dalam satu rangkaian kegiatan. Sebelum upacara mengarak penganten diselenggarakan, Gandang Tasa terlebih dulu dimainkan pada siang dan malam hari, dan baru pada keesokan harinya dimainkan untuk upacara mengarak penganten. Lagu-lagu yang dimainkan pada siang dan malam hari itu cukup banyak, sesuai dengan perbendaharaan yang dimiliki oleh grup Gandang Tasa tersebut. Misalnya lagu Matam Panjang, Oyak Tabuik, Matam Pondok Duo, Matam Turiah Lasuang, Matam Duo Baleh, Alihan, Kudo Manyipak, Siontong Tabang, Kureta Mandaki, Oyak Ambacang, Katidiang Sompong, dan lain sebagainya. Pada saat ini fungsi Gandang Tasa hanya untuk hiburan semata. Beberapa desa atau nagari di Maninjau lagu yang biasa dimainkan untuk arakan antara lain, Atam dan Riak Danau
Upacara mengarak penganten dilaksanakan pada saat anak daro (penganten perempuan) beserta pasumandan menuju rumah marapulai, dan sebaliknya. Gandang Tasa berada di bagian paling belakang rombongan. Pada upacara ini lagu yang dimainkan adalah lagu Matam Manjalang, atau  Matam Panjang.  Yang terpenting dari pertunjukan ini adalah bagaimana menyajikan jalinan permainan ritme yang variatif, sehingga suasana menjadi hidup dan bergairah. Pada prinsipnya kehadiran Gandang Tasa dalam upacara ini tidak begitu penting. Ia bisa digantikan dengan jenis musik lain seperti katumbak, yang biasa membawakan lagu-lagu joged Melayu dan gamad serta lagu-lagu dangdut.
Upacara Maulid Nabi Muhammad SAW
Pertunjukan Gandang Tasa dalam upacara Maulid Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya hanya untuk memeriahkan  suasana. Dalam upacara Maulid Nabi yang lebih diutamakan adalah pertunjukan musik yang bernuansa Islami dan bersuasana relijius, seperti berzikir, salawat talam atau salawat dulang, sedangkan Gandang Tasa, tidak banyak berperan. Bahkan dalam upacara ini di banyak tempat di Pariaman, Gandang Tasa tidak dimainkan.
Upacara Pengangkatan Rajo dan Penghulu
Pertunjukan Gandang Tasa dalam upacara pengangkatan rajo agak berbeda dengan pertunjukan yang dilakukan pada beberapa upacara di atas. Dalam upacara pengangkatan rajo, Gandang Tasa disajikan untuk mengiringi tari Galombang. Tarian ini ditampilkan pada saat tamu rajo datang, mereka disambut dengan tari Galombang sebagai penghormatan, karena tamu yang datang pada umumnya juga para rajo-rajo yang berasal dari nagari lain. Dari pihak tamu yang datang, mereka juga membawa sekelompok penari  Galombang. Jadi pada saat bersamaan tampil dua kelompok penari Galombang dengan saling berhadapan dari jarak yang relatif cukup jauh (kurang lebih 20–30 meter), tetapi kian lama kian mendekat dan akhirnya saling berhadap-hadapan.
Hal yang unik dari pertunjukan ini adalah bahwa lagu yang disajikan melalui ritme-ritme gendang dan tasa dalam tempo cepat dan dinamik keras, tidaklah menjadi pedoman bagi para penari untuk melangkah atau bergerak. Begitu juga sebaliknya ritme-ritme Gandang Tasa juga tidak mengikuti ritme gerak penari Galombang. Para penari Galombang  melakukan gerakan-gerakan berdasarkan komando dan bentuk gerak yang dibuat oleh pemimpin Galombang mereka masing-masing.  Musik bagi mereka hanya dimanfaatkan  sebagai efek musikal untuk membakar semangat dan emosinya, terutama emosi untuk bertanding dan bahkan bisa untuk berkelahi. 
Peningkatan kadar emosi dan semangat dari  masing-masing penari menjalari seluruh raganya yang terpancar dari ekspresi yang muncul melalui wajah dan intesitas gerak mereka. Keadaan ini memang dapat dipahami karena para penari Galombang adalah  para pesilat. Biasanya pertunjukan ini tidak berlanjut menjadi perkelahian, karena pada saat-saat mereka akan bertemu atau telah berdekatan, mereka akan dilerai oleh janang (wasit) yang sangat disegani dengan mengetengahkan carano beserta perlengkapannya sebagai simbol pendamai dan bersilaturrahmi sebagaimana tujuan semula.
Di sini terlihat bahwa Gandang Tasa sangat berperan penting dalam membakar emosi dan semangat para penari Galombang. Jika tidak diiringi dengan Gandang Tasa suasana seperti di atas tidak bisa dibangun. Sebagaimana dijelaskan oleh Gilbert Rouget (1998) bahwa gendang memiliki aura seperti manusia yang bisa menghasilkan suara meledak-ledak, keras, dan brutal serta memiliki frekuensi dramatik atau obsesif yang dapat menggugah emosional dengan kuat. Pertunjukan tari Galombang dari kedua belah pihak merupakan prestise atau harga diri dari masing-masing rajo.
Upacara Ritual  Tabuik dan Oyak Tabuik
Peran Gandang Tasa yang sangat penting sekali adalah pada Upacara Tabuik, yang diselenggarakan di Pariaman setiap awal hingga paroh pertama bulan Muharam. Upacara Tabuik terdiri dari rangkaian-rangkaian upacara yaitu: mengambil tanah, mengambil dan menebas  batang pisang, maradai, mahatam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naiak pangkek, ma-oyak tabuik, dan tabuik dibuang ke laut. Kesemua rangkaian  upacara itu diiringi dengan Gandang Tasa. Keberadaan Gandang Tasa menjadi bagian yang amat penting untuk mendukung  suasana khususnya yang bersifat ‘heroik’ dan ‘patriotik’. Selain itu juga untuk mendukung suasana sedih. Melalui ritme-ritme Gandang Tasa dirangsang  berbagai emosi dan  ekspresi yang ada dalam setiap rangkaian upacara.
Kartomi (1986) menggambarkan kehadiran Gandang Tasa dalam Upacara Tabuik seperti  musik militer Sepoy (Cipahi) yang ada di Sumatra, suaranya sangat keras, ritme-ritme musik militer memberikan dorongan yang menggemparkan, mereka memainkan sambil berjalan.
Gandang Tasa yang sangat penting juga dimainkan adalah pada acara Oyak Tabuik yang diselenggarakan oleh masyarakat Pariaman khususnya di perantauan. Misalnya para perantau Pariaman yang berada di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Pekan Baru, Batam, Jakarta, dan kota-kota lainnya. Acara Oyak Tabuik dapat saja dilakukan oleh masyarakat Pariaman di perantauan dalam berbagai event atau hajatan. Biasanya dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus; menyambut tahun baru Hijriyah (bulan Muharam); peresmian atau pelantikan pengurus Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP), dan sebagainya.

Daerah Perkembangan Gandang Tasa

Saat ini Gandang Tasa tidak hanya ditemui pada daerah Pariaman, Maninajau dan daerah Agam lainnya, melainkan sudah ditemui di berbagai kota Sumatra Barat, seperti: Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padangpanjang, dan bahkan di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan lain sebagainya. Hadirnya Gandang Tasa di berbagai kota tersebut pada umumnya dibawa oleh para perantau yang berasal dari Pariaman dan Maninjau. Para perantau sering melakukan upacara-upacara di daerah perantauannya yang melibatkan Gandang Tasa, sebagaimana yang lazim dilakukan di daerah asalnya.
Selain oleh para komunitas perantau, Gandang Tasa juga dimiliki oleh berbagai sanggar-sanggar kesenian yang ada di berbagai kota di Sumatra Barat, dan sanggar-sanggar kesenian Minang yang ada di berbagai kota luar  Sumatra Barat. Paket-paket pertunjukan yang disajikan oleh sanggar-sanggar kesenian itu tak jarang juga menghadirkan paket khusus Gandang Tasa, seperti pertunjukan awal sebagai pembukaan pertunjukan.
Padangpanjang, 25 Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...