Selasa, 29 Oktober 2013

Firasat

CERPEN Ilham Yusardi
(I)
“Niar, kau lihat hape?” Bahar menyonsong istrinya yang berada di dapur. Niar sedang mengaduk gula dan kopi, membuatkan minuman pagi buat suaminya itu. Sejenak Niar menoleh, menangkap wajah suaminya menyembul separuh badan di pintu yang menghubungkan ruang tengah dan dapur rumah. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.
“Hape Uda? Tidak. Tapi, biasanya sebelum tidur, kan Uda taruh di dekat lemari kaca kamar. Tentu masih di situ.” Niar kian keheranan lihat laku suaminya. Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara itu, putri tunggal mereka yang sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di tangan Bahar. Ia sangat senang sekali. Ia terisak tangis waktu menerima hape itu dari tangan Lara. Ia bersuka cita sekali bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu lagi karena itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia bangga dengan pemberian itu. Padahal, ia tiada pernah meminta di balas budi sedikit pun dari anaknya itu. Malahan ia sangat khawatir Lara yang tidak mau lagi meminta atau menerima uang darinya selepas ia tamat dari kuliah.

“Ayah, Alhamdulillah Lara sekarang sudah wisuda. Terima kasih atas segala kerja keras Ayah menyekolahkan Lara. Selepas wisuda ini, Lara mau tetap di Ibu kota dulu. Tapi Ayah tak perlu cemaskan lagi uang belanja harian Lara lagi. Saat ini, Lara ada penghasilan dari mengajar les  ke rumah-rumah. Mudah-mudahan secepatnya Lara dapat pekerjaan tetap,” katanya waktu selesai wisuda.
Hape itu diberikan waktu Lara pulang, sehari sebelum Lebaran. Mereka tiga beranak tertawa gembira dan suka cita dalam gurau di rumah, sewaktu Lara mengajarkan Bahar cara memegang hape, cara memencet tombol-tombol yang kecil. Maklumlah, penglihatan mata tua Bahar memang sudah sedikit kabur. Untuk melihat huruf di tombol itu, ia mesti mendekatkan hape ke pelupuk matanya, mengernyitkan mata agar sedikit jelas. Melihat itu, Lara tidak bersikeras mengajarkan ayahnya itu cara mengirim atau menerima pesan. Tapi dengan gigih dan berkali kali, Lara ajarkan tombol apa yang mesti ditekan bila ada panggilan masuk. Kemudian bagaimana pula cara menghubungi seseorang. Berulang-ulang Lara mempraktikkan dengan cara menghubungi ayahnya dari bilik. Maka sehari dua-hari sejak itu, ayahnya mulai pandai cara menghubunginya, cara menerima telepon darinya.
“Nanti kalau Ibu  atau Ayah rindu pada Lara,  tinggal telepon pakai hape saja.”
Mereka gelak terbahak-bahak melihat cara kerja hape yang menurut mereka sangat ajaib. Tentulah ajaib bagi meraka yang tidak tamat pendidikan dasar itu. Lagi pula, selama ini Bahar belum sekalipun menyentuh hape, baru sekadar melihat saja. Ditambah lagi di nagari mereka  baru tiga bulan ini ada sinyal telepon seluler.
Bahar balik ke kamar seperti yang ditunjukkan bininya. Gelagatnya terdesak sekali. Dilihatnya di kamar, di lemari, tidak ada. Diperiksa satu persatu laci lemari, tidak tampak. Dibalik-balik pula lipatan kain, tak terlihat.
“Tak ada, Niar!” setengah bersorak ia memberitahu. Niar yang kini menating gelas kopi ke meja kayu kusam di ruang tengah mulai terbawa kepanikan suaminya itu.
Lha, kemana pula perginya. Kan hapenya tidak berkaki. Masa bisa jalan sendiri? Coba bawa bertenang dulu, terakhir kali Uda bersama hape itu kapan?”
“Tadi malam. Hape itu kumatikan sebelum ke surau. Sepulang dari surau. Sebelum tidur aku ke jamban. Kutaruh hape...”
“Nah tuh kan, jelas. Lihat di dalam saku celana yang Uda pakai tadi malam.”
“O, iya. Tapi celana itu ke mana?”
“Di belakang, masih tergantung di paku dibalik pintu kamar mandi.”
Dengan terburu-buru, Bahar berlari ke kamar mandi. Di kamar mandi dengan agak gemetar, diraihnya hape. Ia pelototi hape persis kurang sejengkal di lubuk matanya. Matanya setengah berpicing menangkap cahaya dari layar hape. Seperti yang pernah diajarkan, ia cari nama anaknya itu. Lara. Begitu menemukan, ditekannya tombol tanda telepon berwana hijau. Beberapa detik suara sambungan, tuuuuuuuut... tuuuuut.., berdenyit di telinganya.
“Asalamualaikum, Ayah,” suara lembut dari lubang-lubang speker. Tak lain tentulah suara putri terkasihnya itu di seberang yang jauh.
“Lara? Kau biak-baik saja, Nak?”
“Alhamdulillah, baik Ayah. Sekarang Lara sedang mengajar. Ada apa, Ayah”
“O, anu, ah..., tidak. Ayah cuma mencoba hapenya.”
“Ooo, Lara mengajar dulu ya, Ayah. Nanti kalau pulsa habis Lara kirim lagi.”
“Nggg, anu, tak perlu. O, mmm, pulsa masih banyak. Teruskanlah pekerjaanmu.”
Ia matikan hape. Seketika, perasaan galau yang membuat ia pagi-pagi berkelabat bergesa mencari hape, demi menguhubungi Lara, selesai sudah. Lega tegangan nadi yang merengsek ke debar jantungnya. Seketika, berhenti peluh dingin bersimbah di lekuk tengkuknya. Bagaiman tidak, ia tidak bisa lepas dari mimpi yang didapati tadi malam. Mimpi baralek, pesta kawinan di rumahnya. Lara, anak gadis tunggalnya itu menjadi anak dara. Ramai orang yang datang bertamu, bersuka cita. Mimpilah itulah yang menumbuh risau. Setahu Bahar, dari cerita yang beralih dari mulut ke mulut, yang telah menjadi rahasia umum, jika seorang bermimpi baralek, akan ada seseorang dari keluarga yang bermimpi itu bakal meninggal.
Bahar keluar dari dalam kamar mandi.
“Ada apa Uda, pagi-pagi sibuk mencari hape?” Tanya Niar begitu ia sampai di ruang tengah. Dengan sendi yang kaku ia henyakkan badan di kursi busa yang sudah reot berpalung itu. Ia meraih cangkir kopi.
“Ada apa, Uda?”
Bahar cuma menggeleng. Tak ada kata.
* * *
(II)
Jingga senja bersemburat dari balik bukit. Lingkar matahari yang bergerak luluh ke lambung bukit tidak terlalu tampak, karena bertabir langit yang berkabut. Dari Towa, pengeras suara yang ditempatkan di puncak kubah surau, terdengar lengking bacaan Qur’an. Biasanya, kalau bacaan Qur’an sudah terdengar, itu tandanya waktu Magrib beberapa saat lagi. Niar baru saja selesai mandi, setelah sebelumnya memasak gulai Jengkol yang dipesan lakinya untuk sambal makan malam nanti. Lega rasanya begitu ia selesai mengerjakan pekerjaan hariannya.
Niar duduk di kursi kayu, menghadap jauh lurus ke ujung jalan. Pintu rumah itu persis bergaris lurus dengan jalan yang menghampar panjang, sebelum kelok pertama ke balik bukit menumbuk pandangan. Niar mendapatkan tanah jalan bersepuh emas langit. Bahar belum juga tampak di jalan. Tidak biasanya lakinya pulang keburu Magrib. Biasanya, pukul enam sudah di rumah, mandi dan bersiap ke surau. “Entah di mana pula tersangkut singgah?” Tanyanya dalam hati.       
Sejak Lara menamatkan sekolah Madrasah Aliyah Negeri di nagari, Lara pindah untuk kuliah di kota. Maka, kini mereka berdua saja laki-bini di Rumah Gadang itu, rumah panggung yang tak terlalu tinggi. Sudah empat tahun lebih, sejak Lara pindah, rumah ini tidak terlalu riang. Bagi mereka berdua, hari-hari yang terlewati, terlebih perasaan hati Niar, sedikit sunyi agaknya. Niar dan Bahar, hidup seakan menghabiskan hari menunggu ujung usia.
Udara bergerak lamban, pelan menikungi baris pohon pinang, beringsut mengayunkan dahan cokelat yang merimbun di halaman rumah, merengsek ke segala sudut beranda rumah, mengalir di sela kelopak bunga Kertas Merah hingga membuat tarian yang ritmis. Membelai kuduk Niar, sehingga ia bergeletar dingin, karena lembab sehabis mandi masih lekat di pori kulitnya. Dan, menyapu lembut matanya yang sedari tadi tak hentinya menunggu bayang suaminya yang belum juga tampak.
Tiba tiba, Niar terkesiap dengan gerak melayang sesosok mahkluk dari kiri beranda. Rama-rama besar, sayapnya seukuran dua kali telapak tangannya. Warnanya hitam pekat dengan sedikit bercak kuning di tengah sayap. Dan, seketika, entah sebab apa pula, ada sesuatu yang menyergap seluruh penjuru pembuluh darahnya, ada hentakan yang kuat menabuh genderang jantungya. Matanya tertahan terpaku hampa menatapi gerak turun-naik kepak sayap yang pelan dari rama-rama besar itu. Mulut Niar terkatup rapat. Kerongkongannya terasa tercekat. Niar seakan tak sadar dan lupa untuk menukar udara dari paru-parunya. Peluh Niar menguap dari segala pori tubuhnya. Dingin.
Niar coba mengusir pikirannya, yang spontan muncul begitu melihat rama-rama itu. Ia berusaha tidak larut dalam petanda yang diyakini oleh kebanyakan orang di nagari, bahwa kalau ada rama-rama besar, Rama-rama Orang Mati, begitu mereka menamainya, yang berkitar ke dalam rumah, itu membawa isyarat gaib, bahwa akan ada sanak saudara yang meninggal dari keluarga rumah itu. Lama Niar tertawan, dalam kelepak sayap yang pelan, rama-rama besar itu terus merengsek. Meski terantuk-antuk pada ukiran kayu dinding rumah, si rama-rama seakan tahu arah pintu yang tebuka lebar.
Walau ia telah dengan sepenuh hati membuyarkan pikiran itu, pada kali lain ia terseret juga arus geletar desir di nadinya. Segera Niar bangkit dari kursi, ia begerak ke dalam rumah, meraih gagang pintu, dengan pelan, terdengar ringkik engsel pintu. Pintu yang berdaun dua itu mengatup, dan tertutup rapat. Maksud Niar, tentulah ia tak mau rama-rama besar itu menyelusup ke dalam rumah. Ia tak mau rama-rama itu menggerogoti dirinya.
Lama Niar terhenyak di dalam rumah. Disela suara azan, ia tangkap suara ketukan di balik pintu.
 “Niar..., Niar, kau di rumah Niar?” Ia tahu itu suara yang sedari tadi ia tunggu. 
 “Ya, Uda” Pintu terbuka. Terlihat wajah Niar yang lembab dan pasi.
 “Ada apa, Niar. Kenapa Kau pucat?”    
Niar cuma menggeleng. Tak ada kata.
** *
Sepulang dari shalat Magrib di surau, begitu ia menguakkan daun pintu, langkahnya patah, Niar terkesiap alang kepalang, “Lihat itu, Uda. Rama-rama besar itu!”
* * *
(III)
Lepas dari dua hari, Bahar dan juga istrinya itu, coba mengikis begalau hati menyelimuti mereka. Mereka mulai tidak terlalu jauh mempersoal hal-hal yang tidak masuk akal. Lagi pula, tiap malam, sehabis Isya atau sebelum tidur, mereka selalu ditelpon oleh Lara. Penuh keceriaan mereka berbincang. Karena itu pulalah, mereka merasa semua berjalan baik-baik saja. 
Hari itu, sebagaimana yang sudah ia rencanakan pagi tadi, Bahar tidak pergi ke ladang yang letaknya di punggung bukit. Rencananya, ia mau membersihkan parak[1] yang sudah mulai di tumbuhi semak di sekeliling rumah saja. Untung pulalah ia tak berangkat ke ladang, sebab ia lihat langit tidak terlalu terbuka. Di beberapa arah tampak gumulan awan gabak bergerak lamban. Membuat sinar matahari terhambat gumpalan awan untuk sampai kulit bumi.
Sore menjelang, Bahar masih sibuk mengayunkan parang menebas ranting-ranting perdu. Meski langit mendung, Bahar tidak terlalu khawatir. Sebab, bila hujan tiba tiba turun, tentunya ia bisa segera berlari ke rumah. 
Disela keasyikannya, diantara bunyi detusan mata parang mengena kayu, sayup-sayup tapi perlahan kemudian menjelas, tertangkap oleh indra dengar Bahar. Suara kicau burung. Tapi kicau itu, bukan pula kicau biasanya.
Pic...ciang! picciang!  
Ia tahu sekali. Kicau itu, kicau burung Murai. Suranya sangat deras dan dekat. Bahar menghentikan ayunan parangnya. Ia telusuri arah, asal suara itu. Dan...
Pic...ciang! picciang!  
Seekor burung Murai hitam bertengger gelisah di pokok kakao.
Setahu ia, sebagaimana yang ia pahami dari turun temurun, burung itu menyebut kata piciang[2], maksudnya picing, menutup mata. Jika burung itu berkicau di sekitar rumah, burung tersebut hendak berkabar dalam isyarat, bahwa akan ada seseorang yang akan memicingkan mata untuk selamanya.
Lagi lagi, ia menarik nafas dalam. Telapak tanganya dingin berpeluh. Dengan sekuat daya, ia buang pikiran itu. Ia kira, cukup sudah baginya kembali menumbuhkan risau dari segala isyarat yang didapatnya.
Tapi..., pada detik berikutnya. Tanah tempat ia berpijak bergetar, dan dalam sekejap kian keras berguncang. Kuat sangat. Ia terhuyung.
“Gempaaaaaa! Allahuakbar! Gempa, Uda! Gempaaaa!”
Niar berteriak serambi berhamburan keluar rumah.
Bahar, dengan cemas dan risau yang masih bersisa, mengumpul tenaga menyusul istrinya yang berlarian di jalan, ke arah tanah lapang. Beberapa orang pun sudah berlari, berhimpun di tengah lapangan. Semua orang, dan tentu juga istrinya sangat panik. Gempa itu sangat kuat berguncang, kuat dari yang pernah dirasakan sebelumnya. 
Sejenak ia tercenung di samping istrinya yang masih mengatur nafas. Pikiran Bahar berkelabat secepat kilat. Gempa sangat kuat yang baru saja terjadi dimanakah pusatnya? Biasanya, seperti yang ia saksikan di televisi, gempa sering terjadi di laut. Secepat kilat berkelabat ia teringat Lara, yang tinggal di ibu kota propinsi yang terletak di pesisir pantai. Secepat kilat ingatannya memutar balik tayangan gelombang Tsunami yang berkali kali ia lihat di televisi.
Setengah jam berlalu, gerimis mulai turun. Sebagian orang pun sudah balik ke rumah. Ia mengajak pulang istrinya. Tanpa menyebut risaunya pada Lara, ia menuntun istrinya pulang.
Sesampai di rumah, “Cepat, Uda. Cepat hubungi Lara,” ternyata istrinya pun sudah memendam risau yang sama.
Bahar menggengam hape dengan seksama. Jantungnya berdegup. Di kepalanya berhimpum segala petanda duka yang belakang ini menyergap mereka. Mimpi baralek, Rama-rama Orang Mati, dan kicau burung Murai itu. Namun ia berusaha memuntahkan pikiran itu. Dengan segenap daya, ia kuatkan menekan tombol seperti yang sudah ia pelajari.
Ia tempelkan hape ke telinganya. Ia tunggu denyit nada sambung. Namun...
Nomor yang anda tuju sedang...
“Lara? Kau baik-baik saja? Lara! Lara!” Ia menatap Niar, istrinya yang sudah menggigit bibir kuat...
Kembali, berulang kali Bahar menekan tombol hape. Selalu saja, sesuara di seberang menjawab...
The number you are calling is not active or out of coverage area. Please try again in a few minute...
Sementara Niar, istrinya, ada yang hendak runtuh di tebing matanya
* * *


[1] parak: kebun (Minang)
[2] piciang: pejam (Minang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...