CERPEN Ilham Yusardi
(I)
“Niar, kau lihat hape?”
Bahar menyonsong istrinya yang berada di dapur. Niar sedang mengaduk gula dan
kopi, membuatkan minuman pagi buat suaminya itu. Sejenak Niar menoleh,
menangkap wajah suaminya menyembul separuh badan di pintu yang menghubungkan ruang
tengah dan dapur rumah. Niar agaknya sedikit heran dengan kelabat lakinya.
“Hape Uda? Tidak. Tapi, biasanya sebelum tidur, kan Uda taruh
di dekat lemari kaca kamar. Tentu masih di situ.” Niar
kian keheranan lihat laku suaminya. Tidak biasanya, pagi-pagi ia menanyakan
hape. Lagi pula hape yang dibelikan Lara itu, putri tunggal mereka yang
sekarang bekerja di ibu kota, memang jarang berbunyi. Hape itu baru seminggu di
tangan Bahar. Ia sangat senang sekali. Ia terisak tangis waktu menerima hape
itu dari tangan Lara. Ia bersuka cita sekali bukan karena hapenya, tapi Bahar terharu
lagi karena itulah pemberian pertama Lara dari hasil jerih peluhnya bekerja. Ia
bangga dengan pemberian itu. Padahal, ia tiada pernah meminta di balas budi
sedikit pun dari anaknya itu. Malahan ia sangat khawatir Lara yang tidak mau
lagi meminta atau menerima uang darinya selepas ia tamat dari kuliah.
“Ayah, Alhamdulillah Lara sekarang sudah wisuda. Terima
kasih atas segala kerja keras Ayah menyekolahkan Lara. Selepas wisuda ini, Lara
mau tetap di Ibu kota dulu. Tapi Ayah tak perlu cemaskan lagi uang belanja
harian Lara lagi. Saat ini, Lara ada penghasilan dari mengajar les ke rumah-rumah. Mudah-mudahan secepatnya Lara
dapat pekerjaan tetap,” katanya waktu selesai wisuda.
Hape itu diberikan waktu Lara pulang, sehari sebelum Lebaran.
Mereka tiga beranak tertawa gembira dan suka cita dalam gurau di rumah, sewaktu
Lara mengajarkan Bahar cara memegang hape, cara memencet tombol-tombol yang kecil.
Maklumlah, penglihatan mata tua Bahar memang sudah sedikit kabur. Untuk melihat
huruf di tombol itu, ia mesti mendekatkan hape ke pelupuk matanya,
mengernyitkan mata agar sedikit jelas. Melihat itu, Lara tidak bersikeras mengajarkan
ayahnya itu cara mengirim atau menerima pesan. Tapi dengan gigih dan berkali
kali, Lara ajarkan tombol apa yang mesti ditekan bila ada panggilan masuk. Kemudian
bagaimana pula cara menghubungi seseorang. Berulang-ulang Lara mempraktikkan dengan
cara menghubungi ayahnya dari bilik. Maka sehari dua-hari sejak itu, ayahnya
mulai pandai cara menghubunginya, cara menerima telepon darinya.
“Nanti kalau Ibu atau
Ayah rindu pada Lara, tinggal telepon
pakai hape saja.”
Mereka gelak terbahak-bahak melihat cara kerja hape yang
menurut mereka sangat ajaib. Tentulah ajaib bagi meraka yang tidak tamat
pendidikan dasar itu. Lagi pula, selama ini Bahar belum sekalipun menyentuh
hape, baru sekadar melihat saja. Ditambah lagi di nagari mereka baru tiga bulan ini
ada sinyal telepon seluler.
Bahar balik ke kamar seperti yang ditunjukkan bininya. Gelagatnya
terdesak sekali. Dilihatnya di kamar, di lemari, tidak ada. Diperiksa satu
persatu laci lemari, tidak tampak. Dibalik-balik pula lipatan kain, tak
terlihat.
“Tak ada, Niar!” setengah bersorak ia memberitahu. Niar
yang kini menating gelas kopi ke meja kayu kusam di ruang tengah mulai terbawa
kepanikan suaminya itu.
“Lha, kemana
pula perginya. Kan hapenya tidak
berkaki. Masa bisa jalan sendiri? Coba bawa bertenang dulu, terakhir kali Uda bersama
hape itu kapan?”
“Tadi malam. Hape itu kumatikan sebelum ke surau. Sepulang
dari surau. Sebelum tidur aku ke jamban. Kutaruh hape...”
“Nah tuh kan, jelas. Lihat di dalam saku celana yang Uda
pakai tadi malam.”
“O, iya. Tapi celana itu ke mana?”
“Di belakang, masih tergantung di paku dibalik pintu kamar
mandi.”
Dengan terburu-buru, Bahar berlari ke kamar mandi. Di kamar
mandi dengan agak gemetar, diraihnya hape. Ia pelototi hape persis kurang
sejengkal di lubuk matanya. Matanya setengah berpicing menangkap cahaya dari
layar hape. Seperti yang pernah diajarkan, ia cari nama anaknya itu. Lara. Begitu
menemukan, ditekannya tombol tanda telepon berwana hijau. Beberapa detik suara
sambungan, tuuuuuuuut... tuuuuut.., berdenyit
di telinganya.
“Asalamualaikum, Ayah,” suara lembut dari lubang-lubang
speker. Tak lain tentulah suara putri terkasihnya itu di seberang yang jauh.
“Lara? Kau biak-baik saja, Nak?”
“Alhamdulillah, baik Ayah. Sekarang Lara sedang mengajar.
Ada apa, Ayah”
“O, anu, ah..., tidak. Ayah cuma mencoba hapenya.”
“Ooo, Lara mengajar dulu ya, Ayah. Nanti kalau pulsa
habis Lara kirim lagi.”
“Nggg, anu, tak perlu. O, mmm, pulsa masih banyak. Teruskanlah
pekerjaanmu.”
Ia matikan hape. Seketika, perasaan galau yang membuat ia
pagi-pagi berkelabat bergesa mencari hape, demi menguhubungi Lara, selesai
sudah. Lega tegangan nadi yang merengsek ke debar jantungnya. Seketika,
berhenti peluh dingin bersimbah di lekuk tengkuknya. Bagaiman tidak, ia tidak
bisa lepas dari mimpi yang didapati tadi malam. Mimpi baralek, pesta kawinan di rumahnya. Lara, anak
gadis tunggalnya itu menjadi anak dara. Ramai orang yang datang bertamu,
bersuka cita. Mimpilah itulah yang menumbuh risau. Setahu Bahar, dari cerita
yang beralih dari mulut ke mulut, yang telah menjadi rahasia umum, jika seorang
bermimpi baralek, akan ada seseorang dari keluarga yang bermimpi itu bakal
meninggal.
Bahar keluar dari dalam kamar mandi.
“Ada apa Uda, pagi-pagi sibuk mencari hape?” Tanya Niar
begitu ia sampai di ruang tengah. Dengan sendi yang kaku ia henyakkan badan di
kursi busa yang sudah reot berpalung itu. Ia meraih cangkir kopi.
“Ada apa, Uda?”
Bahar cuma menggeleng. Tak ada kata.
* * *
(II)
Jingga senja bersemburat dari balik bukit. Lingkar
matahari yang bergerak luluh ke lambung bukit tidak terlalu tampak, karena bertabir
langit yang berkabut. Dari Towa, pengeras suara yang ditempatkan di puncak
kubah surau, terdengar lengking bacaan Qur’an. Biasanya, kalau bacaan Qur’an
sudah terdengar, itu tandanya waktu Magrib beberapa saat lagi. Niar baru saja
selesai mandi, setelah sebelumnya memasak gulai Jengkol yang dipesan lakinya
untuk sambal makan malam nanti. Lega rasanya begitu ia selesai mengerjakan
pekerjaan hariannya.
Niar duduk di kursi kayu, menghadap jauh lurus ke ujung
jalan. Pintu rumah itu persis bergaris lurus dengan jalan yang menghampar
panjang, sebelum kelok pertama ke balik bukit menumbuk pandangan. Niar
mendapatkan tanah jalan bersepuh emas langit. Bahar belum juga tampak di jalan.
Tidak biasanya lakinya pulang keburu
Magrib. Biasanya, pukul enam sudah di rumah, mandi dan bersiap ke surau. “Entah
di mana pula tersangkut singgah?” Tanyanya dalam hati.
Sejak Lara menamatkan sekolah Madrasah Aliyah Negeri di nagari, Lara pindah untuk kuliah di
kota. Maka, kini mereka berdua saja laki-bini di Rumah Gadang itu, rumah
panggung yang tak terlalu tinggi. Sudah empat tahun lebih, sejak Lara pindah,
rumah ini tidak terlalu riang. Bagi mereka berdua, hari-hari yang terlewati, terlebih
perasaan hati Niar, sedikit sunyi agaknya. Niar dan Bahar, hidup seakan
menghabiskan hari menunggu ujung usia.
Udara bergerak lamban, pelan menikungi baris pohon
pinang, beringsut mengayunkan dahan cokelat yang merimbun di halaman rumah, merengsek
ke segala sudut beranda rumah, mengalir di sela kelopak bunga Kertas Merah hingga
membuat tarian yang ritmis. Membelai kuduk Niar, sehingga ia bergeletar dingin,
karena lembab sehabis mandi masih lekat di pori kulitnya. Dan, menyapu lembut matanya
yang sedari tadi tak hentinya menunggu bayang suaminya yang belum juga tampak.
Tiba tiba, Niar terkesiap dengan gerak melayang sesosok
mahkluk dari kiri beranda. Rama-rama besar, sayapnya seukuran dua kali telapak
tangannya. Warnanya hitam pekat dengan sedikit bercak kuning di tengah sayap. Dan,
seketika, entah sebab apa pula, ada sesuatu yang menyergap seluruh penjuru
pembuluh darahnya, ada hentakan yang kuat menabuh genderang jantungya. Matanya
tertahan terpaku hampa menatapi gerak turun-naik kepak sayap yang pelan dari rama-rama
besar itu. Mulut Niar terkatup rapat. Kerongkongannya terasa tercekat. Niar
seakan tak sadar dan lupa untuk menukar udara dari paru-parunya. Peluh Niar menguap
dari segala pori tubuhnya. Dingin.
Niar coba mengusir pikirannya, yang spontan muncul begitu
melihat rama-rama itu. Ia berusaha tidak larut dalam petanda yang diyakini oleh
kebanyakan orang di nagari, bahwa
kalau ada rama-rama besar, Rama-rama
Orang Mati, begitu mereka menamainya, yang berkitar ke dalam rumah, itu
membawa isyarat gaib, bahwa akan ada sanak saudara yang meninggal dari keluarga
rumah itu. Lama Niar tertawan, dalam kelepak sayap yang pelan, rama-rama besar
itu terus merengsek. Meski terantuk-antuk pada ukiran kayu dinding rumah, si rama-rama
seakan tahu arah pintu yang tebuka lebar.
Walau ia telah dengan sepenuh hati membuyarkan pikiran
itu, pada kali lain ia terseret juga arus geletar desir di nadinya. Segera Niar
bangkit dari kursi, ia begerak ke dalam rumah, meraih gagang pintu, dengan
pelan, terdengar ringkik engsel pintu. Pintu yang berdaun dua itu mengatup, dan
tertutup rapat. Maksud Niar, tentulah ia tak mau rama-rama besar itu menyelusup
ke dalam rumah. Ia tak mau rama-rama itu menggerogoti dirinya.
Lama Niar terhenyak di dalam rumah. Disela suara azan, ia
tangkap suara ketukan di balik pintu.
“Niar..., Niar,
kau di rumah Niar?” Ia tahu itu suara yang sedari tadi ia tunggu.
“Ya, Uda” Pintu
terbuka. Terlihat wajah Niar yang lembab dan pasi.
“Ada apa, Niar.
Kenapa Kau pucat?”
Niar cuma menggeleng. Tak ada kata.
** *
Sepulang dari shalat Magrib di surau, begitu ia
menguakkan daun pintu, langkahnya patah, Niar terkesiap alang kepalang, “Lihat
itu, Uda. Rama-rama besar itu!”
* * *
(III)
Lepas dari dua hari, Bahar dan juga istrinya itu, coba
mengikis begalau hati menyelimuti mereka. Mereka mulai tidak terlalu jauh
mempersoal hal-hal yang tidak masuk akal. Lagi pula, tiap malam, sehabis Isya atau
sebelum tidur, mereka selalu ditelpon oleh Lara. Penuh keceriaan mereka
berbincang. Karena itu pulalah, mereka merasa semua berjalan baik-baik
saja.
Hari itu, sebagaimana yang sudah ia rencanakan pagi tadi,
Bahar tidak pergi ke ladang yang letaknya di punggung bukit. Rencananya, ia mau
membersihkan parak[1]
yang sudah mulai di tumbuhi semak di sekeliling rumah saja. Untung pulalah ia
tak berangkat ke ladang, sebab ia lihat langit tidak terlalu terbuka. Di
beberapa arah tampak gumulan awan gabak bergerak lamban. Membuat sinar matahari
terhambat gumpalan awan untuk sampai kulit bumi.
Sore menjelang, Bahar masih sibuk mengayunkan parang
menebas ranting-ranting perdu. Meski langit mendung, Bahar tidak terlalu
khawatir. Sebab, bila hujan tiba tiba turun, tentunya ia bisa segera berlari ke
rumah.
Disela keasyikannya, diantara bunyi detusan mata parang
mengena kayu, sayup-sayup tapi perlahan kemudian menjelas, tertangkap oleh
indra dengar Bahar. Suara kicau burung. Tapi kicau itu, bukan pula kicau
biasanya.
Pic...ciang!
picciang!
Ia tahu sekali. Kicau itu, kicau burung Murai. Suranya
sangat deras dan dekat. Bahar menghentikan ayunan parangnya. Ia telusuri arah,
asal suara itu. Dan...
Pic...ciang!
picciang!
Seekor burung Murai hitam bertengger gelisah di pokok kakao.
Setahu ia, sebagaimana yang ia pahami dari turun temurun,
burung itu menyebut kata piciang[2],
maksudnya picing, menutup mata. Jika
burung itu berkicau di sekitar rumah, burung tersebut hendak berkabar dalam
isyarat, bahwa akan ada seseorang yang akan memicingkan mata untuk selamanya.
Lagi lagi, ia menarik nafas dalam. Telapak tanganya
dingin berpeluh. Dengan sekuat daya, ia buang pikiran itu. Ia kira, cukup sudah
baginya kembali menumbuhkan risau dari segala isyarat yang didapatnya.
Tapi..., pada detik berikutnya. Tanah tempat ia berpijak
bergetar, dan dalam sekejap kian keras berguncang. Kuat sangat. Ia terhuyung.
“Gempaaaaaa! Allahuakbar! Gempa, Uda! Gempaaaa!”
Niar berteriak serambi berhamburan keluar rumah.
Bahar, dengan cemas dan risau yang masih bersisa, mengumpul
tenaga menyusul istrinya yang berlarian di jalan, ke arah tanah lapang.
Beberapa orang pun sudah berlari, berhimpun di tengah lapangan. Semua orang,
dan tentu juga istrinya sangat panik. Gempa itu sangat kuat berguncang, kuat
dari yang pernah dirasakan sebelumnya.
Sejenak ia tercenung di samping istrinya yang masih
mengatur nafas. Pikiran Bahar berkelabat secepat kilat. Gempa sangat kuat yang
baru saja terjadi dimanakah pusatnya? Biasanya, seperti yang ia saksikan di
televisi, gempa sering terjadi di laut. Secepat kilat berkelabat ia teringat
Lara, yang tinggal di ibu kota propinsi yang terletak di pesisir pantai.
Secepat kilat ingatannya memutar balik tayangan gelombang Tsunami yang berkali
kali ia lihat di televisi.
Setengah jam berlalu, gerimis mulai turun. Sebagian orang
pun sudah balik ke rumah. Ia mengajak pulang istrinya. Tanpa menyebut risaunya
pada Lara, ia menuntun istrinya pulang.
Sesampai di rumah, “Cepat, Uda. Cepat hubungi Lara,”
ternyata istrinya pun sudah memendam risau yang sama.
Bahar menggengam hape dengan seksama. Jantungnya berdegup.
Di kepalanya berhimpum segala petanda duka yang belakang ini menyergap mereka.
Mimpi baralek, Rama-rama Orang Mati, dan kicau burung Murai itu. Namun ia berusaha
memuntahkan pikiran itu. Dengan segenap daya, ia kuatkan menekan tombol seperti
yang sudah ia pelajari.
Ia tempelkan hape ke telinganya. Ia tunggu denyit nada
sambung. Namun...
Nomor yang
anda tuju sedang...
“Lara? Kau baik-baik saja? Lara! Lara!” Ia menatap Niar,
istrinya yang sudah menggigit bibir kuat...
Kembali, berulang kali Bahar menekan tombol hape. Selalu
saja, sesuara di seberang menjawab...
The number
you are calling is not active or out of coverage area. Please try again in a
few minute...
Sementara Niar, istrinya, ada yang hendak runtuh di
tebing matanya
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar