CERPEN Andika
Destika Khagen
I
Sumber: www.vebidoo.de |
Aku
jarang pulang ke kampung. Bila ada kesempatan untuk pulang, itu pastilah karena
dua orang: Emak dan Mamak.
Emakku begitu perindu. Sebulan saja aku tidak pulang, ia
bisa saja sakit. Anehnya, bila aku telah di sampingnya, dan menciumi keningnya
yang berkerut, Emak tiba-tiba saja
sehat. Seolah-olah tidak pernah sebelumnya ia merasa sakit. ”Kamu harus sering
pulang, Jang,” tutur Udaku.
Baik Emak maupun Uda, pernah berkeinginan aku menetap
saja di kampung. Dua hektare tanah peninggalan Bapak masih belum digarap. Tanah
itu telah diberikan kepadaku, tersebab Emak tak punya anak perempuan. Aku tak
menjawab tawaran Uda. Ia tentu tahu aku tidak pernah diajarkan memegang
cangkul, bertanam padi, dan mengenal pekerjaan yang bisa dijadikan pegangan
untuk hidup.
Sedari SMP, aku telah meninggalkan kampung. Aku ingat
persis, ketika itu Bapak masih hidup, ia tak mampu menahan niatku. Entah apa
yang ada di kepala kecilku, keinginanku meninggalkan kampung begitu kuat. Aku
ingin sekolah. Keinginan yang membuat Bapak menangis karena tak mampu
memenuhinya.
Aku tak pernah menyesali keputusan itu, hingga kini. Satu
nasihat Bapak kuingat persis. Meski ia akhirnya melepaskanku berangkat ke kota,
tak tahu apa yang dituju, ia yakin (entah darimana keyakinannya datang), bahwa
aku akan mampu meraih cita. Kata Bapak, orang yang lapar lebih beruntung
daripada orang yang kenyang. Orang lapar akan berpikir apa yang akan dimakannya esok
hari. Orang yang telah kenyang, biasanya lebih memilih untuk tidur.
Bapak tidak salah, walau tak sepenuhnya benar juga. Entah
karena lapar atau tidak, nasib baik mengantarkanku hingga bangku kuliah. Dari
kuliah, nasib berubah menjadi wartawan di salah satu harian di kotaku. Namun,
Bapak tak sempat menikmati penghasilanku. Ia lebih dulu dipanggil Tuhan.
Emak tak gembira dengan pekerjaanku. Meski setelah
kepergian Bapak, aku yang menanggung biaya hidupnya. Emak hanya tahu satu
pekerjaan, yaitu menjadi pegawai. Ini pernah disampaikannya kepada Uda. Ketika
Uda gagal memenuhi keinginan Emak dan lebih memilih menjadi petani, Emak
kecewa. Harapan selanjutnya tertuju kepadaku.
”Aku ini pegawai, Mak. Lihat fotoku,” tuturku pada Emak.
Foto yang
kuperlihatkan pada Emak dengan pose tersenyum. Barangkali, yang membuat Emak
yakin wartawan itu juga pegawai karena ada dasi yang menempel di leherku yang
kecil. Emak tersenyum. Sepertinya ia memahami.
Namun, karena pekerjaan itu, aku jadi jarang pulang. Emak sering
kali menelpon. Berulangkali alasanku kepada Emak tak bisa meninggalkan
pekerjaan. Emak menyuruhku pulang pada hari Minggu. Setahu Emak, pegawai pada
hari Minggu itu libur. Alasan terbesar Emak ingin anaknya menjadai pegawai
memang bisa libur pada hari Minggu. Tidak seperti petani yang setiap hari mesti
berkuras tenaga di ladang.
”Hari Minggu aku juga kerja, Mak.”
Emak tertegun di seberang telepon. Ia diam. Aku
memahaminya.
“Besok aku pulang, Mak.”
II
Mamak sebenarnya bukan keluargaku. Itu sebutan untuk guru
mengaji. Guru, oh, bukan guru, ia lebih dari itu. Aku tak tahu harus
menyebutnya apa.
Mamak mengajar kami mengaji di masjid. Masjid Raya, dan
ini satu-satunya masjid di kampung kami. Untuk mengajar, ia berjalan dari
rumahnya berjarak 1 km. Meski jauh, Mamak tak pernah terlambat datang mengajar.
Kami pun terbiasa dengan cara Mamak.
Mamak sangat berang jika ada kami, muridnya, yang datang
terlambat. Ia bisa saja menghukum kami berdiri dengan satu kaki, atau lebih
tragisnya, ia bisa saja mengusir. Dan itu memang dilakukannya. Mamak sangat
taat dengan aturan yang dibuatnya.
Kami belajar mengaji dengan Mamak hingga khatam Alquran.
Biasanya, itu sejalan dengan tamatnya kami dari bangku sekolahan. Ketika kami
sudah kelas enam, semuanya harus bisa
menamatkan Alquran, tidak salah tajwid, dan bisa mengaji dengan menggunakan
irama yang syahdu.
Memang harus khatam Alquran setelah kelas enam, sebab,
jika kami ingin melanjutkan pendidikan, itu sama artinya kami akan meninggalkan
kampung. Arti lainnya, kami akan meninggalkan Mamak.
Bukan hanya aku, semuanya tak akan pernah bisa melupakan
Mamak setelah meninggalkan kampung. Mamak tak hanya guru mengaji, demi dia, aku
ulangi, ia lebih dari itu. Ia contoh yang baik, ia panutan.
Aku ingat, suatu ketika, di kampung kami anjing gila
banyak berkeliaran. Anjing-anjing tersebut mengonggong dengan lidahnya yang menjulur
kepada siapa saja. Karenanya, orang tua kami enggan melepas kami pergi mengaji.
Mereka takut kami akan menjadi korban dari keganasan anjing gila.
Pernah ada cerita yang disampaikan Emak kepadaku. Adalah
Helman, anak dari Buya Hamidin. Helman digigit anjing gila ketika hendak pulang
mengaji. Dalam selang waktu satu jam, badan Helman membiru. Ia ditolong mantri
desa. Mantri tersebut membacakan mantra-mantra sambil menyemburkan asap
kemenyan ke kepala Helman. Namun, bukannya Helman menjadi lebih baik, badannya
terus saja membiru. Orang-orang di kampung kehabisan akal, tak tahu lagi
caranya menolong Helman. Sampai akhirnya, Helman benar-benar tak tertolong. Aku
kira, cerita ini juga disampaikan orang tua lainnya kepada anaknya yang pergi
mengaji.
Mamak sadar dengan keadaan tersebut. Namun ia tak mau
dikalahkan oleh anjing gila. Ia tak meliburkan kami. Ia memilih menjemput kami
dari rumah ke rumah dan tak mempedulikan kakinya yang telah lelah berjalan sejauh
1 km. Sepulang mengaji, Mamak kembali mengantarkan kami pulang ke rumah. Orang
tua kami tak dapat menolaknya.
Mamak menjadi guru mengaji di kampung kami telah 10 tahun
lamanya. Sebelum Mamak, yang menjadi guru mengaji di kampung kami adalah orang
tuanya, namanya Buya Muslim.
Dalam waktu 10 tahun tersebut, entah berapa banyaknya
anak-anak yang dididik Mamak untuk bisa membaca Alquran. Bila dirunut lebih
jauh, mulai dari orang tuanya, tentu lebih banyak lagi. Emak, dulunya juga
murid Buya Muslim.
Seperti yang kusampaikan, Mamak tak hanya seorang guru,
ia juga panutan. Setelah kami tamat mengaji, Mamak tetap menganggap kami hasil didikannya.
Bila kami salah, ia tak segan-segan menegur. Bahkan, ia pernah menjewer kuping
Saldi di tengah pasar. Alasannya sepele, Saldi tak menegurnya ketika
berpapasan.
Maka, bagaimana bisa aku melupakan Mamak?
III
Janjiku pada Emak akan sering pulang. Sehari saja waktu
libur, aku memilih untuk menjenguk Emak ke kampung. Namun, aku lebih banyak
berada di rumah Mamak. Bahkan, hingga larut pagi.
Di rumah Mamak, aku meminta nasehat. Ini yang tidak
kudapatkan dari Emak. Dari dulu, nasehat Emak cuma satu, “Hati-hati di rantau,
Jang. Jangan berbuat yang buruk.” Mamak memberi nasehat soal kehidupan.
Pada Mamak, aku leluasa bercerita semua hal. Ada rekan
kerja yang suka iri, bagaimana menghadapi perempuan-perempuan yang tak menutup
aurat, sampai pada pertanyaan yang membuat Mamak bingung: apakah aku bisa
menjadi orang sukses? Mamak pengetahuannya luas. Barangkali karena Mamak suka
membaca. Di dalam rumahnya yang tidak terlalu luas, penuh dengan buku-buku,
terutama buku-buku karangan Natsir.
“Bila begitu benar menumpuknya masalah, kamu harus cari
masjid Jang. Apakah di kota masih ada masjid?”
Semakin banyak masalah, maka aku akan lebih sering pulang
kampung.
IV
Pesan singkat dari Mamak baru kubaca malam hari. Seharian
aku berada di ruang rapat Walikota yang baru terpilih. Walikota tersebut
menyampaikan janji-janjinya dalam masa jabatan lima tahun. Aku mencatat
semua janji itu. Hingga aku tak mendengar ada pesan masuk, dan itu ternyata
dari Mamak.
Mamak jarang (bahkan hampir tak pernah) mengirim pesan
melalui ponsel. Seingatku, baru sekali Mamak berkirim pesan untuk memintaku
pulang. Ketika itu, anak sulungnya akan melakukan pernikahan. Bila tidak penting
benar, Mamak tak mau mengirim pesan.
”Jang, bila kau ada sedikit uang, kirimilah Mamak. Mamak
akan membangun masjid.”
Lama aku mencerna makna pesan yang dikirimkan Mamak.
Setahuku, Mamak tak pernah mengeluh tentang uang. Tapi, ini bukan uang untuk
dirinya pribadi. Mamak akan membangun masjid. Apakah gerangan yang terjadi? Dua
hari berikutnya, aku minta cuti dari kantor.
Aku tak langsung menemui Mamak. Emak yang kuminta
untuk bercerita. Kata Emak, masjid tempat biasa Mamak mengajar mengaji,
kini dijadikan TPA. TPA tersebut resmi dari pemerintah. Pengajarnya adalah
guru-guru yang juga mengajar di sekolahan dasar. Kemudian, masih menurut Emak, murid-murid
yang mengaji diberikan nilai. Nilai tersebut dimasukkan ke nilai mata pelajaran agama
murid tersebut. Sampai di sana, aku langsung memahami pikiran Mamak. Ketika rapat
dengan Walinagari, Mamak mencak-mencak. Ia bahkan mengancam akan membangun
masjid sendiri.
Belum selesai Emak bercerita, aku langsung menemui Mamak.
Ia kulihat sedang menyiangi rumput-rumput di halaman rumahnya. Mamak tersenyum
kepadaku.
”Kapan kau pulang, Jang?”
”Baru sampai, Mak. Maaf aku terlambat menemui Mamak.
Pekerjaanku sangat menumpuk.” Mamak mengajakku ke ruang tamu. Cerita Mamak
kemudian tak jauh berbeda dengan Emak.
”Aku akan membangun masjid, Jang. Di tanah ini. Rumah ini
akan kurobohkan untuk kuganti menjadi masjid.”
Aku tak menyanggah Mamak. Tak juga menanyakan alasannya.
Mamak, dari langkah kakinya yang tegap, tergambar pendiriannya yang kukuh. Jika
aku menanyakan alasan, aku kira Mamak tak akan menjawabnya.
Setidaknya, aku telah bertemu dengan Mamak. Dan
memberikan sedikit saran yang mungkin saja tak akan ia dengarkan. Sebelum
pulang, kuberikan Mamak sedikit uang.
V
Masjid itu selesai juga. Aku tak tahu, darimana Mamak
peroleh uang untuk menyelesaikannya. Emak memberi kabar, Mamak menjual sawah-sawahnya
untuk menambah uang mendirikan masjid itu.
Namun, tak ada murid yang mengaji dengan Mamak. Orang tua
mereka, barangkali takut nilai agama anak-anaknya dilapor ditulis dengan tinta
merah. Nilai agama yang merah, konsekuensinya tidak naik kelas. Ketakutan itu
yang menyebabkan Mamak tak peroleh
murid.
Persoalannya bukan pada murid. Aku kira Mamak tak peduli
apakah ia memiliki murid atau tidak. Masjid yang didirikan Mamak justru ramai
dikunjungi oleh jemaah di waktu Magrib dan Isya. Jamaah di masjid Mamak jauh
lebih banyak dari masjid Raya, masjid yang lebih dulu berdiri di kampungku.
Jamaahnya tentu berasal dari murid-murid mengaji Mamak
dulunya. Mereka yang dididik dengan cara Mamak, tak akan bisa melupakan
jasa-jasa besarnya. Sedangkan masjid Raya, semakin sepi saja jamaahnya, kian
hari. Terlebih, penduduk kampungku yang hanya berjumlah 200 KK. Dengan
berdirinya dua masjid, konsentari jamaah juga terbagi. Aku sendiri, sejak masjid
yang dibangun Mamak itu berdiri, belum lagi pernah pulang kampung.
Aku hanya tak bisa membayangkan, kampung kecil itu kini
telah berdiri dua masjid. Semestinya tak perlu ada kekhawatiran. Bukankah semakin
banyak masjid memberi pesan meningkatnya iman? Aku tak tahu darimana datangnya
kekhawatiranku.
Atas permintaan Emak, aku pulang kampung di hari Lebaran.
Sekarang aku tidak hanya khawatir, tapi juga dilanda kebingungan yang sangat. Di
masjid yang didirikan Mamak, aku kira akan lebih banyak jamaah yang datang.
Sebaliknya, apa yang terjadi di Masjid Raya? Apakah masjid itu akan kosong, dan
hanya diisi oleh murid-murid sekolah dasar saja ketika salat Id?
Takbiran
semakin menggema. Aku tak tahu harus melangkahkan kaki ke masjid mana.
Padang, Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar