OLEH Suryadi
Dosen & peneliti Leiden University Institute for Area Studies, Leiden,
Belanda
Suryadi |
Berkat reformasi kita di Minangkabau telah kembali ke
sistem Pemerintahan Nagari. Namun rupanya sistem Pemerintahan Nagari ‘hadiah’
Reformasi itu telah menghadirkan kultur politik deviant yang kurang sehat di lingkungan nagari-nagari dan
mengandung banyak virus konflik (kepentingan). Pemerintahan Nagari yang
dipraktekkan sekarang tidak merepresentasikan spirit dan karakter budaya
Minangkabau, dan tidak memenuhi harapan masyarakat Minangkabau, sebagaimana
terefleksi dalam ramai wacana publik di berbagai media, baik di kampung maupun
di rantau. Setelah 12 tahun masyarakat Minangkabau kembali ke pemerintahan
nagari, ternyata kehidupan ber-nagari tidak lebih baik (Haluan, 22-1-2012).
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kesempatan
untuk menjemput kembali spirit dan filosofi kehidupaan ber-nagari ala
Minangkabau melalui pencanangan ‘Baliak
ka surau ka nagari’ di Zaman Reformasi ini, yang dulu dibonsai oleh Rezim
Orde Baru, tampaknya telah disia-siakan oleh masyarakat Minangkabau dan para
pemimpinnya.
Alih-alih dapat merevitalisasi iklim politik lokal yang
mencerminkan filosofi komunal ‘awak samo awak’
dan ‘barek sapikua ringan sajinjiang’,
sebagaimana dulu dipraktekkan oleh Pemerintah Nagari bersama anak nagari di
Minangkabau, sistem Pemerintahan Nagari di era Reformasi ini malah telah ditulari
pula oleh budaya ‘demokrasi kebablasan’ yang sekarang sedang meruyak di
Indonesia, yang antar alain dicirikan oleh hubungan politik yang penuh intrik
dan bernuansa uang (money politic) antara Eksekutif dan Legislatif.
Di beberapa nagari, hubungan antara Wali Nagari dan BAMUS Nagari cenderung
dikotomis dan konfrontatif, kontras dengan filosofi ‘musyawarah dan mufakat’
yang di masa lalu pernah menjadi ‘’pakaian’ anak nagari dan para pemimpinnya.
Fenomena ini jelas merupakan rembesan dari kultur politik penuh anomali di
tingkat atas sebagaimana terlihat dalam hubungan antara DPRD
(Kabupaten/Kotamadya dan Propinsi) dengan Bupati/Walikota dan Gubernur dan
antara DPR Pusat dengan Presiden.
Sistem Pemerintahan Nagari yang kita lakoni sekarang
justru makin melempangkan jalan bagi pengikisan sendi-sendi komunalitas dan
kekeluargaan dalam adat dan budaya Minangkabau, serta makin mendorong
berkembangnya budaya materialisme, indivisualisme, dan budaya politik
konfrontatif yang tak sehat, bukan malah mereduksinya. Agaknya benar apa yang dikatakan oleh sosiolog Dr. Mochtar Naim bahwa
‘[p]erubahan nagari ke desa dan kemudian kembali ke nagari bukan hanya sekadar
perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi, dan filosofinya,’ (lihat: ‘Kembali
ke Sistem Pemerintahan Nagari’, dari: http://www.cimbuak.net/; diakses 14-1-2012).
Namun, pertanyaannya adalah:
sejauh mana masyarakat Minangkabau, melalui Eksekutif dan Legislatif Provinsi
Sumatra Barat, mampu memaksimalkan pemanfaatan ruang otonomi daerah yang telah
diberikan dengan cukup luas dan luwes oleh Pemerintah Pusat untuk merevitalisasi
spirit kehidupan ber-nagari di Minangkabau dengan sistem pemerintahannya yang
khas yang merefleksikan filosofi budaya masyarakat Minangkabau sendiri, namun
tetap berada di bawah koridor keindonesiaan. Otonomi daerah mestinya
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghalangi sel-sel kanker politik uang
yang koruptif dan sudah akut agar jangan sampai menjalar ke jaringan arteri
tubuh masyarakat Minangkabau, yaitu (anak) nagari dan masyarakatnya. Namun,
tampaknya Pemerintah Provinsi Sumatra Barat tidak memiliki konsep yang jelas
dalam upaya memotong laju serangan
sel-sel kanker anomali politik di tingkat atas itu, yang telah menjalari hampir
seluruh tubuh Indonesia, agar jangan sampai menular ke tingkat nagari.
Setidaknya ada dua gejala umum yang menunjukkan menjalarnya
ideologi politik uang dengan cepat ke dalam sistem pemerintahan dan kehidupan
ber-nagari ‘hadiah’ Reformasi ini.
Pertama, pemilihan Kepala Nagari secara
langsung, mengikut model demokrasi adopsi dari Barat yang dengan euphoria telah
diterapkan di Indonesia pasca Orde Baru. Sistem pemilihan Wali Nagari secara
langsung ternyata telah menghadirkan budaya politik uang yang persis meng-copy paste
sistem pemilihan para eksekutif di level atas (camat, bupati/walikota,
gubernur, presiden). Seorang kandidat yang tidak terpilih di sebuah nagari di
Kabupaten Padang Pariaman yang saya wawancarai mengatakan bahwa ia telah
mengucurkan urang sampai lebih 30 juta rupiah untuk kampanyenya. Rivalnya (yang
akhirnya memenangkan pemilihan) telah merogoh saku dan mengutang sana-sini
dengan jumlah uang yang lebih banyak lagi. Persis sebagaimana berlaku dalam
pemilihan eksekutif di tingkat atas, politik uang untuk membujuk para
konstituen, lengkap dengan kampanye penuh intrik (termasuk kampanye gelap dan
‘serangan fajar’), yang didukung oleh ‘tim sukses’ masing-masing kandidat,
telah merembes pula sampai kepada sistem pemilihan Wali Nagari.
Tidak saja
usaha untuk ‘mengembalikan’ modal yang yang, sedikit banyak, akan mempengaruhi
kinerja Wali Nagari terpilih selama ia berkuasa, sistem pemilihan Wali Nagari
secara langsung juga potensial menghadirkan iklim politik yang kurang sehat di
nagari-nagari kita. Secara kasat mata budaya politik uang yang kemunculannya
telah dodorong oleh pemilihan Wali Nagari secara langsung itu ternyata telah
merambah komponen terkecil dari susunan masyarakat Minangkabau, yaitu keluarga,
paruik, kaum, dan suku. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan kita karena
berpotensi memicu friksi-friksi dan disintegrasi sosial serta makin mengikis
budaya komunalitas di kalangan masyarakat kita.
Kedua, euforia pemekaran nagari. Sulit untuk
dibantah bahwa dorongan untuk memekarkan nagari dipicu oleh faktor DAUN (Dana
Alokasi Umum Nagari). Dengan adanya recana Pemerintah untuk menggelontorkan
DAUN 1 milyar untuk setiap nagari per tahun, maka banyak oknum ‘cerdik pandai’
dalam nagari terdorong untuk memekarkan nagari asal, karena iming-iming kucuran
uang dari atas itu.
Survei melalui jejaring facebook dan mailing list
yang penulis lakukan setidaknya menunjukkan adanya dua reaksi yang berbeda di
kalangan orang Minangkabau (baik yang tinggal di kampung maupun di rantau) dalam
melihat fenomena pemekaran nagari ini. Satu pihak melihat fenomena ini makin
membahayakan kelangsungan eksistensi adat dan budaya Minangkabau, khususnya adaik salingka nagari, dan
makin mengikis perasaan komunalitas di antara anak nagari yang memang sudah
tergerus juga oleh serbuan budaya global dan ekonomi uang. Pihak yang lain
berpendapat pemekaran nagari akan lebih memacu perkembangan nagari, dengan
alasan bahwa semakin kecil wilayah administrasi pemerintahan, makin mudah
dikelola dan semakin mudah dirancang pembangunannya. Lagi pula, seperti telah
disinggung di atas, menurut pihak yang pro pemekaran jika nagari asli
dimekarkan, maka DAUN akan lebih banyak terserap. Namun, pihak yang kontra
pemekaran berpendapat uang lebih banyak jadi ‘racun’ daripada menjadi ‘madu’. Adakah
kehormatan dalam hidup ini jika selalu mengharapkan bantuan dari orang lain?
Ada banyak contoh bahwa negeri yang wilayah yang luas (seperti Cina) justru
bisa lebih maju. Pemekaran nagari bertentangan dengan spirit dunia usaha kini
yang justru lebih banyak merger agar bisa menghimpun kekuatan. Namun, yang lebih prinsip adalah: apabila nagari dipecah (dimekarkan), apakah pada nagari yang baru diresmikan tersebut
masih akan berfungsi suku nan ampek dan kelengkapan simbol-simbol nagari
lainnya? (Abraham
Ilyas dan Reflus, milis Rantau.Net, 16 & 19-1-2012). Apakah
nagari-nagari yang dimekarkan itu kehilangan atribut-atribut budaya dan akan
mempengaruhi pula mentalitas dan hubungan sosial penduduknya? Alih-alih
memekarkan nagari yang potensial merusak adaik
salingka nagari, mengapa misalnya bukan jorong yang dimekarkan (jika
dianggap kurang) atau digabungkan (jika dianggap terlalu banyak) melalui mana
DAUN untuk masing-masing nagari dihitung yang keputusannya dapat di-perda-kan,
dan itu sangat dimungkinkan oleh keleluasaan yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat karena undang-undang otonomi daerah. Apakah sistem pemerintahan nagari
sekarang dan fenomena pemekaran nagari mempererat kohesi sosial atau justru,
sebaliknya, memicu disintegrasi sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya perlu
dijawab oleh para antropolog dan sosiolog Sumatra Barat dengan turun langsung
mengamati proses pemilihan Wali Nagari, mengupingi rapat-rapat Wali Nagari dan
BAMUS Nagari, merekam wacana ‘parlemen lapau’ di nagari-nagari, dan lain sebagainya.
Apa yang saya juga ingin katakan adalah bahwa Pemerintah Provinsi Sumatra
Barat terkesan belum memakasimalkan pemanfaatan peluang otonomi yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat untuk menciptakan kembali sistem pemerintahan Nagari di
Sumatra Barat yang bersifat egaliter, mandiri, dan
berorientasi ke masyarakat (anak nagari). Kendati Pemda Sumatra Barat telah
memberlakukan Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari,
sebagai revisi atas Perda-Perda sebelumnya, tampaknya Perda tersebut masih
belum menawarkan konsep yang jelas dan solid untuk menjemput kembali spirit
ber-nagari, sekaligus untuk membendung penularan politik konfrontatif yang amis
dengan bau uang ke naga-nagari kita. Namun demikian, kita belum terlambat untuk
manyisik nan rumpang dan
menyempurnakan kekuarangan-kekurangan yang masih ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar