OLEH Bustanuddin Agus
Dosen FISIP Unand
Ninik mamak,
para penghulu dan orang Minang bernostalgia untuk kembali menjadi pemimpin yang
kuat dan berwibawa seperti sebelum masuknya penjajah? Berwibawa seperti era kerajaan
Pagaruyung sebelum bercokolnya penjajah Belanda? Bukankah sekarang sudah
reformasi dan otonomi? Bukankah Sumatera Barat sekarang sudah kembali ke sistem
pemerintahan nagari?
Wibawa dan
kekuasaan ninik mamak di zaman raja-raja Pagaruyung sebelum kedatangan penjajah
demikian kuat. Raja-raja Pagaruyung hanya berkuasa secara simbolis sebagai
pemersatu untuk dapat dikatakan ada Minangkabau yang berpagarkan adat.
Nagari-nagari lah yang berkuasa secara praktis. Nagari-nagari merupakan
republik-republik kecil (petty states) dalam Kerajaan Minangkabau.
Sistem desentralisasi dan musyawarah untuk mufakat mempermantap kekuasaan ninik
mamak karena mereka berhasil menggalang partisipasi publik. Dalam kepemimpinan
ninik mamak ketika itu tidak ada warga suku yang tidak berguna. Indak tukang
mambuang kayu...nan pakak palapeh badia, na buto paambuih lasuang... Semua
orang dihargai menurut kemampuannya.
Harta tidak
terlalu dipermasalahkan karena kehidupan masyarakat di nagari dari
pertanian dan perdagangan tradisional tidak menimbulkan kecemburuan sosial
seperti era kapitalistik sekarang (dahulu budi nan ditanyo, kini ameh nan
paguno). Tanpa budi, kok kayo awak, kayo surang selah, urang indak
kamintak; kok cadiak awak cadiak surang selah, urang indak kabatanyo.
Memutuskan
kebijakan dengan musyawarah, berdasarkan alua jo patuik, dan alam takambang
jadi guru menjadikan kepemimpinan ninik mamak Minangkabau demikian
dihormati karena mereka juga menghargai dan sangat memperhatikan anak
kemanakan. Tidak ada dualisme kekuasaan antara pemerintah dan pemuka adat
seperti di zaman penjajahan dan kemerdekaan ini. Konflik kepentingan dengan
menjamurnya partai politik juga tidak ada. Pendidikan anak kemenakan tidak
melebihi pendidikan ninik mamak, sehingga tidak ada ninik mamak yang terhimpit
gengsi. Adab, sopan santun, budi bahasa, raso jo pareso, lamak di awak
katuju di urang adalah pakaian sehari-hari masyarakat. Karena semuanya itu,
wibawa dan kepemimpinan ninik mamak demikian mantap.
ABS-SBK
Islam datang dan
memperkuat struktur masyarakat Minangkabau. Alam takambang jadi guru diperkuat
dengan mengaitkannya sebagai ayat Allah yang kauniyah. Kepemimpinan
mamak kepada kemenakan diperkuat oleh tanggung jawab ayah kepada anak. Harta
pusaka tinggi yang dikuasai secara matrilinial tidak diusik karena hak milik
kaum, bukan hak milik pribadi yang harus diwariskan menurut faraidh (Agus
dalam Herwandi, 2004:20).
Berkembangnya
Islam di Minangkabau menampilkan kepemimpinan baru, yaitu ulama. Salah-salah awai,
kepemimpinan ulama bisa menyaingi kepemimpinan ninik mamak karena jelasnya
ideologi dan sistem masyarakat yang mereka bawa. Alhamdulillah, ninik mamak dan
masyarakat Minang berhasil merangkul wibawa ulama dengan menjadikan pemuka
agama sebagai perangkat kekuasaannya. Ninik mamak diperkuat oleh malin, manti
dan dubalang, sehingga kepemimpinan di nagari merupakan kesatuan dari urang
ampek jinih.
Kedatangan para
haji dari Makkah (Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang) membawa cara
dakwah Wahabi ke Minangkabau. Belanda melihat kesempatan untuk mengadu domba
kaum adat dengan kaum agama. Tak ayal lagi jihad pemurnian ajaran Islam di
Minangkabau berlanjut dengan jihad melawan penjajahan sehingga yang berlaga di
medan perang adalah pasukan Paderi lawan pasukan Belanda. Dari sumber-sumber
catatan serdadu Belanda, Rusli Amran (1981:385-4340) melukiskan betapa payahnya
Belanda menghadapi perlawanan Paderi.
Sesudah Perang
Paderi, kepemimpinan ulama makin kuat. Namun Minangkabau tetap dipimpin oleh
kaum adat dengan bargaining bahwa adat yang akan dilaksanakan haruslah
yang sesusai atau berdasarkan syarak. Populerlah falsafah adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah (ABSSBK). Berdasarkan falsafah yang
dikenal dengan Piagam Marapalam ini, kebiasaan masyarakat seperti menyabung
ayam, berjudi dan minum tuak tidak boleh ada lagi.
Terdegradasi
Dengan
kedatangan penjajah Belanda dan makin kuatnya kekuasaan penjajah dengan politik
devide et empera, terjadi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Adanya
ninik mamak yang bekerjasama dengan Belanda, seperti menjadi pemungut belasting
terhadap anak kemanakan sendiri, kekuasaan angku laras, dan budaya materialis,
mulai memudarkan kepemimpinan ninik mamak di mata anak kemenakan. Di zaman
kemerdekaan, ninik mamak ikut arus yang berkembang. Di zaman demokrasi liberal,
mereka mendirikan partai pula. Di zaman Orde Lama juga ada yang ikut menjadi
penguat (minimal mendiamkan) kekuasaan Manipol Usdek dan Nasakom. Di zaman Orde
Baru LKAAM juga resmi berada di bawah Golkar. Akibatnya anak kemenakan yang
punya pandangan politik berseberangan tentu ditempatkan sebagai saingan yang
perlu dikalahkan. Logika masyarakat tidak terlalu statistikal. Bagi masyarakat sa
ikua kabau nan bakubang, sadonya kanai luluaknyo. Masyarakat tidak memahami
logika “kan hanya oknum!”. Begitu juga sampai sekarang.
Tentu tidak
semua ninik mamak yang terdegradasi dan hanyut dibawa arus sosial politik.
Namun aspek kebenaran logika masyarakat ini ditunjukkan pula oleh cara
berpakaian dan cara bergaul (berpacaran) sebagian bujang dan gadis Minang
Mereka tak risih berpakaian pusek tabudua atau “narkoba” dan pacaran
yang meniru-niru gaya di TV. Walaupun berjilbab, banyak pula yang gaul atau
jilbab mode (blusnya pendek dan ketat, celananya jeans dan ketat pula). Yang
laki-laki juga demikian. Di jalanan, kampus, bahkan di pedalaman, biasa
disaksikan anak-anak muda yang memakai celana jeans yang robek-robek, memakai
subang, kalung, rambut panjang, rambut dicat, bahkan bangga mentato dirinya.
Budaya pop tampak menjangkiti anak muda yang kehilangan identitas. Bahkan
ada pula orang Minang yang terjerembab masuk agama Kristen dan sebagai
penginjil. Kristenisasi merupakan rangkaian sebab akibat dengan globalisme dan
liberalisme. Gejala ini menabrak identitas Minang selama ini, Minang yang
identik dengan Islam, syarak mangato adat mamakai. Semua ini tamparan
telak terhadap kepemimpinan elit Minangkabau.
Ditambah pula
pendidikan, pangkat dan tingkat sosial ekonomi anak kemenakan sudah banyak yang
melebihi ninik mamak tentu mengurangi pula wibawa ninik mamak. Mamak yang sibuk
memperhatikan anak sendiri dan peran ayah makin kuat dalam keluarga orang
Minang kontemporer menjadikan ninik mamak sungkan untuk banyak memberi nasehat
dan teguran kepada anak kemenakan. Kadaan akan makin melorotkan wibawa ninik
mamak karena ada pula oknum dari mereka yang manjua atau menggadai sawah
anak kemenakan untuk kepentingan pribadinya (seperti untuk biaya kawin batambuah).
Demikian juga ada ninik mamak yang hanya butuh tambahan gelar Datuak untuk
menambah popularitasnya. Pada hal sikap demikian hanya mempertinggi tempat
jatuhnya wibawa mereka. Kemampuan yang masih menjadi ciri khas ninik mamak dan
segera harus mereka kuasai adalah kepandai berpidato pasambahan. Pada
hal mereka sebenarnya harus menjadi pemimpin informal dalam menanamkan pandangan
hidup dan sikap sebagai orang Minang dalam kehidupan.
Namun disertasi
Imran Manan yang berjudul “A Traditional Elite In Continuity And Chance: The
Chiefs of The Matrilineal Lineages of The Minangkabau of West Sumatra,
Indonesia” (1984) menyimpulkan dapat bertahannya kepemimpinan penghulu andiko
karena adat itu sendiri memberi kesempatan untuk menyerap perubahan, legitimasi
kekuasaan penghulu andiko berasal dari sistem kekerabatan Minangkabau, sistem
tanah ulayat, ide republik, dan ideologi demokrasi yang berkembang di
Minangkabau. Menurut saya disertasi ini tidak menukik mempertanyakan berfungsi
atau tidaknya ninik mamak. Hanya sekedar mempertanyakan kenapa lembaga penghulu
masih tetap bertahan. Selama orang Minang masih menyatakan diri sebagai orang
Minang, penghulu akan tetap ada, walaupun hanya nama. Penghulu tidak lagi
sebagai penguasa republik-republik kecil. Penghulu nyaris berfungsi hanya
ketika ada acara seremonial baralek atau batagak datuak yang
dalam TOR Saluak Laka disentil pula karena dilantik oleh pejabat.
Erwin dalam
penelitiannya di Sungai Tanang yang dijadikan bahan disertasinya (2004)
menyimpulkan bahwa kekerabatan luas dan tanah ulayat berupa tanah pusaka tinggi
keluarga besar matrilinial tidak ada lagi karena keterbatasan lahan dan anak
kemanakan bertambah banyak. Akibatnya jaring pengaman sosial bagi orang Minang
juga tidak ada atau tidak berfungsi. Akibatnya orang Minang tidak malu lagi
mengaku diri miskin. Anak jalanan, pengamen, gepeng, pemulung yang tidak
layak menurut kacamata adat karena merendahkan status keluarga luas, sudah
mejadi fenomena sosial di perkotaan Ranah Minang.
Semua ini juga
menunjukkan gejala kehilangan atau krisis identitas. Banyak yang tidak bangga
lagi sebagai orang Minang, minimal dalam perilaku meniru-niru asing yang tidak
karuan. Pergolakan PRRI 1958-1961 adalah salah satu penyebab hilangnya percaya
diri sebagian orang Minang. Mental Minang secara kolektif betul-betul down. Ronidin
dalam bukunya Minangkabau di Mata Anak Muda (2006:ix-xiii, merujuk
kepada Mestika Zed, Mursal Esten dan Syafii Maarif), mengemukakan hal ini
dengan gamblang sehingga terjadi gejala penyembunyian identitas dan suasana
mencekam. Orde Baru memaksakan pula struktur politik dan budaya yang manunggal.
Akibatnya ninik mamak, ulama, cerdik pandai dan bundo kaduang tidak berdaya
membangun anak kemenakan mereka. Krisis yang melanda Minangkabau adalah karena cultural
shock. Budaya luar yang tidak jelas asal usulnya ditiru saja oleh generasi
yang sedang sakit.
Apa yang ingin
saya ungkap adalah bahwa terdegradasinya fungsi dan kekuasaan adat di
Minangkabau bukanlah hanya karena faktor-faktor pribadi ninik mamak. Bukan saja
karena mereka tidak tampil lagi sebagai baringin gadang di tangah koto.
Bukan hanya telah ikut pula sebagai kacung Belanda, menjadi pemungut belasting.
Bukan saja karena adat melewakan gala sudah diambil alih pula oleh birokrat.
Berbagai perubahan sosial yang cukup deras seperti di era globalisasi ini,
tidak mampu dihadang oleh ninik mamak, bahkan mereka banyak yang ikut hanyut
dalam arus yang dahsyat itu. Banyak yang terjangkit perilaku
materialistis, haus kekuasaan, dan individualistis. Tapi tentu masih ada yang
cukup idealis, masih punya wibawa di hadapan anak kemenakan. Tetapi secara
struktur sosial budaya kontemporer telah terjadi degradasi kepemimpinan elit
Minangkabau.
Harapan
Di tengah arus
kehidupan politik nasional dan hegemoni kebudayaan Barat di dunia dewasa ini,
peran apa lagi yang bisa dimainkan oleh ninik mamak? Ataukah semua faktor
perubahan sosial budaya, baik nasional maupun internasional tersebut dapat jadi
alasan untuk tetap melestarikan rumah bagonjong dan gelar Datuak hanya
untuk komoditi parawisata?
Adat dan agama
Islam sudah disepakati sebagai pengarah dan pedoman dalam membangun masyarakat
Sumatera Barat berdasarkan Perda Perda No. 9 Tahun 2000. Adat dan agama Islam
penting untuk menjadikan kehidupan manusia jadi bermakna, aktif dan bersopan
santun, tidak terjerumus menjadi budak harta dan pelayan hawa nafsu. Ini
dikarenakan adat dan agama Islam, di samping mengajarkan prinsip hidup dan
aqidah, juga mementingkan penggunaan akal dan berguru ke alam takambang
atau sunnatullah. Adat dan agama Islam mendorong masyarakat yang
berpegang kepadanya untuk maju. Tujuan Nabi Muhammad diutus ke dunia
adalah untuk menebarkan rahmatan lil’lamin (al-Anbiyak 107).
Adat juga
mendorong orang Minangkabau untuk maju, seperti dengan melakukan merantau,
memanfaatkan waktu, dan lainnya. Maka aspek positif dari globalisasi, seperti
menggunakan teknologi, disiplin, rasional juga dimiliki oleh adat dan agama
Islam. Berpegang kepada adat dan agama Islam diyakini mampu menjadi kekuatan
untuk menangkal aspek negatif dari arus globalisasi, seperti pergaulan bebas
muda-mudi, cara berpakaian dan bersikap, narkoba, yang semuanya ini merupakan
gejala hedonisme dan liberalisme moral. Makin jauh dari ajaran agama
(sekularisme), seperti tidak melaksanakan ibadat dan ajaran agama dan bangga
dengan dosa juga menjadi tren globalisasi. Penguatan adat dan agama sebagai
gerakan kultural diperlukan untuk membendung pengaruh negatif globalisasi.
Untuk
menumbuhkan kewibawaan elit Minang di mata anak kemenakan diperlukan
kekompakan dan kerjasama kepemimpinan formal dan informal Minang. Kebijakan
pemda dan segenap jajarannya perlu betul-betul didorong untuk berorientasi
mengangkatkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat, terutama kelas menengah ke
bawah. Langkah-lakangkah supaya keberadan ninik mamak dan ulama dapat dirasakan
sebagai penggembala umat dan pengayom anak kemenakan perlu digarap dengan serius
(seperti dengan mengadakan pelatihan esensi dan kondidi adat menghadapi
globalisasi, pelatihan ESQ, program studi tertentu), oleh pemda bekerja sama
dengan LKAAM dan MUI.
Daftar Pustaka
Agus,
Bustanuddin. 2004. “Penghulu, Ulama, dan Cadiak Pandai”, dalam Herwandi
(Ed.) Mambangkik Batang Tarandam, Padang, Pemda Sumatera Barat.
Amran, Rusli.
1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar
Harapan.
Erwin. 2004.
“Perubahan Fungsi sosial Ekonomi dan Dinamika Pengelolaan Tanah Dalam Keluarga
Matrilineal Minangkabau. Studi Kasus Nagari Sungai Tanang Sumatera Barat”.
Disertasi Program Studi Ilmu Sosial Program Pascasarjana Universitas Pajajaran,
Bandung.
Manan, Imran.
1984. “A Traditional Elite in Continuity and Change: The Chiefs of The
Matrilineal Lineages of the Minangkabau of West Sumatra,
Indonesia”. Disertasi Jurusan Antropologi University of Illinois at
Urbana-Champaign.
Ronidin. 2006. Minangkabau
di Mata Anak Muda. Padang: Andalas University Press.
(Tulisan disajikan dalam diskusi Saluak Laka di Padang
tanggal 27 November 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar