CERPEN Kaba’ti
(Cerita sudah saat pungguk mati di bulan
Tak mati pungguk karena bulan
Mati pungguk karena tuhan)
Di atas langit Kota Belimbing, Bulan tersenyum pada laki-laki bertampang mabuk
yang tertatih mencari tempat rebah. Laki-laki itu berjalan ke kamar kecil di
bawah menara di samping mesjid. Fajar mulai muncul, dan langit dipenuhi suara mendengung—suara
azan berbaur rekaman ceramah dai-dai popouler juga lantunan salawat dan
nyanyian asmaul husna.
Walau sebenarnya
mengejek, tetapi senyum Bulan, kapanpun, tetap saja manis. Itulah hiburan jiwa
yang menentramkan, memandang senyum Bulan. Laki-laki bertampang mabuk itu
kelihatan sangat kehilangan akal. Tangannya menggapai-gapai dan mulutnya
meraung-raung kecil seperti kucing kasmaran. Kadang dia mengikuti irama
nyanyian asmaul husna tapi kadang entah nyanyian apa pula yang dia lagukan.
Maklumlah, pikiran orang yang tak tetap. Tetapi suara laki-laki itu bagus. Karena
suara itulah, Bulan selalu tersenyum padanya. Suara yang membuat Bulan sering
terlambat pulang ke peraduan. Hanya suara, bagi Bulan, tak pernah tampak
wajahnya. Kalau Bulan selalu tersenyum, senyum itu tertuju pada suara. Ya,
suara dari ujung menara.
Tatapan mata
laki-laki bertampang mabuk tampak lurus tertuju ke langit. Entah apa
sesungguhnya yang dia khayalkan, yang terlihat dia terkalai di dipan kayu,
tidur-tidur ayam sambil terus memandangi langit dari arah jendela kaca kecil
kamar itu. Biasanya memang begitu dia, berleha-leha, bermalas-malas sampai istrinya singgah membawakan sepiring lontong pecal buat
sarapan paginya.
Pagi-pagi itu pula,
tampak sepasang kekasih berjalan lambat-lambat
di jalan jalur dua depan mesjid yang bermenara—jalan utama menuju pasar. Si perempuan memakai daster
batik berlengan pendek yang longgar dan tipis. Kadang-kadang dia melakukan
gerakan seperti melompat, mungkin untuk menghindari sampah-sampah yang
teronggok sembarangan di pinggir jalan, juga menghindari lubang-lubang kecil
yang digenangi air. Semalam hujan turun dan subuh itu jalan cukup becek, namun
udara segar. Aroma bangkai tikus yang biasanya selalu menyeruak dari dalam
selokan tak jauh dari bak sampah pasar, untuk
pagi itu hilang, hanyut terbawa air.
Rambut perempuan
berdaster batik, yang semula di sanggul-- pada seperempat masa
perjalanan—kemudian dia lepaskan. Dan tergerailah rambut hitam tebal itu
menutupi punggung, sampai ke pinggangnya yang melekuk bak lekukan di bodi
gitar. Dan senyum Bulan jatuh pula, berkilau di hitamnya rambut perempuan. Amboi, dia sungguh…ups, tak boleh memuji cantik perempuan dengan selera lelaki.
Laki-laki bertampang mabuk itu--entah mengapa—sejenak terpaku pula takkala
menampak perempuan berdaster batik tersebut, tanpa sengaja, dari jendela kecil
di kamar kecilnya di bawah menara.
Dalam remang subuh
yang masih pekat, karena jarum jam masih di angka lima, tidak mudah menebak
orang itu si ana atau si anu, tetapi tidak terlalu sulit membedakan tubuh
perempuan dengan tong sampah atau gerobak-gerobak makanan yang ditinggal
pedagang malam.
Perempuan itu sedang
hamil. Tubuhnya mungil, pinggangnya ramping tetapi perutnya membusung agak
besar. Gerakannya sangat manja. Sering dia melirik lelaki di sampingnya.
Laki-laki itu tidak ikutan berjalan kaki, walau mereka beriringan. Dia di atas
motor becak saja, yang dia jalankan sangat perlahan. Pemandangan begitu bak
memandang raja muda yang sedang membujuk permaisurinya naik ke atas kereta
kuda. Laki-laki bertampang mabuk mungkin berpikir, suaminya itu akan pergi
menarik becak tetapi dia juga ingin menemani istrinya berjalan kaki pagi itu.
Olah raga orang hamil, agar persalinannya lancar. Tapi bukankah sebaiknya,
sepagi ini, si suami meninggalkan saja becak motornya di rumah, lalu mereka
sama berjalan. Nanti setelah selesai, mereka bisa sama pulang ke rumah, si laki-laki
mandi dan perempuan menyiapkan kopi. Lalu setelah sarapan pagi, dia bisa mulai
menarik becak dengan hati lapang dan jiwa tenang. Kenapa dia harus
mengiring-iring istrinya dengan becak pula? Apakah dia khawatir istrinya yang
cantik --setidaknya berambut indah dan bertubuh seksi, karena dari wajah
perempuan itu tak tampak, pagi masih remang sekali—akan melahirkan di jalan?
Tapi sepertinya hamil perempuan itu belum terlalu tua. Seperti hitungan tujuh bulan sajalah baru.
Awan kadang
membelai, bercanda sambil menutup wajah Bulan, namun dia tetap tersenyum, walau
dalam kabut. Akh, senyum seperti itu malah menghadirkan sensasi lain pula, di
penghujung fajar seperti subuh itu. Sensasi yang lebih berguna ketimbang
mengamati sepasang kekasih yang beolahraga. Kalau berani jujur, sebenarnya
laki-laki bertampang mabuk sudah lama jatuh cinta pada Bulan. Cinta itu aneh
dan menghangatkan. Dan itulah yang dia rasa setiap kali memandang wajahnya.
Tapi dia kampung dipinggiran hutan. Sama sekali tak ada bekal berupa harta
benda yang bisa dijadikan modal usaha. Yang dia punya hanyalah kemampuan
menyanyikan ayat-ayat tuhan dalam tujuh irama. Suaranya memang bagus. Kemampuan
yang hanya laku di mesjid tidak di pasar. Padahal sebenarnya jiwanya preman.
Dia ingin berkuasa dan dipandang hebat.
“Hai kenapa
termangu-mangu saja?” Bulan menyapa ke arahnya. Laki-laki bertampang mabuk
memalingkan wajah dari kilau rambut perempuan hamil. Kilau cahaya Bulan
menyilaukan matanya. Bak tersihir, laki-laki itu melihat wajah Bulan seakan
pecah, membentuk ulasan senyum baru. Seulas senyum; Bulan sabit.
“Apa kamu mengamati
tubuh perempuan yang berjalan dengan kekasihnya itu?” Tanya Bulan sambil
mencibirkan seulas bibir bawahnya ke arah sepasang kekasih yang sedang berjalan
pelan di jalur dua sana. Terdengarnya seperti perempuan yang sedang cemburu.
“Akh, buat apa aku
pedulikan mereka!” jawab laki-laki bertampang mabuk gusar. Dia risih, Bulan
tahu, sebagai lelaki, seleranya rendah. Hanya sebatas tubuh. Tetapi segera
timbul pula bangganya, bisa membuat Bulan cemburu. Setidaknya itu perasaannya.
“Kalau begitu, coba
kamu perhatikan sekarang baik-baik. Tidakkah kamu melihat hal ganjil pada
mereka?”
“Ganjil? Apanya yang
ganjil? Di seluruh dunia, hal sangat biasa kalau ada sepasang suami istri
berjalan-jalan pagi, olah raga sambil menunggu kelahiran bayi mereka.” Jawab laki-laki
datar.
“Apa? Suami istri
katamu? Yeaah, butakah matamu? Coba perhatikan lagi! Makanya aku suruh kamu
memperhatikan!” Bulan merengut.
Lalu diperhatikannya
lagi perempuan berbody gitar itu. Tepat saat tangan perempuan hamil mengelus
stang motor becak yang sedang digenggam tangan si lelaki, sementara si laki-laki
menatap lurus ke depan. Hanya sebentar, kemudian secepat cahaya dia menarik
lagi tangannya lalu menunduk ketika si laki-laki menatap ke arahnya. Pemandangan
itu membuat laki-laki bertampang mabuk dan Bulan seakan merasakan hawa panas di
sekeliling mereka. Hangatnya cinta.
“Tidakkah begitu
cara gadis muda berpacaran?” Tanya Bulan.
Laki-laki bertampang
mabuk nampak kebingungan menjawabnya. Tapi, akh itukan urusan mereka.
“Tak enak akh.
Subuh-subuh begini sudah bergunjing,” Dia memberikan jawaban berkilah.
“Ini bukan sebatas
bergunjing. Ini membedah pengkhianatan,” ujar Bulan tanpa melihat ke arah si laki-laki,
tetapi tetap fokus pada sepasang kekasih itu.
“Aku tahu, mereka
itu memang sepasang kekasih, tetapi bukan sepasang suami istri.”
Laki-laki bertampang
mabuk hanya bisa mendengus, sambil lebih serius memandang ke arah sepasang
kekasih itu. Perempuan yang malu-malu kucing, dan laki-laki yang
merunduk-rundukkan wajahnya seperti anak babi mencari puting susu induknya.
Mungkin benar, si laki-laki sedang merayu perempuan untuk turut ke atas becak motornya. Setelah itu dia akan
membawanya terbang ke bulan. Bulan yang lain. Bukan Bulan, yang sedang
berbicara dengan laki-laki bertampang mabuk.
Sudah bukan rahasia
lagi, soal perempuan Belimbing. Kawin muda di sini biasa. Hamil karena
‘kecelakaan’ pun bukan lagi kehebohan yang langka. Apa lagi soal selingkuh
menyelingkuh. Ya, seperti keributan di dapur rumah makan saja. Ribut, tetapi
semua orang sudah tahu apa yang harus mereka kerjakan. Siapa yang harus memeras
kelapa, siapa yang akan mengaduk santan. Sudah jadi rutinitas yang tak perlu pula
dimasukkan beritanya dalam koran.
“Masalahnya yang
perempuan sedang hamil. Apakah tidak ganjil menurutmu kalau dia masih menemui
pacarnya? Dan tidakkah buang-buang masa pula, laki-laki itu mengiring-iringkan
istri orang di subuh buta begini ini?”
“Tetapi mau
bagaimana lagi kita kalau sudah cinta?” Laki-laki bertampang mabuk terdengar
mengutip kata-kata orang kebanyakan. Karena ini memang peristiwa kebanyakan
menurutnya. Peristiwa dalam sandiwara, baik sandiwara di kehidupan nyata,
maupun di kaca televisi.
“Kamu tahu siapa
perempuan itu?” tanya Bulan.
Leki-laki bertampang
mabuk mendehem saja.
“Dia Dahlia…”
Dan mendengar nama
itu wajah laki-laki bertampang mabuk seketika menegang.
“Dahlia istri Garin!
“ Suara Bulan seperti petir oh bukan seperti suara halilintar yang merobek
gendang telinga. Laki-laki bertampang mabuk itu, terlonjak dari dipannya. Lalu,
untuk pertama kalinya dia merasa harus marah atas fakta --yang baginya fitnah--
itu. Marah pada Bulan, yang tak disangkanya akan memfitnah.
“Jangan asal Bulan!
Dahlia berjilbab!” hardiknya ketus, gagal mengendalikan suara emosi. Asal
kemarahannya bukan karena Dahlia alim atau berjilbab dan sebagainya. Marahnya
berkaitan erat dengan kelelakian yang terancam menjadi dayus. Dayus, laki-laki
lemah yang tuhan haramkan menginjak surga. Laki-laki yang boleh memadu
perempuan tetapi haram dimadu.
“Kamu yang asal.
Jilbab kok dijadikan ukuran?” Bulan mencibir. Tidak ke arah laki-laki
bertampang mabuk, tetapi ke arah yang lain. Bulan sebenarnya tak bisa melihat laki-laki
itu, Bulan juga sama sekali tak kenal wajah laki-laki bertampang mabuk. Jarak mereka
jauh. Dan sesungguhnya Bulan hanya berbicara dengan perasaannya dan laki-laki
juga hanya merasa-rasa.
Tetapi mana mungkin
orang tak akan kenal dengan Dahlia? Sedangkan kambing-kambing yang
berkeliaran di tempat pembuangan sampahpun dikenali orang pemiliknya, kononlah
pula perempuan muda secantik Dahlia. Perempuan alim, guru pada taman
kanak-kanak Islam pula. Alim itu bukan fakta sih sebenarnya. Cuma opini yang
terbentuk berhubungan dengan kebiasaan si Dahlia memakai jilbab dan karena
pekerjaannya sebagai guru di TK Islam, itu saja. Lima bulan lalu si (ibu guru)
Dahlia menikah dengan garin masjid Baitul Rahim. Garin itu ditugasi oleh
pengurus mesjid untuk azan setiap waktu salat masuk. Tetepi dia lebih sering
menyetel kepingan CD azan, ketimbang azan langsung dengan pita suaranya. Dia juga
senang menghidupkan kaset salawat kemudian dicampur-campurnya dengan nyanyian
asmaul husna, terutama kala subuh. Suara-suara keluar dari pengeras suara di
menara mesjid. Berisik, dan sebenarnya sangat mengganggu. Sama sekali tak ada
nilai artistiknya, musik-musik yang dia gabungkan-gabungkan itu. Dia memang tak
belajar sebagai disk joker (DJ). Kerjanya garin mesjid kok. Setelah suara-suara
berisik itu berkumandang ditingkahi suara yang sama dari mesjid lainnya, sang
garin biasanya kembali melanjutkan tidur atau mengalai dan menggeliat-geliat
saja melewatkan subuh sambil memandang-mandang bulan dari balik jendela di
bawah menara. Menunggu kesadarannya
pulih, bak orang mabuk menunggu muntah. Mabuk salawat.
“Tetapi, mana pula
itu Dahlia. Kalau Dahlia, tentu kenal aku laki-laki berbecak motor itu?” Dia coba
juga menyanggah, padahal hatinya sudah berdetak, hampir pecah.
“Mudin Barangin itu
baru keluar dari penjara kok. Delapan bulan lalu dia mencincang kaki seorang
toke telur di pasar. Alasannya karena toke itu merayu Dahlia. Karena pintar
merayu, sebelum ke penjara, sempat juga dia menitipkan benih di rahim pacarnya
itu. Dahlia mau pula menerima benih itu, sebagai bentuk terimakasih barangkali.
Lagi pula dia tentu tak menyangka kalau Mudin akan masuk penjara. Tapi toke telur
berhasil menyeretnya masuk bui.” Panjang lebar keterangan Bulan.
“Lalu garin pemalas
itu datang. Dengan serampangan dia terima saja lamaran keluarga Dahlia. Tentu
sebelumnya sudah dikirim-kirimi sambal lado dan kelio jengkol pula. Akh, garin
bodoh itu memang tak tahu adat orang Belimbing ini. Asal menganai saja,” Sungut Bulan. Darah laki-laki bertampang mabuk itu
tentulah berdesir-desir sepanjang dia bercerita. Tak tahu hendak mengapa. Diputarnya
nyanyian asmaul husna lebih keras lagi, lebih keras dan lebih lama. Lama sampai
ke zuhur sampai ke asar bahkan sampai magrib dan selepas isa’. Seolah dengan
begitu dia bisa melupakan Dahlia, lupa pada Mudin Barangin, lupa pada Bulan
juga. Tidak..tidak pada Bulan. Karena dia selalu merindukannya. Dia ingin asmaul husna, sembilan puluh sembilan
nama tuhan itu turun bak tangga yang bisa dinaikinya ke Bulan. Ingin ditinggalkannya
kamar sempit di bawah menara ini. Kamar yang disudutnya teronggok jilbab dan
seragam mengajar milik Dahlia.
“Aku istirahat dulu.
Matahari sudah datang.” Lembut terdengar suara Bulan.
“Boleh aku ikut?”
Pinta laki-laki bertampang mabuk, nyaris merengek.
“Siapa kamu? Aku tak
jelas melihat. Cahaya matahari cukup menyilaukan!”
Andai saja, kala itu dia akui kalau dia garin
yang selalu melantunkan azan. Andai Bulan tahu kalau laki-laki itulah sumber
suara merdu yang selalu dia dengar menjelang tidur,--suara yang sering
membuatnya terlambat pulang ke peraduan—tentu ceritanya akan lain pula.
Sayang, tak
diakuinya dia garin.
“Aku Pungguk!” Itu
saja jawabnya.
Anggur raya@20, 14/11/11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar