Senin, 14 Oktober 2013

Catatan Pertunjukan “Empat Lingkar” Komunitas Intro Payakumbuh: Puitik, Monoton, dan Sedikit Gagap


OLEH Susandro
Penikmat Teater
Adegan pertunjukan Empat Lingkar (Dok)
“Mereka lahir tersebab takdir dan impian. Setelah lahir mereka pun tumbuh dalam impian. Dan ketika hamil mereka kembali bermimpi, obsesi, klise, bahkan menakutkan.”
Frase di atas jadi kata kunci pertunjukan teater Empat Lingkar yang diusung Komunitas Seni Intro Payakumbuh, karya dan sutradara Della Nasution—seorang perempuan aktivis seni—yang dilangsungkan di arena sederhana di Komunitas Seni Intro Payakumbuh pada 4 Desember 2010. 

Arena pertunjukan tampak alami. Ada rimbunan pepohonan saus yang sekaligus menjadi latar panggung yang terbuka. Panggung pertunjukan tak mengesankan sebuah kemewahan gemerlap lampu, ruang berpendingin, dan kursi empuk.
Penataan properti, seperti; tumpukan karung pada bagian belakang panggung, sumur pada bagian belakang-kanan panggung dan ember berisi kain cucian. Hal ini menjadi suatu ketertarikan sendiri bagi penonton untuk menikmati pertunjukan tersebut. Sayangnya, konsekuensi pertunjukan ruang terbuka dengan keadaan tempat yang lepas ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu jalannya pertunjukan, suara motor yang sedang parkir dan gonggongan anjing.
Cuaca mendung sebelum pertunjukan dimulai, membuat tim produksi dan juga sebagian penonton kembang kempis. Memamg ini jugsa salah satu risiko berkesenian di aren terbuka. Namun, Tuhan berkata lain. Cuaca bagus. Pertunjukan pun berlanjut.
Kekuatan Puitik
“Empat Lingkar” bercerita tentang empat perempuan hamil dengan cerita hidup yang berbeda-beda. Korban pemerkosaan, mencintai suami orang lain—diperankan Emilia Dwi Amoy—tertekan karena keinginan mertua dan ditinggal suami dalam penjara yang diperankan oleh Suci Sulistia. Bentuk penyajian oleh Della, menggabungkan beberapa gaya, yakni pengucapan pada adegan awal yang cenderung puitik dan juga monolog, tapi terlihat tanggung. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri, konstruksi adegan per adegan dengan menggabungkan beberapa gaya tersebut dapat membuat penonton menikmati pertunjukan tersebut sampai akhir. Tepatnya komunikatif.
Senyampang, sutradara yang mengadopsi gaya teks puitik kendati dalam pertunjukan tersebut cara penyampaiannya kurang pas untuk penonton yang beragam latar belakang. Akibatnya penonton akan butuh lebih banyak waktu untuk memahami bahasa simbolis dan maknanya.
Pemikiran seperti sebenarnya dapat dikomparasikan dengan beberapa adegan yang disajikan dengan pendekatan akting presentatif dan bahasa yang komunikatif. Akting dan gaya bahasa Suci Sulistia yang terkesan natural, sehingga secara pemahaman karakter Suci menjadi lebih berbeda dengan yang lain. Sedangkan Lannie, Amoy dan Liling lebih cenderung puitis. Dalam penegasan karakter, sutradara cukup lengah pada aktor-aktornya, sehingga Suci lebih mendominasi suasana pada peristiwa (pertunjukan) tersebut. Dinamika permainan yang dibangun Suci memiliki peran penting dan dengan karakter yang dilakoni cukup detail membuat pertunjukan memiliki nada dan tempo sehingga terjaga dari kemonotonan.
Terkesan Monolog
Di tengah-tengah pertunjukan seorang aktor bermonolog, menceritakan masa mudanya direnggut dan harus melanjutkan kehidupannya sebagai calon ibu. Sembari bercerita tentang kesedihannya, aktor ini mencoba mengulang peristiwa yang suram tersebut. Memecah ruang dengan beberapa pergerakan ke sisi-sisi panggung. Adegan ini terkesan tanggung dikarenakan sutradara tidak memberi kesempatan pada aktor dan penonton untuk saling menikmati. Dalam artian, kenapa tidak, pada adegan tersebut adanya aktor dan penonton (komunikan dan komunikator) melakukan komunikasi langsung (komunikasi antarpribadi secara tatap muka) sehingga komunikasi dengan cara tersebut akan cukup membantu lahirnya rasa empatik dari penonton atas peristiwa yang dialami si tokoh .
Penulis mencatat tiga hal yang sekiranya luput oleh sutradara sehingga sedikit mengurangi makna pada pertunjukan tersebut, yakni pertama pemilihan teks yang puitik sehingga juga terkesan tidak konsisten dan tidak efektif, monolog yang tanggung dan juga perlunya penegasan karakter. Meskipun aktor dapat dikatakan masih muda untuk berdiri di atas panggung. Tapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan mereka bermain-main dengan banyak karakter dan membuat penonton menyatakan pada teman di sebelahnya: “Kau keliru. Itu adalah A, bukan B”.
Kemudaan tersebut melihatkan semangat berkesenian yang hendaknya memotivasi orang-orang di sekitar dan membuka kantong-kantong kesenian di tempat-tempat yang memiliki potensi besar untuk berkembang. Harapannya peluang ini membias kesetiap tempat yang memiliki potensi lebih kecil. Karena keberagaman dalam berkesenian tidak hanya sebatas pemikiran tapi budaya yang menjadi pemicu keberagaman pemikiran tersebut.
Kedua, cerita ini juga merupakan cerminan dari realita sosial yang selalu aktual sepanjang zaman. Della mencoba mengangkat cerita yang secara tidak langsung dan barangkali tanpa disadari terjadi dan bergulir di lingkungan masyarakat tanpa mengenal batas. Jika diamati dari sudut lain, Della juga berbicara kenapa adanya pemerkosaan, penganiayaan, keterpaksaan harus melakukan suatu yang dianggap merugikan orang lain dan itupun terpaksa dilakukan karena tidak ada jalan lain, walaupun pertunjukan sore itu tidak menampilkan sisi-sisi lain tersebut, yakni kenapa hal tersebut sampai terjadi!
Jika bicara tentang perempuan secara spesifik, pertunjukan sore itu tentunya menjadi bumerang bagi Della sebagai penulis dan sutradara. Terjadinya pro dan kontra bisa saja tidak dapat terelakkan dari kaum feminisme, yang pastinya kecewa dan sangat tidak dapat menerima akhir dari pertunjukan tersebut, yakni adegan pengakuan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh perempuan terhadap perempuan lainnya.
Adegan tersebut tentunya menganggap rendah diri perempuan di depan laki-laki. Penulis melihat apa yang ditampilkan Della bukanlah suatu upaya untuk merendahkan kodrat sendiri sebagai perempuan atau perempuan pada umumnya, tapi baik laki-laki maupun perempuan memiliki sifat yang bergejala ke dalam bentuk apapun. Lebih buruknya apabila menginfeksi moral dalam hidup bermasyarakat. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...