OLEH Susandro
Penikmat Teater
Adegan pertunjukan Empat Lingkar (Dok) |
“Mereka lahir tersebab takdir dan impian. Setelah
lahir mereka pun tumbuh dalam impian. Dan ketika hamil mereka kembali bermimpi,
obsesi, klise, bahkan menakutkan.”
Frase di atas jadi kata kunci pertunjukan teater Empat
Lingkar yang diusung Komunitas Seni Intro Payakumbuh, karya dan sutradara Della
Nasution—seorang perempuan aktivis seni—yang dilangsungkan di arena sederhana di
Komunitas Seni Intro Payakumbuh pada 4 Desember 2010.
Arena pertunjukan tampak alami. Ada rimbunan pepohonan
saus yang sekaligus menjadi latar panggung yang terbuka. Panggung pertunjukan
tak mengesankan sebuah kemewahan gemerlap lampu, ruang berpendingin, dan kursi
empuk.
Penataan properti, seperti; tumpukan karung pada
bagian belakang panggung, sumur pada bagian belakang-kanan panggung dan ember
berisi kain cucian. Hal ini menjadi suatu ketertarikan sendiri bagi penonton
untuk menikmati pertunjukan tersebut. Sayangnya, konsekuensi pertunjukan ruang
terbuka dengan keadaan tempat yang lepas ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan dan
mengganggu jalannya pertunjukan, suara motor yang sedang parkir dan gonggongan
anjing.
Cuaca mendung sebelum pertunjukan dimulai, membuat tim
produksi dan juga sebagian penonton kembang kempis. Memamg ini jugsa salah satu
risiko berkesenian di aren terbuka. Namun, Tuhan berkata lain. Cuaca bagus.
Pertunjukan pun berlanjut.
Kekuatan Puitik
“Empat Lingkar” bercerita tentang empat perempuan hamil
dengan cerita hidup yang berbeda-beda. Korban pemerkosaan, mencintai suami
orang lain—diperankan Emilia Dwi Amoy—tertekan karena keinginan mertua dan
ditinggal suami dalam penjara yang diperankan oleh Suci Sulistia. Bentuk
penyajian oleh Della, menggabungkan beberapa gaya, yakni pengucapan pada adegan
awal yang cenderung puitik dan juga monolog, tapi terlihat tanggung. Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri, konstruksi adegan per adegan dengan
menggabungkan beberapa gaya tersebut dapat membuat penonton menikmati
pertunjukan tersebut sampai akhir. Tepatnya komunikatif.
Senyampang, sutradara yang mengadopsi gaya teks puitik
kendati dalam pertunjukan tersebut cara penyampaiannya kurang pas untuk
penonton yang beragam latar belakang. Akibatnya penonton akan butuh lebih
banyak waktu untuk memahami bahasa simbolis dan maknanya.
Pemikiran seperti sebenarnya dapat dikomparasikan
dengan beberapa adegan yang disajikan dengan pendekatan akting presentatif dan
bahasa yang komunikatif. Akting dan gaya bahasa Suci Sulistia yang terkesan
natural, sehingga secara pemahaman karakter Suci menjadi lebih berbeda dengan
yang lain. Sedangkan Lannie, Amoy dan Liling lebih cenderung puitis. Dalam
penegasan karakter, sutradara cukup lengah pada aktor-aktornya, sehingga Suci
lebih mendominasi suasana pada peristiwa (pertunjukan) tersebut. Dinamika
permainan yang dibangun Suci memiliki peran penting dan dengan karakter yang
dilakoni cukup detail membuat pertunjukan memiliki nada dan tempo sehingga
terjaga dari kemonotonan.
Terkesan Monolog
Di tengah-tengah pertunjukan seorang aktor bermonolog,
menceritakan masa mudanya direnggut dan harus melanjutkan kehidupannya sebagai
calon ibu. Sembari bercerita tentang kesedihannya, aktor ini mencoba mengulang
peristiwa yang suram tersebut. Memecah ruang dengan beberapa pergerakan ke
sisi-sisi panggung. Adegan ini terkesan tanggung dikarenakan sutradara tidak
memberi kesempatan pada aktor dan penonton untuk saling menikmati. Dalam
artian, kenapa tidak, pada adegan tersebut adanya aktor dan penonton (komunikan
dan komunikator) melakukan komunikasi langsung (komunikasi antarpribadi secara
tatap muka) sehingga komunikasi dengan cara tersebut akan cukup membantu lahirnya
rasa empatik dari penonton atas peristiwa yang dialami si tokoh .
Penulis mencatat tiga hal yang sekiranya luput oleh
sutradara sehingga sedikit mengurangi makna pada pertunjukan tersebut, yakni pertama pemilihan teks yang puitik
sehingga juga terkesan tidak konsisten dan tidak efektif, monolog yang tanggung
dan juga perlunya penegasan karakter. Meskipun aktor dapat dikatakan masih muda
untuk berdiri di atas panggung. Tapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan
mereka bermain-main dengan banyak karakter dan membuat penonton menyatakan pada
teman di sebelahnya: “Kau keliru. Itu adalah A, bukan B”.
Kemudaan tersebut melihatkan semangat berkesenian yang
hendaknya memotivasi orang-orang di sekitar dan membuka kantong-kantong
kesenian di tempat-tempat yang memiliki potensi besar untuk berkembang. Harapannya
peluang ini membias kesetiap tempat yang memiliki potensi lebih kecil. Karena
keberagaman dalam berkesenian tidak hanya sebatas pemikiran tapi budaya yang
menjadi pemicu keberagaman pemikiran tersebut.
Kedua, cerita ini juga merupakan cerminan
dari realita sosial yang selalu aktual sepanjang zaman. Della mencoba
mengangkat cerita yang secara tidak langsung dan barangkali tanpa disadari
terjadi dan bergulir di lingkungan masyarakat tanpa mengenal batas. Jika
diamati dari sudut lain, Della juga berbicara kenapa adanya pemerkosaan,
penganiayaan, keterpaksaan harus melakukan suatu yang dianggap merugikan orang
lain dan itupun terpaksa dilakukan karena tidak ada jalan lain, walaupun
pertunjukan sore itu tidak menampilkan sisi-sisi lain tersebut, yakni kenapa
hal tersebut sampai terjadi!
Jika bicara tentang perempuan secara spesifik,
pertunjukan sore itu tentunya menjadi bumerang bagi Della sebagai penulis dan
sutradara. Terjadinya pro dan kontra bisa saja tidak dapat terelakkan dari kaum
feminisme, yang pastinya kecewa dan sangat tidak dapat menerima akhir dari
pertunjukan tersebut, yakni adegan pengakuan kesalahan-kesalahan yang diperbuat
oleh perempuan terhadap perempuan lainnya.
Adegan tersebut tentunya menganggap rendah diri
perempuan di depan laki-laki. Penulis melihat apa yang ditampilkan Della
bukanlah suatu upaya untuk merendahkan kodrat sendiri sebagai perempuan atau
perempuan pada umumnya, tapi baik laki-laki maupun perempuan memiliki sifat
yang bergejala ke dalam bentuk apapun. Lebih buruknya apabila menginfeksi moral
dalam hidup bermasyarakat. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar