Pementasan "Petang di Taman" |
Panggung teater seperti
taman “beneran”. Bukan taman sebagai tempat bergulat berbagai pemikiran dan
kemanusiaan. Pohon-pohon rindang, dua bangku, bunga-bunga terpaku dan beku.
Warga kota singgah ke taman melepas lelah sembari bermain dengan ternak piaran
dengan harga tak masuk akal. Ada juga yang datang ke taman dengan kemurungan,
hati dongkol, marah, dan mabuk. Tapi, ada juga yang berbahagia. Taman adalah
potret kehidupan sosial sesungguhnya dari kondisi bangsa Indonesia hari ini.
Cerita tentang
orang-orang kalah dan eksistensi diri yang antisosial ini dengan judul “Petang
di Taman” diangkat Komunitas Seni Nan Tumpah Padang yang didukung Teater Plus
INS Kayutanam dan Teater Dayung-dayung pada 9 September 2013, di Teater Utama
Taman Budaya Sumatera Barat dengan sutradara Mahatma Muhammad.
Pementasan ini
didedikasikan kepada A Alin De, salah seorang tokoh teater Indonesia asal
Sumatera Barat yang meninggal dunia pada 18 Agustus 2007 silam dan juga pendiri
Teater Dayung-dayung Padang. Salah satu alasan mengangkat “Petang di Taman”,
karena inilah debut pertama A Alin De mengarungi teater sampai ia meninggal
dunia.
Menurut saya—terlepas
soal kualitas pertunjukan—apa yang dilakukan komunitas ini perlu didukung.
Paling tidak, dengan iven seperti ini, sosok seniman Sumbar yang telah
berpulang ke Rahmatullah, bisa dikenal lebih jauh militansinya dalam
berkesenian oleh generasi sekarang, dan—tentu saja—dapat membuka semangat dan
inspirasi dalam berkarya.
Naskah Iwan Simatupang
yang terkenal kental dengan muatan ideologi eksistensialisme, gugatan terhadap
manusia, antisosial (dengan kehadiran tokoh-tokoh dalam karyanya yang tak
diberi pelabelan nama), paradigma postmodernisme dan civil society internasional, memang terlihat seksi namun penuh jebakan,
yang terkadang mengiring pementasan teater menjadi realisme, kendati naskahnya
semua absurd.
Tentu saja mengangkat naskah
Iwan Simatupang, saya meyakini Mahatma Muhammad bersama kawan-kawan sebelumnya telah
menghitung berbagai hal, termasuk artistik dan wujudnya di atas panggung. Dan
ini tentu tak lepas dari tafsir dan dialog yang dilakukan saat menggarap naskah
ini.
“Petang di Taman” sangat
terbuka untuk hal demikian. Maka, hasilnya—seperti kita saksikan malam 9
September 2013 itu—“Petang di Taman” adalah sebuah pertunjukan teater yang
sungguh-sungguh realis, fisikis, dan penuh material. Penonton, khususnya saya,
tak merasakan sebuah pergolakan pikiran-pikiran Iwan Simatupang dengan
eksistensialismenya di atas pentas. Pementasan tak membawa saya pada “sesuatu”
yang imajinatif kendati tokoh-tokohnya bermain cemerlang. Tapi itu buru-buru
saya sadari, yang saya saksikan malam itu sesungguhnya memang sebuah peristiwa
teater yang realis.
Catatan ini tak memiliki
tendensi untuk menitahkan sebuah tafsir terhadap naskah fiksi itu absolut-subjektif.
Naskah fiksi, apa lagi naskah drama sangat memungkinkan sekali ditafsirkan
dengan perangkat pengetahuan dan pengalaman pendukung untuk menggarapnya. Saya
juga tak ingin mengatakan, apa yang dihadirkan Komunitas Seni Nan Tumpah pada
pementasan “Petang di Taman”, bukan karena kesalahan tafsir, dan keliru
menggunakan perangkat analisis dan antropologis naskah-naskah Iwan Simatupang.
Hal serupa pernah saya
rasakan dan tulis 7 tahun lalu ketika Teater Size Padang dengan sutradara
Zamzami Ismail, mementaskan naskah yang sama namun judulnya diubah menjadi
“Senja di Taman” selama dua malam (24-25 November 2006) di Teater Tertutup
Taman Budaya Sumatra Barat.
Keserupaan yang saya
catat itu adalah, untuk aspek komunikasi dengan penonton, dua pertunjukan itu,
berhasil. Namun dari beberapa elemen artistik dan capaian yang dimaui dari
naskah yang penuh gagasan, ide, dan pemikiran filsafat eksistensialisme, jelas
masih jauh itu.
Kunci dari semua naskah
yang ditulis Iwan Simatupang, termasuk “Petang di Taman”, yakni tokoh-tokoh sebagai
manusia-manusia marginal, aneh dalam kehidupan sosial, bukan para hero senang
retorika, serta hidup dalam sepi tapi optimis.
Hal seperti ini
tergambar dalam drama “Petang di Taman” yang liris puitis, tokoh-tokohnya
seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus
komunikasi dengan orang lain atau lingkungannya, dan pada bagian inilah yang
kurang terjamah di atas panggung.
Kembali ke naskah-naskah
Iwan Simatupang. Bagi Iwan Simatupang, penyakit yang menggerogoti bangsa ini seperti
etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan
melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan, penulis) secara
proporsional, sistematis, dan universal.
Etatisme, paham yang
lebih mementingkan negara ketimbang rakyatnya, bak penyakit kronis yang
menjalari tubuh pemimpin bangsa ini. Rakyat hanya jadi elemen dalam teori tata
negara, bukan yang menentukan.
“Petang di Taman”
sesungguhnya sarat dengan gagasan perlawanan terhadap sistem-sistem yang diciptakan
negara untuk menyingkirkan keberadaan rakyatnya. Empat manusia (tokoh Orang
Tua-Halvika Patma, Lelaki Setengah Baya-Ikhsan Haryanto, Wanita-Yosefintia
Sinta, Penjual Balon-Fajry Chaniago, dan tokoh imajinatif Entah Siapa) yang berdebat tentang ego dan
eksistensi diri mereka di sebuah taman entah di mana itu adalah potret
“perlawanan” rakyat, kendati akhirnya mereka tak mampu berbuat banyak. Tapi mereka
telah berbuat menjaga eksistensi dirinya. Taman dengan pelbagai aturan-aturan
yang dibuat negara telah menyesakkan diri mereka ke berbagai arah, dan hingga memetik
bunga pun rakyat dilarang.
Tokoh Orang Tua dan
Lelaki Setengah Baya membuka perdebatan tentang “posisi” manusia, dan juga
absurditas keberadaan “musim”. Perdebatan tentang musim selanjutnya membuka
cerita manusia-manusia yang tidak pernah kunjung selesai. Ada kegetiran dan
tragik di dalamnya.
Penjual Balon datang
dengan kecengengan masa lalunya. Wanita dengan bayinya berkisah tentang anaknya
yang bapaknya Entah Siapa. Empat orang yang menyatu di taman ini, representasi
sosial. Taman merupakan sesuatu yang kebetulan menalikan soal-soal yang mereka
hadapi. Bukan taman dalam pengertian fisik.
“Kecekaan” yang
dilakukan Komunitas Seni Nan Tumpah adalah memaknai taman secara harfiah yang
memang berujung pada garapan yang realis. Bagi saya, tentu saja, pemanggungan
akan tampak “mengena” jika sutradara berhasil memadukan realis dan nonrealis di
atas panggung, yang akan menstimulan keberagaman kontruksi dan multitafsir pada
pikiran penonton. Dan inilah sesungguhnya kekuatan teater itu.
“Petang di Taman” naskah
drama yang diterbitkan pada 1966—sebelum terbit jadi buku berjudul
“Taman”—membacanya sebagai sebuah teks, tentu tak bisa dilepaskan dengan karya
dramanya seperti: “Bulan Bujur Sangkar” (1960), dan “RT Nol/RW Nol” (1966). Pun
karya prosanya: “Merahnya Merah (1968), “Ziarah” (1969), “Kering” (1972),
“Koong” (1975) dan kumpulan cerpen “Tegak Lurus dengan Langit”.
Benang merah yang
menemalikannya adalalah “ketidaklaziman” dalam karya-karya Iwan Simatupan.
Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, dikutip dari Wikipidia Indonesia,
Iwan Simatupang merupakan penulis sastra yang berpengaruh di Indonesia. Sejak
kemerdekaan, karya Iwan Simatupang memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme
gaib (magical realism). Hal yang sama
juga terlihat dalam karya-karya Putu Wijaya.
Teater menuntut laku
(akting) di atas pentas. Pelaku memilih ukurannya sendiri. Dan itu sangat
kontekstual. Peristiwa teater adalah laku yang “sangat istimewa” karena tak ada
pengulangan di atas panggung. Peristiwa teater berlangsung sesaat.
Biasanya, laku bukan
hanya apa yang dilakukan atau yang dikatakan oleh aktor, tapi ia akan merambat
pada suara-suara musik, keributan, suara hempasan di atas panggung, dan
perubahan ruang dan waktu yang dilakoni. Selain itu, laku masuk dalam ruang
karakter, konflik, alur cerita dan klimaks jika dimungkinkan. Petang di Taman, dalam
aspek alur cerita dan konflik, kendati cukup bagus dalam garapan laku, tampak
kedodoran. Konflik batin empat tokoh itu, tak maksimal digarap. Akibatnya alur
cerita pun seperti tak bergerak. Klimaks pun tak tercapai. Secara keseluruhan,
dalam perspektif “realis” “Petang di Taman”—jika berencana dipentaskan
lagi—Komunitas Seni Nan Tumpah harus menaruh perhatian pada konsep artistiknya.
Taman tak perlu diberi makna dengan memenuhi pentas dengan bunga-bunga, pohon-pohon,
dan lampu, yang bagi saya, taman seperti itu merupakan taman dalam pengertian Dinas
pertamanan Pemerintah Kota. Dalam pengertian seni teater, tentu taman lebih
jauh dari itu.
“Petang di Taman”
merupakan produksi Komunitas Seni Nan Tumpah yang ke sembilan. Kelompok ini
didirikan pada tiga tahun lalu, 9 Oktober 2010. Melihat perjalanan dan usianya,
Komunitas Nan Tumpah termasuk kelompok yang produktif menghasilkan pertunjukan.
Menurut informasi, hasil produksi kali ini untuk mendanai penerbitan
naskah-naskah karya almarmum A Lin De. Sebuah langkah bagus untuk menjawab
minimnya naskah-naskah drama yang dibukukan dari penulis Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar