Rabu, 23 Oktober 2013

Catatan Pementasan “Petang di Taman”: Membaca Taman dalam Tanda Kutip

OLEH Nasrul Azwar

Pementasan "Petang di Taman"
Pada sebuah taman entah di kota mana, awalnya tampak sepi, lalu gaduh. Dua sosok menggugat eksistensinya. Taman—galibnya—adalah representasi kota sekaligus identitas bagi warga kota. Taman sebagai ruang publik, ruang sosial, mungkin juga antisosial, jadi keniscayaan bagi kota modern dan metropolitan. Ia ikon modernisme. Tapi, bisa jadi, taman bagi seorang sastrawan—Iwan Simatupang, misalnya—dalam pengertian tanda kutip. Sebaliknya, ada juga taman dalam pengertian dinas pertamanan.
Panggung teater seperti taman “beneran”. Bukan taman sebagai tempat bergulat berbagai pemikiran dan kemanusiaan. Pohon-pohon rindang, dua bangku, bunga-bunga terpaku dan beku. Warga kota singgah ke taman melepas lelah sembari bermain dengan ternak piaran dengan harga tak masuk akal. Ada juga yang datang ke taman dengan kemurungan, hati dongkol, marah, dan mabuk. Tapi, ada juga yang berbahagia. Taman adalah potret kehidupan sosial sesungguhnya dari kondisi bangsa Indonesia hari ini.
Cerita tentang orang-orang kalah dan eksistensi diri yang antisosial ini dengan judul “Petang di Taman” diangkat Komunitas Seni Nan Tumpah Padang yang didukung Teater Plus INS Kayutanam dan Teater Dayung-dayung pada 9 September 2013, di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat dengan sutradara Mahatma Muhammad.
Pementasan ini didedikasikan kepada A Alin De, salah seorang tokoh teater Indonesia asal Sumatera Barat yang meninggal dunia pada 18 Agustus 2007 silam dan juga pendiri Teater Dayung-dayung Padang. Salah satu alasan mengangkat “Petang di Taman”, karena inilah debut pertama A Alin De mengarungi teater sampai ia meninggal dunia.
Menurut saya—terlepas soal kualitas pertunjukan—apa yang dilakukan komunitas ini perlu didukung. Paling tidak, dengan iven seperti ini, sosok seniman Sumbar yang telah berpulang ke Rahmatullah, bisa dikenal lebih jauh militansinya dalam berkesenian oleh generasi sekarang, dan—tentu saja—dapat membuka semangat dan inspirasi dalam berkarya.
Naskah Iwan Simatupang yang terkenal kental dengan muatan ideologi eksistensialisme, gugatan terhadap manusia, antisosial (dengan kehadiran tokoh-tokoh dalam karyanya yang tak diberi pelabelan nama), paradigma postmodernisme dan civil society internasional, memang terlihat seksi namun penuh jebakan, yang terkadang mengiring pementasan teater menjadi realisme, kendati naskahnya semua absurd.
Tentu saja mengangkat naskah Iwan Simatupang, saya meyakini Mahatma Muhammad bersama kawan-kawan sebelumnya telah menghitung berbagai hal, termasuk artistik dan wujudnya di atas panggung. Dan ini tentu tak lepas dari tafsir dan dialog yang dilakukan saat menggarap naskah ini.
“Petang di Taman” sangat terbuka untuk hal demikian. Maka, hasilnya—seperti kita saksikan malam 9 September 2013 itu—“Petang di Taman” adalah sebuah pertunjukan teater yang sungguh-sungguh realis, fisikis, dan penuh material. Penonton, khususnya saya, tak merasakan sebuah pergolakan pikiran-pikiran Iwan Simatupang dengan eksistensialismenya di atas pentas. Pementasan tak membawa saya pada “sesuatu” yang imajinatif kendati tokoh-tokohnya bermain cemerlang. Tapi itu buru-buru saya sadari, yang saya saksikan malam itu sesungguhnya memang sebuah peristiwa teater yang realis. 
Catatan ini tak memiliki tendensi untuk menitahkan sebuah tafsir terhadap naskah fiksi itu absolut-subjektif. Naskah fiksi, apa lagi naskah drama sangat memungkinkan sekali ditafsirkan dengan perangkat pengetahuan dan pengalaman pendukung untuk menggarapnya. Saya juga tak ingin mengatakan, apa yang dihadirkan Komunitas Seni Nan Tumpah pada pementasan “Petang di Taman”, bukan karena kesalahan tafsir, dan keliru menggunakan perangkat analisis dan antropologis naskah-naskah Iwan Simatupang.
Hal serupa pernah saya rasakan dan tulis 7 tahun lalu ketika Teater Size Padang dengan sutradara Zamzami Ismail, mementaskan naskah yang sama namun judulnya diubah menjadi “Senja di Taman” selama dua malam (24-25 November 2006) di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat.
Keserupaan yang saya catat itu adalah, untuk aspek komunikasi dengan penonton, dua pertunjukan itu, berhasil. Namun dari beberapa elemen artistik dan capaian yang dimaui dari naskah yang penuh gagasan, ide, dan pemikiran filsafat eksistensialisme, jelas masih jauh itu.
Kunci dari semua naskah yang ditulis Iwan Simatupang, termasuk “Petang di Taman”, yakni tokoh-tokoh sebagai manusia-manusia marginal, aneh dalam kehidupan sosial, bukan para hero senang retorika, serta hidup dalam sepi tapi optimis.
Hal seperti ini tergambar dalam drama “Petang di Taman” yang liris puitis, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri (monolog), berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain atau lingkungannya, dan pada bagian inilah yang kurang terjamah di atas panggung.  
Kembali ke naskah-naskah Iwan Simatupang. Bagi Iwan Simatupang, penyakit yang menggerogoti bangsa ini seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya sastrawan, penulis) secara proporsional, sistematis, dan universal.
Etatisme, paham yang lebih mementingkan negara ketimbang rakyatnya, bak penyakit kronis yang menjalari tubuh pemimpin bangsa ini. Rakyat hanya jadi elemen dalam teori tata negara, bukan yang menentukan.
“Petang di Taman” sesungguhnya sarat dengan gagasan perlawanan terhadap sistem-sistem yang diciptakan negara untuk menyingkirkan keberadaan rakyatnya. Empat manusia (tokoh Orang Tua-Halvika Patma, Lelaki Setengah Baya-Ikhsan Haryanto, Wanita-Yosefintia Sinta, Penjual Balon-Fajry Chaniago, dan tokoh imajinatif Entah Siapa) Hayang berdebat tentang ego dan eksistensi diri mereka di sebuah taman entah di mana itu adalah potret “perlawanan” rakyat, kendati akhirnya mereka tak mampu berbuat banyak. Tapi mereka telah berbuat menjaga eksistensi dirinya. Taman dengan pelbagai aturan-aturan yang dibuat negara telah menyesakkan diri mereka ke berbagai arah, dan hingga memetik bunga pun rakyat dilarang. 
Tokoh Orang Tua dan Lelaki Setengah Baya membuka perdebatan tentang “posisi” manusia, dan juga absurditas keberadaan “musim”. Perdebatan tentang musim selanjutnya membuka cerita manusia-manusia yang tidak pernah kunjung selesai. Ada kegetiran dan tragik di dalamnya.
Penjual Balon datang dengan kecengengan masa lalunya. Wanita dengan bayinya berkisah tentang anaknya yang bapaknya Entah Siapa. Empat orang yang menyatu di taman ini, representasi sosial. Taman merupakan sesuatu yang kebetulan menalikan soal-soal yang mereka hadapi. Bukan taman dalam pengertian fisik.  
“Kecekaan” yang dilakukan Komunitas Seni Nan Tumpah adalah memaknai taman secara harfiah yang memang berujung pada garapan yang realis. Bagi saya, tentu saja, pemanggungan akan tampak “mengena” jika sutradara berhasil memadukan realis dan nonrealis di atas panggung, yang akan menstimulan keberagaman kontruksi dan multitafsir pada pikiran penonton. Dan inilah sesungguhnya kekuatan teater itu. 
“Petang di Taman” naskah drama yang diterbitkan pada 1966—sebelum terbit jadi buku berjudul “Taman”—membacanya sebagai sebuah teks, tentu tak bisa dilepaskan dengan karya dramanya seperti: “Bulan Bujur Sangkar” (1960), dan “RT Nol/RW Nol” (1966). Pun karya prosanya: “Merahnya Merah (1968), “Ziarah” (1969), “Kering” (1972), “Koong” (1975) dan kumpulan cerpen “Tegak Lurus dengan Langit”.
Benang merah yang menemalikannya adalalah “ketidaklaziman” dalam karya-karya Iwan Simatupan. Menurut Benedict Richard O'Gorman Anderson, dikutip dari Wikipidia Indonesia, Iwan Simatupang merupakan penulis sastra yang berpengaruh di Indonesia. Sejak kemerdekaan, karya Iwan Simatupang memiliki kelekatan yang kuat dengan realisme gaib (magical realism). Hal yang sama juga terlihat dalam karya-karya Putu Wijaya.
Teater menuntut laku (akting) di atas pentas. Pelaku memilih ukurannya sendiri. Dan itu sangat kontekstual. Peristiwa teater adalah laku yang “sangat istimewa” karena tak ada pengulangan di atas panggung. Peristiwa teater berlangsung sesaat.
Biasanya, laku bukan hanya apa yang dilakukan atau yang dikatakan oleh aktor, tapi ia akan merambat pada suara-suara musik, keributan, suara hempasan di atas panggung, dan perubahan ruang dan waktu yang dilakoni. Selain itu, laku masuk dalam ruang karakter, konflik, alur cerita dan klimaks jika dimungkinkan. Petang di Taman, dalam aspek alur cerita dan konflik, kendati cukup bagus dalam garapan laku, tampak kedodoran. Konflik batin empat tokoh itu, tak maksimal digarap. Akibatnya alur cerita pun seperti tak bergerak. Klimaks pun tak tercapai. Secara keseluruhan, dalam perspektif “realis” “Petang di Taman”—jika berencana dipentaskan lagi—Komunitas Seni Nan Tumpah harus menaruh perhatian pada konsep artistiknya. Taman tak perlu diberi makna dengan memenuhi pentas dengan bunga-bunga, pohon-pohon, dan lampu, yang bagi saya, taman seperti itu merupakan taman dalam pengertian Dinas pertamanan Pemerintah Kota. Dalam pengertian seni teater, tentu taman lebih jauh dari itu.     
“Petang di Taman” merupakan produksi Komunitas Seni Nan Tumpah yang ke sembilan. Kelompok ini didirikan pada tiga tahun lalu, 9 Oktober 2010. Melihat perjalanan dan usianya, Komunitas Nan Tumpah termasuk kelompok yang produktif menghasilkan pertunjukan. Menurut informasi, hasil produksi kali ini untuk mendanai penerbitan naskah-naskah karya almarmum A Lin De. Sebuah langkah bagus untuk menjawab minimnya naskah-naskah drama yang dibukukan dari penulis Sumatera Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...