OLEH Delvi Yandra
Aktivis di Teater Rumah
Teduh
Pertunjukan dari teater UMIMakassar |
Ada tradisi yang kerap
dilakukan oleh kelompok Teater Tangan sejak kegiatan Temu Teater Mahasiswa
Nusantara I (Temu Teman I) di Benteng Somba Opu, Makassar tahun 2002 hingga
yang terkini—Temu Teman IX—di Bandar Serai, Pekanbaru, Riau, 24-29 Oktober
2011.
Tradisi tersebut adalah
memasang gelang tali berwarna merah kepada setiap peserta Temu Teman sebelum
pementasan berlangsung.
“Merah melambangkan
darah. Darah itulah yang mengikat tali persaudaraan. Memang, sejak awal,
cita-cita Temu Teman adalah untuk menjalin silaturahmi,” ujar Amah, salah satu
anggota Teater Tangan.
Dari 28 kelompok teater
yang hadir pada Temu Teman IX, ada sembilan yang turut menyumbangkan pementasan
di Gedung Idrus Tintin, Pekanbaru. Salah satunya “Ssssssssstttttt” karya sekaligus
sutradara Syamsul Alam Bakri dari kelompok Teater Tangan, Universitas Muslim
Indonesia Makassar.
Set
yang Merepotkan
Panggung sangat gelap. Gesekan
biola dan gumam syair melantun dengan syahdu. Diikuti cahaya pada satu titik
menimpa kereta dorong dengan kasur di atasnya dan sisi depan bergambar separuh
dari kepulauan nusantara. Semacam tempat tidur bayi. Lampu fade out.
Kuammukang
ko battu ri leko kayua kallinu/sanggenna nutunu kallenu/nutunuminne kallenu nu
nutunu/tongi ballakku/ sanggengku tena a’mai/sassang ngi po’cinikku/asselanga
siagang abu poku’/no mate rikanre pe’pe... (kuhangatkan kau dari
kayu pekaranganku/hingga membakar tubuhmu/kau hanguskan rumahku/nafasku
sesak/mataku gelap/kuberenang bersama abu pohon/yang mati bersama api...)
Syairnya menyayat dan
berhenti. Selanjutnya, hanya ada bunyi pemantik disertai cahaya lilin pada
salah satu wajah aktor. Selanjutnya, secara bergantian, ke empat aktor
menyalakan pemantik dan lilin secara berkesinambungan dan dengan laku tubuh
yang berbeda-beda. Semakin lama semakin cepat.
Sampai akhirnya, cahaya
menimpa salah satu wajah aktor dan dia menjerit. Dengan cepat, salah satu aktor
lain datang dan mematikan cahaya itu sehingga aktor tadi menghentikan jeritnya.
Adegan tersebut dilakukan berulang-ulang.
Set berganti. Kecapi mulai
mengalun lembut setelah lampu merah fade
in menimpa seorang aktor yang meringkuk dan mengatakan “Ssssssssstttttt” di
atas level (balok kayu persegi berwarna hitam yang kerap digunakan sebagai
properti di atas panggung) yang tinggi.
Pergantian set membuat
kelompok Teater Tangan kewalahan. Set berganti lagi. Sungguh merepotkan. Cahaya
merebak dari balik layar dengan warna dominan biru. Tampak sebuah ayunan
berwarna hitam yang digantung pada rangka kayu berbentuk segitiga. Ayunan
tersebut diikatkan pada kain panjang
berwarna putih sebagai pengatur gerak ayunan. Di sampingnya tampak seorang
perempuan (barangkali ibu dari bayi di dalam ayunan) sedang melantunkan syair
pengantar tidur sambil menggerakkan ayunan dengan kain panjang berwarna putih
tadi.
Toengi
bambo’de/toengi bambo’de/toengi tandri rapponna malejo/tandri rapponna’
de/tandri rapponna’ de/tandri padingko lenganna malejo...
“Ini semacam lagu ‘nina
bobok’ untuk menidurkan anak versi Makassar yang sudah ada sejak lama,” ujar
Syamsul.
Sesaat kemudian,
perempuan tersebut menari sambil memainkan kainnya dan melepaskannya. Dia larut
dalam gerakannya sehingga dia kembali pada ayunan tadi sambil bersimpuh.
Syairnya sungguh tajam. “Di dalammu mengalir darahku, dunia yang akan
menentukannya,” ujarnya pada ayunan. Lalu keluar dari panggung. Set berganti.
Sebuah kereta kubus
beroda (semacam kereta bayi) didorong menyusuri panggung secara teratur oleh
lelaki berdasi dan bertelanjang dada. “Saatnya kita kejar ketertinggalan,”
katanya, dilanjutkan dengan menaiki kereta tersebut dan melakukan gerak seperti
mendayung.
“On-of-on-of,” katanya
sambil memegang pemantik dan kipas kecil. Kipas berputar ketika pemantik
dinyalakan. Begitu seterusnya. “Tutup mata dan buka telinga, tutup telinga dan
buka mata,” katanya lagi sambil tiduran di atas kereta, melakukan kegiatan yang
sama. Tampak sedikit monoton.
Tanpa disadari, seorang
bayi bertubuh tinggi keluar dari ayunan—juga bertelanjang dada. Dia
memperhatikan dengan teliti ke arah lelaki tadi. Mendekat. Menyimak. Dengan
cekatan, dia mengambil kipas dan pemantik dengan paksa. Merampasnya. Maka,
terjadilah adegan tarik-menarik. Akhirnya, berujung pada saling rebut kasur di
atas kereta, berputar. Seiring dengan suara yang tak beraturan. Salah satunya
pun menyerah.
“Matilah! Percuma saja
fasilitas itu kau nikmati tetapi tak bisa kau manfaatkan,” ujar lelaki (yang
berdasi) yang mengalah. Suasana kembali normal. Sedikit lebih tenang.
Membaca
Teks, Membaca Tanda
Empuk, dingin dan
hangat: menjadi polemik dalam penentuan benda dan keberadaannya. Di mata Roland
Barthes (filsuf Perancis yang mempraktikkan semiologi), suatu teks merupakan
sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu
dilakukan rekonstruksi dari teks itu sendiri. Hal itu dilakukan oleh kelompok
Teater Tangan.
Berkali-kali lelaki itu
menerjemahkan penglihatan, pendengaran dan perasaannya dalam menentukan rasa
dari benda yang dirampasnya. Dan pada akhirnya, dia mampu menerjemahkan rasa
dari sebuah benda hingga dia merasakan kantuk dan tertidur. Lampu menyala
merah. Fade Out.
Set berganti. “Monitor-monitor-monitor...
Bakar satu! Bakar dua! Bakar tiga!... kalimat itu senantiasa diucapkan
berulang-ulang pada beberapa adegan. Dengan lekas, tiga aktor masuk sekaligus
secara teratur. Semacam bunyi derit kapal. Semacam percepatan. Tiga aktor
berjalan abnormal menyusuri panggung. Dengan kain putih panjang, mereka
bertalian satu sama lain. Aktor terdepan berjalan kaku dengan kain putih
melilit pinggangnya. Aktor di tengah dengan kain putih di pinggang dan
lehernya—seolah percepatan waktu. Di kedua tangannya memegang rambu-rambu
(bendera dalam Pramuka). Di kanan rambu verbodeen,
di kiri rambu dengan tiga lubang di tengah.
Di dalam Pramuka,
disebut semaphore yang berarti suatu
cara untuk mengirim dan menerima berita dengan memakai dua bendera. Dimana
masing-masing bendera tersebut berukuran 45 x 45 cm. Sedangkan warna yang
sering digunakan adalah merah dan kuning, dimana warna merah tersebut selalu
berada dekat dengan tangkainya.
Mengirim dan menerima
berita dengan semaphore hanya dapat dilakukan pada jarak lebih kurang 200 meter
atau sejauh yang dapat dilihat oleh mata. Biasanya digunakan dalam bidang
kelautan. Demikian barangkali pada adegan tersebut. Aktor paling belakang
berdiri di atas trap roda sambil memegang corong yang menutupi wajahnya dan
berkata: Saudara-saudara sekalian, ini
kami lakukan demi kesejahteraan kalian. Karena melihat kebutuhan kita yang
semakin meningkat. Dimana kita membutuhkan arena yang lebih luas lagi...
Kalimat-kalimat tersebut
sering diucapkan oleh aktor yang sama di beberapa adegan yang berbeda.
“Berisik!!!” Ujar lelaki yang terlelap, menimpali adegan itu. Dia terjaga. Dia
mencari sumber suara. Suara lain pun saling bentur di sana. Dia tampak gelisah.
Tidurnya seperti terganggu. Lampu merah. Fade
Out.
Set berganti lagi. Lampu
menyala biru. Imajinasi penonton dibawa ke udara lepas. Tiga aktor masuk
membawa balon panjang berukuran sangat besar. Masing-masing dengan laku yang
berbeda. Mereka berlari-lari kecil, melangkah diiringi Suara kerisik plastik.
Balon panjang ditegakkan secara diagonal. Aktor-aktor berusaha mengeksplorasi
properti meskipun tampak sedikit tidak terbiasa.
“Kuhangatkan tubuhmu
hingga kubakar rumahmu...” ujar sesuara. Balon-balon pun diledakkan. Penonton
terkejut dan takjub. Adegan cepat berubah. Aktor berganti. Beberapa aktor masuk
dengan laku seperti kera. Bergerak liar mengitari panggung dan kerangka kayu
berbentuk segitiga. Salah satunya membawa corong yang menutupi wajahnya.
Kalimat-kalimat pada adegan sebelumnya diucapkan kembali dengan irama yang
datar. Kerangka kayu berbentuk segitiga didorong salah satu aktor, seolah-olah
ingin memerangkap aktor lain yang berlaku seperti kera. Sampai akhirnya, mereka
keluar. Adegan berganti dengan cepat.
“Oksigen...oksigen...oksigen...”
Seorang aktor masuk membawa kereta dorong dengan balon-balon di atasnya—dia
menjual oksigen. Pada saat yang nyaris bersamaan, dua kator terkurung di dalam
balon masuk ke panggung. Mereka mengerjap, sesak dan membutuhkan udara. Sesuara
mengulang kalimat pada beberapa adegan sebelumnya.
Adegan berganti. Lampu
menyala biru. Imajinasi terbangun memasuki dasar laut. Tiga aktor masuk denga
gerak dan laku seperti berenang dan menyelam. Salah satunya membawa balon.
Suara-suara gelembung mengikuti. “Kuberenang bersama abu...” Lalu balon lekas
meletup, sekali lagi. Kalimat-kalimat pada beberapa adegan sebelumnya kembali
diucapkan. Lagi.
Kali ini set berganti.
Lampu Fade Out terlalu lama. Emosi
penonton seakan terputus. Beberapa saat kemudian, lampu menyala merah menimpa
seorang aktor yang sedang berlari di tempat. Dia gelisah. Aku hanya mimpi...aku hanya mimpi... Suara dentuman, gesek biola
yang kasar dan ledakan-ledakan emosi. Aktor berusaha tidur di atas trap yang
diberi kasur sebagai alas. Dia tetap gelisah. Tak dapat tidur. Dia meringkuk.
Gelisah lagi. Meringkuk lagi. Sesuara merangkum adegan: domba satu, domba dua, domba tiga, domba empat, domba lima... dan
seterusnya. Dicabik-cabiknya kasur hingga keluar kapasnya. Dia turun panggung,
meminta mimpi dari penonton—lampu sorot mengikutinya. Ingin menukar mimpi. Khas
Brech: panggung menjadi tak terbatas. Dan dibakarnya kasur itu sehingga
berkobar apinya.
Selanjutnya, dua aktor
membawa ranting dan menari dengan ranting itu. Tidak bobok...aku tidak bobok... Lampu pun padam meninggalkan kasur
yang terbakar. Dan pementasan pun berakhir.
Meskipun tidak
sepenuhnya aura magis sampai ke penonton, tetapi Teater Tangan tetap mampu
menyelesaikan pementasan. Untuk sebuah pementasan sarat dimensi dan visual yang
“meledak-ledak”, kualitas vokal aktor sangat dibutuhkan.
Syamsuol mengatakan, dimensi-dimensi
dalam pementasan sengaja dihadirkan sebagai visual atas kejadian-kejadian yang
ada di darat, udara dan laut. Dampak kebakaran dan kerusakan lingkungan menjadi
isu menarik di Makassar. Itulah yang ingin mereka sampaikan kepada Indonesia.
Proses latihan yang hanya dua bulan tak menyurutkan semangat kelompok Teater
Tangan untuk tetap tampil.
“Apakah kita pernah
merasa tidak bisa tidur?” Ujar Syamsul mengakhiri diskusi usai pementasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar