OLEH Nasrul Azwar
Pementasan Interogasi Teater Noktah di MTI#3 Solo |
Di atas panggung, setiap malam, manusia-manusia dipaparkan
dengan segenap kemanusiawiaannya. Properti yang efesien. Ada lelaki tua, Jumena
Martawangsa, rapuh iman yang merasa ajalnya kian dekat namun cemas hartanya
jatuh ke tangan istrinya. Dia tak percaya lagi kepada orang lain. Ada Emak yang
memberi angin surga pada sosok lugu bernama Abu. Sandek, aktivis buruh dengan
multikepribadian menggugat sisi kemanusiaan Direktur Umum.
Panggung teater selama lima hari—minus
Kalanari Teater yang menggunakan ruang terbuka— diisi dengan tokoh-tokoh yang
idiot, cacat pincang, profesi pelacur, tubuh berkudis, bisu, gembel, para
bandit, dan orang-orang tersisih dari kehidupan sosialnya. Semua sebagai representasi
kegetiran hidup orang-orang yang tak jelas identitasnya dalam statistik negara.
Pentas pun didominasi warna muram hitam, gelap, dan sunyi.
Mimbar Teater Indonesia (MTI) #3 yang dihelat Taman Budaya
Jawa Tengah di Solo, 22-27 September 2013 lalu dengan menampilkan lakon-lakon
Arifin C Noer, bisa dikatakan merupakan parade kaum kusam manusia Indonesia. Naskah-naskah
Arifin C Noer, memang tak mungkin lepas dari hal demikian: Realis-absurd.
Ada lima kelompok teater yang ikut MTI#3
kali ini, yaitu Teater Bandul Nusantara (Karang Anyar) mengusung Tanpa Dasar Tanpa Akhir adaptasi Sumur Tanpa Dasar dengan sutradara Damar
Tri A, Teater Sastrasia Universitas Kanjuruhan Malang naskah Dalam Bayangan Tuhan sutradara Dengkeq Darmanto, Kala Teater (Makassar)
memanggungkan Kapai-Kapai yang disutradarai Shinta Febriany,
Kelompok Studi Sastra dan Teater Noktah (Padang) membawakan naskah Interogasi Atawa Dalam Bayangan Tuhan
disutradarai Syuhendri, dan Kalanari Teater (Yogyakarta) naskah Kapai-Kapai sutradara Ibed Surgana Yoga.
Selain pementasan grup teater, juga
digelar monolog naskah Arifin C Noer dengan monologer Jarot Budi Darsono (Solo)
dan Mas Tohir (Surabaya), dan pembacaan “Nyanyian Sepi” Arifin C Noer oleh
Kelompok Sound of Poem. Ada seminar juga digelar dengan tema Lakon-lakon Arifin
C Noer dalam Arus Sejarah dan Tradisi dengan pembahas Sudiro Satoto (Guru Besar
UNS, Solo), Afrizal Malna (pengamat teater), Dindon (Teater Kubur Jakarta).
Pementasan Interogasi Teater Noktah di MTI#3 Solo |
Halim HD, kurator iven ini mengatakan, MTI
sudah digelar tiga kali. Awalnya, pada 2010, MTI tak menentukan tema. Pada
2011, MTI kedua, mengangkat naskah-naskah Putu Wijaya. Pada 2012, MTI gagal
digelar. 2013 digelar lagi.
“Lima kelompok teater yang ikut dalam MTI
ketiga ini merupakan hasil menyaringan dari delapan belas kelompok teater di
Tanah Air yang mendaftar. Korator memilih 5 grup berdasarkan proses kreatif dan
konsistensinya,” kata Halim HD, yang juga networker budaya.
Tubuh
yang Ahistoris
Rangkaian dalam iven MTI # 3
itu—pementasan, diskusi, monolog, dan puisi-musik—memang tidak memiliki
hubungan langsung satu sama lainnya kendati masing-masing diikat dengan
naskah-naskah Arifin C Noer. Semua berlangsung dengan cara sendiri-sendiri.
MTI diharapkan membuka alternatif lain di atas panggung
teater terhadap tafsir naskah-naskah Arifin C Noer. Jika pada 2011, dijejalkan
dengan naskah Putu Wijaya yang pekat teror mentalnya, maka MTI kali ini dikesankan
kontemplatif, tokoh yang marginal, dan
eksplorasi panggung. Naskahnya lebih mendominasi pada perenungan realis yang
absurd. Selain itu, sutradara dimungkinkan pula mensenyawakan anasir kesenian
tradisi rakyat lokalistik dengan kekinian dalam garapannya.
Permasalahan tiba-tiba muncul karena jauhnya jarak antara
generasi yang memainkan naskah-naskah Arifin C Noer dengan masa kelahiran
naskah tersebut, yang mungkin sebagian besar pemain teater yang ikut MTI belum
lahir saat Arifin memunculkan Sandek, Abu, Jumena, Emak, dan lain sebagainya.
Selain itu, lemahnya studi naskah dan pembacaan referensi teks,
membuat panggung MTI seperti kehilangan lakon. Minim referensial. Normatif. Dampak pun cukup serius. Suara-suara yang diberatkan menjadi ciri khas
semua pertunjukan. Teater pun menjadi satu warna. Lakon-lakon Arifin C
Noer yang kaya metafor, puitik, dan
struktur yang ritmik, bukan menjadi sesuatu yang penting di atas pentas. Arifin
kehilangan kearifannya.
Pentas teater menjadi “hak veto” sutradara dan memerdekakan
dirinya memberi interpretasi. Teks lakon bukan sesuatu yang utama, tapi sebagai
pijakan untuk menciptakan teks baru dengan konteks yang berbeda. Pementasan
Kalanari yang membawa Kapai-Kapai ke
sebuah lapangan rumput dengan menukar dialognya dalam bahasa Jawa, sudah
menjelaskan hal demikian. Kapai-Kapai
kehilangan filosofi dan teksnya.
Interogasi Atawa Dalam Bayangan
Tuhan yang
diusung Teater Noktah dan Teater Sastrasia, juga mengalami hal yang sama
kendati tetap menggunakan bahasa teks lakon, tapi tak banyak membuka
kemungkinan-kemungkinan imajinatif bagi penonton. Konteks pertunjukan bernegasi
dengan teks. Tubuh aktor seperti lepas dari teks, dan berusaha membuat teks
baru yang kontekstual. Hal yang sama juga terjadi pada Kalateater dan Teater
Bandul Nusantara.
Pengamat menyebutkan, naskah-naskah Arifin C Noer, bersifat
internal, dan cukup sulit “memasuki” secara sempurna jika dimainkan di luar
lingkaran Teater Ketjil. Problem ini kerap dihadapi para sutradara/kelompok
lain saat menggarap lakon-lakon Arifin. Maka, kecenderungan pemahaman bersifat
kontekstual bukan tekstual, tampaknya harus dimaklumi.
Lima hari MTI # 3 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah,
panggung setiap malam memproduksi teks yang keluar dari mulut para pelakon. Tubuh
pelakon gagap mengimbangi kata-kata yang demikian banyak disemburkan. Teks yang
seyogyanya bisa disimbolisasikan dengan tubuh, tetap saja harus diucapkan,
dibisikkan, dan malah diteriakkan. Naskah Arifin yang penuh perenungan pun
menjadi verbalitas. Sandek, Abu, Jumena, muncul di panggung seolah seorang
pengkutbah. Dan bahkan terkesan sedang mengeluh kepada penonton. Padahal, semua
naskah-naskah Arifin C Noer sangat terbuka dan memang terbuka untuk
dieksplorasi. Tapi itu tak terjadi. Lima kelompok teater di MTI # 3,
memperlakukan lakon-lakon Arifin C Noer seperti artefak, kaku, dan normatif.
Arifin C Noer merupakan tokoh teater modern Indonesia. Ia
lahir 10 Maret 1941 di Cirebon, Jawa Barat. Meninggal dunia karena kanker hati
dan lever menggerogoti tubuhnya pada 28 Mei 1995 di Jakarta. Sebelum mendirikan
Teater Ketjil, ia bergabung dengan Teater Muslim pimpinan Mohammad Diponegoro. Tahun
1972-1973 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa
City, Amerika Serikat.
Iven yang Tertata
Mimbar Teater Indonesia #3 di Solo telah memasuki ketiga kali
penyelenggaraannya, dan sukses mengundang kelompok-kelompok teater di pelbagai
kota di Indonesia.
Menurut Halim HD, pada 2014, MTI #4 akan menghadirkan khusus
lakon Menunggu Godot karya Samuel
Barclay Beckett, sastrawan dunia kelahiran Dublin Irlandia, yang meraih nobel
sastra pada 1969. Pada 2015, MTI #5 direncanakan menghadirkan naskah-naskah
sastrawan Inggris William Shakespeare.
Saya sendiri cukup kagum dengan penyelenggaraan MTI yang
dihelat Taman Budaya Jawa Tengah ini, mungkin juga iven seni lainnya, yang
telah merencanakan jauh-jauh hari konten ivennya, serta kelompok mana yang
terlibat. Tentu saja ini menarik ketika dibandingkan dengan Taman Budaya
Sumatera Barat.
Mengapa tidak, lihat saja, nyaris semua iven-iven seni yang
digelar Taman Budaya Sumatera Barat, tak direncanakan secara matang. Padahal
tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Taman Budaya se-Indonesia, tak akan berbeda
satu sama lainnya. Program-program Taman Budaya Sumbar mengesankan dilaksanakan
sporadis, termasuk program yang disebut Aktivasi itu, yang konon Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggelontorkan dana miliaran rupiah. Tapi, yang
kita saksikan setiap Sabtu-Minggu, tak lebih seperti acara pesta perkawinan.
Selain itu, Taman Budaya Sumatera Barat juga tak memiliki iven yang
berkesinambungan, kecuali Alek Teater, yang mulai terlihat tertata, kendati
perlaksanaan dan kuratorialnya belum jelas.
MTI memang belum terlihat memberi kontribusi besar terhadap
teater di negeri, tapi paling tindak, kehadirannya di tengah mahalnya sewa
gedung pertunjukan, ia telah memberi angin segar dan harapan bagi keberlanjutan
hidup teater. Di luar Jakarta (program Dewan Kesenian Jakarta), dengan Festival
Teater Jakarta, tampaknya MTI-lah satu-satunya perhelatan teater yang dilakukan
secara berkala dengan cakupan yang luas.
Bagi para pegiat teater Tanah Air, MTI saat sekarang memang
menjadi ajang penting untuk mempertemukan karya-karya panggung mereka. Dan
idealnya, hal semacam ini harus diperbanyak di pelbagai tempat dengan kerja dan
program yang jelas.
Pada 2011, Sumatera Barat pernah menggelar pementasan
naskah-naskah Wisran Hadi, tapi, tak jelas sebabnya, program ini hilang di
tengah jalan. Padahal, awalnya iven ini cukup mendapat respons dari pelbagai
pihak. Tapi, itulah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar