OLEH Fadlillah Malin Sutan
Pengajar FIB Unand dan Kandidat Doktor di
Universitas Udayana
seperti lukisan siluet seorang perempuan
duduk merentang tangan di bibir lembah Sianok ketika senja, sehingga ketika
dilihat dari jauh seakan memegang pelangi jadi busur, memanah ke langit
Tidak seperti biasa, membaca kover belakang kumpulan puisi Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010),
yakni membacanya dari belakang, dimulai dari kanan, tidak dari kiri, seperti
membuka al Qur’an, terasa lain. Bagian belakang merupakan sesuatu yang
terpinggirkan di zaman semua orang lebih mementingkan kulit depan. Jangan
kan bagian belakang, bagian isi pun sering
di anggap tidak begitu penting, karena yang lebih penting kulit depan. Sebuah
puisi di kulit belakang, yang bukan bagian dari kumpulan puisi, mungkin puisi “dari kumpulannya terbuang” (cf Charil
Anwar). Kulit depan sebagai pusat,
belakang sebagai pinggir dan dipinggirkan, orang struktural menyebutnya oposisi binner.
Pada manusia, jika mulai membacanya berurut (linear), maka akan dimulai sejak dari kanak-kanak yang jernih tanpa
dosa (innocent), membacanya dari belakang adalah membacanya ketika dia sudah tua
(namun tidak semua yang tua adalah matang). Membaca kepenyairan Rusli Marzuki
Saria (RMS, bukan Republik Maluku Selatan,
tetapi Rusli Marzuki Saria) dan puisinya, sebagai satu sisi, merupakan membaca
manusia yang sudah menanggung ragam,
manusia yang matang dengan asam garam, tidak mambaca keindahan yang
bening. Bagaimana keindahan dalam realitas menanggung
ragam, keindahan yang matang dengan
asam garam, tentu jauh berbeda dengan keindahan sederhana dunia kanak-kanak.
Keindahan pelangi di mata dunia
kanak-kanak, jauh berbeda keindahan pelangi
di mata seorang yang sudah menanggung
ragam dan asam garam kehidupan. Keindahan pelangi di dunia kanak-kanak adalah ungkapan yang sederhana; semua orang paham, oleh sebab
itu ketika seorang penyair RMS yang sudah menanggung
ragam dan asam garam kehidupan, mengungkapkan kata pelangi, maka dapat dipahami tidak
lagi sederhana. Syair lagu pelangi
kanak-kanak adalah sederhana, tetapi puisi pelangi
RMS agaknya tidaklah sederhana. RMS menulis syair puisinya (di kulit belakang,
yang dikutipkan penyair Yurnaldi); Busur pelangi senja /
Terpanah duka di sarangnya /
Mengalir sungai dalam banjir / Lembah Sianok di dasarnya (terima kasih
kepada penyair Esha Tegar Putra yang telah bersusah payah mengirim puisi ini). Mungkin sepertinya keindahan
sederhana, namun ketika dipahami, dia tidak lagi suatu keindahan yang
sederhana.
Di mana pelangi melingkar seperti
busur panah dalam senja raya, kanak-kanak mungkin juga punya imaji seperti itu,
tetapi “Terpanah duka di sarangnya”,
bukanlah kalimat sederhana, bukti tidak serderhana itu, kalimat tersebut
bukanlah kalimat yang mampu diucapkan kanak-kanak pada umumnya. Barangkali,
baru merupakan kalimat sederhana, kalau diredaksikan; “Superman terpanah dadanya oleh Gatot Kaca”.
Kata pelangi itu di tangan RMS,
sudah merekam realitas budaya, sejarah, ekonomi politik (ragam dan asam garam kehidupan), bukan lagi kata dalam lirik lagu
kanak-kanak yang bening, tetapi kata dari mulut kehidupan yang sudah malang melintang di rimba kehidupan,
dengan demikian itu bukan lagi kata yang
sederhana. Warna pelangi di sana sudah
berubah dalam keindahan multikultur.
Keindahan warna di tangan orang dewasa, sudah tidak lagi sebagai sesuatu
yang netral dan jernih, bahkan warna sudah merupakan suatu kekuasaan.
Partai-partai politik identik dan mengidentifikasi diri dengan warna. Di zaman
Orde Baru, warna yang berkuasa adalah kuning, dan di zaman Reformasi, warna
yang berkuasa adalah biru dan pernah sebelumnya warna merah yang berkuasa.
Adapun RMS menulis di zaman ketika warna hanya boleh ada satu (eka), tidak boleh multi warna (bhineka), maka ini bukan lagi persoalan
serderhana. Di mana orang berkorban, berkelahi, berperang hanya dikarenakan
warna.
Sejarah dunia merekam dengan baik bagaimana duka yang ditorehkan oleh warna
pada kulit. Warna yang selayaknya dinikmati keindahannya secara bening, jernih
dan sejuk, berubah jadi duka karena kulit berwarna putih harus berkuasa,
sedangkan kulit yang berwarna hitam, kuning atau coklat, harus minggir; jadi
budak. Di sinilah sejarah rasial itu bermula. Bagaimana ganasnya, ideologi
warna, sehingga tercatat pembunuhan terhadap kulit hitam dan kulit berwarna
yang tak terperihkan. Sampai hari ini, kulit putih masih tetap seperti dewa,
para perempuan di negara-negara kulit berwarna masih berlomba-lomba untuk
memutihkan kulitnya, karena apa yang disebut cantik dan indah adalah kulit
berwarna putih. Perempuan yang berkulit warna hitam, kuning, sawo matang adalah
buruk, sehingga perempuan dari kulit berwarna selalu rendah diri di depan
perempuan kulit putih.
Bahkan warna sudah menjadi indentifikasi teologi, di Barat; warna putih
adalah tuhan dan malaikat, sedangkan warna hitam, merah dan kuning adalah
iblis. Sebaliknya, adapun di Timur, warna kuning adalah Dewa Brahmana, warna
hitam adalah Dewa Wisnu, dan warna merah adalah Dewa Syiwa. Secara teologis,
warna Barat jelas menghina dan merendahkan warna Timur, namun dalam sejarah
sampai hari ini warna Barat tetap berkuasa, dan warna Timur masih dipinggirkan.
Multi warna pun dilihat sebagai ancaman (bermula dari sikap Barat), dan multi
warna adalah sebagai penyebab buruknya situasi. Pakar sosiolog dunia modern,
Samuel P. Huntington (2003:5), pun
masih seperti itu pandangannya, bahwa benturan yang terjadi diantara
peradaban-peradaban besar dunia karena orang mencari identitas dan menemukan
kembali etnisitas, permusuhan-permusuhan pun menjadi bagian yang tak
tarpisahkan, dan permusuhan-permusuhan yang paling berbahaya. Maksud Huntington
multiklutur, muliti warna, pelangi, adalah musuh peradaban dunia, maka tidak
heran Huntington dibantah oleh banyak pakar. Pada prinsipnya estetika
Huntington masih merupakan estetika negara-negara otoriter, jika dia menyebut
dirinya demokrat maka sesungguhnya hanya
kulit saja.
Sebagaimana William Liddle (dalam, Purwanto, 2007:5), yang pada hakekatnya
sama dengan Huntington, dia mengatakan;
ada dua jenis penghalang dalam integrasi nasional, ialah (1) yang berakar pada
dimensi pembelahan horizontal, yaitu perbedaan suku bangsa, ras, agama dan
geografis: dan (2) pada tingkat vertikal berupa perbedaan latar belakang
pendidikan elit kota yang berpendidilan, dan massa pedesaan yang berpandangan
tradisional. Liddle mengabaikan persoalan sesungguhnya (maksudnya, persoalan
yang dikemukakan Liddle bukanlah sesungguhnya), yakni tegaknya keadilan.
Baik Liddle maupun Huntington, berpendapat bahwa estetika bukanlah pada heterogen
tetapi pada homogen. Fenomena inilah yang dituangkan, barangkali, oleh RMS,
pada puisinya; Busur pelangi senja /
Terpanah duka di sarangnya. Pelangi
yang melengkung indah di lihat sebagai busur
ancaman, tidak seperti dunia kanak-kanak yang melihat pelangi sebagai dunia multi warna yang yang indah dan damai.
Dalam konteks budaya, RMS, menghadirkan pelangi
pada kanvas senja, hal itu akan jadi
lain artinya ketika di hubungkan dengan budaya dan latarnya. Secara budaya dan latarnya,
Lembah Sianok, berada dan dihidupi oleh
budaya Minangkabau. Adapun warna yang dominan pada senja adalah kuning, merah
dan hitam, jelas itu adalah warnanya
kebudayaan Minangkabau. Ketiga warna itu
merupakan tiga wilayah Minangkabau, yakni warna kuning Luhak Tanah Data, warna
hitam Luhak Lima Puluh Kota, warna merah Luhak Agam. Begitu juga tiga gunung,
yakni gunung Merapi, gunung Sago, gunung Singgalang. Pada hakekatnya inilah
jejak kekuasaan agama Hindu dan Budha di Minangkabau.
Oleh sebab itu, warna kuning, merah dan warna hitam sesungguhnya juga berada
di wilayah teologis, warna kuning adalah lambang Dewa Brahmana, warnanya adalah
hitam; lambang Dewa Wisnu, warna merah; adalah lambang Dewa Syiwa. Ini
menandakan begitu cukup kuat berkuasa
Hindu dan Budha di Minangkabau dahulunya. Pada hari ini bangsa Minangkabau
tidak lagi beragama Hindu atau Budha, maka warna itu hanya menjadi warna
kebudayaan serta warna kebangsaan Minangkabau (profan) dan tidak lagi dalam tataran teologis, secara teologi
mereka muslim tanpa warna (karena warna akan bertendensi syirik), mereka tidak menjadikan warna hijau seperti di Jawa untuk
teologis. Warna kuning, merah dan warna hitam menjadi warna kebudayaan serta
warna kebangsaan Minangkabau (profan)
dalam kemuslimannya dapat diterima, karena dalam Islam semua warna milik Allah.
Dalam tataran estetika, kebudayaan Minangkabau, melawati masa pasca Hindu
dan Budha, karena itu estetika yang
hadir tidak harmoni tetapi pasca-harmoni, inilah yang disebut estetika harmoni dalam konflik, oleh
Nasroen (t.t.:135-137) dikatakan bahwa estetika bangsa Minangkabau adalah keseimbangan dalam pertentangan. Dalam
pengertian kemampuan keseimbangan abadi
tanpa melenyapkan berbagai pertentangan yang ada, karena falsafah “alam terkembang jadi guru” mengajarkan unsur-unsur alam bukanlah saling melenyapkan.
Menurut Nasroen (t.t.:62,77) estetika individu dan masyarakat berada dalam keseimbangan dari pertentangan, antara
individu dan masyarakat terdapat hubungan saling
memiliki sehingga kedua belah pihak tidak
dapat saling menguasai.
Perbedaannya dengan estetika Barat adalah bahwa estetika Barat saling mengusai
dan saling melenyapkan dan Barat terkenal sebagai peradaban imperialis dan
estetika barat adalah estetika tragedi, dan cendrung pada estetika obyektif.
Adapun estetika Timur hanya harmoni yang cendrung kepada subyektif. Adapun
estetika kebudayaan Minangkabau kemampuan
subyektif untuk seimbang dalam obyektif yang dikenal dengan adagium mereka
“rasa dibawa naik, periksa dibawa turun”,
dikenal dengan rasa dan periksa.
Inilah dasar estetika budaya RMS dalam puisi itu, sehingga Busur pelangi senja /
Terpanah duka di sarangnya /,
akan dapat dipahami dengan keseimbangan
dalam pertentangan. Hal ini masih segaris dengan apa yang dikatakan Nur St.
Iskandar (1973:83) “panas mengandung
hujan”. Barangkali, dengan membaca puisi RMS ini, merawat sebuah rasa
estetika kebangsaan bukanlah dengan cara menyalahkan realitas atau siapa,
tetapi akan lebih baik dengan mengoreksi ulang dan mengevaluasi secara
kontekstual dan relevan dengan semangat zaman. Beban ini, lebih banyak
ditanggung sesungguhnya oleh para penegak hukum dan para penguasa, bukan pada
rakyat, rakyat hanya menurut. Artinya dengan menegakan hukum, menegakan
keadilan ekonomi, dan membela ketertindasan kehidupan rakyat, maka inilah arti
estetika busur pelangi dalam makna kebhinekaan.
Penguasa, sudah selayaknya mereka tidak lagi menerapkan politik
penyeragaman (eka yang homogen)
terhadap bangsa ini, karena hal itu tidak merawat rasa kebangsaan yang beragam
itu sendiri. Merawatnya adalah menegakkan keadilan, kemanusian, dan beradab.
Secara historis sebenarnya dapat dibaca, bahwa para pendiri bangsa ini berharap
kebhinekaan mereka selayaknya dijamin
dan jangan ditindas, apalagi diadu domba dengan politik belah bambu. Kecintaan
dan kebangsaan bersemai dengan suburnya bila dirawat oleh keadilan, rasa
kemanusiaan dan ber-Tuhan.
Tetapi para pengusung ideologi “penyeragaman” (homogen) selalu menuding
bahwa perbedaan, kemajemukan dan kebhinekaan adalah biang keladi konflik.
Estetika Indonesia cendrung menghindar konflik, bahkan melenyapkan konflik.
Mitos ini sangatlah tidak logis dan tidak didukung oleh fakta. Karena pada
hakekatnya konflik itu dilakukan oleh politik adu domba dan kebijakan belah
bambu, dan estetika tumbal, adanya ketidakadilan, prilaku yang tidak
berprikemanusian, kepalsuan musyawarah dan mufakat, dan perangai seperti tidak
ber-Tuhan.
Dalam pandangan kebudayaan Minangkabau tidak ada sepenuhnya yang harmoni
pada budaya, sebab bila demikian maka tidak ada dinamika. Disharmoni maupun
harmoni, disasosiasi maupun asosiasi; dan konflik akan selalu ada. Dalam
pandangan kebudayaan Minangkabau adalah salah bila mengatakan konflik sebagai
faktor yang memecah belah dan merusak kesatuan. Tanpa konflik kebudayaan tidak
maju, tidak ada perubahan. Inilah yang disebut dalam estetika kebudayaan
minangkabau “bersilang kayu dalam tungku,
begitu api baru hidup, di sana nasi masak” (basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko iduik, disinannasi
mongko masak).
Konflik tidak identik dengan penganiayaan dan penindasan dan tidak
selamanya termanifestasikan oleh penzaliman. Adalah benar, kita menentang
kejahatan, tetapi tidak bijak mematikan konflik dan mengkambinghitamkan konflik.
Menentang ketidakadilan adalah sesuatu yang legitimat,
akan tetapi menyamakan konflik dengan penindasan dan penganiayaan adalah
kesalahan fatal.
Adapun estetika kebudayaan Minangkabau, yang dihadirkan RMS pada bait
selanjutnya merupakan sebuah estetika alam
terkembang jadi guru; dikatakannya; Di tubir ngarai curam / Tumbuh enau dan bunga lala / Seperti sangkutan
baju yang setia / Di rumah pengantin baru / Lembah biru / Yang rindu.
Bagaimana alam lembah seperti ibu pertiwi, perempuan, bunda kandung, karena
Minangkabau adalah negeri perempuan (bukan dalam pengertian feminis dan
genderisme), sangkutan baju yang setia
adalah dalam pengertian ‘home’ bukan
‘house’. Ketika membaca Busur pelangi senja /
Terpanah duka di sarangnya /
Mengalir sungai dalam banjir / Lembah Sianok di dasarnya, dia seakan
suatu lukisan siluet seorang perempuan duduk merentang tangan di bibir lembah
Sianok ketika senja, sehingga ketika dilihat dari jauh seperti memegang pelangi
jadi busur, memanah ke langit (cf. Sintiaw
Hiaplu karya Chin Yung). Mungkin, puisi ini sesuatu yang tidak sederhana,
disampaikan (yang sepertinya) dengan sederhana. Seperti kesederhanaan gerakan
Musashi menghadapi Kajiro (di akhir novel Musashi,
karya Eiji Yoshikawa. Pada pertarungan tingkat tinggi itu Musashi hanya dengan
pedang kayu. Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan
keterampilan. Musashi mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka). Sebagaimana
kesederhanaan silek tuo pada Giring-giring Perak (Makmur Hendrik). Mungkin,
itulah kesederhanaan seorang maestro,
Rusli Marzuki Saria.
Denpasar, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar