OLEH Suryadi
Alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Andalas dosen dan
peneliti di Universitas Leiden, Belanda
SURYADI |
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sudah
sejak akhir abad ke-19 Padang menjadi kota ‘modern’, bahkan menjadi kota yang
paling ‘maju’di bagian barat Indonesia. Kemajuan Padang meningkat pesat setelah
sarana jembatan kereta api dibangun di Sumatra Barat pada 1892 menyusul pembangunan
pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur).
Sejak 1870-an Padang sudah mempunya koran
(koran pertama yang muncul di kota ini bernama “Bentara Melajoe”), yang
kemudian makin banyak jumlahnya (Adam 1975), baik yang berbahasa Belanda maupun
yang berbahasa Melayu. Unsur kebudayaan bandar (urban) lainnya, seperti rumah
bola (societeit), hotel (seperti
Hotel Sumatra dan Hotel Oranje) dan komplek pertokoan yang menjual
barang-barang impor dan buatan dalam negeri cukup lengkap di Padang Bahkan ikan
herring yang ditangkap oleh nelayan
Belanda di Laut Utara dapat dibeli di Padang pada waktu itu.
Begitu juga halnya dengan grup-grup musik (muziekclub). Salah satu muziekclub yang terkenal di Padang
sekitar awal abad 20 bernama ‘Petit Advendo’. Personilnya terdiri dari orang
awak dan keturunan Asia lainnya. ‘Petit Adcendo’ sering diundang dalam acara
pasar malam dan di rumah-rumah bola di Padang. Saya ingin menelusuri apakah
grup musik ini merupakan salah satu cikal-bakal dari musik gamad yang kita kenal sekarang.
Unsur budaya urban lainnya yang sudah lama
berkembang di Padang adalah bioskop dan film, topik yang menjadi fokus esai
ini. Sejak
awal 1900-an bioskop sudah ada di Padang. Pionir perbioskopan di Padang antara
lain adalah “Biograph”, “Cinema Theatre”, “the Royal Excelsior”, and
“Scala-Bio”. Pemilik (eigenaar)
bioskop-bioskop itu pada umumnya adalah orang Eropa dan Cina. Pada tahun
1930-an bioskop-bioskop mulai berekspansi ke kota-kota di darek seperti
Bukittinggi dan Padang Panjang. Awalnya film-film bisu yang diputar, rapi sejak
1930-am mulai dikenal film-film bersuara. Film-film kebanyakan diimpor dari
Amerika.
Bintang film yang ganteng dan bermain bagus
mulai
jadi idola, seperti bintang koboi yang kesohor Tom Mix (tewas tgl. 12 Okt. 1940 dalam kecelakaan
mobil di Arizona)
dan pemain
pantomime Charlie Chaplin. Koran Sinar Sumatra
pernah melaporkan
tentang seorang anak ‘nakal’ ngerjain seorang penjual
minyak tanah keliling pakai gerobak di Padang sehingga minyak terbuang
sepanjang jalan karena si anak meniru tindakan Tom Mix dalam salah satu
filmnya.
Banyak adegan mengenai pergi menonton ke
bioskop dapat ditemukan dalam karya-karya sastra Indonesia modern awal yang
berlatar Minang, baik yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, maupun dalam
roman-roman Medan dan Bukittinggi. Adegan seperti itu antara lain dapat dikesan
dalam roman “Melati van Agam” oleh Swan Pen, yang menceritakan kisah sedih
percintaan antara Siti Norma dan Idroes aklibat budaya kawin paksa. Novel itu kemudian difilmkan, seperti dapat dikesan dalam iklan dalam
ilustrasi esai ini (Sumber: Sinar Sumatra, 7-12-1940). Soal gembar-gembor
kata-kata dalam iklan-iklan film pada waktu itu, mirip saja dengan masa
sekarang.
Foto iklan film “Melati van Agam” di atas
bisa berbicara banyak kepada kita tentang budaya bioskop dan perfilman (si
Sumatra Barat) tempo doeloe. Perhatikan misalnya segregasi sosial dan jender bentukan
penjajah Belanda dalam pengaturan tempat duduk dalam bioskop dan harga karcis pada
masa itu.
Gedung bioskop pada waktu itu berbentuk
panggung: oleh karenanya disebut ‘panggung
bioskop’, yang bisa multifungsi. Kalau lagi tidak ada
film, bioskop bisa difungsikan jadi panggung sandiwara (toneel) atau pertunjukan
musik. Kali lainnya bisa jadi tempat pertemuan atau rapat (vergadering).
Tidak banyak catatan sumber pertama bagaimana
pengalaman menonton di bioskop tempo doeloe. Di antara intelektual Minang mungkin hanya Hamka
yang cukup njelimet mencatat pengalaman masa kecilnya ketika teknologi film masuk ke Sumatera
Barat. Saat bersekolah di Padang Panjang tahun 1917, Hamka kecil (lahir 1908)
sering nonton film gratis. Dari rumah Hamka bilang kepada orang tuanya mau ke
surau, tapi ternyata dia dan kawan-kawanya ngacir
ke panggung bioskop. Bocah-bocah ‘nakal’ itu “pergi mengintip film yang main, sebab wang penjewa tidak ada.
Mereka menyuruk ke “bawah
panggung itu”, lalu dengan sengaja mereka
melubangi lantai bioskop itu. Kemudian mereka “mengintip dari sana
dengan sepuas-puas hati. Rupanya kelakuan djahat ini ketahuan oleh pendjaga
panggung, sehingga pendjaga panggung, melumar lobang-lobang intipan itu dengan
‘tahi ajam’.
Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat
dihidung” salah
seorang reman Hamka. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja” Hamka mengajak kawan-kawannya pergi dari bawah
lantai panggung bioskop itu. Tahi ayam yang baunya ‘aduhai’ itu melekat di “badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang
kenal kain sarung sembahjangnya. [P]endjaga
panggung terdengar tertawa terbahak-bahak!” (Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Gapura, 1951:I,
32-3).
Demikianlah sekelumit cerita mengenai perbioskopan di Padang (Sumatera
Barat) tempo doeloe. Adakah sivitas akademika perguruan tinggi di kota ini yang
mau meneliti dengan serius sejarah urban
entertainment di Padang yang menarik itu? Entahlah...
Baca:Perbioskopan
di Padang: “Mati” dalam Belantara Teknologi Informasi dan Wawancara dengan Emeraldy Chatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar