Minggu, 27 Oktober 2013

Bingkuang Si Padang


OLEH Alizar Tanjung

Lelah Mengejar Engkau" (Hajriansyah)
Ketika Padang memutuskan tinggal di kotanya, dia telah mempertimbangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan darah, daging, dan tulangnya. Darahnya darah Padang. Dagingnya daging Padang. Tulangnya tulang Padang. Dia telah mempertimbangkan baik dan buruknya tinggal di Kota Bingkuang. Tinggal bersebelahan dengan Emmahaven yang kini telah berganti nama dengan Teluk Bayur. Tempat ‘orang rantai’ yang telah almarhlum mengalirkan keringatnya demi membangun Emmahaven di tahun 1890. Tempat para buruh yang tak berijazah Sekolah Dasar mengadu nasibnya mengangkut barang impor dan ekspor. Telah ia kaji untung dan rugi. Sampai hal sedetil-detilnya, seumpamanya nanti ia benar-benar menjadi petani bingkuang yang miskin. Sebab bingkuang hanya laku 5.000 rupiah satu ikat. Kalau ada yang 10.000 rupiah satu ikat hanyalah karena peruntungan baik saja. Dia telah mempertimbangkan pula kemungkinan terburuk suatu hari entah kapan ia akan menjadi lelaki lapuk bersama musnahnya bingkuang dari kotanya. Sebab mucikari tanah yang berlomba-lomba membangun proyek; gudang penumpukan, bulk cargo, mol, hotel, restoran siap saji di kotanya.

“Ayo kita ke Jakarta.” Ajak kawannya Rantau. Kawan yang nama aslinya disingkat Leman, padahal nama panjangnya Sulaiman, semenjak berbini bergelar Marajo Sutan. Semenjak gemar merantau berganti panggilan dengan nama Rantau. Sebenarnya itu hanyalah nama olok-olokan. Tapi begitulah di kota itu nama selalu melekat pada jenis pekerjaannya.
Padang hanya menjawab, “aku di kota ini sajalah.”
“Di Jakarta kau dapat memulai hidup lebih baik. Menjadi tukang ojek bisa bergaji 100.000 sehari.”
“Aku tidak bisa meninggalkan kota ini. Bingkuang hasil ladang kami lebihlah dari cukup.”
Sebenarnya yang lebih terpenting bagi Padang adalah tentang bingkuang dan Emmahaven. Dua hal yang tampak berbeda berbeda tetapi bagi rantau adalah sama. Kalau Padang pergi ke rantau siapa yang akan mengajarkan tentang sejarah Emmahaven pelabuhan Ratu Emma itu kepada anak cucunya, tentang sejarah kuburan tionghoa di Gunung Monyet, tentang ‘orang rantai” leluhur orang Padang yang buru-buru mati karena bekerja. Pelajaran sejarah di sekolah sudah dihapuskan dari kurikulum. Akan lupalah anak-cucu Padang kalau dari Emmahaven orang-orang pergi haji diberangkatkan. Dan hal yang terpenting bagi Padang siapa yang akan mengajarkan anak-cucunya tentang cara bertanam bingkuang, ciri khas kota itu. yang semakin hari semakin tinggal nama.
Rantau pergi dengan rasa kecewa, meninggalkan buah tangan sepasang baju. Satu bermerek I Love You Bandoeng, satu bermerek I Love You Tjakarta.
Pada tanah yang Padang tanam bingkuang, ia selingi dengan tanaman singkong. Sekali seminggu pucuk-pucuk singkong ia bawa ke Pasar Raya Padang. Ia jual 1500 satu ikat. Sedangkan Bingkuang ketika tiba di hari panen, ia bawa ke pinggiran simpang tiga Gauang, ia jual kepada orang-orang rantau yang pulang ke Painan, Lunang Silaut, Tapan, Bengkulu. “5000 ribu satu ikat,” begitu katanya.
“Belilah bingkuang Pak, Buk, Dek. Oleh-oleh Kota Padang, kota kami.”
“Belilah Pak, belilah Buk.”
“Sepuluh ribu tiga ikat, katanya kalau hari sudah senja-senja raya. Daripada dibawa pulang, lebih baik dijual murah. Itulah prinsipnya.
Sebab itulah semiskin-miskin Padang, tetap saja ia dapat makan bersama bininya. Kalau laut lagi tidak bersahabat dan ikan mahal, Padang masih dapat makan dengan pucuk singkong. Kadang-kadang mengambil pucuk lankisek di hutan setumpak di belakang pantai Air Manis. Aduhai pahitnya menggugah selera. Jangan katakan Padang tidak tahu dengan kuliner. Maka kalau makan yang paling diidamkan Padang adalah lado tobek campur cabe hijau dengan pucuk langkisek mentah.
Sebab itu ketika Rantau menawarkan Padang ke Jakarta, Padang hanya menambahkan jawaban di belakang kalimat pertama. “Kau sajalah yang pergi ke rantau orang, Ntau. Kalau ada nasib untung kau ingatlah kampung halaman. Terutama kawan kau ini.”
***
Rantau telah pergi. Padang tinggal. Berhari-hari Padang bersedih. Bahkan kesedihan itu masih terasa setelah berminggu-minggu. Tetapi kemudian seperti menata ladang bingkuang, tanahnya selalu terasa menyejukkan, Padang sudah dapat menerima kepergian Rantau secara perlahan. Apalagi semenjak dia telah disibukkan dengan pekerjaannya mengolah ladang bingkuang pada tanah setumpak. Bingkuang itu kini sudah hamper setengah perjalanan panen.
Halimah mendampingi Padang meneruka ladang bingkuang. Halimah yang selalu mengingatkan Padang agar jangan lupa makan karena sibuk bekerja. Pada jam istirahat minum kopi siang, Halimah membawakan gorengan pisang, gorengan ubi. Kalau tibalah di hari makan, Halimah membawakan pucuk singkong dan pucuk langkisek dengan lado tobek kesukaan Padang. Lihatlah Padang yang makan dengan lahapnya.
“Halimah, beruntunglah hari musim penghujan. Dapatlah bingkuang kita berbuah ranum nantinya. Akan dapat juga kau membeli baju baru untuk lebaran,” ujar Padang sambil menyantap pucuk singkong di tengah hari. Kemudian Halimah dan Padang membicarakan tentang pupuk apa yang baik untuk ladang. Barangkali Urea, NPK Merah, Poska, yang dicampur pupuk kandang lebih tepat untuk kualitas prima. Tetapi Padang benar-benar miskin untuk membeli pupuk buatan itu. Terlalu jauh dalam jangkauan Padang yang hanya memiliki sepetak tanah ladang bingkuang.
“Atau kita gunakan pupuk kandang saja, Halimah?” Tepat ketika Padang selesai memasukkan pucuk singkong ke mulutnya. Padang bicara dengan mulut berbuih-buih.
“Mana baiknya menurut Uda. Soal pupuk Uda yang lebih tahu. Pupuk buatan sudah jelas tidak mampu kita membelinya. Barangkali hanya satu kilogram atau dua kilo Urea yang mampu kita beli sebagai campuran.”
“Kalau kita gunakan pupuk kandang lebih irit. Akan aku pesan sama Jumardi sepuluh karung.”
“Kalau itu baik menurut Uda, Halimah setuju.”
Halimah menuangkan air minum ke gelas blirik Padang yang sewarna pakaian serdadu belanda. Mereka makan di tengah ladang bingkuang yang sudah dibersihkan semaknya. Makan dialas karung yang dibelah adalah nostalgia petani bingkuang.
“Sepiring tanah di ujung sana.” Padang menunjuk tanah di bawah batang kinari di timur gudang penyimpanan barang eskpor. “Kalaulah tidak sedang sengketa dengan mucikari sudah kita tanam anak-anak bingkuang yang baru. Tapi memang kita orang kecil, hidup dipaksa untuk mengalah.”
Padang kemudian menambahkan pucuk singkong ke piringnya. Kepada Halimah yang duduk bersimpuh ia minta pucuk langkisek muda sebagai tambahan. Halimah mengambilkan pucuk lankisek pahit itu. Lihatlah Padang dengan bulu matanya yang hitam, matanya yang bulat, bibirnya yang tebal, menikmati pahit langkisek.
“Sepetak tanah yang di belakang rumah kita, telah tergadai kepada tuan tanah. Kini telah dibangun gudang penampungan sawit.” Padang tersedak. Kemudian Padang meminum air. Halimah menuangkan airnya untuk kedua gelas.
“Itulah Uda bicaranya sambil makan. Kita ini orang kecil. Hanya bisa terima keputusan orang besar. Kita tidak punya kerabat yang pejabat.” Tidak tahu padang rupanya, bahwa bumi, air, dan segala isinya adalah milik pemerintah. Padang pernah diajarkan tentang undang-undang di Sekolah Menengah Pertama sebelum ia berhenti di kelas tiga karena tidak ada biaya. Dia lebih memilih membantu bapaknya yang sudah almarhum bertani bingkuang. Kemudian berbini dengan Halimah yang tidak tamat sekolah dasar.
Begitulah Padang. Ia tanam bingkuang. Ia belilah lima karung pupuk kandang untuk ia ganti-gantikan menyuburkan tanah. ia beli pestisida untuk membasmi hama pianggang dan weriang dengan uang hutang.
***
Kepada Rantau ia doakan sukses di kampung orang. Dan ketika Padang ingat Rantau, ia sering berkunjung ke kedai kopi di simpang Gauang tempat mereka sering duduk-duduk membicarakan tentang kota mereka yang makin maju dan aneh. Tentang kampus-kampus yang berdiri megah dan berita tivi lokal yang sering membicarakan korupsi pejabat. Tentang gedung-gedung yang berdiri megah dan orang-orang pasar yang melakukan demo di Pasar Raya, pedagang-pedagang yang digusur. Untungnya Padang adalah petani, tidak mungkin digusur Satpol PP.
Ahai, bagaimana kalau dahulu Padang menerima ajakan Rantau? Pergi merantau ke Jakarta. Menjadi tukang ojek di Rawamangun atau Kampung Rambutan. Bininya dapat pula menjadi tenaga buruh cuci dengan gaji 30.000 sehari dengan perutnya yang belum bunting. Tentu tenaganya akan tetap kuat. Dan tentu pula nasib Padang dan bininya akan berbeda.
Terdengar kabar dari kawan-kawan Padang, hidup di rantau jauh lebih baik. Menjadi buruh lebih dari cukup. Pekerja industri elektronik jauh lebih menjanjikan. Menjadi pedang kain di Deli lebih cepat berkembang. Kabar-kabar itu seperti kabar burung dari Rantau. “Di Jakarta kau dapat memulai hidup lebih baik.” Begitu kata-kata Rantau di kepala Padang. Tapi tidak namanya Padang kalau tidak bertahan di kampung sendiri. Bagaimanapun bertanam hidup di kampung sendiri, adalah janji terhadap dirinya yang berdarah Padang, Cucu Magek Dirih.
“Bagaimana pendapatmu Halimah?” Padang sedang lahap makan pagi dengan rebusan pucuk singkong bersama Halimah. Padang ingin kembali membeli pupuk tambahan untuk menyuburkan ladang bingkuang yang hamper gagal panen ulah limbah pabrik. Sebab limbah pabrik di belakang rumahnya telah merusak tanah. Ingin Padang marah, tapi kepada siapa orang kecil akan marah. Tuh, juga tidak akan didengar. Orang kecil hanya berhak menerima saja.
“Kenapa kita orang kecil selalu jadi susah, Uda?”
“Yang terpenting kita kembali mengolah ladang bingkuang kita, Halimah.”
“Barangkali merantau memang lebih baik, Uda.”
“Tidak Halimah.”
“Dari surat Uda Rantau yang terakhir, bahkan Uda Rantau sudah memiliki rumah sendiri, Uda. 
“Kita akan tetap tinggal di kota kita, Halimah. Tempat tanah digalikan bagi batang yang terendam.” Mata Padang memerah. “Akan aku tanam bingkuang mesti di tanah limbah pabrik.” Padang berhenti makan. Padang turun rumah. Masuk ke kandang, mengambil cangkul. Padang melilit kain sarung. Berangkat ke ladang.
Halimah yang memandang Rantau dari jendela hanya heran-heran melihat sikap suaminya.
“Apa Uda akan meneruka sampai senja?”
Padang hanya melihat sekilas. Mengangguk.
“Jangan lupa pucuk singkong dan pucuk lankisek.”
***
Padang telah asyik mencangkul tanah yang berlimbah basah. Ia singkirkan limbah-limbah dari gudang penyimpanan sawit, dengan mata cangkulnya dengan menegangkan urat leher. Bagi Padang bertanam bingkuang adalah mempertahankan urat lehernya. Tetapi memang dasar Padang, dasar orang dungu. Kenapa ia tidak memilih merantau ke Jakarta, menjadi tukang ojek, menjadi buruh cuci bagi Halimah. Padang menghapus keringatnya dengan kain sarung. Berhenti sejenak untuk meminum air kopi. Kembali menggemburkan tanah bingkuang. Membersihkan rumput. Bingkuang kini benar-benar seperti tidak ada harapan akan berbuah ranum. Padang tidak putus asa.
Jauh dalam gedung pabrik orang-orang sedang membicarakan, tanah sepetak ladang Bingkuang Padang dengan mucikari tanah. Kalau tanah Padang tidak mau dibayar, tanah yang tak bersurat itu digusur paksa saja. Dibangun di sana gudang penampungan barang kargo ekspor dan impor yang baru, yang akan menjadi pemasukan bagi pemerintah. Padang tidak tahu bagaimana cara mengurus sertifikat tanah. ***

rumahkayu, 31 Maret-28 Mei 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...