OLEH Alizar Tanjung
Lelah Mengejar Engkau" (Hajriansyah) |
Ketika Padang memutuskan
tinggal di kotanya, dia telah mempertimbangkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan darah, daging, dan tulangnya. Darahnya darah Padang. Dagingnya daging
Padang. Tulangnya tulang Padang. Dia telah mempertimbangkan baik dan buruknya
tinggal di Kota Bingkuang. Tinggal bersebelahan dengan Emmahaven yang kini telah
berganti nama dengan Teluk Bayur. Tempat ‘orang rantai’ yang telah almarhlum
mengalirkan keringatnya demi membangun Emmahaven di tahun 1890. Tempat para
buruh yang tak berijazah Sekolah Dasar mengadu nasibnya mengangkut barang impor
dan ekspor. Telah ia kaji untung dan rugi. Sampai hal sedetil-detilnya,
seumpamanya nanti ia benar-benar menjadi petani bingkuang yang miskin. Sebab
bingkuang hanya laku 5.000 rupiah satu ikat. Kalau ada yang 10.000 rupiah satu
ikat hanyalah karena peruntungan baik saja. Dia telah mempertimbangkan pula
kemungkinan terburuk suatu hari entah kapan ia akan menjadi lelaki lapuk
bersama musnahnya bingkuang dari kotanya. Sebab mucikari tanah yang berlomba-lomba
membangun proyek; gudang penumpukan, bulk cargo, mol, hotel, restoran siap saji
di kotanya.
“Ayo kita ke Jakarta.” Ajak
kawannya Rantau. Kawan yang nama aslinya disingkat Leman, padahal nama
panjangnya Sulaiman, semenjak berbini bergelar Marajo Sutan. Semenjak gemar
merantau berganti panggilan dengan nama Rantau. Sebenarnya itu hanyalah nama
olok-olokan. Tapi begitulah di kota itu nama selalu melekat pada jenis
pekerjaannya.
Padang hanya menjawab, “aku
di kota ini sajalah.”
“Di Jakarta kau dapat
memulai hidup lebih baik. Menjadi tukang ojek bisa bergaji 100.000 sehari.”
“Aku tidak bisa
meninggalkan kota ini. Bingkuang hasil ladang kami lebihlah dari cukup.”
Sebenarnya yang lebih
terpenting bagi Padang adalah tentang bingkuang dan Emmahaven. Dua hal yang
tampak berbeda berbeda tetapi bagi rantau adalah sama. Kalau Padang pergi ke
rantau siapa yang akan mengajarkan tentang sejarah Emmahaven pelabuhan Ratu
Emma itu kepada anak cucunya, tentang sejarah kuburan tionghoa di Gunung Monyet,
tentang ‘orang rantai” leluhur orang Padang yang buru-buru mati karena bekerja.
Pelajaran sejarah di sekolah sudah dihapuskan dari kurikulum. Akan lupalah anak-cucu
Padang kalau dari Emmahaven orang-orang pergi haji diberangkatkan. Dan hal yang
terpenting bagi Padang siapa yang akan mengajarkan anak-cucunya tentang cara bertanam
bingkuang, ciri khas kota itu. yang semakin hari semakin tinggal nama.
Rantau pergi dengan rasa
kecewa, meninggalkan buah tangan sepasang baju. Satu bermerek I Love You
Bandoeng, satu bermerek I Love You Tjakarta.
Pada tanah yang Padang
tanam bingkuang, ia selingi dengan tanaman singkong. Sekali seminggu pucuk-pucuk
singkong ia bawa ke Pasar Raya Padang. Ia jual 1500 satu ikat. Sedangkan
Bingkuang ketika tiba di hari panen, ia bawa ke pinggiran simpang tiga Gauang,
ia jual kepada orang-orang rantau yang pulang ke Painan, Lunang Silaut, Tapan,
Bengkulu. “5000 ribu satu ikat,” begitu katanya.
“Belilah bingkuang Pak,
Buk, Dek. Oleh-oleh Kota Padang, kota kami.”
“Belilah Pak, belilah Buk.”
“Sepuluh ribu tiga ikat,” katanya kalau hari sudah senja-senja
raya. Daripada dibawa pulang, lebih baik dijual murah. Itulah prinsipnya.
Sebab itulah semiskin-miskin
Padang, tetap saja ia dapat makan bersama bininya. Kalau laut lagi tidak
bersahabat dan ikan mahal, Padang masih dapat makan dengan pucuk singkong.
Kadang-kadang mengambil pucuk lankisek di hutan setumpak di belakang pantai Air
Manis. Aduhai pahitnya menggugah selera. Jangan katakan Padang tidak tahu
dengan kuliner. Maka kalau makan yang paling diidamkan Padang adalah lado tobek
campur cabe hijau dengan pucuk langkisek mentah.
Sebab itu ketika Rantau
menawarkan Padang ke Jakarta, Padang hanya menambahkan jawaban di belakang
kalimat pertama. “Kau sajalah yang pergi ke rantau orang, Ntau. Kalau ada nasib
untung kau ingatlah kampung halaman. Terutama kawan kau ini.”
***
Rantau telah pergi. Padang
tinggal. Berhari-hari Padang bersedih. Bahkan kesedihan itu masih terasa setelah
berminggu-minggu. Tetapi kemudian seperti menata ladang bingkuang, tanahnya
selalu terasa menyejukkan, Padang sudah dapat menerima kepergian Rantau secara
perlahan. Apalagi semenjak dia telah disibukkan dengan pekerjaannya mengolah
ladang bingkuang pada tanah setumpak. Bingkuang itu kini sudah hamper setengah
perjalanan panen.
Halimah mendampingi Padang
meneruka ladang bingkuang. Halimah yang selalu mengingatkan Padang agar jangan
lupa makan karena sibuk bekerja. Pada jam istirahat minum kopi siang, Halimah
membawakan gorengan pisang, gorengan ubi. Kalau tibalah di hari makan, Halimah
membawakan pucuk singkong dan pucuk langkisek dengan lado tobek kesukaan
Padang. Lihatlah Padang yang makan dengan lahapnya.
“Halimah, beruntunglah hari
musim penghujan. Dapatlah bingkuang kita berbuah ranum nantinya. Akan dapat
juga kau membeli baju baru untuk lebaran,” ujar Padang sambil menyantap pucuk
singkong di tengah hari. Kemudian Halimah dan Padang membicarakan tentang pupuk
apa yang baik untuk ladang. Barangkali Urea, NPK Merah, Poska, yang dicampur
pupuk kandang lebih tepat untuk kualitas prima. Tetapi Padang benar-benar
miskin untuk membeli pupuk buatan itu. Terlalu jauh dalam jangkauan Padang yang
hanya memiliki sepetak tanah ladang bingkuang.
“Atau kita gunakan pupuk
kandang saja, Halimah?” Tepat ketika Padang selesai memasukkan pucuk singkong
ke mulutnya. Padang bicara dengan mulut berbuih-buih.
“Mana baiknya menurut Uda. Soal pupuk Uda yang lebih tahu. Pupuk buatan sudah jelas tidak mampu kita
membelinya. Barangkali hanya satu kilogram atau dua kilo Urea yang mampu kita
beli sebagai campuran.”
“Kalau kita gunakan pupuk
kandang lebih irit. Akan aku pesan sama Jumardi sepuluh karung.”
“Kalau itu baik menurut Uda, Halimah setuju.”
Halimah menuangkan air
minum ke gelas blirik Padang yang sewarna pakaian serdadu belanda. Mereka makan
di tengah ladang bingkuang yang sudah dibersihkan semaknya. Makan dialas karung
yang dibelah adalah nostalgia petani bingkuang.
“Sepiring tanah di ujung
sana.” Padang menunjuk tanah di bawah batang kinari di timur gudang penyimpanan
barang eskpor. “Kalaulah tidak sedang sengketa dengan mucikari sudah kita tanam
anak-anak bingkuang yang baru. Tapi memang kita orang kecil, hidup dipaksa
untuk mengalah.”
Padang kemudian menambahkan
pucuk singkong ke piringnya. Kepada Halimah yang duduk bersimpuh ia minta pucuk
langkisek muda sebagai tambahan. Halimah mengambilkan pucuk lankisek pahit itu.
Lihatlah Padang dengan bulu matanya yang hitam, matanya yang bulat, bibirnya
yang tebal, menikmati pahit langkisek.
“Sepetak tanah yang di
belakang rumah kita, telah tergadai kepada tuan tanah. Kini telah dibangun gudang
penampungan sawit.” Padang tersedak. Kemudian Padang meminum air. Halimah
menuangkan airnya untuk kedua gelas.
“Itulah Uda bicaranya sambil makan. Kita ini
orang kecil. Hanya bisa terima keputusan orang besar. Kita tidak punya kerabat
yang pejabat.” Tidak tahu padang rupanya, bahwa bumi, air, dan segala isinya
adalah milik pemerintah. Padang pernah diajarkan tentang undang-undang di
Sekolah Menengah Pertama sebelum ia berhenti di kelas tiga karena tidak ada
biaya. Dia lebih memilih membantu bapaknya yang sudah almarhum bertani
bingkuang. Kemudian berbini dengan Halimah yang tidak tamat sekolah dasar.
Begitulah Padang. Ia tanam
bingkuang. Ia belilah lima karung pupuk kandang untuk ia ganti-gantikan
menyuburkan tanah. ia beli pestisida untuk membasmi hama pianggang dan weriang
dengan uang hutang.
***
Kepada Rantau ia doakan
sukses di kampung orang. Dan ketika Padang ingat Rantau, ia sering berkunjung
ke kedai kopi di simpang Gauang tempat mereka sering duduk-duduk membicarakan
tentang kota mereka yang makin maju dan aneh. Tentang kampus-kampus yang
berdiri megah dan berita tivi lokal yang sering membicarakan korupsi pejabat.
Tentang gedung-gedung yang berdiri megah dan orang-orang pasar yang melakukan
demo di Pasar Raya, pedagang-pedagang yang digusur. Untungnya Padang adalah
petani, tidak mungkin digusur Satpol PP.
Ahai, bagaimana kalau dahulu
Padang menerima ajakan Rantau? Pergi merantau ke Jakarta. Menjadi tukang ojek
di Rawamangun atau Kampung Rambutan. Bininya dapat pula menjadi tenaga buruh
cuci dengan gaji 30.000 sehari dengan perutnya yang belum bunting. Tentu
tenaganya akan tetap kuat. Dan tentu pula nasib Padang dan bininya akan
berbeda.
Terdengar kabar dari
kawan-kawan Padang, hidup di rantau jauh lebih baik. Menjadi buruh lebih dari
cukup. Pekerja industri elektronik jauh lebih menjanjikan. Menjadi pedang kain
di Deli lebih cepat berkembang. Kabar-kabar itu seperti kabar burung dari
Rantau. “Di Jakarta kau dapat memulai hidup lebih baik.” Begitu kata-kata
Rantau di kepala Padang. Tapi tidak namanya Padang kalau tidak bertahan di
kampung sendiri. Bagaimanapun bertanam hidup di kampung sendiri, adalah janji
terhadap dirinya yang berdarah Padang, Cucu Magek Dirih.
“Bagaimana pendapatmu
Halimah?” Padang sedang lahap makan pagi dengan rebusan pucuk singkong bersama
Halimah. Padang ingin kembali membeli pupuk tambahan untuk menyuburkan ladang
bingkuang yang hamper gagal panen ulah limbah pabrik. Sebab limbah pabrik di
belakang rumahnya telah merusak tanah. Ingin Padang marah, tapi kepada siapa
orang kecil akan marah. Tuh, juga
tidak akan didengar. Orang kecil hanya berhak menerima saja.
“Kenapa kita orang kecil
selalu jadi susah, Uda?”
“Yang terpenting kita
kembali mengolah ladang bingkuang kita, Halimah.”
“Barangkali merantau memang
lebih baik, Uda.”
“Tidak Halimah.”
“Dari surat Uda Rantau yang terakhir, bahkan Uda Rantau sudah memiliki rumah sendiri,
Uda.”
“Kita akan tetap tinggal di
kota kita, Halimah. Tempat tanah digalikan bagi batang yang terendam.” Mata
Padang memerah. “Akan aku tanam bingkuang mesti di tanah limbah pabrik.” Padang
berhenti makan. Padang turun rumah. Masuk ke kandang, mengambil cangkul. Padang
melilit kain sarung. Berangkat ke ladang.
Halimah yang memandang
Rantau dari jendela hanya heran-heran melihat sikap suaminya.
“Apa Uda akan meneruka sampai senja?”
Padang hanya melihat
sekilas. Mengangguk.
“Jangan lupa pucuk singkong
dan pucuk lankisek.”
***
Padang telah asyik
mencangkul tanah yang berlimbah basah. Ia singkirkan limbah-limbah dari gudang
penyimpanan sawit, dengan mata cangkulnya dengan menegangkan urat leher. Bagi
Padang bertanam bingkuang adalah mempertahankan urat lehernya. Tetapi memang
dasar Padang, dasar orang dungu. Kenapa ia tidak memilih merantau ke Jakarta,
menjadi tukang ojek, menjadi buruh cuci bagi Halimah. Padang menghapus
keringatnya dengan kain sarung. Berhenti sejenak untuk meminum air kopi.
Kembali menggemburkan tanah bingkuang. Membersihkan rumput. Bingkuang kini
benar-benar seperti tidak ada harapan akan berbuah ranum. Padang tidak putus
asa.
Jauh dalam gedung pabrik
orang-orang sedang membicarakan, tanah sepetak ladang Bingkuang Padang dengan
mucikari tanah. Kalau tanah Padang tidak mau dibayar, tanah yang tak bersurat
itu digusur paksa saja. Dibangun di sana gudang penampungan barang kargo ekspor
dan impor yang baru, yang akan menjadi pemasukan bagi pemerintah. Padang tidak
tahu bagaimana cara mengurus sertifikat tanah. ***
rumahkayu, 31 Maret-28 Mei
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar