Minggu, 20 Oktober 2013

Batang Jambu Tumbuh di Perut Suami Saya



CERPEN Romi Zarman

Untuk ketiga kalinya, anak saya kembali menangis. Saya sudah membujuknya. Tapi ia tetap tak mau. Ia minta dicarikan jambu. Bukan jambu yang ada di pasar, tapi jambu yang langsung dari batang. Seperti yang pernah dibawakan ayahnya tiga hari yang lalu. Saya sudah berusaha mencarinya, ke sekeliling rumah. Tapi tetap tak ada batang jambu. Semua ini gara-gara dini hari itu.
Waktu itu suami saya pulang membawa jambu biji di tangan. Katanya, ia mendapatkan langsung dari batang. Anak saya langsung memakan. Enak sekali, katanya. Saya pun ikut menikmati.
Besoknya, suami saya terbaring, tak berdaya menggerakan badan. Katanya, “Perut saya terasa sakit.”
“Apakah karena jambu semalam?”
 “Entahlah,katanya.
Saya berikan obat. Saya suruh istirahat. Tapi tak mujarab. Sakitnya tak mau pergi. Dengan apakah saya harus mengusirnya?  Ke Puskesmas, kata tetangga. Saya jalankan itu usulan. Akan tetapi, diluar dugaan, Puskesmas juga tak bisa membantu. Katanya, “Suami Ibu tak apa-apa. Hanya sakit perut biasa.”

Sakit perut biasa? Saya tak percaya. Walau katanya hanya sakit perut biasa, toh rasa sakit itu sampai sekarang tak kunjung sembuh. Lihatlah ke dalam kamar sana, suami saya terbaring lemah di sebuah dipan tua. Hanya kaki dan tangan yang bisa ia gerakan. Selebihnya, hanya sia-sia. Rasa sakit itu, katanya, terasa melilit dan membuat ia tak kuasa. “Adakah obatnya?”
 “Ada.” Kata saya, “Hanya belum kita temukan saja.”
“Sampai kapan?” Saya tak berani menjawab. “Pasti ada obatnya.” Kata suami saya.
Ya, pasti ada obatnya. Tapi sekarang anak saya menangis merengek-rengek minta jambu yang langsung dari batang. Kemana harus saya carikan? Di sekeliling rumah tak ada. Tak satu pun jambu tumbuh di halaman atau pekarangan tetangga. Haruskah saya mencarinya ke kampung sebelah? Tidak. Saya tak ingin meninggalkan suami saya sendirian, kecuali untuk membeli obat atau belanja ke warung tetangga. Saya harus menyiapkan semuanya. Mencuci pakaian, memasak makanan, menjerangkan air di tungku...
Dan semua itu, ah, saya merasa terganggu dengan tangis anak saya. Ada-ada saja ulahnya, meminta jambu yang tak ada. Saya katakan kepadanya, “Kemana Ibu harus mencarinya?”
 “Yang penting ada!”
Ia tak mau tahu. Yang penting ada jambu, katanya. Tak saya hiraukan. Bagi saya, ulahnya itu mungkin hanya sementara. Sampai ia bosan, sampai ia tak tahan merengek-rengek minta dicarikan. Dan bila ia tetap merengek-rengek minta jambu, maka saat itulah saya mulai tak memperdulikan. Tak saya acuhkan.
Sehari, dua-hari... ia mulai terbiasa.
Tangisnya reda. Tak lagi merengek-rengek dihadapan saya. Akan tetapi, belum sempat rasa tenang itu menghampiri saya, tiba-tiba saja ia kembali berulah. Dengan entengnya ia berkata, “Ibu... ibu, lihat!” Katanya, “Sebatang jambu tumbuh di perut Ayah.”
Saya terpana, ia menerobos masuk ke dalam kamar, lalu berteriak memanggil saya. Saya hampiri ia.
“Lihat!” Katanya, “Sebatang jambu!”
Jarinya menunjuk ke arah perut suami saya. Saya perhatikan wajahnya. Begitu lugu, cahaya kanak-kanak terpancar dari sana.
“Ah, ada-ada saja.” Kata saya.
Anak saya pasti bercanda. Anak saya pasti tak serius dengan perkataannya. Mana mungkin sebatang jambu tumbuh di perut suami saya? Mungkin karena ia begitu menginginkan jambu, kata suami saya.
“Ya, ya.” Kata saya, “Mungkin saja.”
Tapi besoknya, tanpa pernah saya sangka, ia kembali berulah. “Jambu itu,” Katanya, “lihat, tumbuh menjulang bagai hendak menembus atap.”
Saya tak tahan. Tak mungkin anak saya berucap demikian hanya karena menginginkan jambu. Ada apakah sebenarnya? Carikanlah jambu, kata suami saya. Hendak saya turuti rasanya. Akan tetapi, belum sempat niat itu saya wujudkan, ia kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia ucapkan, “Lihat, itu burung!”
Jarinya menunjuk ke dinding kamar. Apakah di sana ia bayangkan tumbuh ranting batang jambu?
“Ya.” Katanya, “Burung itu bertengger di atasnya.” Saya tak percaya. “Lihat,” Katanya, “matanya buta.”
Matanya buta? Saya tak percaya. Bagaimana mungkin mata seekor burung yang begitu mungil bisa ia lihat dengan pastinya? Ah, ada-ada saja. Pasti anak saya hanya mengada-ngada. Sungguh hebat, seekor burung ia bayangkan bertengger di atas ranting sebatang jambu yang tumbuh di perut ayahnya. Alangkah hebat.
“Lihat!” Katanya.
“Ah, sudah, sudah,” kata saya.
“Tidakkah ia hanya mengada-ngada?”
“Ya, ya.” Kata saya kepada suami, “Akan tetapi, darimanakah ia dapatkan semua itu?”
“Mungkin dari jambu yang tak kunjung diberikan.”
Maka, saya sudah memikir ulang. Mungkin benar kata suami saya. Saya putuskan mencari jambu. Walau tak ada di sekeliling rumah, saya harus mendapatkannya. Agar anak saya tak lagi berulah, agar ketenangan segera hadir di rumah. Saya carikan jambu. Saya tanyakan ke warga. Di kampung sebelah ternyata ada. Saya tuju ke sana. Saya berikan ke anak saya setibanya di rumah. Saya lega. Anak saya tak akan berulah lagi setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Akan tetapi, tanpa pernah saya bayangkan sebelumnya, anak saya masih tetap berulah. Walau sudah saya carikan jambu, anak saya masih tetap berkata seperti itu.
 “Lihat...” katanya.
Ah, saya menyerah. Tak ada jalan keluar. Anak saya masih berlaku seperti itu, mengganggu ketenangan ayahnya.
Mengganggu ketenangan ayahnya? Tidakkah ia hanya sekadar membayangkan saja alias mengada-ngada? Dan jika memang demikian adanya, darimanakah semua itu ia dapatkan? Benarkah awalnya hanya karena apa yang belum ia dapatkan? Dan bukankah apa yang ia inginkan itu sudah ia dapatkan, mengapakah ia masih berulah sampai saat sekarang?
Ah, saya tak menyangka. Anak saya masih saja membayangkan tentang yang tidak-tidak. Saya harus mencari penyebabnya. Tak mungkin hanya gara-gara jambu pada awalnya. Pasti ada alasan lain. Maka, saya mulai mencari dalam pikiran. Saya ingat-ingat. Adakah sebuah kesalahan telah saya lakukan? Atau, adakah sebuah ucapan yang membuatnya jadi demikian?
Saya ingat-ingat.
Ada. Ya, ya. Bukankah waktu itu saya pernah mengatakan bahwa tak baik memakan jambu curian?
“Kenapa?” Kata anak saya waktu itu.
“Karena bijinya bisa tumbuh di dalam perut.”
Saya ingat. Waktu itu, memang itu yang saya ucapkan. Saya melarang anak saya memakan jambu. Sungguh, tak ada niat untuk membodoh-bodohi anak saya. Saya hanya ingin mengingatkannya, bahwa tak baik memakan hasil curian. Akan tetapi, kenapakah ucapan itu yang ia pikirkan dan ia sebut berulang-ulang?
Ah, sayalah yang bersalah. Ia termakan ucapan saya. Ia terlalu mempercayainya. Saya kasihan padanya. Bukankah ia baru berusia empat tahun? Dan bukankah tak seharusnya saya berkata tentang cerita yang bukan-bukan?
Ya, ya, saya merasa bersalah. Pinggul saya terhenyak di kursi. Saya edarkan pandang ke seisi rumah. Astaga... tiba-tiba saya disadarkan oleh sesuatu. Darimanakah suami saya membawa itu jambu, yang diberikannya pada anak saya waktu itu? Tidakkah belakangan setelah tak lagi bekerja ia sering pergi di waktu sore hari dan baru kembali di kala dinihari?
Ya, ya. Saya perhatikan lagi ke sekeliling saya. Perabotan itu: meja, kursi, lemari, mobil-mobilan, asbak yang terbuat dari logam, sandal, sepatu hitam... uang sewa rumah bulanan, darimanakah semuanya didapatkan?
Ah, saya bagai tak percaya.
Padang, 15 Juni 2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...