CERPEN Romi Zarman
Untuk ketiga kalinya, anak saya kembali menangis. Saya sudah
membujuknya. Tapi ia tetap tak mau. Ia minta dicarikan jambu. Bukan jambu yang
ada di pasar, tapi jambu yang langsung dari batang. Seperti yang pernah
dibawakan ayahnya tiga hari yang lalu. Saya sudah berusaha mencarinya, ke
sekeliling rumah. Tapi tetap tak ada batang jambu. Semua ini gara-gara dini hari
itu.
Waktu itu suami saya pulang membawa jambu biji di tangan.
Katanya, ia mendapatkan langsung dari batang. Anak saya langsung memakan. Enak
sekali, katanya. Saya pun ikut menikmati.
Besoknya, suami saya terbaring, tak berdaya menggerakan badan.
Katanya, “Perut saya terasa sakit.”
“Apakah karena jambu semalam?”
“Entahlah,” katanya.
Saya berikan obat. Saya suruh istirahat. Tapi tak mujarab.
Sakitnya tak mau pergi. Dengan apakah saya harus mengusirnya? Ke Puskesmas, kata tetangga. Saya jalankan
itu usulan. Akan tetapi, diluar dugaan, Puskesmas juga tak bisa membantu.
Katanya, “Suami Ibu tak apa-apa. Hanya sakit perut biasa.”
Sakit perut biasa? Saya tak percaya. Walau katanya hanya sakit
perut biasa, toh rasa sakit itu sampai sekarang tak kunjung sembuh.
Lihatlah ke dalam kamar sana, suami saya terbaring lemah di sebuah dipan tua.
Hanya kaki dan tangan yang bisa ia gerakan. Selebihnya, hanya sia-sia. Rasa
sakit itu, katanya, terasa melilit dan membuat ia tak kuasa. “Adakah obatnya?”
“Ada.” Kata saya, “Hanya
belum kita temukan saja.”
“Sampai kapan?” Saya tak berani menjawab. “Pasti ada obatnya.”
Kata suami saya.
Ya, pasti ada obatnya. Tapi sekarang anak saya menangis merengek-rengek minta jambu
yang langsung dari batang. Kemana harus saya carikan? Di sekeliling rumah tak
ada. Tak satu pun jambu tumbuh di halaman atau pekarangan tetangga. Haruskah
saya mencarinya ke kampung sebelah? Tidak. Saya tak ingin meninggalkan suami
saya sendirian, kecuali untuk membeli obat atau belanja ke warung tetangga.
Saya harus menyiapkan semuanya. Mencuci pakaian, memasak makanan, menjerangkan
air di tungku...
Dan semua itu, ah, saya merasa terganggu dengan tangis anak
saya. Ada-ada saja ulahnya, meminta jambu yang tak ada. Saya katakan kepadanya,
“Kemana Ibu harus mencarinya?”
“Yang penting ada!”
Ia tak mau tahu. Yang penting ada jambu, katanya. Tak saya hiraukan.
Bagi saya, ulahnya itu mungkin hanya sementara. Sampai ia bosan, sampai ia tak
tahan merengek-rengek minta dicarikan. Dan bila ia tetap merengek-rengek minta
jambu, maka saat itulah saya mulai tak memperdulikan. Tak saya acuhkan.
Sehari, dua-hari... ia mulai terbiasa.
Tangisnya reda. Tak lagi merengek-rengek dihadapan saya. Akan
tetapi, belum sempat rasa tenang itu menghampiri saya, tiba-tiba saja ia
kembali berulah. Dengan entengnya ia berkata, “Ibu... ibu, lihat!” Katanya,
“Sebatang jambu tumbuh di perut Ayah.”
Saya terpana, ia menerobos masuk ke dalam kamar, lalu berteriak
memanggil saya. Saya hampiri ia.
“Lihat!” Katanya, “Sebatang jambu!”
Jarinya menunjuk ke arah perut suami saya. Saya perhatikan
wajahnya. Begitu lugu, cahaya kanak-kanak terpancar dari sana.
“Ah, ada-ada saja.” Kata saya.
Anak saya pasti bercanda. Anak saya pasti tak serius dengan
perkataannya. Mana mungkin sebatang jambu tumbuh di perut suami saya? Mungkin
karena ia begitu menginginkan jambu, kata suami saya.
“Ya, ya.” Kata saya, “Mungkin saja.”
Tapi besoknya, tanpa pernah saya sangka, ia kembali berulah.
“Jambu itu,” Katanya, “lihat, tumbuh menjulang bagai hendak menembus atap.”
Saya tak tahan. Tak mungkin anak saya berucap demikian hanya
karena menginginkan jambu. Ada apakah sebenarnya? Carikanlah jambu, kata suami
saya. Hendak saya turuti rasanya. Akan tetapi, belum sempat niat itu saya
wujudkan, ia kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia ucapkan,
“Lihat, itu burung!”
Jarinya menunjuk ke dinding kamar. Apakah di sana ia bayangkan tumbuh
ranting batang jambu?
“Ya.” Katanya, “Burung itu bertengger di atasnya.” Saya tak
percaya. “Lihat,” Katanya, “matanya buta.”
Matanya buta? Saya tak percaya. Bagaimana mungkin mata seekor
burung yang begitu mungil bisa ia lihat dengan pastinya? Ah, ada-ada saja.
Pasti anak saya hanya mengada-ngada. Sungguh hebat, seekor burung ia bayangkan
bertengger di atas ranting sebatang jambu yang tumbuh di perut ayahnya.
Alangkah hebat.
“Lihat!” Katanya.
“Ah, sudah, sudah,” kata saya.
“Tidakkah ia hanya mengada-ngada?”
“Ya, ya.” Kata saya kepada suami, “Akan tetapi, darimanakah ia
dapatkan semua itu?”
“Mungkin dari jambu yang tak kunjung diberikan.”
Maka, saya sudah memikir ulang. Mungkin benar kata suami saya.
Saya putuskan mencari jambu. Walau tak ada di sekeliling rumah, saya harus
mendapatkannya. Agar anak saya tak lagi berulah, agar ketenangan segera hadir
di rumah. Saya carikan jambu. Saya tanyakan ke warga. Di kampung sebelah
ternyata ada. Saya tuju ke sana. Saya berikan ke anak saya setibanya di rumah.
Saya lega. Anak saya tak akan berulah lagi setelah mendapatkan apa yang
diinginkannya. Akan tetapi, tanpa pernah saya bayangkan sebelumnya, anak saya
masih tetap berulah. Walau sudah saya carikan jambu, anak saya masih tetap
berkata seperti itu.
“Lihat...” katanya.
Ah, saya menyerah. Tak ada jalan keluar. Anak saya masih
berlaku seperti itu, mengganggu ketenangan ayahnya.
Mengganggu ketenangan ayahnya? Tidakkah ia hanya sekadar
membayangkan saja alias mengada-ngada? Dan jika memang demikian adanya,
darimanakah semua itu ia dapatkan? Benarkah awalnya hanya karena apa yang belum
ia dapatkan? Dan bukankah apa yang ia inginkan itu sudah ia dapatkan, mengapakah
ia masih berulah sampai saat sekarang?
Ah, saya tak menyangka. Anak saya masih saja membayangkan
tentang yang tidak-tidak. Saya harus mencari penyebabnya. Tak mungkin hanya
gara-gara jambu pada awalnya. Pasti ada alasan lain. Maka, saya mulai mencari
dalam pikiran. Saya ingat-ingat. Adakah sebuah kesalahan telah saya lakukan?
Atau, adakah sebuah ucapan yang membuatnya jadi demikian?
Saya ingat-ingat.
Ada. Ya, ya. Bukankah waktu itu saya pernah mengatakan bahwa
tak baik memakan jambu curian?
“Kenapa?” Kata anak saya waktu itu.
“Karena bijinya bisa tumbuh di dalam perut.”
Saya ingat. Waktu itu, memang itu yang saya ucapkan. Saya
melarang anak saya memakan jambu. Sungguh, tak ada niat untuk membodoh-bodohi
anak saya. Saya hanya ingin mengingatkannya, bahwa tak baik memakan hasil
curian. Akan tetapi, kenapakah ucapan itu yang ia pikirkan dan ia sebut
berulang-ulang?
Ah, sayalah yang bersalah. Ia termakan ucapan saya. Ia terlalu
mempercayainya. Saya kasihan padanya. Bukankah ia baru berusia empat tahun? Dan
bukankah tak seharusnya saya berkata tentang cerita yang bukan-bukan?
Ya, ya, saya merasa bersalah. Pinggul saya terhenyak di kursi.
Saya edarkan pandang ke seisi rumah. Astaga... tiba-tiba saya disadarkan oleh
sesuatu. Darimanakah suami saya membawa itu jambu, yang diberikannya pada anak
saya waktu itu? Tidakkah belakangan setelah tak lagi bekerja ia sering pergi di
waktu sore hari dan baru kembali di kala dinihari?
Ya, ya. Saya perhatikan lagi ke sekeliling saya. Perabotan itu:
meja, kursi, lemari, mobil-mobilan, asbak yang terbuat dari logam, sandal,
sepatu hitam... uang sewa rumah bulanan, darimanakah semuanya didapatkan?
Ah, saya bagai tak percaya.
Padang, 15
Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar