OLEH Yasraf Amir Piliang
Dosen Program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Disain,
ITB
Alai-alai tabang
ka alai
Tabanglah pipit
duo tigo
Kaba lah lamo
tabangkalai
Kini
diulang-ulang pulo
‘Kaba’ (kabar) adalah
mekanisme kultural yang memanifestasikan esensi manusia sebagai homo homini
socius. Sapaan “A kaba?” (Apa kabar?) adalah ungkapan terdalam rasa sosial dan
kencintaan sesama manusia. Kita mungkin tak perlu menanyakan atau memberi kabar
seseorang, tanpa dorongan rasa sosialitas dan kebersamaan itu. Kaba, dengan
demikian, adalah sebuah mekanisme sentral dalam arsitektur sosial, yang
melibatkan bahasa, rasa, nalar dan imajinasi. Inilah yang membedakan manusia
dari hewan, yaitu pada kapasitas pemahaman dan ‘imajinasi’ tentang ‘kebersamaan’
sebagai manusia. ‘Bakaba’ (berkabar atau ‘memberi kabar’) menunjukkan
keniscayaan rajutan alam sosialitas manusia, yang merasa perlu saling berkabar
satu sama lain secara sosial.
Yasraf Amir Piliang |
Kaba adalah sebuah
tindak komunikasi (communicative action),
yang melaluinya pesan (message),
berupa nasehat dan petuah, disampaikan dari penyampai (sender) ke para pendengar (receiver),
baik itu pesan personal, adat, sosial, politik, kultural maupun agama. Ia juga
sebuah bentuk wacana (discourse),
yaitu sebuah ajang ‘pertukaran’ (exchange),
tidak saja pertukaran bahasa gerak, tetapi juga tindakan (action). Kaba juga
sebuah ekspresi estetik, karena dalam intensitas tertentu ia mengandung nilai
dan memberikan pengalaman estetik. Bakaba,
berarti menyampaikan pesan secara komunikatif, tetapi juga mengungkapkan
sesuatu secara estetis. Kaba, mempunyai fungsi konatif (conative) untuk merepresentasikan realitas ke dalam cerita, tetapi
juga sebuah ‘tindak’ (performative),
untuk menghadirkan sesuatu.
Kaba pada awal
perkembangannya menjadi bagian dari ‘budaya lisan’ (oral culture), di mana cerita disampaikan secara lisan di dalam
sebuah komunitas pendengar kaba, yang diiringi oleh alat-alat musik seperti
saluang, rabab, bansi atau diceritakan melalui seni pertunjukan, seperti
randai. Pada perkembangan berikutnya—melalui perkembangan budaya tulisan dan
cetakan—kaba bertransformasi menjadi kaba tertulis (buku kaba) sebagai bagian
dari ‘budaya tulisan’ (writing culture).
Lebih jauh lagi, perkembangan abad informasi dan pencitraan menciptakan cara
baru penyampaian pesan, yaitu berupa ‘pesan visual’ (visual message), di mana
perkabaran (penyampaian kabar, pesan dan informasi) kini menjadi bagian dari
‘budaya visual’ (visual culture).
Kaba adalah sebuah
bentuk ‘perkabaran’ dengan mengerahkan semua potensi bahasa (lisan, musik,
gerak tubuh, gestur, bahasa tubuh, pakaian). Kaba menggalami transformasi
seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir (lisan,
tulisan, visual, virtual), yang menciptakan bentuk baru kelisanan. Kaba
berkembang berdasarkan bahasanya. ‘Kaba lisan’ (oral story) adalah kaba yang
disampaikan secara lisan di dalam sebuah komunitas bahasa lisan; ‘kaba tulisan’
(written story) adalah kaba yang telah diformat menjadi sebuah bentuk tulisan
(buku); dan—yang masih potensial adalah—‘kaba rupa’ (visual story), yaitu kaba
yang diformat melalui kekuatan media visual dan virtual (lukisan, patung,
filem, video art, internet, game).
Wacana
Kaba
Kaba dimaknai secara
sempit maupun luas. Secara sempit, kaba menunjuk pada satu jenis sastra lisan
Minangkabau. Ia merupakan sebuah bentuk seni tradisi, yaitu ungkapan estetik
indigenous yang mengandung nilai informasi dan pesan di lingkungan budaya
setempat. Dalam pengertian luas, kaba dimaknai sebagai segala bentuk kabar atau
perkabaran, baik kabar pribadi, sesama teman, dalam media, pesan militer, dalam
pendidikan; baik yang berlangsung di lingkungan keluarga, kelompok, komunitas,
masyarakat, negara bahkan umat manusia. Dalam pengertian luas, kaba merupakan
manifestasi dari hasrat manusia untuk berbagi, bertenggang rasa, berempati dan
berinteraksi satu sama lainnya.
Sebagai bagian budaya
lisan, kaba adalah sebuah ‘wacana lisan’ (oral discourse), yang di dalamnya
berlangsung proses komunikasi intersubjektif, penggunaan bahasa, penyampaian
pesan dan pertukaran tanda. Kaba lisan adalah sebuah wacana yang terikat dan
berorientasi pada pendengar (audience oriented), yang selalu menyesuaikan diri
dengan sistem pengetahuan pendengarnya. Karena dihadirkan di hadapan pendengar,
dan menyesuaikan diri dengan situasi yang terbangun, kaba merupakan
tukar-menukar atau bolak-balik (to-and-fro) antara ‘presentasi’ dan
‘representasi’. Tukang kaba merepresentasikan sebuah fakta masa lalu, tetapi
dengan cara ‘hadir’ (present) di dalam sebuah sutuasi masa kini.
Transformasi kaba
bersesuaian dengan transformasi konsep ‘wacana’ (discourse) sendiri, yang juga
mengalami perluasan semantik. Meskipun pada awalnya dikaitkan dengan ‘ucapan’
(speech), wacana kini digunakan untuk menjelaskan sebuah bidang penuturan yang
diperluas. ‘Wacana’ kini dipahami sebagai cara membangun pengetahuan, beserta
praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk subjektivitas, dan relasi kekuasaan yang
melekat pada pengetahuan itu serta inter-relasi di antara semuanya. Wacana
adalah pengetahuan tentang beberapa aspek realitas yang dikonstruksi secara
sosial. Sehingga, produk ‘teks’ dari wacana juga mengalami perluasan makna,
yang kini meliputi ‘teks lisan’ (ucapan,
tuturan, acara radio), ‘teks tulisan’ (surat, novel, puisi, buku) dan ‘teks
visual’ (iklan, lukisan, acara televisi, game dan situs internet).
Sebagai sebuah wacana,
kaba dibangun di dalam—dan hanya di dalam—praktik sosial (social practice),
yaitu praktik ‘bakaba’, yang digelar di dalam ‘ruang sosial’ tertentu (social
space): pasar, lapau, surau, dangau, tempat pertunjukan dan upacara adat. Di
ruang-ruang sosial itulah komunitas melakukan ‘pertukaran’ atau ‘transaksi
bahasa’, sebagai cara untuk mentransfer pengetahuan (adat, agama, sosial), dan
tentunya untuk memahami dan memaknai dunia. Di ruang-ruang sosial itulah
kontinuitas nilai-nilai adat atau agama dipertahankan. Karena kaba ditujukan
bagi publik umum, ia menuntut semacam ‘otoritas’ menyangkut kebenaran objektif dari
apa yang diceritakan. Dan, karena kaba merupakan karya komunal, maka kebenaran
yang disampaikannya merupakan bagian dari ‘kebenaran komunal’, yang umumnya
bersifat common sense.
Sebagai sebuah praktik
sosial, kaba merupakan pula sebuah ‘tindak bicara’ (speech act), di mana ada
relasi antara pembicara (tukang kaba) dan pendengarnya (audience) di dalam
sebuah setting sosial tertentu: di dangau (tingkat keluarga) di lapau (tingkat
sosial), di surau (tingkat publik). Setiap
tindak bicara mengkombinasikan tiga tindak secara simultan: tindak lokusioner
(locutionary act), yaitu sebuah tindak merepresentasikan sebuah realitas
melalui aneka media, ‘tindak ilukosioner’ (illocutionary act), yaitu tindak
komunikasi khusus seperti memberi janji, mengingatkan, memerintahkan, dst.;
dan, ‘tindak perlokusioner’ (perlocutionary
act), yaitu tindak yang menghasilkan efek tertentu pada pendengar.
Sebagai bagian dari
tindak bicara, kaba merupakan kombinasi dari tiga tindak di atas. Pertama, kaba
merepresentasikan sebuah fakta, kejadian atau realitas tertentu—meskipun sering
ditambah-tambah dengan unsur-unsur fiktif atau metafisis—sehingga ia mempunyai
fungsi ‘kebenaran’ (truth). Kedua, ia merupakan medium bagi penyampaian pesan
atau ajaran-ajaran adat, sebagai cara untuk mengingatkan atau sebuah bentuk
‘pembelajaran sosial’. Ketiga, kaba merupakan sebuah wacana untuk menimbulkan
‘efek’ perubahan tertentu pada tingkat kesadaran, pikiran dan perilaku mereka.
Misalnya, kaba Rancak Dilabuah, adalah kaba yang sarat dengan pesan-pesan adat
dan agama, sementara kaba Malin Deman, lebih menekankan ajaran-ajaran etika.
Di dalam ranah
komunikasi, unit yang mempunyai eksistensi konkrit adalah pesan (message).
Pesan di dalam kaba memiliki logikanya sendiri: mempunyai sebuah sumber,
tujuan, konteks dan maksud sosial.
Pesan kaba dibangun di
dalam sebuah proses semiotik (semiotic process), yang melaluinya makna
dikonstruksi dan dipertukarkan, di dalam apa yang disebut sebagai bidang
semiotika (semiotic plane). Pesan kaba adalah tentang sesuatu yang bersifat
eksternal dari kaba itu sendiri, yaitu sebuah ‘dunia adat’, yang terhadapnya
kaba mengacu dalam cara tertentu, dan maknanya berasal dari fungsi
representatif atau mimetik adat yang dimainkannya. Bidang yang di dalamnya
representasi adat itu berlangsung disebut bidang mimetika (mimetic plane).
Sebagai wacana
penyampaian pesan, tukang kaba sangat bergantung pada keberadaan penerimanya
(recipients) agar pesan dapat sampai secara efektif. Di sini diperlukan sharing
pengetahuan dan kode antara pengirim pesan dan pemerimanya. Tukang kaba
mempunyai pengetahuan tentang cerita dan pesan kaba; sementara, penerima
diharapkan juga mempunyai pengetahuan yang sama, sehingga menjadikannya mampu
membaca pesan. Di dalam kaba, ada dua proses semiotik sekaligus: pertama,
‘pengkodean’ (encoding), yaitu proses mengkonstruksi tanda dan pesan oleh
tukang kaba berdasarkan sebuah kode tertentu; dan kedua, proses ‘pembacaan
kode’ (decoding), yaitu proses pemahaman dan pemaknaan pesan-pesan mengacu pada
kode pembaca.
Proses pengkodean dan
pembacaan kode dalam kaba berlangsung di dalam sebuah interaksi sosial yang
sangat bersifat situasional, yang menentukan pesan apa yang akan disampaikan,
untuk pendengar seperti apa, di dalam setting sosial bagaimana dan di dalam
zaman apa. Oleh karena itu, kaba tidak dapat dilihat hanya dari segi ‘teks’
kaba itu saja. Sekuensi tindakan komunikasi dalam kaba membentuk genre yang
melekat dalam praktik-praktik sosial yang mengandung unsur-unsur lain—aktor,
waktu, tempat, dsb. Yang dilihat tidak saja “Apa yang dilakukan dengan
kata-kata (atau gambar, atau musik)?, tetapi juga “Apa yang melakukan?’, ‘Untuk
siapa?’, ‘Di mana?’, ‘Kapan?, dst.” Kaba berada di dalam sebuah setting
komunikasi yang melibatkan bahasa, tubuh, dan lingkungan sosial.
Kaba, dengan demikian,
tidak hanya mempunyai fungsi komunikasi, tetapi fungsi-fungsi bahasa yang lebih
kompleks. Menurut Bühler, ada tiga fungsi yang inheren di dalam alam bahasa,
yaitu: representasi, ekspresi dan himbauan (Appell). Masing-masing fungsi ini dibangun
oleh relasi aktif antara tanda linguistik dan satu dari tiga faktor
ekstra-linguistik dalam tindak wacana, yaitu: realitas yang dijelaskan oleh
tanda, orang yang mengirim pesan, dan orang yang menerimanya. Akan tetapi,
Mukařovsky menambahkan fungsi keempat bahasa, yaitu fungsi ‘estetik’ (aesthetic
function), sebagai konsekuensi langsung dari otonomi seni. Di sini, nilai
komunikasi, pesan dan semantik diambilalih oleh nilai estetik: emosi, hasrat,
kehendak, pengalaman, kesadaran, dan ketaksadaran.
Sebagai sebuah bahasa
dan komunikasi, kaba mempunyai fungsi representasi, ekspresi, himbauan (Appell)
dan estetik khusus, meskipun keempat fungsi ini bukan merupakan milik individu
pencipta, tetapi domain komunal, yang merupakan endapan dari cara pikir, mentalitas,
kepekaan etetis dan pandangan dunia masyarakat Minangkabau. Meskipun jarang
dijelaskan ‘fungsi estetik’ kaba, akan tetapi beberapa kaba menunjukkan
dimensi-dimensi estetik ini. Bila kaba hanya mempunyai fungsi
praktis-informasi, maka ia tentunya tidak berbeda dari laporan ‘jurnalistik’
seperti ‘koran’, yaitu pelaporan mekanistik tentang realitas atau peristiwa.
Kaba, di sini, tidak hanya mengandung nilai informasi, tetapi juga nilai
estetik. Bentuk kaba dalam format lirik, serta penyampaiannya dengan iringan
musik menunjukkan muatan estetik itu.
Narasi-narasi
Dunia
Kaba tidak saja sebuah
bentuk wacana, yaitu pertukaran sosial-bahasa, akan tetapi juga sebuah bentuk
‘narasi’, yang mengandung ‘cerita’ atau ‘penceritaan’ tentang dunia. Dunia itu
sendiri adalah sebuah narasi, meskipun ia tak habis-habisnya dinarasikan.
Narasi merupakan ‘nafas’ dunia, yang menjadikannya tetap ‘hidup’. Narasi dunia
tak terhitung jumlahnya, beranekaragam bentuknya, berjenis-jenis genre-nya,
bermacam-macam kandungan isinya dan berbeda-beda makna dan pesannya. Bahkan,
kehidupan manusia itu sendiri adalah sebuah narasi: sebuah ‘cerita kehidupan’.
Meskipun demikian, diperlukan pula ‘narasi’ untuk menceritakan kembali cerita
kehidupan itu.
Narasi (narrative) dapat
bermakna wacana oral atau tertulis yang menjalankan tugas menceritakan
peristiwa atau rangkaian peristiwa. Narasi juga berarti urut-urutan peristiwa
(succession of events), nyata maupun fiktif. Analisis narasi dalam hal ini
berarti kajian totalitas tindakan (actions) dan situasi yang dipahami dalam
dirinya sendiri, tanpa pertimbangan terhadap medium, bahasa dan elemen lainnya,
yang melaluinya pengetahuan tentang sesuatu disampaikan. Pengertian yang lebih luas menunjuk pada
wacana narasi (narrative discourse), yaitu segala bentuk relasi, cerita dan
penceritaan yang menghasilkan teks narasi (narrative text).
Narasi dapat dibawakan
melalui bahasa lisan, tulisan, gesture, body language, gambar, dan bahasa
benda. Narasi hadir di dalam mitos, legenda, dongeng, hikayat, novel, epik,
sejarah, tragedi, drama, komedi, badut, lukisan, jendela kaca patri, sinema,
komik, berita dan percakapan. Narasi hadir di dalam setiap ruang-waktu: di
dalam setiap abad, di setiap tempat, di dalam semua masyarakat. Narasi hidup
bersamaan dengan dimulainya kehidupan umat manusia itu sendiri, sehingga tidak
ada ruang, waktu, orang yang tak tersentuh narasi. Sehingga, narasi kata
Barthes menjadi semacam “...kenikmatan yang seringkali dibagi oleh orang dengan
latar belakang budaya yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan tidak
mengindahkan pembagian antara sastra baik dan buruk, narasi bersifat
internasional, lintas-sejarah, lintas-budaya (transcultural): ia ada begitu
saja, seperti hidup itu sendiri.
Kaba adalah sebuah
bentuk narasi dunia, yang melaluinya urutan-urutan peristiwa dirangkai dan
diceritakan kembali. Kaba adalah sebuah hirarki kejadian-kejadian, sebuah
rajutan horizontal ‘benang’ narasi ke atas sebuah poros vertikal cerita.
Membaca (mendengarkan) sebuah narasi kaba tidak hanya sekadar berpindah dari
satu kata ke kata berikutnya, tetapi juga berpindah dari satu tingkat pikiran
ke tingkat pikiran berikutnya. Narasi kaba mempunyai fungsi utama pertukaran
dalam bingkai komunikasi yang di
dalamnya ada relasi antara seorang pemberi (tukang kaba) dan penerima
(pendengar). Di dalam rantai komunikasi, pemberi dan penerima membangun sebuah
kesatuan. Tidak ada narasi kaba tanpa seorang narrator dan seorang pendengar
(atau pembacanya).
Sebagai sebuah narasi,
kaba menunjuk pada pengalaman ‘waktu’ (temporality). Narasi, menurut Ricoeur,
karena menceritakan urutan-urutan peristiwa, menunjukkan karakter mewaktu
pengalaman manusia. Dunia yang dibentangkan oleh setiap karya narasi selalu
dunia yang mewaktu (temporal). Di dalam narasi waktu menjadi waktu manusia (human
time) dalam pengertian bahwa ia diorganisir menurut gaya sebuah narasi. Narasi
memiliki dimensi waktu. Ada waktu dari sesuatu yang diceritakan dan waktu
narasi (waktu petanda dan waktu penanda). Sehingga, salah satu fungsi narasi
adalah untuk menemukan satu skema waktu dalam kaitannya dengan skema waktu yang
lainnya. ‘Waktu dunia (world time) di dalam narasi menjadi waktu manusia (human time) di mana
waktu diorganisir menurut gaya sebuah narasi.
Kaba adalah sebuah
narasi yang mengandung cerita (story). Di sini, ‘narasi’ harus dibedakan dari
‘cerita’. Narasi menunjuk pada urut-urutan perisitiwa terstruktur di dalam
waktu. Sementara, cerita adalah argumen, yang meliputi logika tindakan, sintak
karakter, dan susunan abstrak peristiwa yang bermakna. Dalam kaitannya dengan
narasi dan waktu, pikiran melakukan tiga fungsi, yaitu ekspektasi, yang merujuk
pada pengharapan di masa depan, perhatian (attention) yang menangkap masa kini,
dan memori, yang menembus ke masa lalu. Plot adalah penataan peristiwa-peristiwa
ke dalam tindakan total yang membentuk cerita yang dinarasikan. Sebuah cerita,
tidak sekadar penyebutan peristiwa-peristiwa di dalam tatanan berurutan
(serial), tetapi harus menatanya ke
dalam sebuah keseluruhan yang yang dapat dipahami, sehingga terbaca ‘pemikiran’
dari cerita itu.
Kaba dibangun di dalam
sebuah ruang narasi, yang mengkaitkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Sehingga, kaba tidak hanya sebuah dimensi masa lalu, yang mengulang-ulang
ucapan, pesan dan petuah-petuah yang berasal dari masa lalu, tetapi sebuah
proyeksi ke masa depan, yang di dalamnya pesan dan petuah mendapatkan konteks
dan dimensinya yang baru. Relasi antar waktu inilah yang memungkinkan seorang
tukang kaba dapat menginterpretasikan kaba dalam konteks situasi masa kini (dan
juga masa depan). Kaba, dengan demikian, membuka berbagai ruang ‘kemungkinan’
bagi eksistensinya di masa depan, dengan konteks dan situasi yang berbeda.
Misalnya, perkembangan abad informasi dan digital membuka peluang bagi kaba
untuk eksis dalam ruang yang baru. Kaba hidup di dalam “...keterhubungan hidup
sebuah rentang waktu yang dibingkai oleh sisa waktu”.
Kaba adalah sebuah
‘jejak sejarah’, yaitu tanda-tanda masa
lalu yang ditinggalkan dalam berbagai media (oral, tulisan, benda), sebuah
“jejak yang ditinggalkan di belakang”. Fenomena jejak kaba—puing, peninggalan,
dan dokumen—di sini menemukan dirinya dialihkan tempatnya dari ruang sejarah
masa lalu ke ruang ‘lintas waktu’, yang
di dalam waktu baru itu kaba menemukan ruang dan konteks baru. Di sinilah kita
dapat berbicara tentang konteks waktu pendahulu (predecessor) dan pelanjut
(successor) dari kaba. Waktu yang baru menyiratkan gagasan tentang kemajuan dan
perubahan. Dengan demikian, ruang pengalaman kita melalui kaba bergerak dari
masa lalu ke masa depan, dalam rangka menemukan pengalaman baru bercerita dan
bernarasi.
Kaba, dengan demikian
dibangun di dalam apa yang disebut Ricoeur ‘peleburan horizon’ (a fushion of
horizon), yaitu semacam tegangan (tension) antara horizon masa lalu dan masa
kini (dan masa depan). Dalam hal ini,
masalah relasi antara masa lalu dan masa kini disusun dalam pandangan yang
baru. Masa lalu dibentangkan pada kita melalui proyeksi horizon historis yang
terlepas dari horizon masa kini, diserap ke dalam dan melebur dengannya. Karena
fleksibilitas waktu inilah memungkinkan bagi kaba untuk hidup tidak saja di
dalam waktu yang baru, tetapi juga ruang baru, manusia baru dan teknologi baru.
Melalui fleksibilitas macam itulah, kita dapat menemukan ruang kemungkinan bagi
eksistensi kaba di dalam abad digital: sebuah ‘kaba digital’.
Kaba
Generasi Lisan
Kata kaba secara sempit
berarti ‘kabar’, atau dapat juga berarti
‘berita’ (news), sebagaimana misalnya kita mendengar berita di koran, radio,
televisi. Akan tetapi, sebagai konsep kultural ia menunjuk pada sebuah kategori
sastra tradisional lisan Minangkabau. Sehingga, ia tidak sekadar mengandung
nilai cerita, pesan, dan komunikasi tetapi juga pengalaman estetik. Kaba
biasanya diceritakan oleh seorang tukang kaba atau sijobang di dalam sebuah
event, dengan diiringi oleh salueng, rabab atau ‘alat musik’ lainnya. Kaba juga
dapat diceritakan dalam format seni pertunjukkan tradisional, seperti randai,
di mana cerita diiringi oleh musik, gendang dan gerakan tari silat.
Kaba berkaitan dengan ‘kaba
curito’ (kabar cerita), yaitu kabar yang disampaikan dalam bentuk ‘cerita
lisan’. Sehingga, kaba dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk ‘sastra lisan’
(oral literature). Apa yang diceritakan melalui kaba dapat berupa sesuatu yang
fiktif, tetapi juga kejadian yang sebenarnya. Sehingga, kaba mengandung dua
unsur sekaligus, yaitu cerita benar dan fiksi. Sebagaimana cerita fiksi pada
umumnya, kaba pada tingkat tertentu dibangun melalui penafsiran atas satu
realitas. Akan tetapi, kaba pada umumnya merupakan cerita dari
kejadian-kejadian yang sebenarnya, meskipun pada bagian tertentu sering
dibumbui dengan unsur-unsur fiktif. Melalui penceritaan kembali suatu peristiwa
tragis yang betul-betul terjadi, kaba mengandung unsur pendidikan; khususnya
pendidikan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Saluang, sebagaimana
juga rabab, adalah sebuah pertunjukan musik, yang di dalamnya pantun dan kaba
diceritakan dan dinyanyikan. Di dalam kesenian saluang ada dua bentuk
pertunjukan yang disajikan secara serempak dalam satu pertunjukan, yaitu
permainan alat musik saluang dan bentuk sastra lisan berupa pantun yang
dinyanyikan oleh tukang dendang. Bentuk dendang itu terkadang berupa kaba yang
didendangkan. Saluang dan dendang awalnya biasa dipertunjukkan di tempat berkumpulnya
laki-laki seperti lapau atau surau. Rabab adalah bentuk sastra lisan musikal
lainnya, yang menceritakan kaba-kaba seperti Gondoriah atau Malin Deman, dengan
iringan musik rabab.
Karena menceritakan
sesuatu yang bernilai komunikatif dan estetik secara lisan (oral speaking),
kaba dapat dianggap sebagai bagian dari ‘seni bicara’ (speech art) atau di
dalam bahasa Yunani disebut technē rhētorikē (disingkat menjadi rhētorikē atau
retorika). Retorika pada dasarnya berarti pembicaraan publik atau seni pidato (oratory),
yang di dalamnya digunakan seni tertentu untuk mempengaruhi pemahaman dan
penerimaan publik. Retorika pada perkembangan selanjutnya menjadi paradigma
semua wacana, termasuk tulisan. Dengan perkataan lain, perkembangan model-model
komunikasi tulisan dan visual tidak dengan sendirinya melenyapkan komunmikasi
lisan, bahkan memperkuatnya, termasuk dalam kaba.
Kaba pada awalnya
merupakan bentuk ‘kelisanan murni’, yaitu ungkapan lisan yang sama sekali belum
tersentuh oleh tulisan atau media komunikasi dan ekspresi lainnya. Wong
menyebut kelisanan murni ini sebagai ‘kelisanan primer’ (primary orality).
Melalui perkembangan teknologi komunikasi, kelisanan primer bertransformasi
menjadi ‘kelisanan sekunder’ (secondary orality), yaitu ungkapan lisan yang dibantu
oleh teknologi seperti telepon, radio, televisi dan komputer, yang dibangun
oleh unsur tulisan, cetakan dan visual. Kelisanan primer dalam pengertian yang
sebenarnya saat ini memang jarang ada, akan tetapi mind-set kelisanan primer
itu sendiri tetap bertahan di dalam diri setiap orang, meskipun mereka hidup di
dalam lingkungan teknologi tinggi sekalipun.
Kaba merupakan sebuah
‘karya kolektif’, bukan individu, yang dicirikan oleh sifat ‘anonim’, yaitu
tanpa (nama) pengarang. Yang muncul ke permukaan hanya tukang kaba. Sebagai
bagian dari kelisanan primer di dalam kaba tidak dikenal konsep ‘pengarang’
(author), serta hak intelektual kepengarangan (authorship). ‘Pengarang’,
menurut Barthes adalah produk budaya ‘modern’ yang dilandasi oleh filsafat
‘individualisme’, yang memberikan label ‘jenius’ (genius) dan ‘hak individu’
atas ungkapan, serta nilai ‘prestise’ yang diberikan publik pada individu
pengarang. Di dalam kaba, tidak ada ‘jenius’, kreativitas dan prestise individu
itu, karena kaba merupakan produk dari ‘pikiran kolektif’ (collective mind)
yang menghasilkan ‘jenius kolektif’. Meskipun dalam perkembangan budaya
tulisan, kaba dituliskan menjadi ‘buku’, tetapi penulis hanya ‘mentransfer’
kaba lisan ke dalam tulisan, bukan ‘mengarangnya’. Sehingga, di dalam kaba tak
ada sentuhan pribadi ‘pengarang’ atau tukang cerita. Mereka hanya mengikuti
tradisi tanpa meninggalkan jejak-jejak pribadi mereka dalamnya.
Karena merupakan produk
komunal, kaba kurang memiliki ‘keliaran’ fantasi. Kaba, pada umumnya hanya menceritakan
peristiwa secara kronologis, tanpa unsur fantasi seperti pada novel modern.
Novel umumnya merupakan ‘rekaan’ seorang pengarang, bukan replika atau cermin
simetris realitas (mirror image). Ricoeur membedakan ‘fiksi’ dan ‘replika’
(replica). Replika adalah reproduksi, salinan dan citra cermin realitas. Fiksi,
sebaliknya, bukan reproduksi, cermin, atau salinan realitas, tetapi ia merubah,
‘meningkatkan’ (increase), bahkan ‘memproduksi’ realitas (rekaan) yang sama
sekali tak ada di dunia nyata: sebuah unreality. Kaba dianggap tak punya unsur
fiktif meskipun ia mungkin menceritakan sesuatu ‘yang tak masuk akal’, yang
kehadirannya lebih disebabkan oleh dorongan tradisi dalam kaba itu sendiri.
‘Interpretasi’ kaba
justeru dilakukan oleh tukang kaba atau sijobang, bukan oleh penciptanya. Agar
cerita dan pesan-pesan kaba dapat sampai pada pendengarnya, sijobang berupaya
membawa cerita ke dunia yang dikenal oleh pendengar masa kini, melalui
mekanisme ‘anakronisme’, di mana keadaan masa lampau dihadirkan kepada
pendengar masa kini melalui penyesuaian cerita kaba dengan sistem pengetahuan
mereka. Di dalam proses interpretasi ada semacam ‘sensitivitas konteks’
(context sensitive). Sebagaimana dikatakan Ricoeur:
Sebuah karakter esensial
karya-karya sastra, atau karya seni pada umumnya, adalah bahwa ia melampaui
kondisi-kondisi psiko-sosial produksi dan dengan demikian membuka dirinya
terhadap rangkaian pembacaan yang tak terhingga, yang berada di dalam
kondisi-kondisi sosio-kultural yang berbeda. Singkatnya, teks harus mampu, dari
sudut pandang sosiologis serta psikologis, untuk ‘mendekontekstualisasi’
dirinya sedemikian rupa sehingga ia dapat ‘direkontekstualisasi’ di dalam
sebuah situasi baru.
Rekontekstualisasi pada
kaba mempunyai dua fungsi bertentangan, dengan mencoba merelasikan antara
‘fakta’ (masa lalu) dan ‘pemahaman’ (masa kini). Di satu pihak ia bertugas
membawa fakta masa lampau kepada realitas yang dialami pendengarnya. Akan
tetapi, secara bersamaan ia juga membawa pendengarnya ke masa lampau mereka, sesuatu
yang mungkin hanya masih tinggal dalam ingatan/kenangan. Tugas sijobang adalah
merekonstekstualisasikan fakta masa lalu itu ke dalam cerita masa kini yang
kontekstual.
Kaba memiliki sifat
‘interaktif’ (interactive) dan ‘situasional’, yang tidak hanya melibatkan
ucapan (lisan) tetapi seluruh kapasitas bahasa tubuh (body language, gesture).
Di dalamnya ada ‘pertukaran’ (exchange) antara tukang kaba dan para
pendengarnya, yang melaluinya pesan atau nasehat-nasehat disampaikan. Sehingga,
kaba merupakan media total pembangunan situasi eksistensial melalui bahasa.
Kaba cenderung ‘merespons’ situasi di mana ia diceritakan, sehingga
konsep-konsepnya cenderung konkrit, bukan konsep-konsep abstrak seperti novel.
Generasi
Tekstual
Dengan berkembangnya
budaya tulisan, kaba menjadi bagian dari budaya tulisan ini. Kaba kini
dituliskan ke dalam format buku oleh para ‘pengarang’, yang sesungguhnya lebih
berperan sebagai pengalih kaba dari teks lisan ke dalam teks tulisan (buku).
Misalnya, kaba ‘karangan’ Dt. Panduko Alam, Rancah Dilabuah (1960), Sutan
Pangaduan, Magek Manandin (2004), M. Rasyid Mangggis Dt. R. Penghulu, Malin
Deman (2004). Adanya nama ‘pengarang’ menunjukkan melemahnya spirit komunalitas
pada kaba, dengan munculnya klaim ‘kepengarangan’ individu (authorship),
meskipun pada kenyataannya kaba itu tidak betul-betul merupakan jenius atau
kreativitas pengarangnya.
Budaya cetak melahirkan
pandangan romantik tentang ‘orisinalitas’ dan ‘kreativitas’ karya, yang
memisahkan sebuah karya individual dengan karya individual lainnya, dengan
melihat keunikan sebuah karya, yang terbebas dari pengaruh luar. Akan tetapi,
di dalam teks-teks kaba, pandangan tentang ‘orisinalitas’ ini tampaknya tidak
berlaku. Karena, teks-teks kaba itu pada kenyataannya tidak dihasilkan dari jenius
pengarangnya, akan tetapi lebih merupakan transposisi cerita komunal oleh
individu pengarang. Ia lebih tepat dikatakan sebagai sebuah bentuk
‘intertekstualitas’ (intertextuality), karena para ‘pengarang’ itu tak
memproduksi sesuatu yang baru sama sekali, akan tetapi secara total berada di
bawah pengaruh teks-teks ‘lisan’ dari budaya lisan sebelumnya.
‘Tekstualisasi
kaba’—yaitu proses mengalihkan ‘kaba lisan’ menjadi ‘kaba tulisan’—berperan
menciptakan ‘penjarakan’ (distanciation) antara kaba dan masyarakat. Kaba yang
sebelumnya menjadi bagian relasi situasional dan kontekstual antara tukang kaba
dan para pendengarnya, kini menjadi ‘teks otonom’. Teks kaba itu kini tercabut
dari konteks manusia, yaitu apa yang sebelumnya ada di dalam pikiran—yang diingat,
direpetisi, dan diucap ulang—dan kini berada di luar pikiran, yaitu di dalam
sebuah ‘teks’. Kaba tekstual mengalihkan ingatan dan kekuatan memori. Orang
tidak lagi mengingat atau menghapal kaba, tetapi membacanya, sehingga cenderung
menciptakan pelupaan (forgetfulness), karena ia kini sangat menggantungkan diri
pada sumber eksternal, yang dulu justeru merupakan bagian dari sumber-sumber
internal: memori.
Teks kaba pada dasarnya
menghilangkan dimensi sosial dan sifat intersubjektif sebagai kekuatan budaya
lisan, yaitu pada sifatnya yang tak-interaktif dan ‘tak responsive’
(unresponsive). Di dalam pertunjukan kaba lisan, terdapat relasi tatap muka
(face-to-face) antara tukang kaba dan para pendengar, yang memungkinkan
terjadinya komunikasi dua arah. Tidak ada komunikasi dua arah dan dialog di
dalam sebuah teks kaba. Kaba tekstual tidak dapat mempertahankan dirinya
sebagaimana dunia ucapan. Tulisan itu pasif, di dalam sebuah dunia tak-nyata
(unreal) dan tak-alamiah (unnatural). Berbeda dengan ucapan lisan yang alamiah,
yaitu menjadi bagian dari sistem biologis, psikis, kesadaran bahkan
ketaksadaran manusia (unconscious), tulisan sepenuhnya artifisial, karena
merupakan produk eksternal dari sistem biologis itu.
Tulisan menempatkan kaba
di sebuah tempat yang pasti, tetap, dan tak berubah, yaitu di dalam sebuah
‘teks’. Tulisan dan cetakan menciptakan semacam penutupan (closure), dalam
pengertian bahwa apa yang ditemukan di dalam sebuah teks telah dituntaskan,
telah mencapai sebuah keadaan selesai (completion). Melalui tulisan atau teks
kaba dipancangkan di dalam sebuah ruang tetap. Kehadiran tulisan merubah secara
fundamental cara kerja seni, sastera dan filsafat. Tulisan dan teks mendorong
cara kerja ilmiah, yang menuntut untuk mencatat, mendata, mengkategorikan,
mengklasifikasikan, membuat daftar, menyimpan dan mendokumentasikan. Semuanya
ini hanya dapat dilakukan melalui tulisan, skema, table atau bagan.
Meskipun demikian,
keberadaan budaya tulisan dari awalnya tidak mereduksi atau mematikan kelisanan
tetapi malah meningkatkannya, sehingga memungkinkan untuk mentransformasikan
‘prinsip retorika’ (lisan) ke dalam bentuk tulisan. Hanya melalui mekanisme
tulisan (buku, jurnal, makalah, artikel) budaya ilmiah, yaitu cara pikir
sistematis, rasional dan terstruktur dalam rangka menghasilkan pengetahuan
ilmiah tertentu dapat dihasilkan. Hanya melalui tulisan pula pengetahuan ilmiah
itu dapat diabadikan, didokumentasikan dan disebarluaskan. Budaya tulisan
menjadi prasyarat dari budaya riset ilmiah. Misalnya, hanya melalui dokumentasi
tertulis, kaba dapat diteliti secara ilmiah.
Pengalihan kaba ke dalam
format tulisan dan cetakan, telah merubah konteks dan situasi kaba, yang kini
tercabut dari sifat komunalitas, intersubjetivitas dan interaksi langsung.
Referensi kaba tidak dilihat dari relasinya dengan realitas yang
direpresentasikannya, tetapi oleh konteks verbal dan situasi lingkungan di mana
ia dipertunjukkan. Hal ini, karena kaba lisan bersifat situasional
(situational), kontekstual dan temporer: kandungan cerita, tokoh, figur dan
karakter merespons situasi kekinian di mana kaba itu dihadirkan. Sifat-sifat
inilah yang tidak ada pada tulisan kaba. Pengalihan kaba dari konteks ‘lisan’
ke konteks ‘tulisan’ menghilangkan “...atmosfir semantika karya yang di
dalamnya ia berpartisipasi dan dengannya ia diasosiasikan di dalam kesadaran
bahasa (linguistic consciousness) komunitas”.
Kaba
Visual dalam Narasi Virtual
Perkembangan abad
informasi-digital telah menciptakan sebuah ruang baru bagi transformasi kaba
sebagai sebuah wacana. Abad informasi telah menciptakan apa yang disebut
sebagai ‘budaya visual’ (visual culture), yaitu sebuah budaya yang didominasi
oleh keberadaan unsur-unsur rupa (visual)—terutama bentuk-bentuk visual yang
dokonstruksi melalui teknologi elektronika dan digital. Abad informasi telah
membuka kemungkinan baru bagi eksistensi dan keberlanjutan kaba. Perkembangan
budaya visual-elektronik telah memberikan sebuah tantangan besar bagi
keberadaan kaba sebagaisebuah budaya lisan tradisional, untuk mengambil peran baru
di dalam ruang-ruang virtual budaya visual.
‘Budaya visual’ adalah
artefak kebendaan, bangunan dan citra, media dan pertunjukan, yang diproduksi
oleh imajinasi dan tenaga manusia, untuk tujuan estetik, simbolik, ritualistik
atau politik-ideologis, dan/atau fungsi praktis, dan yang melibatkan proses
penglihatan. Budaya visual melibatkan informasi, makna dan kesenangan
(pleasure), yang diperoleh lewat interface dengan teknologi visual, yaitu
perangkat yang didesain untuk dilihat atau untuk memperluas penglihatan alamiah
(vision), dari lukisan sampai televisi dan internet. Budaya visual merupakan
produk perkembangan mutakhir teknologi informasi-digital, yang menghasilkan
citra-citra digital, yang memungkinkan orang mensimulasi realitas, misalnya
melalui iklan, filem, televisi, video, game, internet, dan facebook.
Melalui budaya visual
kini dimungkinkan menciptakan ‘kaba visual’ (visual utterance), yang berbeda
dengan ‘kaba lisan’dan ‘teks tulisan’. Dalam konteks linguistik, teks
didefinisikan sebagai setiap wacana yang diwujudkan dalam bentuk tulisan.
Sementara, wacana itu sendiri dapat diartikan secara khusus sebagai realisasi
penggunaan bahasa, yang memproduksi ‘teks’. Teks, dalam pengertiannya yang
sempit, adalah wujud tulisan. Akan tetapi, dalam pengertiannya yang lebih luas,
teks didefinisikan sebagai “kombinasi tanda-tanda.” Sehingga, citra televisi,
patung, arsitektur dapat dilihat sebagai ‘teks’. Dan, kaba yang disampaikan
melalui visual dapat kita sebut ‘kaba visual’ atau ‘kaba rupa’.
Kini para seniman (lukis,
patung, grafis) yang tergabung dalam Komunitas Seni Sakato tengah melakukan
upaya kolektif bagi ‘rekontekstualisasi’, ‘reinterpretasi’ dan
‘reposisi’(reposition) kaba sebagai sebuah wacana dan komunikasi eksistensial
di dalam ruang-ruang virtual dan budaya visual. Mereka kini berperan sebagai
‘pelanjut’ kaba, yaitu secara kolektif membentangkan ‘ruang kemungkinan’ bagi
eksistensi kaba masa depan. Rekontekstualisasi berarti bahwa kaba kini tidak
lagi diceritakan melalui wacana lisan di dalam sebuah komunitas, tetapi melalui
ruang pameran. Reinterpretasi berarti bahwa para seniman ini menafsir ulang
kaba, baik dalam bentuk, ekspresi, media maupun kode-kodenya, untuk memproduksi
makna baru. Reposisi berarti bahwa fungsi kaba tidak lagi terbatas pada wahana
penyampaian pesan atau nasehat adat atau agama pada komunitas adat, tetapi
pesan-pesan lebih luas (pesan sosial, politik, ekonomi, moral, humanitas) untuk
para pendengar yang lebih luas pula.
Para seniman ini kini
menjadi ‘tukang kaba rupa’ atau ‘sijobang rupa’, meskipun istilah ‘sijobang’
ini terlalu ‘dangkal’ untuk menjelaskan alam seniman, yang sesungguhnya tidak
hanya ‘penyampai kabar’, tetapi juga ‘pencipta’, ‘perenung’, bahkan ‘pemikir’.
Seniman ingin ‘bakaba’, menyiratkan bahwa mereka ingin ‘berkomunikasi’, ingin
menyampaikan ‘pesan’ (message), ingin memberikan ‘informasi’ atau ‘perkabaran’.
Ini berbeda dengan seni ‘abstrak’, yang tidak diciptakan secara eksplisit untuk
pesan dan komunikasi, tidak untuk dipahami, untuk ditemukan pesannya. Di sini,
para seniman ingin ‘dipahami’, ingin ‘didengar’, bahkan ingin ‘dituruti’ dalam
hal retorika. Berbeda dengan kaba lisan yang terikat pada kanon-kanon sosial
dan adat, para seniman di dalam pameran ini mulai memasukkan unsur ‘keliaran
fantasi’ di dalam kaba, yaitu pengembaran fantasional ke dalam dunia ‘ide’,
‘gagasan’, ‘perasaan’ dan ‘gambaran’ yang tidak terbayangkan sebelumnya.
‘Kaba rupa’ yang digelar
oleh para seniman Komunitas Seni Sakato tentunya tidak lagi anonim atau ‘milik
komunal. Kaba itu milik individu sekaligus kolektif. Setiap seniman
mengkabarkan sebuah ‘peristiwa’ atau ‘fenomena’ dengan mengolahnya melalui
imajinasi, argumen, pemikiran, interpretasi dank kode-kode yang bersifat
personal. Akan tetapi, suara personal ini secara bersama-sama membentuk ‘suara
kolektif’ (collective enunciation), berupa pesan-pesan komunal, yang disuarakan melalui bahasa-bahasa
personal yang plural. Semangat komunalitas (yang dicirikan oleh ‘kesamaan’ atau
‘homogenitas’) kini ditransformasikan ke dalam semangat ‘kebersamaan’.
Kebersamaan itu justeru ditampakkan melalui ‘perbedaan’ (difference) dan
heterogenitas (heterogeneity). Ini merupakan refleksi dari sifat dinamis
masyarakat Minangkabau, yang menunjukkan spirit awak-samo-awak, justru melalui
multiplisitas ekspresi dan perbedaan.
Di sini, yang membangun
arsitektur kebersamaan, kesatuan dan persaudaraan sebagai urang awak adalah
semangat yang satu, yaitu semangat ingin bakaba, berkomunikasi, berwacana dan
mengirim pesan. Inilah makna sosial dari konsep awak-sama-awak: hasrat ingin
‘berbagi’ (sharing): berbagai rasa, pandangan, pendapat, keyakinan. Akan
tetapi, bagaimana kaba itu disampaikan, komunikasi itu dibangun, wacana itu
digelar dan pesan itu disampaikan—semuanya ditunjukkan oleh azas keanekaragaman
(diversity), pluralitas dan demokrasi, sebagai salah satu azas pokok masyarakat
Minangkabau itu sendiri. Perbedaan itu muncul karena perbedaan pintu masuk,
pendekatan, gaya, konteks, nilai dan ‘ideologi’ yang diusung oleh masing-masing
seniman dalam merespons kaba, yang menghasilkan perbedaan ekspresi, gaya,
idiom, kode, susunan, material dan makna.
Pameran Komunitas Seni
Sakato ini memperlihatkan dengan jelas karakter keterbukaan, keanekaragaman dan
multiplisitas dalam memaknai kaba dan bakaba, baik sebagai bentuk komunikasi,
penyampaian pesan, cara narasi, strategi tekstual maupun ekspresi estetik. Di
dalam pameran ini ditampilkan ‘multiplisitas kaba’, yaitu beranekaragam
definisi, pandangan, persepsi, cara, media, bahasa, simbol, tanda, makna,
ideologi, keyakinan dan strategi visual dalam bakaba. Pesan-pesan kaba
disampaikan baik secara eksplisit maupun implisit, secara konkret maupun
abstrak, secara naratif maupun anti-naratif, secara beraturan maupun chaotic.
Bahkan, ‘bahasa kaba’—atau tepatnya ‘bahasa visual’ kaba (visual language)—kini
juga tampil dalam keanekaragamannya. Segala ‘potensi bahasa’ digunakan dalam
menyampaikan pesan-pesan tertentu: bahasa ikonik (iconic language), bahasa
simbolik (symbolic language), bahasa parodi (parody), sampai bahasa metaforis (metaphor).
Bahkan, ‘abstraksi’ kini dipandang sebagai bagian cara ‘bakaba’, yaitu cara
berkomunikasi dan menyampaikan pesan secara ‘abstrak’, yang maknanya hanya bisa
ditangkap melalui penalaran dan penafsiran intens.
Di samping multiplisitas
bahasa rupa dan idiom yang digunakan, terdapat pula perbedaan kode yang
digunakan, baik ‘kode bahasa’, ‘kode narasi’ dan ‘kode estetik’ (aesthetic
code). Ada seniman yang berupaya secara konsisten menggunakan kode yang sudah
‘mengendap’ secara kolektif di dalam kesadaran dan nalar komunitas (komposisi,
alur cerita, bentuk, simbol), sehingga memungkinkan penyampaian pesan-pesan
(sosial, adat, agama) menjadi lebih efektif dan komunikatif. Di sini, seniman
lebih mengutamakan efektivitas komunikasi, dengan menggunakan bentuk, ikon atau
simbol-simbol (adat, sosial, kultural, agama) yang telah ‘akrab’, sebagai cara
membangun komunikasi yang efektif. Akan tetapi, ada beberapa seniman yang
mencoba keluar dari kode sosial ini, dengan menciptakan ‘kode personal’
(personal code), yang menjadikan pesan-pesan yang ingin disampaikan tidak
eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti, sehingga memerlukan proses nalar dan
pemaknaan yang lebih panjang, agar pesan-pesan dapat sampai pada pengamat.
‘Kaba’ di dalam pameran
ini tidak dimaknai secara semantik dengan makna tunggal, tetapi multiplisitas
makna. Ada yang memaknai kaba sebagai cara dan strategi ‘cerita’, di mana
sebuah karya benar-benar menyampaikan‘cerita’ (story) tentang aneka peristiwa,
objek, subjek, prinsip, tatanan, lembaga, atau kondisi-kondisi realitas yang
bersifat eksternal, untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Di sini, fungsi ‘konatif’ kaba diarahkan pada representasi sesuatu yang
bersifat eksternal, yaitu sesuatu berada di luar diri subjek yang bercerita
(enunciator). Tetapi, ada juga yang melihat ‘kaba’ sebagai cara ‘memberi
kabar’, bukan untuk realitas-realitas eksternal, tetapi ‘realitas-realitas’
internal di dalam diri subjek: perasaan, suasana hati, pandangan, opini,
hasrat, kehendak, keyakinan. Sehingga, fungsi ‘konatif’ ditujukan ke arah
internal, yaitu representasi ruang-ruang di dalam ‘diri’ (self) atau subjek
yang kini ‘dihadirkan’ atau ‘dikabarkan’ ke dunia luar, sebagai cara dalam
‘berbagi’ dalam menangkap pesan dan
memaknai hidup.
Ada pula perbedaan dalam
‘cara bakaba’ yang digunakan. Ada ‘cerita kaba’ yang disampaikan dengan
menggunakan pola ‘naratif’, yaitu secara eksplisit menampilkan sekuensi,
urut-urutan peristiwa, durasi, plot, tokoh, pesan, dialog visual secara
diakronik—semacam narasi visual (visual narrative). Di sini, ada upaya
menghadirkan ‘waktu’ (melalui urutan, sekuen) dalam gambar atau objek. Ada juga
yang menampilkan ‘kaba’ dengan pola narasi yang implisit, yaitu melalui
penyampaian cerita secara sinkronik atau rekonstruktif, tanpa ada sekuensi dan
‘waktu’ yang eksplisit, tetapi sekuensi ‘abstrak’, yang hanya dapat ditangkap
melalui logika dan imajinasi pembaca. Dalam hal ini, ada keragaman dalam
menyikapi narasi itu sendiri: ada yang menggunakan pola diakronik, yaitu menceritakan
sebuah peristiwa berdasarkan urut-urutan waktu yang linear atau sekuensial; ada
yang menggunakan pola sinkronik, di mana waktu tidak tampil di dalam gambar,
yang tampil hanya objek-objek yang hadir secara simultan di dalam ruang, dan
cerita di sini menjadi tidak eksplisit; tetapi ada juga yang menggunakan pola
‘anakronik’ (anachronic), di mana waktu dihadirkan, tetapi tidak berdasarkan
urut-urutan linear, tetapi acak.
Selain itu, ada pula
multiplisitas dalam apa yang ‘dikabarkan’, melalui ‘isi’ (content) kaba itu
sendiri. Ada yang menampilkan cerita tentang pengalaman personal (ketakutan,
hasrat, semangat, perjalanan, suasana batin); cerita tentang kondisi sosial dan
budaya (urban lifestyle, kriminalitas, konsumerisme, budaya populer); cerita
tentang dunia benda atau artefak (kloset, cangkir, panah, patung, kipas angin,
lampu pijar); cerita tentang alam
(malam, kaki bukit, tempat, kode alam); cerita tentang adat (tambo, pepatah,
legenda, mitos); cerita tentang aspek-aspek spiritualitas dan keagamaan (wahyu,
ajaran, kitab); cerita tentang kondisi lingkungan atau ekologis, (polusi,
kerusakan hutan, kegersangan); cerita tentang budaya massa (televisi, kontes
kecantikan); cerita tentang jagad raya dan kosmologi (kompleksitas, chaos,
ketakberaturan). Karena beragamnya apa
yang dikabarkan atau diceritakan, terdapat pula keragaman pesan-pesan yang
ingin disampaikan di dalam pameran ini: ada pesan personal, pesan adat, pesan
kaum, pesan sosial, pesan budaya, pesan keagamaan dan pesan kemanusiaan
universal.
Para seniman dalam
pameran Komunitas Seni Sakato memiliki intensitas pengalaman yang berbeda-beda
terhadap kaba. Ada seniman yang masih merasakan pengalaman langsung hidup di
dalam alam budaya lisan; ada yang hidup di dalam budaya tulisan; ada yang hidup
di dalam budaya virtual-digital, dan tidak pernah mengalami kaba sebagai sebuah
bentuk kelisanan. Perbedaan pengalaman ini, menimbulkan perbedaan kesadaran dan
persepsi tentang kaba, bakaba dan komunikasi itu sendiri. Akan tetapi, ada pula
yang masuk agak jauh ke dalam ruang virtual-elektorinik abad informasi
(internet, handphone, facebook) yang telah membawa kesadaran ke arah era baru
‘kelisanan sekunder’ (secondary orality) , yang melaluinya ia merangkai ‘kaba
digital’. Kelisanan baru ini mempunyai kesamaan dengan yang lama dalam hal mistik komunitasnya, meskipun lebih
bersifat virtual—virtual community.
Kedatangan budaya visual
dan abad virtual merupakan satu tantangan bagi perubahan dalam memaknai kaba
sebagai sebuah ekspresi budaya lisan Minangkabau. Perubahan pada bentuk kaba
ini menjadi isu sensitif karena kaba mengandung banyak sekali pesan dan
ajaran-ajaran adat di dalamnya. Akan tetapi, beruntunglah ajaran adat
Minangkabau itu sendiri bersifat ‘terbuka’, dalam pengertian membuka ruang bagi
perubahan, selama ia tidak merubah ajaran pokoknya.
Adat dipakai
baru,
kain dipakai
usang,
dapuak-lapuak
dikajangi,
urang-urang
dibarui.
Prinsip adat Minangkabau
itu tidak berubah dalam ajaran pokoknya, namun akan membuka peluang bagi
perbedaan dan variasi dalam penerapannya, sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapinya. Semangat keterbukaan
inilah yang dipertunjukkan oleh para seniman Komunitas Seni Sakato di dalam
karya-karya kaba rupa mereka.
Kaba hidup di dalam
ruang-waktu, yang menciptakan semacam ‘ruang pengalaman’ (a space of
experience), pengalaman yang ditransmisikan oleh generasi sebelumnya, menjadi
pengalaman masa kini, dan kemudian membuka kemungkinan pengalaman di masa
depan. Kaba membentangkan sebuah ruang ‘retrospektif’ (retrospective), yaitu
ruang tembus pandang menembus pengalaman masa lalu; tetapi juga ruang
‘prospektif’ (prospective), berupa kemungkinan pengalaman di masa depan yang
tak terhitung banyaknya. Seniman bergerak bolak-balik (to-and-fro) di antara
dua dimensi ruang ini, untuk merangkai ‘horizon pengharapan’ (horizon of
expectation), yaitu manifestasi pribadi atau komunitas yang ditujukan bagi masa
depan: harapan, keinginan, pilihan, keingintahuan (curiosity). Kaba menanti
‘rumah masa depan’, dan ‘rumah-masa-depan kaba’ inilah yang tengah dibangun
oleh Komunitas Seni Sakato.
Interaksi sosial di
lapau, surau atau dangau yang dibangun melalui kaba lisan, kini digantikan oleh
karakter ‘ketertanaman’ (embededness) di dalam media telekultur (teleculture),
dengan praktik komunikasi, wacana dan penyampaian pesan yang bersifat virtual,
dan yang berlangsung sekejap
(ephemeral). Di dalam dunia artifisial itu isu tentang memori, kesadaran dan
persepsi tercabut dari pengalaman langsung, untuk dirubah menjadi pengalaman
berjarak. Memori elektronik memberikan kita jarak kritis (critical distance)
dari dunia obyektif, yang tidak lagi dialami langsung. Di dalam dunia virtual
ini, orang mungkin tak perlu lagi mengingat, menghapal dan melekatkan
cerita-cerita kaba ke dalam pikiran dan memorinya, karena teknologi
elektronik-digital mampu mengambilalih fungsi ingatan dan memori manusia. Kaba
tercabut dari memori manusia, tetapi kini tertanam di dalam memori komputer.
Di dalam alam kekayaan media, informasi, pesan, pengetahuan,
konteks dan teknologi abad informasi itulah, para seniman Komunitas Seni Sakato
membawa kaba—yang awalnya merupakan dimensi lisan—ke dalam sebuah ‘ruang
multidimensi’ (multidimension). Sumber: (www. indonesiaartnews.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar