Kamis, 24 Oktober 2013

Aura Kaba, Narasi Rupa



OLEH  Yasraf Amir Piliang
Dosen Program Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB

Alai-alai tabang ka alai
Tabanglah pipit duo tigo
Kaba lah lamo tabangkalai
Kini diulang-ulang pulo
‘Kaba’ (kabar) adalah mekanisme kultural yang memanifestasikan esensi manusia sebagai homo homini socius. Sapaan “A kaba?” (Apa kabar?) adalah ungkapan terdalam rasa sosial dan kencintaan sesama manusia. Kita mungkin tak perlu menanyakan atau memberi kabar seseorang, tanpa dorongan rasa sosialitas dan kebersamaan itu. Kaba, dengan demikian, adalah sebuah mekanisme sentral dalam arsitektur sosial, yang melibatkan bahasa, rasa, nalar dan imajinasi. Inilah yang membedakan manusia dari hewan, yaitu pada kapasitas pemahaman dan ‘imajinasi’ tentang ‘kebersamaan’ sebagai manusia. ‘Bakaba’ (berkabar atau ‘memberi kabar’) menunjukkan keniscayaan rajutan alam sosialitas manusia, yang merasa perlu saling berkabar satu sama lain secara sosial.
Yasraf Amir Piliang
Kaba adalah sebuah tindak komunikasi (communicative action), yang melaluinya pesan (message), berupa nasehat dan petuah, disampaikan dari penyampai (sender) ke para pendengar (receiver), baik itu pesan personal, adat, sosial, politik, kultural maupun agama. Ia juga sebuah bentuk wacana (discourse), yaitu sebuah ajang ‘pertukaran’ (exchange), tidak saja pertukaran bahasa gerak, tetapi juga tindakan (action). Kaba juga sebuah ekspresi estetik, karena dalam intensitas tertentu ia mengandung nilai dan memberikan pengalaman estetik. Bakaba, berarti menyampaikan pesan secara komunikatif, tetapi juga mengungkapkan sesuatu secara estetis. Kaba, mempunyai fungsi konatif (conative) untuk merepresentasikan realitas ke dalam cerita, tetapi juga sebuah ‘tindak’ (performative), untuk menghadirkan sesuatu.

Kaba pada awal perkembangannya menjadi bagian dari ‘budaya lisan’ (oral culture), di mana cerita disampaikan secara lisan di dalam sebuah komunitas pendengar kaba, yang diiringi oleh alat-alat musik seperti saluang, rabab, bansi atau diceritakan melalui seni pertunjukan, seperti randai. Pada perkembangan berikutnya—melalui perkembangan budaya tulisan dan cetakan—kaba bertransformasi menjadi kaba tertulis (buku kaba) sebagai bagian dari ‘budaya tulisan’ (writing culture). Lebih jauh lagi, perkembangan abad informasi dan pencitraan menciptakan cara baru penyampaian pesan, yaitu berupa ‘pesan visual’ (visual message), di mana perkabaran (penyampaian kabar, pesan dan informasi) kini menjadi bagian dari ‘budaya visual’ (visual culture).
Kaba adalah sebuah bentuk ‘perkabaran’ dengan mengerahkan semua potensi bahasa (lisan, musik, gerak tubuh, gestur, bahasa tubuh, pakaian). Kaba menggalami transformasi seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir (lisan, tulisan, visual, virtual), yang menciptakan bentuk baru kelisanan. Kaba berkembang berdasarkan bahasanya. ‘Kaba lisan’ (oral story) adalah kaba yang disampaikan secara lisan di dalam sebuah komunitas bahasa lisan; ‘kaba tulisan’ (written story) adalah kaba yang telah diformat menjadi sebuah bentuk tulisan (buku); dan—yang masih potensial adalah—‘kaba rupa’ (visual story), yaitu kaba yang diformat melalui kekuatan media visual dan virtual (lukisan, patung, filem, video art, internet, game).
Wacana Kaba
Kaba dimaknai secara sempit maupun luas. Secara sempit, kaba menunjuk pada satu jenis sastra lisan Minangkabau. Ia merupakan sebuah bentuk seni tradisi, yaitu ungkapan estetik indigenous yang mengandung nilai informasi dan pesan di lingkungan budaya setempat. Dalam pengertian luas, kaba dimaknai sebagai segala bentuk kabar atau perkabaran, baik kabar pribadi, sesama teman, dalam media, pesan militer, dalam pendidikan; baik yang berlangsung di lingkungan keluarga, kelompok, komunitas, masyarakat, negara bahkan umat manusia. Dalam pengertian luas, kaba merupakan manifestasi dari hasrat manusia untuk berbagi, bertenggang rasa, berempati dan berinteraksi satu sama lainnya.
Sebagai bagian budaya lisan, kaba adalah sebuah ‘wacana lisan’ (oral discourse), yang di dalamnya berlangsung proses komunikasi intersubjektif, penggunaan bahasa, penyampaian pesan dan pertukaran tanda. Kaba lisan adalah sebuah wacana yang terikat dan berorientasi pada pendengar (audience oriented), yang selalu menyesuaikan diri dengan sistem pengetahuan pendengarnya. Karena dihadirkan di hadapan pendengar, dan menyesuaikan diri dengan situasi yang terbangun, kaba merupakan tukar-menukar atau bolak-balik (to-and-fro) antara ‘presentasi’ dan ‘representasi’. Tukang kaba merepresentasikan sebuah fakta masa lalu, tetapi dengan cara ‘hadir’ (present) di dalam sebuah sutuasi masa kini.
Transformasi kaba bersesuaian dengan transformasi konsep ‘wacana’ (discourse) sendiri, yang juga mengalami perluasan semantik. Meskipun pada awalnya dikaitkan dengan ‘ucapan’ (speech), wacana kini digunakan untuk menjelaskan sebuah bidang penuturan yang diperluas. ‘Wacana’ kini dipahami sebagai cara membangun pengetahuan, beserta praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk subjektivitas, dan relasi kekuasaan yang melekat pada pengetahuan itu serta inter-relasi di antara semuanya. Wacana adalah pengetahuan tentang beberapa aspek realitas yang dikonstruksi secara sosial. Sehingga, produk ‘teks’ dari wacana juga mengalami perluasan makna, yang kini meliputi  ‘teks lisan’ (ucapan, tuturan, acara radio), ‘teks tulisan’ (surat, novel, puisi, buku) dan ‘teks visual’ (iklan, lukisan, acara televisi, game dan situs internet).
Sebagai sebuah wacana, kaba dibangun di dalam—dan hanya di dalam—praktik sosial (social practice), yaitu praktik ‘bakaba’, yang digelar di dalam ‘ruang sosial’ tertentu (social space): pasar, lapau, surau, dangau, tempat pertunjukan dan upacara adat. Di ruang-ruang sosial itulah komunitas melakukan ‘pertukaran’ atau ‘transaksi bahasa’, sebagai cara untuk mentransfer pengetahuan (adat, agama, sosial), dan tentunya untuk memahami dan memaknai dunia. Di ruang-ruang sosial itulah kontinuitas nilai-nilai adat atau agama dipertahankan. Karena kaba ditujukan bagi publik umum, ia menuntut semacam ‘otoritas’ menyangkut kebenaran objektif dari apa yang diceritakan. Dan, karena kaba merupakan karya komunal, maka kebenaran yang disampaikannya merupakan bagian dari ‘kebenaran komunal’, yang umumnya bersifat common sense.
Sebagai sebuah praktik sosial, kaba merupakan pula sebuah ‘tindak bicara’ (speech act), di mana ada relasi antara pembicara (tukang kaba) dan pendengarnya (audience) di dalam sebuah setting sosial tertentu: di dangau (tingkat keluarga) di lapau (tingkat sosial), di  surau (tingkat publik). Setiap tindak bicara mengkombinasikan tiga tindak secara simultan: tindak lokusioner (locutionary act), yaitu sebuah tindak merepresentasikan sebuah realitas melalui aneka media, ‘tindak ilukosioner’ (illocutionary act), yaitu tindak komunikasi khusus seperti memberi janji, mengingatkan, memerintahkan, dst.; dan, ‘tindak perlokusioner’ (perlocutionary act), yaitu tindak yang menghasilkan efek tertentu pada pendengar.
Sebagai bagian dari tindak bicara, kaba merupakan kombinasi dari tiga tindak di atas. Pertama, kaba merepresentasikan sebuah fakta, kejadian atau realitas tertentu—meskipun sering ditambah-tambah dengan unsur-unsur fiktif atau metafisis—sehingga ia mempunyai fungsi ‘kebenaran’ (truth). Kedua, ia merupakan medium bagi penyampaian pesan atau ajaran-ajaran adat, sebagai cara untuk mengingatkan atau sebuah bentuk ‘pembelajaran sosial’. Ketiga, kaba merupakan sebuah wacana untuk menimbulkan ‘efek’ perubahan tertentu pada tingkat kesadaran, pikiran dan perilaku mereka. Misalnya, kaba Rancak Dilabuah, adalah kaba yang sarat dengan pesan-pesan adat dan agama, sementara kaba Malin Deman, lebih menekankan ajaran-ajaran etika.
Di dalam ranah komunikasi, unit yang mempunyai eksistensi konkrit adalah pesan (message). Pesan di dalam kaba memiliki logikanya sendiri: mempunyai sebuah sumber, tujuan, konteks dan maksud sosial. 
Pesan kaba dibangun di dalam sebuah proses semiotik (semiotic process), yang melaluinya makna dikonstruksi dan dipertukarkan, di dalam apa yang disebut sebagai bidang semiotika (semiotic plane). Pesan kaba adalah tentang sesuatu yang bersifat eksternal dari kaba itu sendiri, yaitu sebuah ‘dunia adat’, yang terhadapnya kaba mengacu dalam cara tertentu, dan maknanya berasal dari fungsi representatif atau mimetik adat yang dimainkannya. Bidang yang di dalamnya representasi adat itu berlangsung disebut bidang mimetika (mimetic plane).
Sebagai wacana penyampaian pesan, tukang kaba sangat bergantung pada keberadaan penerimanya (recipients) agar pesan dapat sampai secara efektif. Di sini diperlukan sharing pengetahuan dan kode antara pengirim pesan dan pemerimanya. Tukang kaba mempunyai pengetahuan tentang cerita dan pesan kaba; sementara, penerima diharapkan juga mempunyai pengetahuan yang sama, sehingga menjadikannya mampu membaca pesan. Di dalam kaba, ada dua proses semiotik sekaligus: pertama, ‘pengkodean’ (encoding), yaitu proses mengkonstruksi tanda dan pesan oleh tukang kaba berdasarkan sebuah kode tertentu; dan kedua, proses ‘pembacaan kode’ (decoding), yaitu proses pemahaman dan pemaknaan pesan-pesan mengacu pada kode pembaca.
Proses pengkodean dan pembacaan kode dalam kaba berlangsung di dalam sebuah interaksi sosial yang sangat bersifat situasional, yang menentukan pesan apa yang akan disampaikan, untuk pendengar seperti apa, di dalam setting sosial bagaimana dan di dalam zaman apa. Oleh karena itu, kaba tidak dapat dilihat hanya dari segi ‘teks’ kaba itu saja. Sekuensi tindakan komunikasi dalam kaba membentuk genre yang melekat dalam praktik-praktik sosial yang mengandung unsur-unsur lain—aktor, waktu, tempat, dsb. Yang dilihat tidak saja “Apa yang dilakukan dengan kata-kata (atau gambar, atau musik)?, tetapi juga “Apa yang melakukan?’, ‘Untuk siapa?’, ‘Di mana?’, ‘Kapan?, dst.” Kaba berada di dalam sebuah setting komunikasi yang melibatkan bahasa, tubuh, dan lingkungan sosial.
Kaba, dengan demikian, tidak hanya mempunyai fungsi komunikasi, tetapi fungsi-fungsi bahasa yang lebih kompleks. Menurut Bühler, ada tiga fungsi yang inheren di dalam alam bahasa, yaitu: representasi, ekspresi dan himbauan (Appell). Masing-masing fungsi ini dibangun oleh relasi aktif antara tanda linguistik dan satu dari tiga faktor ekstra-linguistik dalam tindak wacana, yaitu: realitas yang dijelaskan oleh tanda, orang yang mengirim pesan, dan orang yang menerimanya. Akan tetapi, Mukařovsky menambahkan fungsi keempat bahasa, yaitu fungsi ‘estetik’ (aesthetic function), sebagai konsekuensi langsung dari otonomi seni. Di sini, nilai komunikasi, pesan dan semantik diambilalih oleh nilai estetik: emosi, hasrat, kehendak, pengalaman, kesadaran, dan ketaksadaran.
Sebagai sebuah bahasa dan komunikasi, kaba mempunyai fungsi representasi, ekspresi, himbauan (Appell) dan estetik khusus, meskipun keempat fungsi ini bukan merupakan milik individu pencipta, tetapi domain komunal, yang merupakan endapan dari cara pikir, mentalitas, kepekaan etetis dan pandangan dunia masyarakat Minangkabau. Meskipun jarang dijelaskan ‘fungsi estetik’ kaba, akan tetapi beberapa kaba menunjukkan dimensi-dimensi estetik ini. Bila kaba hanya mempunyai fungsi praktis-informasi, maka ia tentunya tidak berbeda dari laporan ‘jurnalistik’ seperti ‘koran’, yaitu pelaporan mekanistik tentang realitas atau peristiwa. Kaba, di sini, tidak hanya mengandung nilai informasi, tetapi juga nilai estetik. Bentuk kaba dalam format lirik, serta penyampaiannya dengan iringan musik menunjukkan muatan estetik itu.
Narasi-narasi Dunia
Kaba tidak saja sebuah bentuk wacana, yaitu pertukaran sosial-bahasa, akan tetapi juga sebuah bentuk ‘narasi’, yang mengandung ‘cerita’ atau ‘penceritaan’ tentang dunia. Dunia itu sendiri adalah sebuah narasi, meskipun ia tak habis-habisnya dinarasikan. Narasi merupakan ‘nafas’ dunia, yang menjadikannya tetap ‘hidup’. Narasi dunia tak terhitung jumlahnya, beranekaragam bentuknya, berjenis-jenis genre-nya, bermacam-macam kandungan isinya dan berbeda-beda makna dan pesannya. Bahkan, kehidupan manusia itu sendiri adalah sebuah narasi: sebuah ‘cerita kehidupan’. Meskipun demikian, diperlukan pula ‘narasi’ untuk menceritakan kembali cerita kehidupan itu.
Narasi (narrative) dapat bermakna wacana oral atau tertulis yang menjalankan tugas menceritakan peristiwa atau rangkaian peristiwa. Narasi juga berarti urut-urutan peristiwa (succession of events), nyata maupun fiktif. Analisis narasi dalam hal ini berarti kajian totalitas tindakan (actions) dan situasi yang dipahami dalam dirinya sendiri, tanpa pertimbangan terhadap medium, bahasa dan elemen lainnya, yang melaluinya pengetahuan tentang sesuatu disampaikan.  Pengertian yang lebih luas menunjuk pada wacana narasi (narrative discourse), yaitu segala bentuk relasi, cerita dan penceritaan yang menghasilkan teks narasi (narrative text).
Narasi dapat dibawakan melalui bahasa lisan, tulisan, gesture, body language, gambar, dan bahasa benda. Narasi hadir di dalam mitos, legenda, dongeng, hikayat, novel, epik, sejarah, tragedi, drama, komedi, badut, lukisan, jendela kaca patri, sinema, komik, berita dan percakapan. Narasi hadir di dalam setiap ruang-waktu: di dalam setiap abad, di setiap tempat, di dalam semua masyarakat. Narasi hidup bersamaan dengan dimulainya kehidupan umat manusia itu sendiri, sehingga tidak ada ruang, waktu, orang yang tak tersentuh narasi. Sehingga, narasi kata Barthes menjadi semacam “...kenikmatan yang seringkali dibagi oleh orang dengan latar belakang budaya yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan tidak mengindahkan pembagian antara sastra baik dan buruk, narasi bersifat internasional, lintas-sejarah, lintas-budaya (transcultural): ia ada begitu saja, seperti hidup itu sendiri.
Kaba adalah sebuah bentuk narasi dunia, yang melaluinya urutan-urutan peristiwa dirangkai dan diceritakan kembali. Kaba adalah sebuah hirarki kejadian-kejadian, sebuah rajutan horizontal ‘benang’ narasi ke atas sebuah poros vertikal cerita. Membaca (mendengarkan) sebuah narasi kaba tidak hanya sekadar berpindah dari satu kata ke kata berikutnya, tetapi juga berpindah dari satu tingkat pikiran ke tingkat pikiran berikutnya. Narasi kaba mempunyai fungsi utama pertukaran dalam bingkai komunikasi  yang di dalamnya ada relasi antara seorang pemberi (tukang kaba) dan penerima (pendengar). Di dalam rantai komunikasi, pemberi dan penerima membangun sebuah kesatuan. Tidak ada narasi kaba tanpa seorang narrator dan seorang pendengar (atau pembacanya).
Sebagai sebuah narasi, kaba menunjuk pada pengalaman ‘waktu’ (temporality). Narasi, menurut Ricoeur, karena menceritakan urutan-urutan peristiwa, menunjukkan karakter mewaktu pengalaman manusia. Dunia yang dibentangkan oleh setiap karya narasi selalu dunia yang mewaktu (temporal). Di dalam narasi waktu menjadi waktu manusia (human time) dalam pengertian bahwa ia diorganisir menurut gaya sebuah narasi. Narasi memiliki dimensi waktu. Ada waktu dari sesuatu yang diceritakan dan waktu narasi (waktu petanda dan waktu penanda). Sehingga, salah satu fungsi narasi adalah untuk menemukan satu skema waktu dalam kaitannya dengan skema waktu yang lainnya. ‘Waktu dunia (world time) di dalam narasi  menjadi waktu manusia (human time) di mana waktu diorganisir menurut gaya sebuah narasi.
Kaba adalah sebuah narasi yang mengandung cerita (story). Di sini, ‘narasi’ harus dibedakan dari ‘cerita’. Narasi menunjuk pada urut-urutan perisitiwa terstruktur di dalam waktu. Sementara, cerita adalah argumen, yang meliputi logika tindakan, sintak karakter, dan susunan abstrak peristiwa yang bermakna. Dalam kaitannya dengan narasi dan waktu, pikiran melakukan tiga fungsi, yaitu ekspektasi, yang merujuk pada pengharapan di masa depan, perhatian (attention) yang menangkap masa kini, dan memori, yang menembus ke masa lalu. Plot adalah penataan peristiwa-peristiwa ke dalam tindakan total yang membentuk cerita yang dinarasikan. Sebuah cerita, tidak sekadar penyebutan peristiwa-peristiwa di dalam tatanan berurutan (serial), tetapi harus menatanya  ke dalam sebuah keseluruhan yang yang dapat dipahami, sehingga terbaca ‘pemikiran’ dari cerita itu.
Kaba dibangun di dalam sebuah ruang narasi, yang mengkaitkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sehingga, kaba tidak hanya sebuah dimensi masa lalu, yang mengulang-ulang ucapan, pesan dan petuah-petuah yang berasal dari masa lalu, tetapi sebuah proyeksi ke masa depan, yang di dalamnya pesan dan petuah mendapatkan konteks dan dimensinya yang baru. Relasi antar waktu inilah yang memungkinkan seorang tukang kaba dapat menginterpretasikan kaba dalam konteks situasi masa kini (dan juga masa depan). Kaba, dengan demikian, membuka berbagai ruang ‘kemungkinan’ bagi eksistensinya di masa depan, dengan konteks dan situasi yang berbeda. Misalnya, perkembangan abad informasi dan digital membuka peluang bagi kaba untuk eksis dalam ruang yang baru. Kaba hidup di dalam “...keterhubungan hidup sebuah rentang waktu yang dibingkai oleh sisa waktu”.
Kaba adalah sebuah ‘jejak sejarah’, yaitu tanda-tanda  masa lalu yang ditinggalkan dalam berbagai media (oral, tulisan, benda), sebuah “jejak yang ditinggalkan di belakang”. Fenomena jejak kaba—puing, peninggalan, dan dokumen—di sini menemukan dirinya dialihkan tempatnya dari ruang sejarah masa lalu  ke ruang ‘lintas waktu’, yang di dalam waktu baru itu kaba menemukan ruang dan konteks baru. Di sinilah kita dapat berbicara tentang konteks waktu pendahulu (predecessor) dan pelanjut (successor) dari kaba. Waktu yang baru menyiratkan gagasan tentang kemajuan dan perubahan. Dengan demikian, ruang pengalaman kita melalui kaba bergerak dari masa lalu ke masa depan, dalam rangka menemukan pengalaman baru bercerita dan bernarasi.
Kaba, dengan demikian dibangun di dalam apa yang disebut Ricoeur ‘peleburan horizon’ (a fushion of horizon), yaitu semacam tegangan (tension) antara horizon masa lalu dan masa kini (dan masa depan).  Dalam hal ini, masalah relasi antara masa lalu dan masa kini disusun dalam pandangan yang baru. Masa lalu dibentangkan pada kita melalui proyeksi horizon historis yang terlepas dari horizon masa kini, diserap ke dalam dan melebur dengannya. Karena fleksibilitas waktu inilah memungkinkan bagi kaba untuk hidup tidak saja di dalam waktu yang baru, tetapi juga ruang baru, manusia baru dan teknologi baru. Melalui fleksibilitas macam itulah, kita dapat menemukan ruang kemungkinan bagi eksistensi kaba di dalam abad digital: sebuah ‘kaba digital’.
Kaba Generasi Lisan
Kata kaba secara sempit berarti ‘kabar’, atau dapat  juga berarti ‘berita’ (news), sebagaimana misalnya kita mendengar berita di koran, radio, televisi. Akan tetapi, sebagai konsep kultural ia menunjuk pada sebuah kategori sastra tradisional lisan Minangkabau. Sehingga, ia tidak sekadar mengandung nilai cerita, pesan, dan komunikasi tetapi juga pengalaman estetik. Kaba biasanya diceritakan oleh seorang tukang kaba atau sijobang di dalam sebuah event, dengan diiringi oleh salueng, rabab atau ‘alat musik’ lainnya. Kaba juga dapat diceritakan dalam format seni pertunjukkan tradisional, seperti randai, di mana cerita diiringi oleh musik, gendang dan gerakan tari silat.
Kaba berkaitan dengan ‘kaba curito’ (kabar cerita), yaitu kabar yang disampaikan dalam bentuk ‘cerita lisan’. Sehingga, kaba dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk ‘sastra lisan’ (oral literature). Apa yang diceritakan melalui kaba dapat berupa sesuatu yang fiktif, tetapi juga kejadian yang sebenarnya. Sehingga, kaba mengandung dua unsur sekaligus, yaitu cerita benar dan fiksi. Sebagaimana cerita fiksi pada umumnya, kaba pada tingkat tertentu dibangun melalui penafsiran atas satu realitas. Akan tetapi, kaba pada umumnya merupakan cerita dari kejadian-kejadian yang sebenarnya, meskipun pada bagian tertentu sering dibumbui dengan unsur-unsur fiktif. Melalui penceritaan kembali suatu peristiwa tragis yang betul-betul terjadi, kaba mengandung unsur pendidikan; khususnya pendidikan kehidupan bermasyarakat dan berbudaya.
Saluang, sebagaimana juga rabab, adalah sebuah pertunjukan musik, yang di dalamnya pantun dan kaba diceritakan dan dinyanyikan. Di dalam kesenian saluang ada dua bentuk pertunjukan yang disajikan secara serempak dalam satu pertunjukan, yaitu permainan alat musik saluang dan bentuk sastra lisan berupa pantun yang dinyanyikan oleh tukang dendang. Bentuk dendang itu terkadang berupa kaba yang didendangkan. Saluang dan dendang awalnya biasa dipertunjukkan di tempat berkumpulnya laki-laki seperti lapau atau surau. Rabab adalah bentuk sastra lisan musikal lainnya, yang menceritakan kaba-kaba seperti Gondoriah atau Malin Deman, dengan iringan musik rabab.
Karena menceritakan sesuatu yang bernilai komunikatif dan estetik secara lisan (oral speaking), kaba dapat dianggap sebagai bagian dari ‘seni bicara’ (speech art) atau di dalam bahasa Yunani disebut technē rhētorikē (disingkat menjadi rhētorikē atau retorika). Retorika pada dasarnya berarti pembicaraan publik atau seni pidato (oratory), yang di dalamnya digunakan seni tertentu untuk mempengaruhi pemahaman dan penerimaan publik. Retorika pada perkembangan selanjutnya menjadi paradigma semua wacana, termasuk tulisan. Dengan perkataan lain, perkembangan model-model komunikasi tulisan dan visual tidak dengan sendirinya melenyapkan komunmikasi lisan, bahkan memperkuatnya, termasuk dalam kaba.
Kaba pada awalnya merupakan bentuk ‘kelisanan murni’, yaitu ungkapan lisan yang sama sekali belum tersentuh oleh tulisan atau media komunikasi dan ekspresi lainnya. Wong menyebut kelisanan murni ini sebagai ‘kelisanan primer’ (primary orality). Melalui perkembangan teknologi komunikasi, kelisanan primer bertransformasi menjadi ‘kelisanan sekunder’ (secondary orality), yaitu ungkapan lisan yang dibantu oleh teknologi seperti telepon, radio, televisi dan komputer, yang dibangun oleh unsur tulisan, cetakan dan visual. Kelisanan primer dalam pengertian yang sebenarnya saat ini memang jarang ada, akan tetapi mind-set kelisanan primer itu sendiri tetap bertahan di dalam diri setiap orang, meskipun mereka hidup di dalam lingkungan teknologi tinggi sekalipun.
Kaba merupakan sebuah ‘karya kolektif’, bukan individu, yang dicirikan oleh sifat ‘anonim’, yaitu tanpa (nama) pengarang. Yang muncul ke permukaan hanya tukang kaba. Sebagai bagian dari kelisanan primer di dalam kaba tidak dikenal konsep ‘pengarang’ (author), serta hak intelektual kepengarangan (authorship). ‘Pengarang’, menurut Barthes adalah produk budaya ‘modern’ yang dilandasi oleh filsafat ‘individualisme’, yang memberikan label ‘jenius’ (genius) dan ‘hak individu’ atas ungkapan, serta nilai ‘prestise’ yang diberikan publik pada individu pengarang. Di dalam kaba, tidak ada ‘jenius’, kreativitas dan prestise individu itu, karena kaba merupakan produk dari ‘pikiran kolektif’ (collective mind) yang menghasilkan ‘jenius kolektif’. Meskipun dalam perkembangan budaya tulisan, kaba dituliskan menjadi ‘buku’, tetapi penulis hanya ‘mentransfer’ kaba lisan ke dalam tulisan, bukan ‘mengarangnya’. Sehingga, di dalam kaba tak ada sentuhan pribadi ‘pengarang’ atau tukang cerita. Mereka hanya mengikuti tradisi tanpa meninggalkan jejak-jejak pribadi mereka dalamnya.
Karena merupakan produk komunal, kaba kurang memiliki ‘keliaran’ fantasi. Kaba, pada umumnya hanya menceritakan peristiwa secara kronologis, tanpa unsur fantasi seperti pada novel modern. Novel umumnya merupakan ‘rekaan’ seorang pengarang, bukan replika atau cermin simetris realitas (mirror image). Ricoeur membedakan ‘fiksi’ dan ‘replika’ (replica). Replika adalah reproduksi, salinan dan citra cermin realitas. Fiksi, sebaliknya, bukan reproduksi, cermin, atau salinan realitas, tetapi ia merubah, ‘meningkatkan’ (increase), bahkan ‘memproduksi’ realitas (rekaan) yang sama sekali tak ada di dunia nyata: sebuah unreality. Kaba dianggap tak punya unsur fiktif meskipun ia mungkin menceritakan sesuatu ‘yang tak masuk akal’, yang kehadirannya lebih disebabkan oleh dorongan tradisi dalam kaba itu sendiri.
‘Interpretasi’ kaba justeru dilakukan oleh tukang kaba atau sijobang, bukan oleh penciptanya. Agar cerita dan pesan-pesan kaba dapat sampai pada pendengarnya, sijobang berupaya membawa cerita ke dunia yang dikenal oleh pendengar masa kini, melalui mekanisme ‘anakronisme’, di mana keadaan masa lampau dihadirkan kepada pendengar masa kini melalui penyesuaian cerita kaba dengan sistem pengetahuan mereka. Di dalam proses interpretasi ada semacam ‘sensitivitas konteks’ (context sensitive). Sebagaimana dikatakan Ricoeur:
Sebuah karakter esensial karya-karya sastra, atau karya seni pada umumnya, adalah bahwa ia melampaui kondisi-kondisi psiko-sosial produksi dan dengan demikian membuka dirinya terhadap rangkaian pembacaan yang tak terhingga, yang berada di dalam kondisi-kondisi sosio-kultural yang berbeda. Singkatnya, teks harus mampu, dari sudut pandang sosiologis serta psikologis, untuk ‘mendekontekstualisasi’ dirinya sedemikian rupa sehingga ia dapat ‘direkontekstualisasi’ di dalam sebuah situasi baru. 
Rekontekstualisasi pada kaba mempunyai dua fungsi bertentangan, dengan mencoba merelasikan antara ‘fakta’ (masa lalu) dan ‘pemahaman’ (masa kini). Di satu pihak ia bertugas membawa fakta masa lampau kepada realitas yang dialami pendengarnya. Akan tetapi, secara bersamaan ia juga membawa pendengarnya ke masa lampau mereka, sesuatu yang mungkin hanya masih tinggal dalam ingatan/kenangan. Tugas sijobang adalah merekonstekstualisasikan fakta masa lalu itu ke dalam cerita masa kini yang kontekstual.
Kaba memiliki sifat ‘interaktif’ (interactive) dan ‘situasional’, yang tidak hanya melibatkan ucapan (lisan) tetapi seluruh kapasitas bahasa tubuh (body language, gesture). Di dalamnya ada ‘pertukaran’ (exchange) antara tukang kaba dan para pendengarnya, yang melaluinya pesan atau nasehat-nasehat disampaikan. Sehingga, kaba merupakan media total pembangunan situasi eksistensial melalui bahasa. Kaba cenderung ‘merespons’ situasi di mana ia diceritakan, sehingga konsep-konsepnya cenderung konkrit, bukan konsep-konsep abstrak seperti novel.
Generasi Tekstual
Dengan berkembangnya budaya tulisan, kaba menjadi bagian dari budaya tulisan ini. Kaba kini dituliskan ke dalam format buku oleh para ‘pengarang’, yang sesungguhnya lebih berperan sebagai pengalih kaba dari teks lisan ke dalam teks tulisan (buku). Misalnya, kaba ‘karangan’ Dt. Panduko Alam, Rancah Dilabuah (1960), Sutan Pangaduan, Magek Manandin (2004), M. Rasyid Mangggis Dt. R. Penghulu, Malin Deman (2004). Adanya nama ‘pengarang’ menunjukkan melemahnya spirit komunalitas pada kaba, dengan munculnya klaim ‘kepengarangan’ individu (authorship), meskipun pada kenyataannya kaba itu tidak betul-betul merupakan jenius atau kreativitas pengarangnya.
Budaya cetak melahirkan pandangan romantik tentang ‘orisinalitas’ dan ‘kreativitas’ karya, yang memisahkan sebuah karya individual dengan karya individual lainnya, dengan melihat keunikan sebuah karya, yang terbebas dari pengaruh luar. Akan tetapi, di dalam teks-teks kaba, pandangan tentang ‘orisinalitas’ ini tampaknya tidak berlaku. Karena, teks-teks kaba itu pada kenyataannya tidak dihasilkan dari jenius pengarangnya, akan tetapi lebih merupakan transposisi cerita komunal oleh individu pengarang. Ia lebih tepat dikatakan sebagai sebuah bentuk ‘intertekstualitas’ (intertextuality), karena para ‘pengarang’ itu tak memproduksi sesuatu yang baru sama sekali, akan tetapi secara total berada di bawah pengaruh teks-teks ‘lisan’ dari budaya lisan sebelumnya.
‘Tekstualisasi kaba’—yaitu proses mengalihkan ‘kaba lisan’ menjadi ‘kaba tulisan’—berperan menciptakan ‘penjarakan’ (distanciation) antara kaba dan masyarakat. Kaba yang sebelumnya menjadi bagian relasi situasional dan kontekstual antara tukang kaba dan para pendengarnya, kini menjadi ‘teks otonom’. Teks kaba itu kini tercabut dari konteks manusia, yaitu apa yang sebelumnya ada di dalam pikiran—yang diingat, direpetisi, dan diucap ulang—dan kini berada di luar pikiran, yaitu di dalam sebuah ‘teks’. Kaba tekstual mengalihkan ingatan dan kekuatan memori. Orang tidak lagi mengingat atau menghapal kaba, tetapi membacanya, sehingga cenderung menciptakan pelupaan (forgetfulness), karena ia kini sangat menggantungkan diri pada sumber eksternal, yang dulu justeru merupakan bagian dari sumber-sumber internal: memori.
Teks kaba pada dasarnya menghilangkan dimensi sosial dan sifat intersubjektif sebagai kekuatan budaya lisan, yaitu pada sifatnya yang tak-interaktif dan ‘tak responsive’ (unresponsive). Di dalam pertunjukan kaba lisan, terdapat relasi tatap muka (face-to-face) antara tukang kaba dan para pendengar, yang memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah. Tidak ada komunikasi dua arah dan dialog di dalam sebuah teks kaba. Kaba tekstual tidak dapat mempertahankan dirinya sebagaimana dunia ucapan. Tulisan itu pasif, di dalam sebuah dunia tak-nyata (unreal) dan tak-alamiah (unnatural). Berbeda dengan ucapan lisan yang alamiah, yaitu menjadi bagian dari sistem biologis, psikis, kesadaran bahkan ketaksadaran manusia (unconscious), tulisan sepenuhnya artifisial, karena merupakan produk eksternal dari sistem biologis itu.
Tulisan menempatkan kaba di sebuah tempat yang pasti, tetap, dan tak berubah, yaitu di dalam sebuah ‘teks’. Tulisan dan cetakan menciptakan semacam penutupan (closure), dalam pengertian bahwa apa yang ditemukan di dalam sebuah teks telah dituntaskan, telah mencapai sebuah keadaan selesai (completion). Melalui tulisan atau teks kaba dipancangkan di dalam sebuah ruang tetap. Kehadiran tulisan merubah secara fundamental cara kerja seni, sastera dan filsafat. Tulisan dan teks mendorong cara kerja ilmiah, yang menuntut untuk mencatat, mendata, mengkategorikan, mengklasifikasikan, membuat daftar, menyimpan dan mendokumentasikan. Semuanya ini hanya dapat dilakukan melalui tulisan, skema, table atau bagan.
Meskipun demikian, keberadaan budaya tulisan dari awalnya tidak mereduksi atau mematikan kelisanan tetapi malah meningkatkannya, sehingga memungkinkan untuk mentransformasikan ‘prinsip retorika’ (lisan) ke dalam bentuk tulisan. Hanya melalui mekanisme tulisan (buku, jurnal, makalah, artikel) budaya ilmiah, yaitu cara pikir sistematis, rasional dan terstruktur dalam rangka menghasilkan pengetahuan ilmiah tertentu dapat dihasilkan. Hanya melalui tulisan pula pengetahuan ilmiah itu dapat diabadikan, didokumentasikan dan disebarluaskan. Budaya tulisan menjadi prasyarat dari budaya riset ilmiah. Misalnya, hanya melalui dokumentasi tertulis, kaba dapat diteliti secara ilmiah.
Pengalihan kaba ke dalam format tulisan dan cetakan, telah merubah konteks dan situasi kaba, yang kini tercabut dari sifat komunalitas, intersubjetivitas dan interaksi langsung. Referensi kaba tidak dilihat dari relasinya dengan realitas yang direpresentasikannya, tetapi oleh konteks verbal dan situasi lingkungan di mana ia dipertunjukkan. Hal ini, karena kaba lisan bersifat situasional (situational), kontekstual dan temporer: kandungan cerita, tokoh, figur dan karakter merespons situasi kekinian di mana kaba itu dihadirkan. Sifat-sifat inilah yang tidak ada pada tulisan kaba. Pengalihan kaba dari konteks ‘lisan’ ke konteks ‘tulisan’ menghilangkan “...atmosfir semantika karya yang di dalamnya ia berpartisipasi dan dengannya ia diasosiasikan di dalam kesadaran bahasa (linguistic consciousness) komunitas”.
Kaba Visual dalam Narasi Virtual
Perkembangan abad informasi-digital telah menciptakan sebuah ruang baru bagi transformasi kaba sebagai sebuah wacana. Abad informasi telah menciptakan apa yang disebut sebagai ‘budaya visual’ (visual culture), yaitu sebuah budaya yang didominasi oleh keberadaan unsur-unsur rupa (visual)—terutama bentuk-bentuk visual yang dokonstruksi melalui teknologi elektronika dan digital. Abad informasi telah membuka kemungkinan baru bagi eksistensi dan keberlanjutan kaba. Perkembangan budaya visual-elektronik telah memberikan sebuah tantangan besar bagi keberadaan kaba sebagaisebuah budaya lisan tradisional, untuk mengambil peran baru di dalam ruang-ruang virtual budaya visual.
‘Budaya visual’ adalah artefak kebendaan, bangunan dan citra, media dan pertunjukan, yang diproduksi oleh imajinasi dan tenaga manusia, untuk tujuan estetik, simbolik, ritualistik atau politik-ideologis, dan/atau fungsi praktis, dan yang melibatkan proses penglihatan. Budaya visual melibatkan informasi, makna dan kesenangan (pleasure), yang diperoleh lewat interface dengan teknologi visual, yaitu perangkat yang didesain untuk dilihat atau untuk memperluas penglihatan alamiah (vision), dari lukisan sampai televisi dan internet. Budaya visual merupakan produk perkembangan mutakhir teknologi informasi-digital, yang menghasilkan citra-citra digital, yang memungkinkan orang mensimulasi realitas, misalnya melalui iklan, filem, televisi, video, game, internet, dan facebook.
Melalui budaya visual kini dimungkinkan menciptakan ‘kaba visual’ (visual utterance), yang berbeda dengan ‘kaba lisan’dan ‘teks tulisan’. Dalam konteks linguistik, teks didefinisikan sebagai setiap wacana yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Sementara, wacana itu sendiri dapat diartikan secara khusus sebagai realisasi penggunaan bahasa, yang memproduksi ‘teks’. Teks, dalam pengertiannya yang sempit, adalah wujud tulisan. Akan tetapi, dalam pengertiannya yang lebih luas, teks didefinisikan sebagai “kombinasi tanda-tanda.” Sehingga, citra televisi, patung, arsitektur dapat dilihat sebagai ‘teks’. Dan, kaba yang disampaikan melalui visual dapat kita sebut ‘kaba visual’ atau ‘kaba rupa’.
Kini para seniman (lukis, patung, grafis) yang tergabung dalam Komunitas Seni Sakato tengah melakukan upaya kolektif bagi ‘rekontekstualisasi’, ‘reinterpretasi’ dan ‘reposisi’(reposition) kaba sebagai sebuah wacana dan komunikasi eksistensial di dalam ruang-ruang virtual dan budaya visual. Mereka kini berperan sebagai ‘pelanjut’ kaba, yaitu secara kolektif membentangkan ‘ruang kemungkinan’ bagi eksistensi kaba masa depan. Rekontekstualisasi berarti bahwa kaba kini tidak lagi diceritakan melalui wacana lisan di dalam sebuah komunitas, tetapi melalui ruang pameran. Reinterpretasi berarti bahwa para seniman ini menafsir ulang kaba, baik dalam bentuk, ekspresi, media maupun kode-kodenya, untuk memproduksi makna baru. Reposisi berarti bahwa fungsi kaba tidak lagi terbatas pada wahana penyampaian pesan atau nasehat adat atau agama pada komunitas adat, tetapi pesan-pesan lebih luas (pesan sosial, politik, ekonomi, moral, humanitas) untuk para pendengar yang lebih luas pula.
Para seniman ini kini menjadi ‘tukang kaba rupa’ atau ‘sijobang rupa’, meskipun istilah ‘sijobang’ ini terlalu ‘dangkal’ untuk menjelaskan alam seniman, yang sesungguhnya tidak hanya ‘penyampai kabar’, tetapi juga ‘pencipta’, ‘perenung’, bahkan ‘pemikir’. Seniman ingin ‘bakaba’, menyiratkan bahwa mereka ingin ‘berkomunikasi’, ingin menyampaikan ‘pesan’ (message), ingin memberikan ‘informasi’ atau ‘perkabaran’. Ini berbeda dengan seni ‘abstrak’, yang tidak diciptakan secara eksplisit untuk pesan dan komunikasi, tidak untuk dipahami, untuk ditemukan pesannya. Di sini, para seniman ingin ‘dipahami’, ingin ‘didengar’, bahkan ingin ‘dituruti’ dalam hal retorika. Berbeda dengan kaba lisan yang terikat pada kanon-kanon sosial dan adat, para seniman di dalam pameran ini mulai memasukkan unsur ‘keliaran fantasi’ di dalam kaba, yaitu pengembaran fantasional ke dalam dunia ‘ide’, ‘gagasan’, ‘perasaan’ dan ‘gambaran’ yang tidak terbayangkan sebelumnya.
‘Kaba rupa’ yang digelar oleh para seniman Komunitas Seni Sakato tentunya tidak lagi anonim atau ‘milik komunal. Kaba itu milik individu sekaligus kolektif. Setiap seniman mengkabarkan sebuah ‘peristiwa’ atau ‘fenomena’ dengan mengolahnya melalui imajinasi, argumen, pemikiran, interpretasi dank kode-kode yang bersifat personal. Akan tetapi, suara personal ini secara bersama-sama membentuk ‘suara kolektif’ (collective enunciation), berupa pesan-pesan komunal,  yang disuarakan melalui bahasa-bahasa personal yang plural. Semangat komunalitas (yang dicirikan oleh ‘kesamaan’ atau ‘homogenitas’) kini ditransformasikan ke dalam semangat ‘kebersamaan’. Kebersamaan itu justeru ditampakkan melalui ‘perbedaan’ (difference) dan heterogenitas (heterogeneity). Ini merupakan refleksi dari sifat dinamis masyarakat Minangkabau, yang menunjukkan spirit awak-samo-awak, justru melalui multiplisitas ekspresi dan perbedaan.
Di sini, yang membangun arsitektur kebersamaan, kesatuan dan persaudaraan sebagai urang awak adalah semangat yang satu, yaitu semangat ingin bakaba, berkomunikasi, berwacana dan mengirim pesan. Inilah makna sosial dari konsep awak-sama-awak: hasrat ingin ‘berbagi’ (sharing): berbagai rasa, pandangan, pendapat, keyakinan. Akan tetapi, bagaimana kaba itu disampaikan, komunikasi itu dibangun, wacana itu digelar dan pesan itu disampaikan—semuanya ditunjukkan oleh azas keanekaragaman (diversity), pluralitas dan demokrasi, sebagai salah satu azas pokok masyarakat Minangkabau itu sendiri. Perbedaan itu muncul karena perbedaan pintu masuk, pendekatan, gaya, konteks, nilai dan ‘ideologi’ yang diusung oleh masing-masing seniman dalam merespons kaba, yang menghasilkan perbedaan ekspresi, gaya, idiom, kode, susunan, material dan makna.
Pameran Komunitas Seni Sakato ini memperlihatkan dengan jelas karakter keterbukaan, keanekaragaman dan multiplisitas dalam memaknai kaba dan bakaba, baik sebagai bentuk komunikasi, penyampaian pesan, cara narasi, strategi tekstual maupun ekspresi estetik. Di dalam pameran ini ditampilkan ‘multiplisitas kaba’, yaitu beranekaragam definisi, pandangan, persepsi, cara, media, bahasa, simbol, tanda, makna, ideologi, keyakinan dan strategi visual dalam bakaba. Pesan-pesan kaba disampaikan baik secara eksplisit maupun implisit, secara konkret maupun abstrak, secara naratif maupun anti-naratif, secara beraturan maupun chaotic. Bahkan, ‘bahasa kaba’—atau tepatnya ‘bahasa visual’ kaba (visual language)—kini juga tampil dalam keanekaragamannya. Segala ‘potensi bahasa’ digunakan dalam menyampaikan pesan-pesan tertentu: bahasa ikonik (iconic language), bahasa simbolik (symbolic language), bahasa parodi (parody), sampai bahasa metaforis (metaphor). Bahkan, ‘abstraksi’ kini dipandang sebagai bagian cara ‘bakaba’, yaitu cara berkomunikasi dan menyampaikan pesan secara ‘abstrak’, yang maknanya hanya bisa ditangkap melalui penalaran dan penafsiran intens.
Di samping multiplisitas bahasa rupa dan idiom yang digunakan, terdapat pula perbedaan kode yang digunakan, baik ‘kode bahasa’, ‘kode narasi’ dan ‘kode estetik’ (aesthetic code). Ada seniman yang berupaya secara konsisten menggunakan kode yang sudah ‘mengendap’ secara kolektif di dalam kesadaran dan nalar komunitas (komposisi, alur cerita, bentuk, simbol), sehingga memungkinkan penyampaian pesan-pesan (sosial, adat, agama) menjadi lebih efektif dan komunikatif. Di sini, seniman lebih mengutamakan efektivitas komunikasi, dengan menggunakan bentuk, ikon atau simbol-simbol (adat, sosial, kultural, agama) yang telah ‘akrab’, sebagai cara membangun komunikasi yang efektif. Akan tetapi, ada beberapa seniman yang mencoba keluar dari kode sosial ini, dengan menciptakan ‘kode personal’ (personal code), yang menjadikan pesan-pesan yang ingin disampaikan tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti, sehingga memerlukan proses nalar dan pemaknaan yang lebih panjang, agar pesan-pesan dapat sampai pada pengamat.
‘Kaba’ di dalam pameran ini tidak dimaknai secara semantik dengan makna tunggal, tetapi multiplisitas makna. Ada yang memaknai kaba sebagai cara dan strategi ‘cerita’, di mana sebuah karya benar-benar menyampaikan‘cerita’ (story) tentang aneka peristiwa, objek, subjek, prinsip, tatanan, lembaga, atau kondisi-kondisi realitas yang bersifat eksternal, untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Di sini, fungsi ‘konatif’ kaba diarahkan pada representasi sesuatu yang bersifat eksternal, yaitu sesuatu berada di luar diri subjek yang bercerita (enunciator). Tetapi, ada juga yang melihat ‘kaba’ sebagai cara ‘memberi kabar’, bukan untuk realitas-realitas eksternal, tetapi ‘realitas-realitas’ internal di dalam diri subjek: perasaan, suasana hati, pandangan, opini, hasrat, kehendak, keyakinan. Sehingga, fungsi ‘konatif’ ditujukan ke arah internal, yaitu representasi ruang-ruang di dalam ‘diri’ (self) atau subjek yang kini ‘dihadirkan’ atau ‘dikabarkan’ ke dunia luar, sebagai cara dalam ‘berbagi’ dalam menangkap pesan dan  memaknai hidup.
Ada pula perbedaan dalam ‘cara bakaba’ yang digunakan. Ada ‘cerita kaba’ yang disampaikan dengan menggunakan pola ‘naratif’, yaitu secara eksplisit menampilkan sekuensi, urut-urutan peristiwa, durasi, plot, tokoh, pesan, dialog visual secara diakronik—semacam narasi visual (visual narrative). Di sini, ada upaya menghadirkan ‘waktu’ (melalui urutan, sekuen) dalam gambar atau objek. Ada juga yang menampilkan ‘kaba’ dengan pola narasi yang implisit, yaitu melalui penyampaian cerita secara sinkronik atau rekonstruktif, tanpa ada sekuensi dan ‘waktu’ yang eksplisit, tetapi sekuensi ‘abstrak’, yang hanya dapat ditangkap melalui logika dan imajinasi pembaca. Dalam hal ini, ada keragaman dalam menyikapi narasi itu sendiri: ada yang menggunakan pola diakronik, yaitu menceritakan sebuah peristiwa berdasarkan urut-urutan waktu yang linear atau sekuensial; ada yang menggunakan pola sinkronik, di mana waktu tidak tampil di dalam gambar, yang tampil hanya objek-objek yang hadir secara simultan di dalam ruang, dan cerita di sini menjadi tidak eksplisit; tetapi ada juga yang menggunakan pola ‘anakronik’ (anachronic), di mana waktu dihadirkan, tetapi tidak berdasarkan urut-urutan linear, tetapi acak.
Selain itu, ada pula multiplisitas dalam apa yang ‘dikabarkan’, melalui ‘isi’ (content) kaba itu sendiri. Ada yang menampilkan cerita tentang pengalaman personal (ketakutan, hasrat, semangat, perjalanan, suasana batin); cerita tentang kondisi sosial dan budaya (urban lifestyle, kriminalitas, konsumerisme, budaya populer); cerita tentang dunia benda atau artefak (kloset, cangkir, panah, patung, kipas angin, lampu pijar);  cerita tentang alam (malam, kaki bukit, tempat, kode alam); cerita tentang adat (tambo, pepatah, legenda, mitos); cerita tentang aspek-aspek spiritualitas dan keagamaan (wahyu, ajaran, kitab); cerita tentang kondisi lingkungan atau ekologis, (polusi, kerusakan hutan, kegersangan); cerita tentang budaya massa (televisi, kontes kecantikan); cerita tentang jagad raya dan kosmologi (kompleksitas, chaos, ketakberaturan).  Karena beragamnya apa yang dikabarkan atau diceritakan, terdapat pula keragaman pesan-pesan yang ingin disampaikan di dalam pameran ini: ada pesan personal, pesan adat, pesan kaum, pesan sosial, pesan budaya, pesan keagamaan dan pesan kemanusiaan universal.
Para seniman dalam pameran Komunitas Seni Sakato memiliki intensitas pengalaman yang berbeda-beda terhadap kaba. Ada seniman yang masih merasakan pengalaman langsung hidup di dalam alam budaya lisan; ada yang hidup di dalam budaya tulisan; ada yang hidup di dalam budaya virtual-digital, dan tidak pernah mengalami kaba sebagai sebuah bentuk kelisanan. Perbedaan pengalaman ini, menimbulkan perbedaan kesadaran dan persepsi tentang kaba, bakaba dan komunikasi itu sendiri. Akan tetapi, ada pula yang masuk agak jauh ke dalam ruang virtual-elektorinik abad informasi (internet, handphone, facebook) yang telah membawa kesadaran ke arah era baru ‘kelisanan sekunder’ (secondary orality) , yang melaluinya ia merangkai ‘kaba digital’. Kelisanan baru ini mempunyai kesamaan dengan yang lama  dalam hal mistik komunitasnya, meskipun lebih bersifat virtual—virtual community.
Kedatangan budaya visual dan abad virtual merupakan satu tantangan bagi perubahan dalam memaknai kaba sebagai sebuah ekspresi budaya lisan Minangkabau. Perubahan pada bentuk kaba ini menjadi isu sensitif karena kaba mengandung banyak sekali pesan dan ajaran-ajaran adat di dalamnya. Akan tetapi, beruntunglah ajaran adat Minangkabau itu sendiri bersifat ‘terbuka’, dalam pengertian membuka ruang bagi perubahan, selama ia tidak merubah ajaran pokoknya.
Adat dipakai baru,
kain dipakai usang,
dapuak-lapuak dikajangi,
urang-urang dibarui.
Prinsip adat Minangkabau itu tidak berubah dalam ajaran pokoknya, namun akan membuka peluang bagi perbedaan dan variasi dalam penerapannya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.  Semangat keterbukaan inilah yang dipertunjukkan oleh para seniman Komunitas Seni Sakato di dalam karya-karya kaba rupa mereka.
Kaba hidup di dalam ruang-waktu, yang menciptakan semacam ‘ruang pengalaman’ (a space of experience), pengalaman yang ditransmisikan oleh generasi sebelumnya, menjadi pengalaman masa kini, dan kemudian membuka kemungkinan pengalaman di masa depan. Kaba membentangkan sebuah ruang ‘retrospektif’ (retrospective), yaitu ruang tembus pandang menembus pengalaman masa lalu; tetapi juga ruang ‘prospektif’ (prospective), berupa kemungkinan pengalaman di masa depan yang tak terhitung banyaknya. Seniman bergerak bolak-balik (to-and-fro) di antara dua dimensi ruang ini, untuk merangkai ‘horizon pengharapan’ (horizon of expectation), yaitu manifestasi pribadi atau komunitas yang ditujukan bagi masa depan: harapan, keinginan, pilihan, keingintahuan (curiosity). Kaba menanti ‘rumah masa depan’, dan ‘rumah-masa-depan kaba’ inilah yang tengah dibangun oleh Komunitas Seni Sakato.
Interaksi sosial di lapau, surau atau dangau yang dibangun melalui kaba lisan, kini digantikan oleh karakter ‘ketertanaman’ (embededness) di dalam media telekultur (teleculture), dengan praktik komunikasi, wacana dan penyampaian pesan yang bersifat virtual, dan yang berlangsung  sekejap (ephemeral). Di dalam dunia artifisial itu isu tentang memori, kesadaran dan persepsi tercabut dari pengalaman langsung, untuk dirubah menjadi pengalaman berjarak. Memori elektronik memberikan kita jarak kritis (critical distance) dari dunia obyektif, yang tidak lagi dialami langsung. Di dalam dunia virtual ini, orang mungkin tak perlu lagi mengingat, menghapal dan melekatkan cerita-cerita kaba ke dalam pikiran dan memorinya, karena teknologi elektronik-digital mampu mengambilalih fungsi ingatan dan memori manusia. Kaba tercabut dari memori manusia, tetapi kini tertanam di dalam memori komputer.
Di dalam alam kekayaan media, informasi, pesan, pengetahuan, konteks dan teknologi abad informasi itulah, para seniman Komunitas Seni Sakato membawa kaba—yang awalnya merupakan dimensi lisan—ke dalam sebuah ‘ruang multidimensi’ (multidimension). Sumber: (www. indonesiaartnews.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...