OLEH Anas Nafis
Pengantar
Masa ini terutama di perkotaan adat beranak
pisang induak bako1
ini boleh dikatakan sudah menghilang. Penyebabnya antara lain ialah tanah
tempat menanam bawaan induak bako seperti anak pohon pisang, bibit
kelapa atau pun untuk memelihara ayam-itik maupun sapi dan kambing, boleh
dikatakan sudah tidak ada lagi. Jamah telah beralih, musim telah berkisar, kata
peribahasa.
Namun demikian inti dari adat baranak pisang
barinduak bako ini cukup menarik, karena di Minangkabau dahulu setiap
kelahiran bayi senantiasa diikuti oleh penambahan bahan makanan yang
ujung-ujungnya tabungan bagi sang sang anak.
Kata Mufakat
Orang Mekah
membawa teraju,
Orang
Bagdad membawa telur,
Telur dimakan bulan puasa,
Rumah gadang bersendi batu,
Adat bersendi alur,
Alur itu yang akan ganti raja.
Apakah baju
orang Kinari,
Baju sudah dari balai,
Apakah yang raja dalam
nagari,
Alur dan patut yang akan
dipakai.
Baju telah sudah dari
balai,
Bersama kita
menyarungkan,
Alur dan patut yang akan dipakai,
Bersama kita melangsungkan.
Menilik hadis Melayu di atas, jelas bahwa alur dan
patut itu yang wajib kita pakai yang menjadi sendi adat Minangkabau sejak jaman
dahulu sampai sekarang.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa oleh
Penghulu, Basa Batuah serta orang tua-tua cerdik pandai jaman dahulu, dibuatlah
“kata mufakat” bersendikan kepada alur dan patut, agar bertambah-tambah juga
kebaikan, keuntungan dan kemujuran anak nagari.
Lama kelamaan “kata mufakat” tersebut menjadi
“adat” pula di dalam nagari, sehingga menjadi suatu kekuatan besar untuk
memajukan nagari, seperti kemajuan bercocok-tanam, perternakan, perikanan,
sulam menyulam dan lain-lain sebagainya.
Sebagai contoh, ialah adat kebiasaan yang sampai
sekarang masih dilazimkan orang dalam banyak nagari di Minangkabau ini, seperti
:
Memajukan Tanaman Kelapa
Apabila seorang perempuan melahirkan anak, menurut
adat dalam sebuah nagari, wajib induak bako datang ke rumah anak yang
baru lahir tersebut dengan membawa dua atau tiga butir bibit kelapa. Tampang
atau bibit kelapa itu ditanam, nantinya akan menjadi peringatan hari lahir atau
hari turun mandi anak tersebut.
Pohon kelapa itu adalah milik si anak dan
dipelihara baik-baik. Lama kelamaan pohon itu berbuah. Buahnya dikumpulkan lalu
dijual. Uangnya disimpan sebagai tabungan si anak. Bila uang itu sudah dianggap
cukup, lalu dibelikan kambing atau ayam yang juga milik si anak.
Dengan jalan demikian, ketika si anak sudah berumur
10 atau 12 tahun, ia sudah mempunyai pohon kelapa, mempunyai ayam atau kambing
yang dapat dijadikan modal atau sudah mempunyai tabungan.
Bilamana sudah dewasa atau berusia lanjut, ketika
ditanya orang berapa umurnya, ditunjuknya pohon kelapa pemberian induak bako
yang ditanam ketika ia masih bayi dulu. Dengan demikian, kian bertambah
teguhlah pertalian atau ikatan antara si anak dengan induak bakonya.
Memajukan Tanaman Pisang
Misalnya bila mendirikan rumah
baru (batagak rumah). Di tonggak tua rumah diikatkan anak pohon pisang
dan bibit (tampang) kelapa. Kemudian bibit-bibit itu ditaman di pekarangan atau
di rusuk rumah yang baru didirikan tersebut.
Yang dikatakan anak pisang
ialah keturunan dari laki-laki atau suami, jika dipandang dari pihak laki-laki
tersebut. Kata orang, asal muasalnya ialah seperti cerita yang disampaikan
berikut.
Kebanyakan ibu yang tidak bersekolah suka lekas
saja memberi makan anaknya dengan makanan yang keras-keras.
Adalah kebiasaan bagi ibu-ibu di negeri kita dulu,
setelah bercerai susu, memberi makan
anaknya dengan nasi keras, seperti yang biasa dimakan oleh ibunya. Akibatnya
perut si anak menjadi sakit.
Untuk mencegah hal tersebut, maka dibuatlah adat
oleh orang-orang yang berakal, yakni apabila lahir seorang anak, maka datanglah
induak bakonya membawa sebatang anak pisang dan ditanam di halaman atau
di rusuk rumah anak yang baru lahir itu.
Apabila pohon pisang itu sudah besar dan sampai
berbuah, buah pisang telah matang pula dalam peraman, itulah tandanya bahwa si
anak sudah sampai umurnya untuk bercerai susu.
Buah pisang yang matang itu dipanggang bersama
kulitnya, isinya dilumatkan dengan nasi lunak. Itulah yang menjadi makanan
pertama si anak yang telah bercerai susu tersebut, yakni makan dengan pisang
pemberian induak bako yang ditanam ketika anak itu lahir. Itulah
sebabnya anak itu disebut oleh induak bakonya “anak pisang”.
Sekarang adat seperti itu boleh dikatakan sudah
menghilang, jaman beralih musim berkisar. Ibu-ibu sekarang sudah berbeda dengan
ibu-ibu jaman dahulu. Ia sudah tahu bila si anak boleh meminum air nasi atau
memakan nasi yang dipipih (dilumatkan) dan sudah tahu pula bila si anak boleh
makan nasi biasa yang tidak keras.
Lagi pula di jaman ini lahan untuk mengembangkan
bawaan sang induak bako boleh
dikatakan sudah tidak ada lagi, kecuali di pedesaan.
Memajukan Ternak Ayam
Selain disebutkan di atas, diberbagai nagari lain,
selain bibit kelapa dan pisang, diberikan pula seekor dua ayam gadis oleh induak
bakonya sebagai bawaan melihat anak pissangnya yang baru lahir.
Ayam itu dipelihara baik-baik, hasilnya dipernaik
untuk si anak, sehingga ayam itu berkembang biak.
Di kota Padang ayam bawaan itu dinamakan ayam
pia-piali si upiak atau ayam pia-piali si buyuang.
Memajukan Ternak Lain
Di setengah nagari, tatkala anak pisang
dibawa berkunjung buat pertama kalinya ke rumah induak bakonya, ia
dilepas pulang dengan pemberian seperti ayam, kambing, sapi, kerbau dan bahkan
kuda, bergantung kepada kaya atau tidaknya sang induak bako.
Sayangnya, masa itu sudah dibiasakan orang pula
menjual pemberian induak bako tersebut. Jadi tidak mereka ternakkan atau
dikembang-biakan seperti dahulu lagi.
Memajukan Pemeliharaan Ikan
Di beberapa nagari lain dibuat orang “kata mufakat”
mengadakan lubuk larangan, yakni sebuah lubuk sebuah sungai yang
dilarang memancing atau menangkap ikan.
Sekali setahun barulah ikan dalam lubuk itu dipanen
dan dibagi-bagikan merata pada penduduk nagari itu. Bahkan ada pula hasilnya
diniatkan untuk pembangunan rumah ibadah dan sekolah di nagari itu.
Jika
diperhatikan di wilayah Minangkabau ini, pasti akan ditemukan lagi
hal-hal lain dalam memajukan pertanian, perternakan dan perikanan, selain dari
yang disebutkan di atas.
Singkat kata di jaman dahulu, setiap hari yang
menggembirakan keluarga di Minangkabau
seperti kelahiran, waktu turun mandi anak, bertegak rumah dsb, senantiasa
dikaitkan dengan usaha memajukan pertanian, perternakan dan juga perikanan.
Mereka sangat memperhatikan hari-hari yang istimewa tersebut dan sekalian
dimanfaatkan untuk memajukan perternakan, pertanian atau pun lain-lainnya.
Sungguh suatu pemikiran menakjubkan oleh orang
tua-tua kita dahulu dalam membakukan kebiasaan yang sangat berfaedah bagi anak
kemenakan mereka di kemudian hari.
Tampak jelas, dengan jalan seperti itu unsur
pertanian, perternakan mau pun perikanan yang selama ini telah menjadi bagian
penting dalam penghidupan kita, mendapat tempat yang lebih mulia lagi, karena
dikaitkan dengan hari-hari yang istimewa tersebut.
Tanaman,
ternak dan sebagainya wajib kita muliakan, kita sayangi, kita pupuk, dipelihara
baik-baik, agar kita mendapatkan hasil yang bagus dari sebelumnya. Makin sayang
dan jerih payah kita terlimpah kepadanya, makin banyak pula hasil yang
diberikannya kepada kita.
Sebaliknya si tani akan terbit marahnya bila
melihat anaknya makan beremah atau makan berserak-serak dan dikatakan anaknya
itu terkebur atau mubazir pada nasi.
Keterangan:
Tulisan di atas adalah saduran tulisan seorang Demang
terkenal masa dahulu yaitu Darwis gelar Datuk Majolelo dalam “Soerat Chabar Peroesahaan Tanah” No. 3 Th. 12 – November 1938.
Induak Bako Badagiang Taba
Sebenarnya hubungan antara keluarga pihak suami
dengan pihak istri cukup akrab. Ini digambarkan oleh beberapa peribahas seperti
:
v
Induak bako badagiang taba, anak pisang bapisau
tajam. (Induak bako berdaging tebal, anak pisang berpisau tajam). Sang anak
pisang tinggal menyayat daging tebal induak bakonya. Maksudnya,
menurut adat, anak pisang harus diperlakukan baik oleh pihak induak bakonya.
v
Indak nan salamak lalok di rumah induak bako (tidak yang
seenak tidur di rumah induak bako). Maksudnya diperlakukan manja.
Perkawinan yang ideal di Minangkabau ialah
perkawinan antara keluarga dekat, misalnya perkawinan antara anak dan kemenakan
yang lazim disebut pulang ke mamak atau pulang ke bako.
Pulang ke mamak, berarti mengawini anak mamak,
sedangkan pulang ke bako berarti mengawini anak saudara bapak atau kemenakan
bapak. Ungkapan “anak dipangku, kemenakan dibimbing’’ dapat dikatakan
perwujudan pulang ke mamak maupun pulang ke bako tersebut.
Perkawinan ideal lainnya, misalnya seperti yang disebut ambiak maambiak (ambil mengambil). Misalnya kakak beradik kandung pihak I nikah silang dengan kakak beradik kandung pihak II.
Perkawinan selanjutnya ialah perkawinan sekorong,
sekampung, senagari, seluhak atau sesama orang Minangkabau.
Perkawinan dengan orang luar Minangkabau kurang
disukai, walau dalam adat dan agama tidak dilarang.
Di
sebelah ke Pariaman dulu, pada hari mamanggia, Induak Bako yaitu
sekalian famili pihak ayah sang penganten perempuan datang bersama-sama berarak-arak
dengan membawa berbagai macam hadiah (kado) seperti cawan pinggan, gelas minum,
tembala atau tempat cuci tangan, kain baju, slof (sandal) dan sebagainya untuk anak
pisangnya (sang penganten. Inilah yang dinamakan Bainduak Bako.
(Riwajat Kota Pariaman – Bgd. S. Zakaria 1932)
A.A. Navis dalam bukunya “Alam Terkembang Jadi
Guru” – 1984, mengatakan,
Perkawinan
ideal bagi masyarakat Minangkabau ialah perkawinan awak sama awak”.
Pola perkawinan “awak sama awak” berlatar belakang
system komunal dan kolektivisme yamg dianutnya. Sistem yang dianut mereka itu
barulah akan utuh apabila tidak dicampuri orang luar.
Tambah
dekat hubungan antara mereka, bertambah kukuh hubungan perkawinan tersebut.
Perkawinan dengan orang luar, terutama mengawini
perempuan luar Minangkabau dipandang sebagai perkawinan yang akan merusakkan
struktur adat Minangkabau. Sebab anak yang lahir dari perkawinan mereka tidak
bersuku bangsa Minangkabau. Selain itu kehidupan sang istri menjadi beban
suaminya, sedangkan setiap lelaki Minangkabau mempunyai kewajiban tertentu
untuk para kemanakan dan kaumnya termasuk kewajiban terhadap nagarinya. Karena
kehadiran seorang istri yang berasal dari luar Minangkabau akan dipandang
sebagai beban dari kaum yang bersangkutan. Bahkan bisa pula sang lelaki akan
menjadi “anak hilang” bagi kaum kerabatnya, karena kedekatan dengan istri dan
familinya.
Padang, 18 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar