OLEH Adriyetti Amir
Staf Pengajar FIB Unand
I
Yang menjadi topik pembicaraan
ini adalah ajaran atau pesan moral dalam
sastra tradisional Minangkabau. Pembicaran tentang ajaran moral dalam sastra
Minangkabau belum banyak dibicarakan. Padahal kaba bagi masyarakat Minangkabau
selain sebagai sebuah hiburan, ia juga salah satu sumber pelajaran untuk
berkata dan bersikap, dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu kali ini akan
dibicarakan ajaran moral dalam sebuah karya sastra Minangkabau, yaitu Kaba
Rancak di Labuah.
II
Sudah dikenal luas bahwa kaba
adalah genre sastra Minangkabau. Dalam kenyataannya, kaba hanyalah salah satu
genre sastra Minangkabau. Ada genre lain yang bukan kaba, seperti salawat
dulan, baikayaik, indang, bagurau. Namun yang fiksi, memang hanya kaba.
Kaba sebagai istilah memiliki
arti umum yaitu cerita, fiksi. Sebagai kata dalam dialek Minangkabau, kaba
berarti berita. Umar Junus sudah
menneliti sisteem sosial yang terdapat dalam kaba (1984). Iai samapai ke kesimpulan bahwa kaba menggunakan keonsep presence
dan absence; ketiadaan mamak dalam sistem sosial Minangkabau menyebabkan
kesengsaraan. Itu yang diceritakan pada
bagaian awal kaba. Dengan demikian harus ditangkap makna bahwa agar tidak
sengsara harus melengkapi unsur sistem itu, harus menghadirkan mamak.
Dalam buku itu Umar Junus juga
membagi kaba menjadi dua golongan: kaba klasik dan kaba tak klasik.
Kaba klasik adalah kaba yang masih manampilkan tokoh-tokoh dengan kekuatan
supranatural; kaba tak klasik adalah kaba yang berceerita tentang hidup
keseharian masyarakat Minangkabau. A.A. Nafis (1984) membagi kaba juga menjadi
dua, yaitu kaba klasik dan kaba baru. Oleh karena Navis bertolak dari asumsi
bahwa kaba bukan karya sastra asli Minangkabau, maka ia memberi batasan bahwa
klasik adalah kaba yang dicipta kemudian oleh tukang kaba, artinya asli
Minangkabau.
Itulah hasil dua penelitian
kaba yang ‘mengambil sikap’. Hasil-hasil penelitian lain, belum tampak
‘mengambil sikap’ (walaupun ‘tidak bersikap’ itu adalah ‘sikap’). Akan halnya
Nigel Phillips, yang meneliti sijobang (1981) memberikan banyak informasi
tentang penelitian sastra lisan, melalui ‘contoh’ sastra lisan Minangabau.
Kaba Rancak di Labuah (seterusnya disingkat KRL) dapat dikategorikan kaba tak kklasik atau kaba
baru, jika dihkotomi darri dua penelitian di atas digunakan. Namun begitu,
walaupun masalah yang diangkat adalah masalah hidup keseharian masyarakat
Minangkabau, cerita dalam kaba ini bukan untuk kepentingan cerita per se, melainkan
alat untuk menyampaikan pengajaran. Memang fungsi pengajaran melekat dalam
sastra tradisional. Akan tetapi dalam KRL pesan itu sudah dimulai dari nama
tokoh-tokohnya, seperti Rancak di Labuah
(hanya gagah di luar), Sutan Sampuronoo (Sutan Sempurna), Tuanku Rajo Bana (Tuanku
Raja Kebenaran), Siti Juhari (Siti (yang) Jauhari). Nama negeri pun demikian,
seperti Taluak Kiro-kiro (Teluk Pikiran), Medan Budi, Talago Manih (Telaga
Manis).
Ungkapan rancak di labuah sendiri
hidup sebagai pemeo dlam masyarakat Minangkabau dengan konotasi negatif;
artinya orang yan g hanya tampak gagah
di luar, sedang rumah tanggganya tak teratur, dan hidup berkekurangan. Di sisi
lain, pemberian gelar atau atribut yang
seiring dengan itu terjadi juga di dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau,
misalnya seoran g mamk yang demikian
bengis, disebut Rajo Angek Garang (Rajo Panas Menyengat); saudara yang demikian
bijak dan alim digelar Malin Bana.
Pemberian gelar berdasarkan cacad tubuh atau bentuk tubuh tidak lazim dalam
masyarakat Minangkabau. Hal itu menurut keterangan orang tua-tua, keadaan tubuh
orang adalah pemberian Tuhan, tidak patut dicela. Lagi pula , jika
seseorang dogelari dengan gelar yang
memalukan, malunya melibatkan
keluarga orang itu. Artinya malunya
sekaum. Dalam mamangan adatnya diajarkan
‘harato alah babagi, malu alun baragiah’.
Tokoh-tokoh kaba, selain
Rancak di Labuah, yang jadi pemeo
dalam masyarakat Minangkabau adalah
Bujang Salamat, (seorang pembantu yang setia kepada Dang Tuanku Anggun nan
Tongga putera raja Pagaruyung, Bundo
Kanduang); dan Bundo Kanduang ) raja wanitaa yang bijaksana daan teguh). Nama-nama itu tidak ada kaitan dengan
bentuk fisik; semua dihubungkan dengan
sifat dan fungsi. Rancak di Labuah
dihubungkan dengan sifat yang hanya tampak gagah di luar; Bujang Salamat dan
Bundo Kanduang dihubungkan dengan peran; pembantu dan raja. Bujang salamat adalah pembantu laki-laki. Pembantu perempuan
–dayang-dayang- disebut Si Kambang, -anehnya-tidak menjadi pemeo dalam bahasa Minangkabau.
III
KRL ditulis oleh M.Z.St.
Pamuncak, terbit pertama kali tahun 1951. yang digunakan untuk pembicaraan ini
adalah edisi 1990, diterbitkan Pustaka Indonesia, Bukittinggi, cetakan kedua.
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Datuak Paduka Alamm
tahun 1953. pada tahun 1958
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh anthony H. Johns. Zuber Usman
(1974) menyebut kaba ini masuk kelompok kaba yang menyampaikan pengajaran adat.
Umar Junus (1984) menulis bahwa KRL (dan Kaba Sutan Lanjuangan) adalah
kaba yang menginisiasi khalayaknya kepada ‘ideologi’ Minangkabau, “bagaimana
menjadi orang Minangkabau yang baik”.
Itulah beberapa perbincangan
tentang atau yang menggunakan KRL. Di sini akan dibincangkan ajaran-ajaran
moral “dengan pengertian moral yang lebih
luas dari dosa”, seperti yang dikatakan Umar Junus.
Dalam KRL diceritakan seorang
ibu bernama Siti Jauhari, tinggal di Taluak Kiro-kiro. Ia mempunyai tiga orang mamak; (saudara laki-laki ibu,
mo.bro.) Salendnag Dunia, Lelo Manjo, dan Mudo Taruhan. Ketiga mamaknya itu
hanya pandai membelanjakan harta pusaka sehingga habislah harta mereka; Siti
Jauhari jatuh miskin.
Siti Jauhari mempunyai dua
orang anak, yang laki-laki bernama Buyuang Geleng dan yang perempuan Siti Budiman. Buyuang Geleng selalu bersikap sepertii orang kaya, sehingga ia
digelari Rancak di Labuah.
Karena sikapnya itu, Rancak di
Labuah jatuh sangat melarat: banyak hutang sehingga tak mampu lagi dibayar. Ia
mohon ibunya membayar hutang-hutang itu, dan ia berjanji akan hidup dengan usaha
sebagai orang lain. Ia mulai bersawah, berladang, dan beternak. Sampailah
mereka menjadi kaya kembali. Ibunya selalu menasehati dan mengajarinya berbagai
pengetahuan dan adab sebagai anggota masyarakat; sebagai suami, sebagai sumando,
dan sebagai penghulu.
Setelah Siti Budiman remaja,
ibunya pun mengajari berbagai pengetahuan dan adab hidup, baik sebagai anggota
masyarakat maupun sebagai isteri.
Nama Tokoh-tokoh dalam KRL
Nama tokoh-tokoh dalam KRL
menyiratkan bangsa dan sifat tokoh tokoh itu. Siti Jauhari misalnya, adalah
seorang tokoh yang sabar, arif, teguh pendirian. Salendang Dunia artinya
perhiasan dunia; sifatnya selalu hadir disetiap keramaian, ia tidak bekerja,
hanya berhabis masa. Lelo Marajo adalah orang yang merjalela, melakukan apa
yang ingin dilakukan saja, tidak berpikir tentang masa depan, yang penting
beginya melakukan segala yang diinginkannya. Mudo Taruhan artinya
orang yang memiliki barang-barang tapi habis untuk kesenangan, untuk
bertaruh; tidak berpikir tentang menambah, malah menghabiskan.
Berikut ini adalah daftar nama
tokoh-tokoh dengan padanan arti dalam
bahasa Indonesia:
Siti Budiman : Wanita yang baik budi
Sutan Malabiahi : Orang yang berlebihan
Tuanku Kareh Hati : Tuanku keras hati
Ampang Limo Garang : Pangkima yang bengis
Bagindo Capek Lago : Baginda yang mudah berkelahi
Buyuang Sidik : Buyung yang jujur, sidik
Pakiah Candokio : Pakih yang cendikia
Tuanku Bijaksano :Tuanku Bijaksana
Datuak Rajo Adia :Datuk Rajo Adil
Datuak Timbangan Haluih: Datuk
timbangan halus paham
Paham
Malin Saba Palito Hati :Malin Sabar Pelita Hati
Cito Dunia :Cita-cita dunia
Suri Tiru Pilihan :Contoh-contoh pilihan
Tuanku Taguah Iman :Tuanku Teguh Iman
Datuak Juaro Manti Alam: Datuk
Juaro Menteri Alam
Ajaran Moral dalam KRL
Ajaran moral dalam KRL ini
diberikan oleh tokoh ibu. Hal ini tejadi karena memang hanya ibu yang
adasebagai tokoh tua, yang bertanggung jawab atas pengajaran anak-anaknya;
mamak-mamak sudah tidak ada. Sesungguhnya dari struktur sosial Minangkabau,
mamak adalah orang yang paling
berkepentingan memberi dan memberi pengajaran kepada kamanakan, terutama
kamanakan laki-laki. Kepada anak perempuan-kamanakan perempuan- ibu (nya)-lah
yang berkewajiban memberi pengajaran.
A.H. Johns membandingkan lalu
menyamakan fungsi dan peran ibu dalam KRL dengan peran ibu dalam Anggun Nan Tongga. Dalam
kedua kaba ini, ibu menjadi tokoh
sentral memberi pengajaran. Fungsi ayah tidak ada sehingga perannya juga tidak
ada. Kemudian lagi, secara faktual tiap kali seorang anak pulang (dalam tradisi
Minangkabau yang uksorilokal) yang ditemuinya adalah ibu: dari ibu mereka
beroleh makan, kasih sayang, dan pengajaran. Kemudian pula, dari garis ibu
(matrilineal) anak laki-laki mewarisi gelar adat, dan dari garis ibu pula
anak-anak beboleh harta pusaka. Ini menyiratkan arti bahwa anak bertangggung
jawab atas moral keluarga matrilinealnya; tindak-tanduk seorang anak
mencerminkan pengajaran yang diberikan ibu (beserta keluarga matrilinealnya)
dan mamaknya. Keadaan ini adalah akibat logis dari sistem menetap setelah
perkawinan: dalam masyarakat Minangkabau dianut sistem uksorilokal (uxorilocal),
yaitu suami tinggal di tempat keluarga isteri. Anak hidup dikitari keluarga
ibu, sedangkan ayah adalah tamu nan bajapuik (tamu yang dijemput);
kadang-kadang malah disebut dengan agak sarkastik, tamu tangah malam.
Ajaran yang di berikan ibu
Rancak di Labuah ada yang berlaku umum, dan tampaknya itu merupakan prinsip
nilai yang tidak hanya mengandung filosofi tapi juga dogma. Ajaran demikian
termaktub dalam pantun:
nan kurik iolah kundi
nan merah iolah sago
nan baiak iolah budi
nan indah iolah baso
Pantun ini mengajarkan bahwa
yang membuat seseorang itu dipandang dan dihormati adalah baso (basa-basi,
budi bahasa) dan budi. Baso di sini berarti bahasa, basa-basi, adab; sedang
budi berarti sikap, sopan-santun (tata) tertib. Baso tidak memiliki
wujud kasat mata; wujudnya sikap bahasa, sedangkan budi memiliki wujud
kasat mata, yaitu perbuatan. Paling tidak, budi ditegakkan dengan baso,
dengan sikap dan perbuatan.
Dalam KRL, pantun ini diulang
sampai dua kali: keduanya diucapkan disaat-saat membuka pembicaraan. Artinya,
ini harus dijadikan tolok ukur utama. Di sini termaktub makna dogma, orang
harus memperhatikan filosofi adalah;
buruak urang indak dek urang
buruak karano dek lakunyo
laku nan buliah kito ubah
rupo nan jo roman nan tak
buliah
cacek karano dipi-ienyo
aik karano parangainyo
parangai buliah dibaiek-i
(buruk seseorang bukan karena orang lain
buruk karena tingkah lakunya
tingkah laku
boleh diubah
rupa dan raut yang tak mungkin
cacat karena fiilnya
aib karena perangainya, perangai dapat diperbaiki)
Di sini ditegaskan bahwa
seorang menjadi cacat nama baiknya karena fiilnya, sifatnya; dan seorang
mendapat aib karena perangainya, sikapnya; orang menjadi buruk nilainya karena
kelakuannya. Hal itu berlaku sebaliknya: sifat, sikap,dan kelakuan pula yang
membuat seorang itu terhormat, mulia. Oleh karena itu, fiil, sikap, dan
kelakuan yang kurang baik seyogianya diubah-karena ia dapat diubah-agar orang (tetap
menjadi ) terhormat, disegani. Wajah memang tidak dapat diubah, tetapi fiil,
sikap,dan kelakuan dapat diubah. Dalam pantun Minangkabau dikatakan:
Upik rambahlah paku
nak tarang jalan ka parak
Upik ubahlah laku
nak sayang urang ka awak
(upik rambahlah paku (=pakis)
agar terang jalan ke ladang
upik ubahlah laku
agar sayang orang padamu)
Satu lagi ajaran yang
fisiologis dan berlaku umum dalam KRL adalah:
sajauh-jauah bajalan
sabarek-barek menjinjiang
labo rugi kana juo
rasaki jan diilakkan
tapi samantangpun bak nantun
lobo jo tamak jan dipakai
di dalam suko kajilan duko
dalam mulia kanalah hino
(sejauh-jauh berjalan
sebrat-berat menjinjing
laba dan rugi ingati juga
rezki jangan dihindari
tapi sementangpun demikian
loba dan tamak usah dipakai
di dalam suka ingatlah duka
dalam mulia ingatlah kehinaan)
Maksudnya, orang boleh bejalan
jauh, orang boleh bekerja memeras keringat, namun jangan lupa mempertimbangkan
laba-rugi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pertimbangan harus jauh
dari haloba dan tamak; dalam pertimbangan haruslah selalu diingat nama baik,
karib kerabat; bukan mempertimbangkan keuntungan diri saja, melainkan juga
untuk membela diri, kaum, dan bawahan.
Contoh (2) dan (4) ditujukan
untuk meyakinkan diri dalam mengontrol sikap agar tidak berbuat sia-sia,agar
tidak serakah, sombong, atau pun lupa diri. Kesemuanya itu didasari oleh baso
dan budi. Ajaran-ajaran (2) dan (4) untuk meneguhkan pribadi baik,
mengembangkan sikap bijaksana dan arif.
Ketiga poin ini berlaku begi
semua orang tanpa membedakan status sosial; baik untuk bertingkah laku,
bertutur kata, atau untuk menilai orang lain. Jika orang sudah memiliki ketiga
point itu, ia akan mudah masuk ke dalam lingkungan manapun.
Ajaran berikutnya yang
diajarkan ibu Rancak di Labuah merupakan tuntutan besikap sesuai dengan peran
seseorang dalam sebuah peristiwa interaksi. Peran-peran itu adalah;
sebagai anggota masyarakat
sebagai anak muda
sebagai suami/sumando/menantu
sebagai isteri, dan jika
bermadu
sebagai mamak, sebagai
penghulu
sebagai orang tua
Sebagai anggota masyarakat
dewasa, ia harus tahu bersikap dan menempatkan diri berhadapan dengan lawan
bicara, dan dalam kegiatan apa interaksi terjadi. Orang harus menjaga sikap dan
tindakannya. Kesalahan yang dilakukan adalah malu kaumnya (keluarga
matrilineal); sebaliknya, kebajikan yang dilakukan seseorang adalah tuah
kaumnya. Inilah yang lazim dikiaskan dengan mancaliak contoh ka nan sudah,
mancaliak tuah ka nan manang (mencari contoh kepada yang sudah, mencari
tuah kepada yang menang). Itu sebabnya ia harus mengendalikan sikap dalam
berhadapan baik dengan sesama kerabat, dengan orang yang lebih tua, dengan orang yang lebih muda, perempuan, maupun
orang berstatus sosial lebih tinggi.
Sebagai anak muda ia dituntut
harus mendengar pengajaran yang diberikan orang tua atau orang arif: tidak
menengadah (mengangkat muka) ketika berjalan,
hendaklah menyap orang tua, hendaknya tidur di malam hari saja (siang
hari tidak boleh tidur), cepat kaki ringan tangan. Seorang muda tidak boleh
bersifat mudo parisau, mudo pangusau, dan mudo langkisau.
Mudo parisau artinya:
siang malam bahati rindu
patang-patang nahati rambang
balun diimbau alah babuni
balun dikubik inyolah datang
balun diunjai inyolah galak
bak payuang tabukak kasau
(siang malam bahati rindu
petang-petang berhati bimbang
belum dipanggil sudah menyahut
belum dilambai sudah datang
belum digoda sudah galak
bagai ketiding (bakul) lepas
bingkai
bagai payung lepas kasaunya)
Mudo pangusau artinya:
hilia mudiak inyo manyusah
kiri kanan mamacah parang
apo nan tampak nak manariak
inyo nak iyo kasamuonyo
(hilir mudik ia menyudah
kiri kanan membuat gaduh
tiap yang tampak hendak diraih
ia inginkan segalanya
Mungko langkisau artinya:
itulah mudo lidah aia
sapantun talingo angin
labuah sampik kudo panyipak
aka buruak itikad jaek
(itulah (orang) muda lidah air
sepantun telinga angin
jalan sempit kuda penyepak
akal buruk itikad jahat)
Moral sebagai suami bersisian
dengan moral sebagai sumando dan sebagai menantu. Hal itu terjadi sebagian
karena pola menetap yang uksorilokal itu. Di rumah isterinya, seorang suami
adalah sumando bagi keluarga matrilineal isterinya; dan adalah menantu
bagi ibu (dari) isterinya ataupun saudara-saudara perempuan ibu (dari)
isterinya (mo. si.). oleh kondisi seperti itu maka fungsi seorang laki-laki
menjadi berbagai. Oleh karena itu pulalah maka nasihat bagi laki-laki meliputi
ketiga fungsi itu. Itu baru peran dan fungsi di rumah isterinya. Di rumah
ibunya, atau di rumah kerabat matrilinealnya, seorang laki-laki tetap juga
mempunyai peran dan fungsi, terutama sebagai mamak yang berfungsi
melindungi kamanakan. Dengan itu semakin banyaklah fungsi seorang
laki-laki dalam adat Minangkabau sesuai dengan perannya.
Sebagai anak, seorang
laki-laki tetap harus bertanggung jawab
terhadap keluarga matrilinealnya; perannya sebagai suami, dan berfungsi sebagai
pimpinan bagi isterinya dan anak-anaknya, memberi makan dan pakaian. Dalam
realitasnya, fungsi itu senantiasa dibatasi oleh perannya sebagai sumando, artinya
tamu yang dijemput. Ia hanya tamu. Ia “duta” keluarganya ke dalam
keluarga isterinya. Seorang sumando tidak berkewenangan mambuat keputusan. Ia
hanyalah ‘abu di atas tunggul’, yang setiap saat dapat terbang
(di-)tertiup angin; selembut apa pun
angin itu. Seorang sumando harus menjaga sikap di rumah isterinya, dalam artian
selalu menyadari fungsi dari peran yang dimilikinya. Seterusnya perannya
sebagai mennatu membuat ia mempunyai fungsi sebagai anak, namun “anak duta”.
Kepada Rancak di Labauah
diajarkan;
kawin dengan niniak mamak
nikah nan dengan parampuan
sakato jo niniak mamak urang
katahui condong kamanimpo
kok rantiang kamanganai
atau pantangan jo larangan
(kawin dengan ninik mamak
nikah dengan perempuan
sekata dengan ninik mamak
mereka
semufakat dengan ibu bapaknya
ketahui condong yang kan
menimpa
mungkin ranting akan mengenai
atau pantangan dan larangan)
Sebagai isteri, ajaran
disampaikan melalui Siti Budiman. Nilai dasar ajaran itu adalah malu
sehingga dikatakan;
parampuan kok tak malu
jadi kecek saumua iduik
bak pintu indak bapasak
mudah urang maliang mamasuaki
bak parahu sasek palayaran
(perempuan jika tidak bermalu
jadi cacat seumur hidup
bagai pintu tidak berkunci
mudah pencuri memasuki
bagai perahu tak berkemudi
galib sesat pelayaran)
Ajaran seperti ini diajarkan
pula kepada Rancak di Labuah agar bijak menilai perempuan. Kepada Rancak di
Labuah diajarkan;
kalau padusi tak bamalu
indak manaruah budi baiak
indak bapiie bataratik
walau sarupo bulan panuah
janlah anak manarimo
mambao cacek jo binaso
hino malu kito sadonyo
(jika perempuan tiada bermalu
tidak memakai budi baik
tidak berfiil dan bertertib
walau (rupanya) bagaikan bulan
bagaikan bulan penuh
jangan anakku menerima
membawa cacat dan binasa
hina malu kita semua).
asa parampuan baik budi
lai batunjuak baajari
manaruah malu jo sopan
pakailah salamo-lamonyo
jan dipandang rancak buruak
usah diikuik pandang mato
setan ibilih pamenannyo
(asalkan perempuan baik budi
cukup ditunjuk-diajari
memakaikan malu dengan sopan
peganglah ia selamanya
usah dipandang kecantikan
jangan diikutkan pandangan
mata
setan dan iblis permainannya)
Selain itu, kepada Siti
Budiman diajarkan juga sikap-sikap jika terjadi ia bermadu. Hal itu menunjukkan
bahwa masalah bermadu memang harus dihadapi wanita Minangkabau-menurut kaba
ini-. Oleh karena itu di sini diajarkan:
malu jo sopan tak babateh
baso jo basi tak bahinggo
bia jo laki awak bana
janlah hilang baso jo basi
pamanih muluik anak kanduang
gadangkan di tangah rami
muliekan di muko rapek
takuiklah anak lahia batin
hiduik mati di tangan inyo
(malu dan sopan tiada berbatas
basa-basi tiada hingganya
meski dengan suami sendiri
janganlah hilangkan basa-basi
maniskan mulutmu, nak
hormati dia di tengah orang
ramai
muliakan dalam perundingan
takutlah anakku lahir batin
hidup dan mati di tangannya)
dan:
pantangan Datuak Parpatiah
larangan Katumangguangan
itu banamo piie sumbang
dalam kitab batagah mana
larangan nabi
sungguah-sungguah
suami pun mandapek malu
dek malu
sayang ko abih
dek bangih banci mandatang
akia kalaknyo kok abih
dek bangih banci mandatang
akia kalalnyo kamudian
arang abih basi binaso
mande jo bapak ilang laleh
(pantun Datuk Perpatih
larangan Ketumanggungan
yang bernama fiil sumbang
dalam kitab (=Qur’an) sangat
dilarang
larang nabi sungguh-sungguh
suami pun mendapat malu
karena malu sayang pun habis
karena marah benci mendatang
akhir kelak kemudiannya
arang habis besi binasa
ibu dan bapak menghilang diri)
Ajaran dalam kutipan (12) dan
(13) diberikan dalam usaha mempertahankan keutuhan rumah tangga, agar suami
tidak pergi kawin dengan perempuan lain. selain itu, rumah isteri adalah tempat tinggal sementara bagi
suami; tidak lepas dari perhatian keluarga metrilineal suami itu. Jika dipandang oleh keluarga matrilinealnya bahwa
suami itu kurang dilayani atau kurang
dihargai, keluarga matrilinealnya turut
merasa tersinggung dan dapat mencegahnya untuk pulang ke rumah isterinya.
Sebaliknya, isteri pun selalu mendapat
pengajaran dari keluarga matrilinealnya
tentang adab bersuami. Di sinilah posisi “abu di atas tunggul” itu berperan.
Isteri memberi pelayanan dan penghargaan, suami pun senantiasa harus berpegang
kepada perannya sebagai seorang sumando. Jika keluarga isteri merasa
tersinggung, mereka dapat ‘mengusir’ suami saudara perempuannya. Artinya,
seorang suami bukan saja dapat meninggalkan, tapi juga dapat ‘diusir’,
dibahasakan (ditolak) dalam bahasa Minangkabau.
Ajaran sebagai penghulu
dimulai dengan petuah:
elok-elok mengganggam hulu
ingek-ingek bana mancancang
hukum adia bakato bana
kok manuruik tantang alua
kok bajalan di nan pasa
takuik dek karano salah
barani dek karano bana
nan bana usah dilongkahi
(baik-baik menggenggam hulu
ingat benar jika mencencang
menghukum hendaklah adil,
berkata hendaklah benar
jika menyusur sebatas alur
jika berjalan di tempat biasa
takut karena salah
berani karena benar
kebenaran jangan dilangkahi)
Seorang penghulu dituntut
bertindak dengan adil dan berkata benar, sesuai dengan undang-undang. Lalu diujelaskan tetang nagari, hukum,
undang-undang, kato, dan cupak. Itulah hal-hal yang harus diketahui, dipegang, dan diamalkan oleh
seorang penghulu. Itu adalah ilimu (ilmu) yang harus dimiliki penghulu.
Jika tidak memiliki ilmu itu,
dalam KRL dikatakan:
kok duduk samo gadang
samo pangulu kato urang
di sanalah tampak kurang awak
basisiah atah jo bareh
basibak kumpai jo kiambang
bak manjamua dalam jarami
bak kungkuang dipapikekkan
malu bana dihati mendeh
(jika duduk sesama besar
sama-sama penghulu dipandang
orang
di sanalah tampak kurangnya
diri
bersisih atah dengan beras
bersibak kumpai dengan
kiambang
bagai kungkung untuk memikat
(burung)
malu sungguh dihati bunda)
Pengajaran juga diberikan
sebagai bekal jika nanti menjadi orang tua; mulai dari mendidik anak sampai
dengan memilih menantu.
Dalam mendidik anak perempuan
diajarkan kepada Sutan Sampurno (gelar Rancak Dilabuah setelah menjadi
penghulu) dan Siti Budiman:
aja mengaji jo manyurek
aja maukie jo batanun
tau malukah manarawang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar